Pemahaman Alkitab
G. K. R. I. ‘GOLGOTA’
(Rungkut Megah
Raya, blok D no 16)
Rabu, tgl 27 Mei 2015, pk 19.00
Pdt. Budi Asali, M. Div.
PRO KONTRA TENTANG
PERSEMBAHAN PERSEPULUHAN (5d)
5. Hukum kasih menggantikan
hukum Taurat.
John Stott (tentang Mat 5:17-18): “Their counterparts today seem to be
those who have embraced the so-called ‘new morality’, for they declare that the
very category of law is abolished for the Christian (though Christ said he had
not come to abolish it), that no law any longer binds Christian people except
the law of love, and in fact that the command to love is the only absolute
there is.” [=
Rekan mereka pada jaman ini kelihatannya adalah mereka yang telah mempercayai
apa yang disebut ‘moralitas baru’, karena mereka
menyatakan bahwa justru kategori hukum Taurat ini dihapuskan bagi orang Kristen
(sekalipun Kristus berkata bahwa Ia tidak datang untuk menghapuskannya), bahwa
tak ada hukum yang tetap mengikat orang-orang Kristen kecuali hukum kasih, dan
dalam faktanya perintah untuk mengasihi adalah satu-satunya hal mutlak yang ada.] - ‘The Message of The Sermon on the
Mount’, hal 72-73.
Bdk. Mat 22:37-40 - “(37) Jawab Yesus kepadanya: ‘Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan
segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. (38)
Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. (39) Dan hukum yang kedua, yang
sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. (40)
Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.’”.
Bdk. Ro 13:8-10 - “(8) Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapapun juga, tetapi
hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab barangsiapa
mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat. (9)
Karena firman: jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan
mengingini dan firman lain manapun juga, sudah tersimpul dalam firman ini,
yaitu: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri! (10) Kasih tidak
berbuat jahat terhadap sesama manusia, karena itu kasih
adalah kegenapan hukum Taurat.”.
Bdk. Gal 5:14 - “Sebab seluruh hukum Taurat
tercakup dalam satu firman ini, yaitu: ‘Kasihilah sesamamu manusia seperti
dirimu sendiri!’”.
Text-text ini menyebabkan ada banyak orang
lalu menganggap bahwa hukum Taurat (hukum moral) sudah tidak berlaku, dan
digantikan dengan hukum kasih! Jadi, kalau kita tidak membunuh, itu bukan
karena kita mentaati hukum ke 6 dari 10 hukum Tuhan / hukum Taurat, tetapi
karena kita mentaati hukum kasih. Demikian juga kalau kita tidak mencuri, tidak
berzinah dan sebagainya.
Tanggapan saya:
Kelihatannya orang Liberal yang menafsir seperti ini, karena William
Barclay, yang adalah seorang Liberal, menafsir seperti ini, sekalipun dalam
tafsirannya tentang ayat-ayat lain ia berkata berbeda. Ini beberapa komentar
dari William Barclay.
Ro 13:8-10 - “(8) Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada
siapapun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab barangsiapa
mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat. (9) Karena firman:
jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengingini dan firman
lain manapun juga, sudah tersimpul dalam firman ini, yaitu: Kasihilah sesamamu
manusia seperti dirimu sendiri! (10) Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama
manusia, karena itu kasih adalah kegenapan hukum Taurat.”.
Barclay (tentang Ro 13:8-10): “He goes on to speak of the one debt that must be paid
every day, and yet, at the same time, must continue to be owed every day - the
debt to love one another. Origen, the great third-century biblical scholar,
said: ‘The debt of love remains with us permanently and never leaves us; this
is a debt which we both discharge every day and forever owe.’ It is Paul’s
claim that if people honestly seek to discharge this debt of love, they will
automatically keep all the commandments. They will not commit adultery, for,
when two people allow their physical passions to sweep them away, the reason is
not that they love each other too much but that they love each other too
little. In real love, there is at the same time respect and restraint, which
saves from sin. Christians will not kill, for love never seeks to destroy, but
always to build up; it is always kind and will always seek to destroy enemies
not by killing them, but by seeking to make friends of them. Christians will
never steal, for love is always more concerned with giving than with getting.
They will not covet, for covetousness (EPITHUMIA) is the uncontrolled desire
for what is forbidden, and love cleanses the heart, until that desire is gone.
St Augustine famously said: ‘Love God, and do what you like.’ If love is the
motivation within the heart, if a person’s whole life is dominated by love for
God and love for other people, that person needs no other law.” [= Ia
melanjutkan untuk berbicara tentang satu hutang yang harus dibayar setiap hari,
tetapi pada saat yang sama, hutang itu harus berlanjut setiap hari - hutang
untuk mengasihi satu sama lain. Origen, sarjana Alkitabiah yang besar / agung
dari abad ketiga, berkata: ‘Hutang kasih tetap bersama kita secara permanen,
dan tidak pernah meninggalkan kita; ini adalah suatu hutang yang kita keluarkan
setiap hari dan tetap berhutang untuk selama-lamanya’. Merupakan claim dari
Paulus bahwa jika orang-orang dengan jujur berusaha untuk mengeluarkan hutang
kasih ini, mereka akan secara otomatis memelihara / mentaati semua hukum-hukum
/ perintah-perintah. Mereka tidak akan berzinah,
karena pada waktu 2 orang mengijinkan nafsu jasmani mereka menghanyutkan
mereka, alasannya bukan karena mereka mengasihi satu sama lain terlalu banyak,
tetapi karena mereka mengasihi satu sama lain terlalu sedikit. Dalam
kasih yang sungguh-sungguh, disana pada saat yang sama ada hormat dan
pengekangan, yang menyelamatkan dari dosa. Orang-orang
Kristen tidak akan membunuh, karena kasih tidak pernah berusaha untuk
menghancurkan, tetapi selalu membangun; itu selalu baik dan akan selalu
berusaha menghancurkan musuh-musuh bukan dengan membunuh mereka, tetapi dengan
berusaha untuk berteman dengan mereka. Orang-orang Kristen tidak akan pernah
mencuri, karena kasih selalu lebih memperhatikan untuk memberi dari pada untuk
mendapatkan. Mereka tidak akan menginginkan, karena keinginan / ketamakan (EPITHUMIA)
adalah keinginan yang tidak terkontrol untuk apa yang dilarang, dan kasih
membersihkan hati, sampai keinginan itu hilang. Santo Agustinus secara terkenal mengatakan: ‘Kasihilah Allah,
dan lakukanlah apa yang engkau senangi’. Jika kasih adalah motivasi di dalam
hati, jika seluruh kehidupan seseorang didominasi oleh kasih untuk Allah dan
kasih untuk orang-orang, orang itu tak membutuhkan hukum yang lain.].
Catatan: sekalipun
Agustinus memang mengatakan kata-katanya yang terkenal itu, saya yakin penafsiran
Barclay tentang kata-katanya adalah salah!
Mat 5:17-20 - “(17) ‘Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum
Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan
untuk menggenapinya. (18) Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama
belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan
ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. (19) Karena itu siapa
yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil,
dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang
paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan
mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat
yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga. (20) Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup
keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan
orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan
Sorga.”.
Barclay (tentang Mat 5:17-20): “What then is the real principle behind the whole law,
that principle which Jesus came to fulfil, the true meaning of which he came to
show? When we look at the Ten Commandments, which are the essence and the
foundation of all law, we can see that their whole meaning can be summed up in
one word - ‘respect,’ or even better, ‘reverence.’ Reverence for God and for the name of God, reverence
for God’s day, respect for parents, respect for life, respect for property,
respect for personality, respect for the truth and for another person’s good
name, respect for oneself so that wrong desires may never overpower us - these
are the fundamental principles behind the Ten Commandments, principles of
reverence for God, and respect for our neighbours and for ourselves. Without them
there can be no such thing as law. On them all law is based. That reverence and
that respect Jesus came to fulfil. He came to show men and women in actual life
what reverence for God and respect for one another are like. Justice, said the
Greeks, consists in giving to God and to others that which is their due. Jesus
came to show in actual life what it means to give to God the reverence and to
other people the respect which are their due. That reverence and that respect
did not consist in obeying a multitude of petty rules and regulations. They
consisted not in sacrifice but in mercy; not in legalism but in love; not in
prohibitions which demanded that men and women should not do things, but in the
instruction to mould their lives on the positive commandment to love. The
reverence and the respect which are the basis of the Ten Commandments can never
pass away; they are the permanent stuff of our relationship to God and to one
another.” [= Lalu apa yang merupakan
prinsip yang sesungguhnya di belakang seluruh hukum Taurat, prinsip itu yang
Yesus datang untuk menggenapinya, arti yang benar / sejati tentang mana Ia
datang untuk menunjukkan? Pada waktu kita melihat
pada 10 hukum Tuhan, yang merupakan hakekat dan fondasi / dasar dari seluruh
hukum Taurat, kita bisa melihat bahwa seluruh arti mereka bisa disimpulkan /
diringkas dalam satu kata - ‘hormat’, atau bahkan lebih baik, ‘hormat / takut’.
Hormat / takut untuk Allah dan untuk nama Allah, hormat / takut untuk hari
Allah, hormat untuk orang tua, hormat untuk kehidupan, hormat untuk milik,
hormat untuk kepribadian, hormat untuk kebenaran dan untuk nama baik orang
lain, hormat untuk diri sendiri sehingga keinginan-keinginan yang salah tidak
pernah mengalahkan kita - ini adalah prinsip-prinsip dasari di belakang 10 hukum
Tuhan, prinsip-prinsip dari hormat / takut untuk Allah, dan hormat untuk sesama
kita dan untuk diri kita sendiri. Tanpa mereka di sana tidak bisa ada hal yang
disebut hukum. Semua hukum didasarkan pada mereka. Yesus datang untuk
menggenapi hormat / takut itu dan hormat itu. Ia datang untuk menunjukkan
orang-orang laki-laki dan perempuan dalam kehidupan nyata / sesungguhnya
bagaimana hormat / takut untuk Allah dan hormat untuk satu sama lain itu.
Keadilan, kata orang-orang Yunani, terdiri dari tindakan memberi kepada Allah
dan kepada orang-orang lain apa yang merupakan hak mereka. Yesus datang untuk
menunjukkan dalam kehidupan nyata / sesungguhnya apa artinya untuk memberi
kepada Allah hormat / takut dan kepada orang-orang lain hormat yang merupakan
hak mereka. Hormat / takut itu dan hormat itu tidak
terdiri dari tindakan mentaati sejumlah besar peraturan-peraturan remeh. Mereka
tidak terdiri dari korban tetapi dari belas kasihan; bukan dalam legalisme
tetapi dalam kasih; bukan dalam larangan-larangan yang menuntut bahwa
orang-orang laki-laki dan perempuan tak boleh lakukan, tetapi dalam pengajaran
untuk membentuk kehidupan mereka pada perintah positif untuk mengasihi.
Hormat / takut dan hormat yang merupakan dasar dari 10 hukum Tuhan tidak pernah
bisa hilang; mereka adalah bahan dari hubungan kita dengan Allah dan satu
dengan yang lain.].
Catatan: dalam
kutipan di atas Barclay menggunakan dua istilah bahasa Inggris yaitu ‘reverence’
[= hormat yang begitu hebat sampai ada rasa takut di dalamnya] dan ‘respect’
[= hormat]. Yang pertama saya terjemahkan ‘hormat / takut’; yang kedua saya terjemahkan ‘hormat’.
Barclay (tentang Mat 5:17-20): “In this passage, Jesus definitely warns the disciples not
to think that Christianity is easy. People might say: ‘Christ is the end of the
law; now I can do what I like.’ They might think that all the duties, all the
responsibilities and all the demands are gone. But it is Jesus’ warning that
the righteousness of the Christian must exceed the righteousness of the scribes and Pharisees. What did
he mean by that? The motive under which the scribes and Pharisees lived was the
motive of law; their one aim and desire was to satisfy the demands of the law.
Now, at least theoretically, it is perfectly possible to satisfy the demands of
the law; in one sense there can come a time when it is possible for someone to
say: ‘I have done all that the law demands; my duty is discharged; the law has
no more claim on me.’ But the motive under which Christians live is the motive
of love; the one desire of all Christians is to show their wondering gratitude
for the love they have received from God in Jesus Christ. Now, it is not even
theoretically possible to satisfy the claims of love. If we love someone with
all our hearts, we are bound to feel that if we gave to that person a
lifetime’s service and adoration, if we offered the sun and the moon and the
stars, we would still not have offered enough. For love, the whole realm of
nature is an offering far too small. The Jews aimed to satisfy the law of God; and to the demands of the law there is always a
limit. Christians aim to show their gratitude for the love of God; and to the claims of love there is no limit in
time or in eternity. Jesus set before men and women not the law of God, but the
love of God. Long ago, St Augustine said that the Christian life could be
summed up in the one phrase: ‘Love God, and do what you like.’ But when we
realize how God has loved us, the one desire of life is to answer to that love,
and that is the greatest task in all the world, for it presents us with a task
the like of which those who think in terms of law never dream of, and with an
obligation more binding than the obligation to any law.” [=
Dalam text ini, Yesus dengan pasti memperingati murid-murid untuk tidak berpikir
bahwa kekristenan adalah mudah. Orang-orang bisa berkata: ‘Kristus adalah akhir
dari hukum Taurat; sekarang aku bisa melakukan apa yang aku senangi’. Tetapi
merupakan peringatan Yesus bahwa kebenaran dari orang Kristen harus melampaui
semua tuntutan kebenaran dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Apa yang
Ia maksudkan dengan itu? Motivasi dengan mana ahli-ahli Taurat dan orang-orang
Farisi hidup adalah motivasi dari hukum Taurat; satu-satunya tujuan dan
keinginan mereka adalah untuk memuaskan tuntutan-tuntutan dari hukum Taurat.
Sekarang, setidaknya secara teoretis, adalah sama sekali mungkin untuk
memuaskan tuntutan-tuntutan dari hukum Taurat; dalam satu arti di sana bisa
datang suatu waktu dimana adalah mungkin bagi seseorang untuk berkata: ‘Aku
telah melakukan semua yang hukum Taurat tuntut; kewajibanku dilaksanakan; hukum
Taurat tidak lagi mempunyai tuntutan atas / pada aku’. Tetapi motivasi dalam
mana orang-orang Kristen hidup adalah motivasi kasih; satu-satunya keinginan
dari semua orang-orang Kristen adalah untuk menunjukkan rasa terima kasih yang
terheran-heran untuk kasih yang telah mereka terima dari Allah dalam Yesus
Kristus. Sekarang, adalah tidak mungkin bahkan secara teoretis untuk memuaskan
tuntutan-tuntutan dari kasih. Jika kita mengasihi seseorang dengan seluruh hati
kita, kita harus merasa bahwa seandainya kita memberi orang-orang itu pelayanan
dan pemujaan seumur hidup, seandainya kita mempersembahkan matahari dan bulan
dan bintang-bintang, kita tetap tidak akan mempersembahkan secara cukup. Bagi
kasih, seluruh alam dari alam semesta merupakan suatu persembahan yang jauh
terlalu kecil. Orang-orang Yahudi bertujuan untuk
memuaskan hukum Taurat Allah; dan bagi tuntutan-tuntutan dari hukum Taurat di
sana selalu ada suatu batasan. Orang-orang Kristen bertujuan untuk menunjukkan
rasa terima kasih mereka untuk kasih Allah; dan terhadap tuntutan-tuntutan dari
kasih di sana tidak ada batasan dalam waktu dan dalam kekekalan. Yesus bukan meletakkan di depan
orang-orang laki-laki dan perempuan hukum Taurat Allah, tetapi kasih Allah.
Lama berselang, Santo Agustinus berkata bahwa kehidupan orang Kristen bisa
diringkas / disimpulkan dalam satu ungkapan: ‘Kasihilah Allah, dan lakukanlah
apa yang engkau senangi’. Tetapi pada waktu kita
menyadari bagaimana Allah telah mengasihi kita, satu keinginan kehidupan adalah
untuk menanggapi kasih itu, dan itu adalah tugas terbesar di seluruh dunia,
karena itu memberi kita suatu tugas yang
tak pernah dimimpikan oleh mereka yang berpikir dalam istilah-istilah hukum
Taurat, dan dengan suatu kewajiban yang lebih mengikat dari pada
kewajiban dari hukum apapun.].
Tetapi anehnya, di bagian lain dari buku tafsirannya, Barclay berkata
sebagai berikut:
Luk 16:16-18 - “(16) Hukum Taurat dan kitab para nabi
berlaku sampai kepada zaman Yohanes; dan sejak waktu itu Kerajaan Allah
diberitakan dan setiap orang menggagahinya berebut memasukinya. (17) Lebih
mudah langit dan bumi lenyap dari pada satu titik dari hukum Taurat batal. (18)
Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia
berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya,
ia berbuat zinah.’”.
Barclay (tentang Luk 16:16-18): “Before Jesus the law and the prophets had been the final
word of God; but Jesus came preaching the kingdom. When he did, the most
unlikely people, the tax-collectors and the sinners, came storming their way
into the kingdom even when the scribes and Pharisees would have set up barriers
to keep them out. But Jesus emphasized that the kingdom was not the end of the
law. True, the little details and regulations of the ceremonial law were wiped
out. No one was to think that Christianity offered an easy way in which no laws
remained. The great laws stood unaltered and unalterable. … As an illustration
of law that would never pass away Jesus took the law of chastity.” [=
Sebelum Yesus hukum Taurat dan kitab nabi-nabi merupakan firman Allah yang
terakhir; tetapi Yesus datang memberitakan kerajaan. Pada waktu Ia
melakukannya, orang-orang yang paling tidak mungkin, para pemungut cukai dan
orang-orang berdosa, cepat-cepat datang ke dalam kerajaan bahkan pada waktu
ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah mendirikan penghalang untuk
menjaga mereka tetap di luar. Tetapi Yesus
menekankan bahwa kerajaan bukanlah akhir
dari hukum Taurat. Memang benar, detail-detail dan peraturan-peraturan
kecil tentang hukum upacara dihapuskan. Hukum-hukum
besar berdiri tak berubah dan tak bisa diubah. ... Sebagai suatu ilustrasi dari hukum Taurat yang tidak akan pernah berlalu Yesus mengambil
hukum tentang menahan diri dari perzinahan.].
Ro 3:27-31 - “(27) Jika demikian, apakah dasarnya
untuk bermegah? Tidak ada! Berdasarkan apa? Berdasarkan perbuatan? Tidak,
melainkan berdasarkan iman! (28) Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan
karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat. (29) Atau adakah Allah
hanya Allah orang Yahudi saja? Bukankah Ia juga adalah Allah bangsa-bangsa
lain? Ya, benar. Ia juga adalah Allah bangsa-bangsa lain! (30) Artinya, kalau ada
satu Allah, yang akan membenarkan baik orang-orang bersunat karena iman, maupun
orang-orang tak bersunat juga karena iman. (31) Jika demikian, adakah kami
membatalkan hukum Taurat karena iman? Sama sekali tidak! Sebaliknya, kami
meneguhkannya.”.
Barclay (tentang Ro 3:27-31): “But, the Jews ask, does this mean an end of all law? We
might have expected Paul to say: ‘Yes.’ In point of fact, he says: ‘No.’ He
says that, in fact, it strengthens the law. He means this. Up to this time, the
Jews had tried to be good and to keep the commandments because they were afraid
of God and were terrified of the punishment that breaking the law would bring.
That day has gone forever. But what has taken its place is ‘the love of
God.’ Now, people must
try to be good and keep God’s law, not because they fear God’s punishment, but
because they feel that they must strive to deserve that amazing love. They
strive for goodness, not because they are afraid of God, but because they love
him. They know now that sin is not so much breaking God’s law as it is breaking
God’s heart, and, therefore, it is doubly terrible.” [= Tetapi orang-orang Yahudi bertanya, apakah ini berarti suatu
akhir dari seluruh hukum Taurat? Kita bisa / mungkin telah mengharapkan Paulus
untuk berkata: ‘Ya’. Tetapi faktanya, ia berkata: ‘Tidak’. Ia
berkata bahwa sebetulnya itu memperkuat hukum Taurat. Ia betul-betul
memaksudkan ini. Sampai saat ini, orang-orang Yahudi telah mencoba untuk
menjadi baik dan untuk memelihara / mentaati hukum-hukum / perintah-perintah karena
mereka takut akan Allah, dan takut akan hukuman yang dibawa oleh pelanggaran
terhadap hukum Taurat. Hari / masa itu telah pergi
/ hilang selama-lamanya. Tetapi yang menggantikan tempatnya adalah ‘kasih dari
Allah’. Sekarang, orang-orang harus berusaha untuk menjadi baik dan
memelihara / mentaati hukum (Taurat) Allah, bukan karena mereka takut akan
hukuman Allah, tetapi karena mereka merasa bahwa mereka harus berusaha untuk
layak mendapatkan kasih yang mengherankan itu. Mereka
berusaha untuk kebaikan, bukan karena mereka takut akan Allah, tetapi karena
mereka mengasihi Dia. Mereka tahu
sekarang bahwa dosa bukanlah hanya
melanggar hukum (Taurat) Allah tetapi lebih-lebih menyakiti / menghancurkan
hati Allah, dan karena itu, itu mengerikan secara ganda.].
Sekarang mari kita membahas ketiga text di
atas satu per satu.
a. Mat 22:37-40 - “(37) Jawab Yesus kepadanya: ‘Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan
segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. (38)
Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. (39) Dan hukum yang kedua, yang
sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. (40)
Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.’”.
(1) Hukum
kasih itu sendiri adalah / termasuk dalam hukum Taurat!
Mat 22:36-40 - “(36) ‘Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?’ (37) Jawab Yesus kepadanya: ‘Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap
jiwamu dan dengan segenap akal budimu. (38) Itulah hukum
yang terutama dan yang pertama. (39) Dan hukum yang kedua, yang sama dengan
itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu
sendiri. (40) Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.’”.
Luk 10:26-27 - “(26) Jawab Yesus kepadanya: ‘Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa
yang kaubaca di sana?’ (27) Jawab orang itu: ‘Kasihilah
Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan
segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.’”.
Hukum kasih yang pertama diambil
dari Ul 6:5 -
“Kasihilah TUHAN,
Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap
kekuatanmu.”.
Dan hukum kasih yang kedua
diambil dari Im 19:18 -
“Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah
menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN.”.
Perhatikan bahwa kedua hukum
kasih itu juga termasuk dalam hukum Taurat!! Jadi orang yang mengatakan bahwa
seluruh hukum Taurat (termasuk hukum moral) dihapuskan, dan digantikan dengan
hukum kasih, berbicara secara tidak masuk akal!
Calvin
(tentang Luk 10:26): “Luke 10:26. ‘What is written in the law?’
He receives from Christ a reply different from what he had
expected. And, indeed, no other rule of
a holy and righteous life was prescribed by Christ than what had been laid down
by the Law of Moses; for the perfect love of God and of our neighbors
comprehends the utmost perfection of righteousness.” [= Luk 10:26. ‘Apa yang tertulis dalam
hukum Taurat?’ Ia menerima dari Kristus suatu jawaban yang berbeda dari apa
yang ia harapkan. Dan memang, TAK ADA PERATURAN LAIN
DARI / TENTANG KEHIDUPAN YANG KUDUS DAN BENAR YANG DITULISKAN OLEH KRISTUS DARI
PADA APA YANG TELAH DITETAPKAN OLEH MUSA; karena kasih yang sempurna
kepada Allah dan kepada sesama kita mencakup kesempurnaan tertinggi dari
kebenaran.].
Karena itu, kalau hukum moral dari hukum
Taurat dibatalkan, maka jelas bahwa hukum kasih itu juga harus dibatalkan!
(2) Hukum kasih itu merupakan ringkasan dari
seluruh hukum Taurat.
Calvin
(tentang Mat 22:37): “What follows is an
abridgment of the Law, which is also found in the writings of Moses,
(Deuteronomy 6:5.) ... It now appears from this
summary that, in the commandments of the Law, God does not look at what
men can do, but at what they ought to do; ...” [= Yang berikut ini adalah suatu penyingkatan / ringkasan dari
hukum Taurat, yang juga ditemukan dalam tulisan-tulisan Musa, (Ul
6:5). ... Sekarang terlihat dari ringkasan
ini bahwa, dalam perintah-perintah hukum Taurat, Allah tidak melihat
pada apa yang manusia bisa lakukan, tetapi pada apa yang mereka harus lakukan;
...].
William Hendriksen (tentang Mat 22:37-40): “Jesus
here teaches that: a. The whole duty of man, the whole moral-spiritual law, can
be summed up in one word: ‘love.’ ... This commandment is called
the great(est) because it epitomizes
the most excellent response to the Most Wonderful Being, and is basic to all
other genuine love.” [=
Yesus di sini mengajar bahwa: a. Seluruh kewajiban dari manusia, seluruh hukum
Taurat yang bersifat moral-rohani, bisa diringkas dalam satu kata: ‘kasih’. ... Perintah ini
disebut yang terbesar karena itu meringkas
tanggapan yang paling bagus kepada Makhluk Yang Paling Ajaib, dan merupakan
dasar dari semua kasih sejati yang lain.].
Bible Knowledge Commentary (tentang Mat
22:34-40): “Jesus’ quick reply summarized the entire Decalogue. He
replied that the greatest commandment is to love the Lord... God with all one’s
heart... soul, and... mind (cf. Deut 6:5). He added that the second commandment
is to love one’s neighbor as oneself (cf. Lev 19:18). The first summarizes the
first table of the Law, and the second summarizes the second table.” [= Jawaban
yang cepat dari Yesus meringkas
seluruh 10 hukum Tuhan. Ia menjawab bahwa perintah / hukum yang terbesar
adalah mengasihi Tuhan ... Allah dengan seluruh hati ... jiwa, dan ... pikiran
seseorang (bdk. Ul 6:5). Ia menambahkan bahwa perintah / hukum kedua adalah
mengasihi sesama seseorang seperti dirinya sendiri (bdk. Im 19:18). Yang
pertama meringkas loh
(batu) pertama dari hukum Taurat, dan yang kedua meringkas loh (batu) yang kedua.].
Merupakan sesuatu yang konyol untuk
mengatakan bahwa hukum moral dari hukum Taurat dibatalkan, dan digantikan oleh
ringkasannya!
Bayangkan kalau saya berkhotbah, dan setelah
menguraikan secara panjang lebar, pada bagian akhir saya memberikan ringkasan dari khotbah itu. Apakah bagi jemaat, seluruh penjelasan panjang
lebar itu dibatalkan oleh ringkasannya??? Hanya orang bodoh yang
mempercayai hal itu!!
(3) Pada hukum kasih itu
tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi (Perjanjian Lama).
Mat 22:40 - “Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para
nabi.’”.
Barnes’ Notes
(tentang Mat 22:40): “Verse
40. ‘On these two commandments hang ...’ That is, these comprehend the
substance of what Moses in the law and what the prophets have spoken.” [= Ayat 40. ‘Pada kedua hukum
inilah tergantung ...’ Artinya, ini mencakup zat / hakekat dari apa yang Musa
dalam hukum Taurat dan apa yang kitab nabi-nabi telah katakan.].
Bible Knowledge Commentary (tentang Mat
22:34-40): “Jesus said, All the Law and the Prophets hang on these two
commandments, that is, all the Old Testament develops and amplifies these two
points: love for God and love for others, who are made in God’s image.” [=
Yesus berkata, Seluruh hukum Taurat dan kitab nabi-nabi tergantung pada dua
hukum ini, yaitu, seluruh Perjanjian Lama berkembang dan menguatkan kedua poin
ini: kasih untuk Allah dan kasih untuk sesama, yang dibuat dalam gambar Allah.].
b. Ro 13:8-10
- “(8) Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapapun juga, tetapi
hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab barangsiapa
mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat. (9)
Karena firman: jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan
mengingini dan firman lain manapun juga, sudah tersimpul dalam firman ini,
yaitu: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri! (10) Kasih tidak
berbuat jahat terhadap sesama manusia, karena itu kasih
adalah kegenapan hukum Taurat.”.
Calvin
(tentang Ro 13:8): “Paul
teaches us that the law is fulfilled when we love our neighbor, for no mention
is here made of what is due to God, which ought not by any means to have been
omitted. But Paul refers not to the whole law, but
speaks only of what the law requires from us as to our neighbor. And it is
doubtless true, that the whole law is fulfilled when we love our neighbors; for
true love towards man does not flow except from the love of God, and it is its
evidence, and as it were its effects.” [= Paulus mengajar kita bahwa hukum
Taurat digenapi pada waktu kita mengasihi sesama kita, karena tak disebutkan di
sini tentang apa yang menjadi hak Allah, yang tidak boleh dengan cara apapun
untuk dihapuskan. Tetapi Paulus tidak menunjuk pada
seluruh hukum, tetapi hanya berbicara tentang apa yang hukum Taurat tuntut dari
kita berkenaan dengan sesama kita. Dan tak diragukan bahwa adalah benar bahwa
seluruh hukum Taurat digenapi pada waktu kita mengasihi sesama kita; karena
kasih yang benar terhadap manusia tidak akan mengalir kecuali dari kasih kepada
Allah, dan itu adalah buktinya, dan seakan-akan adalah akibat / hasilnya.].
William Hendriksen (tentang Ro 13:8): “by adding ‘for he who loves his neighbor has
fulfilled the law’ it is made clear that all those with
whom the believer comes into contact - and of course particularly those with
special needs - are included. In fact, in a sense no one is excluded from this
all-embracing love. God’s holy law, to be sure, does not save anyone. ...
Nevertheless, once a person has been justified by faith, he, out of gratitude,
(is?) motivated and enabled by the Holy Spirit, desires to do what God wants
him to do. And this is found in the law of the Ten Commandments, as summarized in Lev 19:18, and later in the words of
Jesus as recorded in Matt. 22:39; Mark 12:31; Luke 10:27b.” [= dengan menambahkan ‘karena ia yang
mengasihi sesamanya telah menggenapi / memenuhi hukum Taurat’ dibuat jelas
bahwa semua mereka dengan siapa orang percaya berhubungan - dan tentu saja
secara khusus mereka dengan kebutuhan-kebutuhan khusus - tercakup. Sebenarnya,
dalam satu arti tak seorangpun dikeluarkan dari kasih yang memeluk semua ini.
Hukum Taurat kudus dari Allah, pasti tidak mengecualikan siapapun. ... Sekalipun demikian, sekali seseorang telah dibenarkan oleh
iman, ia, dari rasa terima kasih, dimotivasi dan dimampukan oleh Roh Kudus,
ingin untuk melakukan apa yang Allah inginkan ia lakukan. Dan ini ditemukan
dalam hukum dari 10 Hukum Tuhan, seperti yang diringkas dalam Im 19:18, dan
belakangan dalam kata-kata Yesus seperti yang dicatat dalam Mat 22:39; Mark
12:31; Luk 10:27b.].
Ro 13:9 - “Karena firman: jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan
mengingini dan firman lain manapun juga, sudah
tersimpul dalam firman ini, yaitu: Kasihilah sesamamu manusia seperti
dirimu sendiri!”.
Kata ‘firman’ salah terjemahan, seharusnya adalah ‘hukum / perintah’.
KJV/RSV/NASB: ‘commandment’ [= hukum / perintah].
William Hendriksen (tentang Ro 13:9): “The very fact that Paul mentions these
commandments in the order Nos. 7, 6, 8, 10 (cf. Exod. 20:1–17), not even
mentioning the fifth and the ninth, but covering
these with the summarizing expression ‘and whatever other commandment there may
be,’ shows that it is not his main intention to enter into the substance of
each separate ‘Thou shalt not.’ Rather he wishes to emphasize the one
great truth, namely, that all these commandments touching the believer’s attitude
toward his fellowmen ‘are brought together under one head’ in the one, great summarizing rule, ‘You shall love your
neighbor as yourself.’ This proves that every negative command (‘You shall
not’) is at bottom a positive command. The meaning, therefore is: ‘You shall
love, and therefore not commit adultery but preserve the sacredness of the
marriage-bond. You shall love, and therefore not murder but help your neighbor
keep alive and well. You shall love, and accordingly not steal anything that
belongs to your neighbor but rather protect his possessions. You shall love,
and as a result not covet what belongs to your neighbor but rejoice in the fact
that it is his.’” [= Fakta bahwa
Paulus menyebutkan hukum-hukum ini dalam urutan No 7,6,8,10 (bdk. Kel 20:1-17),
bahkan tidak menyebutkan hukum ke 5 dan ke 9, tetapi mencakup ini dengan
ungkapan yang meringkas ‘dan firman (seharusnya ‘hukum’) lain manapun juga’, menunjukkan bahwa bukanlah maksud utamanya untuk
masuk ke dalam substansi / pokok dari setiap ‘Jangan / Janganlah engkau’. Sebaliknya ia ingin menekankan satu kebenaran yang besar,
yaitu, bahwa semua hukum-hukum ini menyentuh sikap orang percaya terhadap
sesama manusianya ‘dibawa bersama-sama di bawah satu kepala’ dalam satu
peraturan / hukum besar yang meringkas, ‘Kamu harus mengasihi sesamamu seperti
dirimu sendiri’. Ini membuktikan bahwa setiap hukum yang bersifat negatif
(‘Janganlah’) pada dasarnya adalah suatu hukum yang bersifat positif. Karena
itu, artinya adalah: ‘Kamu harus mengasihi, dan karena itu tidak berzinah
tetapi menjaga kekudusan dari ikatan pernikahan. Kamu harus mengasihi, dan
karena itu tidak membunuh tetapi menolong sesamamu untuk tetap hidup dan
sejahtera. Kamu harus mengasihi, dan karena itu tidak mencuri apapun yang
merupakan milik sesamamu tetapi sebaliknya melindungi miliknya. Kamu harus
mengasihi, dan sebagai akibatnya tidak mengingini apa yang merupakan milik dari
sesamamu tetapi bersukacita dalam fakta bahwa itu adalah miliknya.’].
Catatan: kata-kata William Hendriksen ini jelas tidak
menunjukkan bahwa 10 Hukum Tuhan dihapuskan dan digantikan hukum kasih!
Sebaliknya 10 Hukum Tuhan itu tetap berlaku, dan ditafsirkan bersama-sama
dengan hukum kasih, maka masing-masing menjadi hukum yang bersifat positif!!
Ro 13:10 - “Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia, karena itu kasih
adalah kegenapan hukum Taurat.”.
William Hendriksen (tentang Ro 13:10): “In the words, ‘Love does no harm to the
neighbor,’ we have an example of a figure of speech called litotes. This
means that a negative expression of this type implies a strong affirmative. So,
‘He’s no fool’ may mean, ‘He is very shrewd.’ And similarly ‘Love does no harm
to the neighbor’ means ‘Love greatly benefits the neighbor.’ ‘… does no harm’
is an understatement for ‘greatly benefits.’ The reason that this truth is here
expressed negatively may well have been to make it coincide with the law’s
prohibitions.” [=
Dalam kata-kata, ‘Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia’, kita
mempunya suatu contoh dari suatu gaya bahasa yang disebut LITOTES. Ini berarti
bahwa suatu ungkapan dari jenis ini secara implicit menunjukkan suatu ungkapan
positif yang kuat. Jadi, ‘Ia bukan orang tolol’ bisa berarti ‘Ia sangat cerdik
/ licik’. Dan secara sama / mirip ‘Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama
manusia’ berarti ‘Kasih sangat menguntungkan / melakukan yang baik kepada
sesama manusia’ ‘... tidak berbuat jahat’ merupakan suatu pernyataan yang
kurang / mengecilkan untuk ‘Kasih menguntungkan / berbuat baik’. Alasan
sehingga kebenaran ini di sini dinyatakan secara negatif bisa untuk membuatnya
serupa dengan larangan-larangan hukum Taurat.].
John Stott (tentang Ro 13:8-10): “Now
that Paul repeats in chapter 13 his statement about our fulfilling the law, he
changes his emphasis from the means of the fulfilment (the Holy Spirit) to the
nature of it (love). Law and love are often thought to be incompatible. And
there are significant differences between them, law being often negative (‘you
shall not’) and love positive, law relating to particular sins and love being a
comprehensive principle. But the advocates of the
‘new morality’ or ‘situation ethics’ go considerably further than this. They
insist that now ‘nothing is prescribed except love’. In fact ‘love is the end
of law’ because law is no longer needed. Love has its own ‘built-in moral
compass’ which discerns intuitively what a true respect for persons will demand
in each situation. But this expresses
a naïve confidence in love’s infallibility. The truth is that love cannot manage on its own without
an objective moral standard. That is why Paul wrote not that ‘love is the end
of law’ but that ‘love is the fulfilment of the law’. For love and law need
each other. Love needs law for its direction, while law needs love for its
inspiration.” [= Sekarang
bahwa Paulus mengulang dalam pasal 13 pernyataannya tentang penggenapan kita
tentang hukum Taurat, ia mengubah penekanannya dari cara / jalan penggenapan
(Roh Kudus) kepada sifat dasarnya / hakekatnya (kasih). Hukum dan kasih sering
dianggap tidak cocok. Dan di sana ada perbedaan-perbedaan yang menyolok di
antara mereka, hukum sering bersifat negatif (‘jangan’) dan kasih bersifat
positif, hukum berhubungan dengan dosa-dosa khusus dan kasih adalah prinsip
yang luas / meliputi banyak hal. Tetapi pendukung-pendukung dari ‘moralitas baru’ atau ‘etika
situasi’ berjalan sangat lebih jauh dari pada ini. Mereka berkeras bahwa
sekarang ‘tak ada apapun yang diberikan sebagai peraturan kecuali kasih’.
Sebetulnya ‘kasih adalah akhir dari hukum Taurat’ karena hukum Taurat tak lagi
dibutuhkan. Kasih mempunyai ‘kompas moral yang terpasang tetap’ yang membedakan
secara intuitif apa yang dituntut suatu rasa hormat yang benar untuk
orang-orang dalam setiap situasi.
Tetapi ini mengungkapkan suatu keyakinan yang naif
/ bodoh dalam ketidak-bisa-bersalahan dari kasih. Kebenarannya adalah bahwa kasih
tidak bisa mengurus / mengatur dirinya sendiri tanpa suatu standard moral yang
obyektif. Itu sebabnya Paulus bukannya menulis bahwa ‘kasih adalah akhir
dari hukum Taurat’ tetapi bahwa ‘kasih adalah penggenapan dari hukum Taurat’.
Karena kasih dan hukum Taurat saling
membutuhkan. Kasih membutuhkan
hukum Taurat untuk pengarahannya, sedangkan hukum Taurat membutuhkan kasih sebagai inspirasinya.].
c. Gal 5:14 -
“Sebab seluruh hukum Taurat tercakup
dalam satu firman ini, yaitu: ‘Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu
sendiri!’”.
Kata ‘tercakup’ ini salah terjemahan.
KJV/RSV/NASB: ‘fulfilled’
[= digenapi].
William Hendriksen (tentang Gal 5:14): “Paul quotes Lev. 19:18. One can also
say that he is quoting the words of Jesus (Matt. 22:39, 40; Mark 12:31; Luke
10:27; cf. Matt. 7:12; 19:19; Rom. 13:8–10; and I Cor. 13). Love, then, is both
the summary
(interpretive epitome or condensation) and the realization in practice of the
entire God-given moral law, viewed as a unit. .. the apostle here refers
specifically to the second, not to the first, table of the law, but that first
table is in the background, for the two are inseparable (I John 4:20, 21).” [= Paulus
mengutip Im 19:18. Orang juga bisa mengatakan bahwa ia sedang
mengutip kata-kata Yesus (Mat 22:39,40; Mark 12:31; Luk 10:27; bdk. Mat 7:12;
19:19; Ro 13:8-10; dan 1Kor 13). Jadi, kasih
adalah baik ringkasan (ringkasan yang bersifat penafsiran atau penyingkatan)
dan realisasi dalam praktek dari seluruh hukum moral yang diberikan oleh Allah,
dipandang sebagai satu kesatuan. ... sang rasul di sini menunjuk
secara khusus pada loh batu yang kedua dari hukum Taurat, bukan yang pertama,
tetapi bahwa loh batu yang pertama ada di latar belakang, karena keduanya tak
terpisahkan (1Yoh 4:20-21).].
Bdk.
1Yoh 4:20-21 - “(20) Jikalau seorang berkata: ‘Aku
mengasihi Allah,’ dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena
barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi
Allah, yang tidak dilihatnya. (21) Dan perintah ini kita terima dari Dia: Barangsiapa
mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya.”.
John Stott (tentang Gal 5:14): “We must notice carefully what the
apostle writes. He does not say, as some of the ‘new moralists’ are saying,
that if we love one another we can safely break the
law in the interests of love, but that if we love one another we shall fulfil the
law, because the whole law is summed up in this one command, ‘You shall love
your neighbour as yourself.’ What is the Christian’s relation to the law? The
so-called ‘new morality’ forces the question upon us with some urgency. It is
quite true that Paul says to us, if we are Christians, that we have been set
free from the law, that we are no longer under the law and that we must not
submit again to the ‘yoke of slavery’ which is the law (verse 1). But we must
take pains to grasp what he means by these expressions. Our Christian freedom
from the law which he emphasizes concerns our relationship to God. It means
that our acceptance depends not on our obedience to the law’s demands, but on
faith in Jesus Christ who bore the curse of the law when He died. It certainly
does not mean that we are free to disregard or disobey the law. On the
contrary, although we cannot gain acceptance by keeping the law, yet once we
have been accepted we shall keep the law out of love for Him who has accepted
us and has given us His Spirit to enable us to keep it. In New Testament
terminology, although our justification depends not on the law but on Christ
crucified, yet our sanctification consists in the fulfilment of the law. Cf. Romans 8:3, 4. Moreover, if we
love one another as well as God, we shall find that we do obey His law because
the whole law of God - at least the second table of the law touching our duty
to our neighbour - is fulfilled in this one point: ‘You shall love your
neighbour as yourself’, and murder, adultery, stealing, covetousness and false
witness are all infringements of this law of love. Paul says the same thing in
6:2: ‘Bear one another’s burdens, and so fulfil the law of Christ.’” [= Kita harus memperhatikan dengan seksama
apa yang sang rasul tulis. Ia tidak mengatakan, seperti beberapa dari ‘moralist
baru’ sedang katakan, bahwa jika kita saling mengasihi kita bisa dengan aman
melanggar hukum Taurat untuk / demi kepentingan kasih, tetapi (ia mengatakan)
bahwa jika kita saling mengasihi kita akan menggenapi hukum Taurat, karena
seluruh hukum Taurat diringkas dalam satu perintah ini, ‘Kamu harus mengasihi
sesamamu seperti dirimu sendiri’. Apa hubungan orang Kristen dengan hukum Taurat?
Apa yang disebut ‘moralitas yang baru’ menekankan pertanyaan ini kepada kita
dengan mendesak. Adalah benar bahwa Paulus berkata
kepada kita, jika kita adalah orang-orang Kristen, yang telah dimerdekakan dari
hukum Taurat, bahwa kita tidak lagi berada di bawah hukum Taurat dan bahwa kita
tidak boleh tunduk lagi kepada ‘kuk perhambaan’ yang adalah hukum Taurat (ayat
1). Tetapi kita harus berusaha keras untuk menangkap apa yang ia maksudkan
oleh ungkapan-ungkapan ini. Kebebasan Kristen kita dari hukum Taurat yang
ia tekankan berkenaan dengan hubungan kita dengan Allah. Itu berarti bahwa
penerimaan kita tidak tergantung pada ketaatan kita pada tuntutan-tuntutan
hukum Taurat, tetapi pada iman kepada Yesus Kristus yang memikul kutuk dari
hukum Taurat pada waktu Ia mati. Itu pasti tidak berarti bahwa kita bebas
untuk mengabaikan atau tidak mentaati hukum Taurat. Sebaliknya,
sekalipun kita tidak bisa mendapatkan
penerimaan dengan mentaati hukum Taurat, tetapi sekali kita telah diterima
kita akan mentaati hukum Taurat dari kasih untuk Dia yang telah menerima kita
dan telah memberikan RohNya untuk memampukan kita untuk mentaatinya.
Dalam terminologi
Perjanjian Baru, sekalipun pembenaran kita tidak tergantung pada hukum Taurat
tetapi pada Kristus yang tersalib, tetapi
pengudusan kita terdiri dari penggenapan hukum Taurat. Bdk. Ro 8:3-4. Selanjutnya, jika kita mengasihi satu sama lain maupun Allah,
kita akan mendapati bahwa kita mentaati hukum TauratNya karena seluruh hukum
Taurat Allah - setidaknya loh batu yang kedua dari hukum Taurat menyentuh
kewajiban kita kepada sesama kita - digenapi dalam satu poin / pokok ini:
‘Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri’, dan pembunuhan, perzinahan,
pencurian, ketamakan dan saksi dusta adalah semua pelanggaran dari hukum kasih
ini. Paulus mengatakan hal yang sama dalam 6:2: ‘Bertolong-tolonganlah
menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.’].
Gal 5:1 - “Supaya kita sungguh-sungguh
merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan
jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan.”.
Ro 8:3-4 - “(3) Sebab apa yang tidak
mungkin dilakukan hukum Taurat karena tak berdaya oleh daging, telah dilakukan
oleh Allah. Dengan jalan mengutus AnakNya sendiri dalam daging, yang serupa
dengan daging yang dikuasai dosa karena dosa, Ia telah menjatuhkan hukuman atas
dosa di dalam daging, (4) supaya tuntutan hukum Taurat digenapi di dalam kita,
yang tidak hidup menurut daging, tetapi menurut Roh.”.
-bersambung-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar