Pada
tanggal 1 Juni 2012 yang lalu Pdt. Dr. Suhento Liauw
mengadakan
acara seminar "ESKATOLOGI" di Surabaya di
mana
seminar ini juga dihadiri oleh Pdt. Budi Asali, M. Div.
Berikut
ini adalah catatan dan tanggapan Pdt. Budi Asali terhadap hal-hal
yang dibicarakan
Suhento
Liauw dalam seminarnya :
Berikut
ini adalah tanggapan dari saya, Dr. Steven Liauw:
Pada
awalnya, saya tidak terlalu mengacuhkan tulisan Budi Asali ini. Toh
namanya seminar, wajar saja jika ada yang setuju dan ada yang tidak
setuju. Semua orang diminta untuk memeriksa segala sesuatu
berdasarkan Firman Tuhan. Lagipula, beberapa poin yang diangkat oleh
Budi Asali di sini, dijelaskan oleh Dr. Suhento Liauw dalam
seminarnya, jadi untuk menjawabnya seperti mengulang seminar lagi.
Saya merasa seperti Nehemia, yang menjawab “Aku tengah melakukan
suatu pekerjaan yang besar. Aku tidak bisa datang! Untuk apa
pekerjaan ini terhenti oleh sebab aku meninggalkannya dan pergi
kepada kamu!” (Neh. 6:3). Saya memang sedang sibuk dengan banyak
proyek pelayanan, dan perbantahan seperti ini biasanya tidak
berujung.
Tetapi,
Nehemia sekalipun, ketika dituduh sedang mau melakukan pemberontakan,
akhirnya mengirim pesan, “Hal seperti yang kausebut itu tidak
pernah ada. Itu isapan jempolmu belaka!” (Neh. 6:8). Demikianlah
beberapa tuduhan (terutama tuduhan fitnah) Budi Asali, adalah hal
yang tidak benar. Ini merupakan jawaban singkat saja. Saya tidak mau
panjang lebar, walaupun pembahasan tentang baptisan memang mau tidak
mau memakan lebih banyak tempat. Tujuan saya bukanlah untuk memulai
suatu ronde debat lagi. Toh, saya memang akan berdebat dengan Budi
Asali tanggal 24 Agustus masalah Kalvinisme. Ini hanyalah klarifikasi
beberapa hal, terutama mengenai tuduhan fitnah.
Tanggapan
balik Budi Asali:
Steven,
anda pandai menggunakan text alkitab secara sangat tak sesuai dengan
tujuan dan arti text yang sebenarnya. Untuk menunjukkan itu, saya
kutip seluruh kontext dari Neh 6 itu.
Neh
6:1 Ketika Sanbalat dan Tobia
dan Gesyem, orang Arab itu dan musuh-musuh kami yang lain mendengar,
bahwa aku telah selesai membangun kembali tembok, sehingga tidak ada
lagi lobang, walaupun sampai waktu itu di pintu-pintu gerbang belum
kupasang pintunya,
Neh
6:2 maka Sanbalat dan Gesyem mengutus orang kepadaku dengan pesan:
‘Mari, kita mengadakan
pertemuan bersama di Kefirim,
di lembah Ono!’ Tetapi
mereka berniat mencelakakan aku.
Neh
6:3 Lalu aku mengirim utusan kepada mereka dengan balasan: ‘Aku
tengah melakukan suatu pekerjaan yang besar. Aku tidak bisa datang!
Untuk apa pekerjaan ini terhenti oleh sebab aku meninggalkannya dan
pergi kepada kamu!’
Neh
6:4 Sampai empat kali mereka mengirim pesan semacam itu kepadaku dan
setiap kali aku berikan jawaban yang sama kepada mereka.
Neh
6:5 Lalu dengan cara yang sama untuk kelima kalinya Sanbalat
mengirim seorang anak buahnya kepadaku yang membawa surat yang
terbuka.
Neh
6:6 Dalam surat itu tertulis: ‘Ada desas-desus di antara
bangsa-bangsa dan Gasymu membenarkannya, bahwa engkau dan orang-orang
Yahudi berniat untuk memberontak, dan oleh sebab itu membangun
kembali tembok. Lagipula, menurut kabar itu, engkau mau menjadi raja
mereka.
Neh
6:7 Bahkan engkau telah menunjuk nabi-nabi yang harus memberitakan
tentang dirimu di Yerusalem, demikian: Ada seorang raja di Yehuda!
Sekarang, berita seperti itu akan didengar raja. Oleh sebab itu,
mari, kita sama-sama berunding!’
Neh
6:8 Tetapi aku mengirim orang
kepadanya dengan balasan: ‘Hal seperti yang kausebut itu tidak
pernah ada. Itu isapan jempolmu belaka!’
Neh
6:9 Karena mereka semua mau
menakut-nakutkan kami, pikirnya: ‘Mereka akan membiarkan pekerjaan
itu, sehingga tak dapat diselesaikan.’ Tetapi
aku justru berusaha sekuat tenaga.
Apa
tidak cocoknya? Nehemia bukan menghadapi serangan terhadap ajarannya,
tetapi mendapatkan ajakan untuk bertemu, yang ia tahu bahwa maksudnya
adalah untuk mencelakakan dia! Itu sebabnya ia tidak mau. Lalu pada
bagian akhir, apakah ia berubah dari tidak mau menjadi mau? Tidak, ia
mengatakan itu isapan jempolmu, dan ia
tetap tidak mau datang!
Apakah
ini cocok untuk digunakan dalam kasus anda? Saya
tidak mengajak anda melakukan pertemuan,
tetapi
saya menyerang ajaran ayah anda (Suhento Liauw).
Anda berubah dari tidak mau menjadi mau; ini justru bertentangan
dengan sikap Nehemia yang tetap
tidak mau!
Dalam
kasus suatu serangan terhadap ajaran, selama serangan itu serius,
maka ayat yang cocok adalah 1Pet 3:15b - “Dan
siap sedialah pada segala
waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang
meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada
padamu, tetapi haruslah
dengan lemah lembut dan hormat”.
Dan
karena dalam hal ini yang saya serang adalah Suhento Liauw, maka
dialah yang seharusnya menjawab, bukan anda! Kalau anda menambahkan,
tak masalah. Tetapi dia sendiri harus menjawab juga! Dimana pengecut
itu sembunyi?
Dalam
seminar itu, Suhento Liauw mengajarkan hal-hal ini:
1)
Seminar berhubungan dengan pengetahuan / pikiran, kalau KKR hanya
dengan perasaan. Karena
itu
dia buat seminar, bukan KKR.
Tanggapan
Budi Asali:
Omong
kosong, semua tergantung siapa yang berkhotbah dalam seminar atau KKR
itu. Kalau yang berkhotbah memang adalah orang-orang yang senang
mengobarkan emosi, baik KKR ataupun seminar akan berhubungan dengan
perasaan saja. Sebaliknya kalau yang berkhotbah adalah orangorang
yang memang menekankan pendidikan dan pengajaran, maka baik KKR
maupun seminar akan berhubungan dengan pikiran dan memberikan
pengetahuan.
Pernyataan
Dr. Suhento Liauw bahwa seminar lebih akademis dibandingkan KKR, dan
KKR lebih emosional dibandingkan seminar, adalah suatu pernyataan
kebenaran umum. Saya sendiri setuju dengan pernyataan tersebut. Ini
bukan berarti tidak ada pengecualian. Kalau Budi Asali merasa KKR
yang dia pimpin bersifat akademis, dari pihak kami sama sekali tidak
akan memprotes. Ini seperti pernyataan: “laki-laki lebih kuat
fisiknya daripada wanita.” Ini adalah pernyataan umum yang benar.
Apakah berarti tidak ada wanita yang lebih kuat fisiknya dari
laki-laki tertentu? Tentu ada. Memang pernyataan seperti ini adalah
generalisasi, tetapi dapat diterima umum, dan memang tidak
dimaksudkan sebagai pernyataan absolut. “Udara desa lebih segar
daripada udara kota” juga merupakan suatu pernyataan generalisasi
umum yang dapat kita aminkan. Bukan berarti ini absolut benar, karena
bisa saja di desa sedang kebakaran hutan. Dari formatnya saja,
seminar lebih mendukung ke arah penyampaian informasi dan argumentasi
secara akademis. Seminar juga biasanya lebih panjang waktunya. KKR
biasanya berformat kebaktian dengan khotbah. Saya rasa tidak ada yang
salah dengan generalisasi bahwa “seminar lebih akademis daripada
KKR” atau “seminar lebih ke pikiran, KKR ke perasaan (pengobaran
semangat).” Masingmasing ada tempatnya. Tetapi kalau Budi Asali
bersikukuh bahwa generalisasi ini salah, sebenarnya juga tidak akan
saya ributkan. Ini toh bukan kebenaran Alkitab. Pengalaman Dr.
Suhento, saya, dan juga saya yakin kebanyakan para pendengar seminar
itu, adalah bahwa generalisasi itu benar adanya.
Tanggapan
balik Budi Asali:
Saya
tetap beranggapan semua acara rohani, apakah menyampaikan
pengetahuan, atau hanya ‘main perasaan’, tergantung pada siapa
yang memberitakan Firman Tuhan. Anda mau percaya yang lain terserah.
Saya kira anda perlu mendengar saya membuat KKR. Jangankan KKR,
khotbah untuk kematian, pernikahan dsb, ataupun dalam renungan dalam
persekutuan rumah tangga, saya tetap menyampaikan pengetahuan!
2)
Kalau ada free will - harus ada pilihan, berbuat dosa atau berbuat
baik.
Tanggapan
Budi Asali:
Jawaban
tentang kebodohan ini tidak saya berikan di sini karena ini
berhubungan dengan debat tanggal 24 Agustus 2012 antara Esra + saya
vs Steven Liauw + partnernya. Saya tak mau tunjukkan ‘senjata’
saya sebelum debat tanggal 24 Agustus itu terlaksana.
Saya
aminkan pernyataan Dr. Suhento Liauw. Tidak perlu komentar lain.
Tanggapan
balik Budi Asali:
Coba
keluarkan kata-kata ini dalam debat tanggal 24 Agustus. Hehe, saya
yakin bisa saya habisi!
3)
Ia percaya komandan setan namanya Lucifer.
Tanggapan
Budi Asali:
Ini
memang kesalahan yang umum, tetapi salah. Kata / nama ‘Lucifer’
muncul dalam terjemahan KJV dalam Yes 14:12 (dalam Kitab Suci
Indonesia diterjemahkan ‘Bintang Timur’), dan kalau saudara
membaca kontextnya jelas bahwa istilah ini menunjuk kepada raja
Babel, bukan kepada komandan setan.
Yes
14:4,12,22,23 - “(4)
maka engkau akan memperdengarkan ejekan ini tentang raja Babel, dan
berkata: ‘Wah, sudah berakhir si penindas sudah berakhir orang
lalim! ... (12) ‘Wah, engkau sudah jatuh dari langit, hai Bintang
Timur, putera Fajar, engkau sudah dipecahkan dan jatuh ke bumi, hai
yang mengalahkan bangsa-bangsa! ... (22) ‘Aku akan bangkit melawan
mereka,’ demikianlah firman TUHAN semesta alam, ‘Aku akan
melenyapkan nama Babel dan sisanya, anak cucu dan anak cicitnya,’
demikianlah firman TUHAN. (23) ‘Aku akan membuat Babel menjadi
milik landak dan menjadi air rawa-rawa, dan kota itu akan Kusapu
bersih dan Kupunahkan,’ demikianlah firman TUHAN semesta alam”.
Yes
14:12 (KJV): ‘How
art thou fallen from heaven, O Lucifer, son of the morning! how art
thou cut down to the ground, which didst weaken the nations!’.
Calvin
(tentang Yes 14:12): “The
exposition of this passage, which some have given, as if it referred
to Satan, has arisen from ignorance; for the context plainly shows
that these statements must be understood in reference to the king of
the Babylonians. But when passages of Scripture are taken at random,
and no attention is paid to the context, we need not wonder that
mistake of this kind frequently arise. Yet it was an instance of very
gross ignorance, to imagine that Lucifer was the king of devils, and
that the Prophet gave him this name. But as these inventions have no
probability whatever, let us pass by them as useless fables” (=
Exposisi yang diberikan oleh beberapa orang tentang text ini,
seakan-akan text ini menunjuk kepada setan / berkenaan dengan setan,
muncul / timbul dari ketidaktahuan; karena kontex secara jelas
menunjukkan bahwa pernyataan-pernyataan ini harus dimengerti dalam
hubungannya dengan raja Babel. Tetapi pada waktu bagian-bagian Kitab
Suci diambil secara sembarangan, dan kontex tidak diperhatikan, kita
tidak perlu heran bahwa kesalahan seperti ini muncul / timbul. Tetapi
itu merupakan contoh dari ketidaktahuan yang sangat hebat, untuk
membayangkan bahwa Lucifer adalah raja dari setan-setan, dan bahwa
sang nabi memberikan dia nama ini. Tetapi karena penemuan-penemuan
ini tidak mempunyai kemungkinan apapun, marilah kita mengabaikan
mereka sebagai dongeng / cerita bohong yang tidak ada gunanya) -
hal 442.
Adam
Clarke (tantang Yes 14:12) : “And
although the context speaks explicitly concerning Nebuchadnezzar, yet
this has been, I know not why, applied to the chief of the fallen
angels, who is most incongruously denominated Lucifer, (the bringer
of light!) an epithet as common to him as those of Satan and Devil.
That the Holy Spirit by his prophets should call this arch-enemy of
God and man the light-bringer, would be strange indeed. But the truth
is, the text speaks nothing at all concerning Satan nor his fall, nor
the occasion of that fall, which many divines have with great
confidence deduced from this text. O how necessary it is to
understand the literal meaning of Scripture, that preposterous
comments may be prevented!”
[=
Dan sekalipun kontexnya berbicara secara explicit tentang
Nebukadnezar, tetapi entah mengapa kontex ini telah diterapkan kepada
kepala dari malaikat-malaikat yang jatuh, yang secara sangat tidak
pantas disebut / dinamakan Lucifer (pembawa terang!), suatu julukan
yang sama umumnya bagi dia, seperti Iblis dan Setan. Bahwa Roh Kudus
oleh nabiNya menyebut musuh utama dari Allah dan manusia sebagai
pembawa terang, betul-betul merupakan hal yang sangat aneh. Tetapi
kebenarannya adalah, text ini tidak berbicara sama sekali tentang
Setan maupun kejatuhannya, ataupun saat / alasan kejatuhan itu, yang
dengan keyakinan yang besar telah disimpulkan dari text ini oleh
banyak ahli theologia. O alangkah pentingnya untuk mengerti arti
hurufiah dari Kitab Suci, supaya komentar-komentar yang gila-gilaan /
tidak masuk akal bisa dicegah!] -
hal 82.
Apakah
kita perlu mengadu banyak komentator? Saya rasa tidak. Di komputer
saya kebetulan ada komentari elektronik dari Guzik, jadi saya copy
paste saja ulasan dia tentang Yesaya 14:12.
“The
prophetic habit of speaking to both a near and a distant fulfillment,
the prophet will sometimes speak more
to
the near or more
to
the distant. Here is a good example of Isaiah speaking more
to
the distant, ultimate fulfillment. It is true that the king of
literal Babylon shined brightly among the men of his day, and fell as
hard and as completely as if a man were to fall from heaven. But
there was a far more brightly shining being who inhabited heaven, and
fell even more dramatically - the king of spiritual Babylon, Satan.”
(Saya tidak terjemahkan, saya percaya para pembaca mengerti).
Tanggapan
balik Budi Asali:
Katanya
tak mau mengadu komentator? Kok memberikan kata-kata penafsir?
Saya
tanggapi kata-kata penafsir anda itu: Saya sendiri juga percaya bahwa
nubuat-nubuat bisa mempunyai penggenapan sebagian, lalu mempunyai
penggenapan lagi (kadang-kadang sampai beberapa kali) dan akhirnya
ada penggenapan akhir. Contoh Mat 24, yang sebagian digenapi dalam
kehancuran Yerusalem tahun 70 M tetapi penggenapan akhir dan total
adalah pada saat kedatangan Kristus yang keduakalinya.
Tetapi
itu sangat tidak masuk akal untuk diterapkan pada ‘Lucifer’ ini.
Kalau itu menunjuk kepada rasa Babel, lalu penggenapan akhir
menunjuk kepada komandan setan, itu sangat tidak cocok, karena
kejatuhan komandan setan sudah terjadi jauh
lebih dulu!
Hmmm, penafsir anda tak punya logika! Dan dengan percaya kepadanya,
anda sama dengan dia! Orang buta memimpin orang buta?
Banyak
sekali theolog lain yang bisa saya kutip yang berpendapat bahwa
Lucifer adalah Satan, tetapi tidak perlu, karena komentator bukan
standar kebenaran. Memang banyak komentator di abadabad pertengahan
percaya ini bukan Satan, tetapi banyak komentar-komentar yang lebih
baru melihat bahwa ini adalah Satan. Ini trend yang saya lihat.
Posisi
Dr. Suhento tidaklah unik di poin ini.
Yesaya 14:4 memang menyebut raja Babel. Dan dari ayat 4-11 diakui
umum mengacu kepada raja Babel. Tetapi ayat 12-15 tidak cocok kepada
raja Babel jasmani. Di ayat 13 dan 14 dikatakan bahwa pribadi “raja
Babel” ini mau menyamai Allah, mendirikan takhta di atas
bintang-bintang Allah. Ini tidak cocok sama sekali untuk raja Babel
jasmani, tetapi cocok untuk Satan. Adalah lazim dalam literatur genre
prophetic, untuk beralih cepat dari nubuat jangka pendek, ke nubuat
jangka panjang, atau sebaliknya. Contohnya adalah Yesaya 7:14-17.
Jelas Yesaya 7:14 mengacu kepada Yesus Kristus, yang masih 700an
tahun setelah Yesaya. Tetapi ayat 17 mengacu kepada situasi politik
lokal saat itu. Memang ada perbedaan pendapat (yang saya tidak akan
bahas di sini) mengenai apakah ayat 15 mengacu kepada Yesus atau
situasi lokal. Tetapi intinya, adanya double prophecy, itu adalah
sesuatu yang lazim. Masih banyak contoh lain.
Tanggapan
balik Budi Asali:
Saya
sudah katakan itu penafsiran umum,
tetapi salah! Dalam jawaban saya kepada Dji Ji Liong saya sudah
jelaskan bahwa itu bahasa puisi, jadi tak boleh dihurufiahkan, dan
kalau tak dihurufiahkan, tentu saja cocok dengan raja Babel.
Hmm,
tentang Yes 7:14 saya tak yakin saya setuju dengan anda. Memang saya
tahu ada dua macam penafsiran tentang hal ini. Tetapi saya lebih
setuju pada single
reference theory, yang mengatakan bahwa ini hanya
menunjuk kepada Yesus Kristus. Tetapi ini di luar kontext pembahasan
kita. Saya tak mau memperpanjang hal ini.
Yehezkiel
28:12-16 juga dimengerti mengacu kepada Satan, walaupun ada konteks
tentang Raja Tirus. Mengapa? Karena raja Tirus tidak mungkin berada
di Eden (Yeh. 28:13), atau berjalan-jalan dekat kerub (ay. 14). Kalau
Yesaya 14 dan Yehezkiel tidak mengacu kepada Satan, artinya kita
tidak diberitahu oleh Alkitab sama sekali tentang alasan kejatuhan
Satan. Menurut saya ini agak aneh. Satan
adalah
salah satu pribadi yang banyak berperan dalam Alkitab. Saya percaya
Yesaya 14 dan Yehezkiel
28
adalah cara Tuhan memberitahu kita tentang mengapa ia jatuh.
Tanggapan
balik Budi Asali:
Saya
tahu text ini juga dipakai untuk menunjuk kepada komandan setan.
Tetapi sama seperti dalam kasus Yes 14, saya juga tak setuju dengan
hal ini. Yang ini menunjuk kepada raja Tirus. Ay 13,14 lagi-lagi
bahasa puisi, bukan hurufiah.
Yeh
28:1 Maka datanglah firman TUHAN kepadaku:
Yeh
28:2 ‘Hai anak manusia, katakanlah kepada raja
Tirus: Beginilah firman Tuhan
ALLAH: Karena engkau menjadi tinggi hati, dan berkata: Aku adalah
Allah! Aku duduk di takhta Allah di tengah-tengah lautan. Padahal
engkau adalah manusia,
bukanlah Allah, walau hatimu menempatkan diri sama dengan Allah.
Yeh
28:3 Memang hikmatmu melebihi hikmat Daniel; tiada rahasia yang
terlindung bagimu.
Yeh
28:4 Dengan hikmatmu dan pengertianmu engkau memperoleh kekayaan.
Emas dan perak kaukumpulkan dalam perbendaharaanmu.
Yeh
28:5 Karena engkau sangat
pandai berdagang engkau
memperbanyak kekayaanmu, dan karena itu engkau jadi sombong.
Yeh
28:6 Oleh sebab itu beginilah firman Tuhan ALLAH: Karena hatimu
menempatkan diri sama dengan Allah
Yeh
28:7 maka, sungguh, Aku
membawa orang asing melawan engkau, yaitu bangsa yang paling ganas,
yang akan menghunus pedang mereka, melawan hikmatmu yang terpuja; dan
semarakmu dinajiskan.
Yeh
28:8 Engkau diturunkannya ke
lobang kubur, engkau mati seperti orang yang mati terbunuh di tengah
lautan.
Yeh
28:9 Apakah engkau masih akan mengatakan di hadapan pembunuhmu: Aku
adalah Allah!? Padahal terhadap kuasa penikammu engkau
adalah manusia, bukanlah Allah.
Yeh
28:10 Engkau akan mati seperti orang tak bersunat oleh tangan orang
asing. Sebab Aku yang mengatakannya, demikianlah firman Tuhan ALLAH.’
Yeh
28:11 Lalu datanglah firman TUHAN kepadaku:
Yeh
28:12 ‘Hai anak manusia, ucapkanlah suatu ratapan mengenai raja
Tirus dan katakanlah kepadanya:
Beginilah firman Tuhan ALLAH: Gambar dari kesempurnaan engkau, penuh
hikmat dan maha indah.
Yeh
28:13 Engkau di taman Eden,
yaitu taman Allah penuh segala batu permata yang berharga: yaspis
merah, krisolit dan yaspis hijau, permata pirus, krisopras dan
nefrit, lazurit, batu darah dan malakit. Tempat tatahannya diperbuat
dari emas dan disediakan pada hari penciptaanmu.
Yeh
28:14 Kuberikan tempatmu dekat kerub yang berjaga, di gunung kudus
Allah engkau berada dan berjalan-jalan di tengah batu-batu yang
bercahaya-cahaya.
Yeh
28:15 Engkau tak bercela di dalam tingkah lakumu sejak hari
penciptaanmu sampai terdapat kecurangan padamu.
Yeh
28:16 Dengan dagangmu yang
besar engkau penuh dengan kekerasan
dan engkau berbuat dosa. Maka Kubuangkan engkau dari gunung Allah dan
kerub yang berjaga membinasakan engkau dari tengah batu-batu yang
bercahaya.
Yeh
28:17 Engkau sombong karena kecantikanmu, hikmatmu kaumusnahkan demi
semarakmu. Ke bumi kau Kulempar, kepada
raja-raja engkau Kuserahkan menjadi tontonan bagi matanya.
Yeh
28:18 Dengan banyaknya
kesalahanmu dan kecurangan dalam dagangmu
engkau melanggar kekudusan tempat kudusmu. Maka Aku menyalakan api
dari tengahmu yang akan memakan habis engkau. Dan Kubiarkan engkau
menjadi abu di atas bumi di hadapan semua yang melihatmu.
Yeh
28:19 Semua di antara bangsa-bangsa yang mengenal engkau kaget
melihat keadaanmu. Akhir hidupmu mendahsyatkan dan lenyap selamanya
engkau.’
Perhatikan
bagian-bagian yang saya garis-bawahi, apakah cocok untuk komandan
setan!
Dan
sama seperti Yes 14, tak mungkin nubuat ini punya penggenapan akhir
dalam bentuk kejatuhan komandan setan, yang
terjadi jauh sebelumnya!
Apakah
Tuhan harus memberitahu segala sesuatu kepada kita? Tujuan Alkitab
yang terutama adalah memperkenalkan Allah kepada kita dan supaya kita
mengenal jalan keselamatan. Untuk apa tahu kejatuhan setan? Ini
memang diceritakan, tetapi hanya secara samar-samar dalam alkitab!
Secara sama saya tanya: mengapa Yesus antara usia 12 - 30 tahun tidak
ada ceritanya dalam Alkitab? Kehidupan Yesus sebagai remaja / pemuda,
bukankah penting sebagai teladan dari pemuda remaja jaman sekarang?
Mengapa tidak ada? Bdk. Yoh 20:30-31.
Yoh
20:30 Memang masih banyak tanda lain yang dibuat Yesus di depan mata
murid-murid-Nya, yang tidak
tercatat dalam kitab ini,
Yoh
20:31 tetapi semua yang
tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah
Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup
dalam namaNya.
Menurut
saya ini ayat-ayat yang sungguh-sungguh berbicara tentang kejatuhan
setan.
a) 2Pet 2:4 - “Sebab
jikalau Allah tidak menyayangkan malaikat-malaikat yang berbuat dosa
tetapi melemparkan mereka ke dalam neraka dan dengan demikian
menyerahkannya ke dalam gua-gua yang gelap untuk menyimpan mereka
sampai hari penghakiman”.
Untuk
menafsirkan ayat ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
Kata
‘neraka’ di sini diterjemahkan dari kata bahasa Yunani TARTARUS
yang hanya dipergunakan satu kali ini saja dalam Kitab Suci. Karena
itu sukar diketahui artinya secara pasti.
Bagian
ini tidak boleh ditafsirkan seakan-akan setan sudah masuk neraka,
karena ini akan bertentangan dengan Mat 8:29 Mat 25:41
Wah 20:10 yang menunjukkan secara jelas bahwa saat ini setan
belum waktunya masuk neraka. Hal itu baru akan terjadi pada
kedatangan Yesus yang keduakalinya.
Disamping
itu, kalau ditafsirkan bahwa setan sudah masuk ke neraka, maka itu
akan bertentangan dengan 2Pet 2:4 itu sendiri, yang pada bagian
akhirnya berbunyi: ‘dan dengan demikian menyerahkannya ke dalam
gua-gua yang gelap untuk
menyimpan mereka sampai hari penghakiman’.
Jadi,
mungkin bagian ini hanya menunjukkan kepastian
bahwa setan akan masuk neraka.
b) 1Tim 3:6 - “Janganlah
ia seorang yang baru bertobat, agar jangan ia menjadi sombong dan
kena hukuman Iblis”.
c) Yudas 6 - “Dan
bahwa Ia menahan malaikat-malaikat yang tidak taat pada batas-batas
kekuasaan mereka, tetapi yang meninggalkan tempat kediaman mereka,
dengan belenggu abadi di dalam dunia kekelaman sampai penghakiman
pada hari besar”.
Jadi,
mungkin sekali ia yang diciptakan sebagai malaikat, merasa sombong
dan tidak puas dengan kedudukannya, lalu ingin menjadi lebih tinggi
dan ingin menjadi Allah. Karena itu tidak heran ia meminta Yesus
menyembahnya (Mat 4:9) dan ia menggoda Hawa dengan keinginan
untuk menjadi seperti Allah (Kej 3:5).
4)
Waktu Nuh keluar dari bahtera, lalu beri persembahan kepada Allah,
dan Allah mencium baunya
dan
lalu ‘menjadi bahagia’!
Tanggapan
Budi Asali:
a)
Dari mana gerangan omong kosong itu? Dalam Kitab Suci saya tak ada!
Kej
8:20-22 - “(20)
Lalu Nuh mendirikan mezbah bagi TUHAN; dari segala binatang yang
tidak haram dan dari segala burung yang tidak haram diambilnyalah
beberapa ekor, lalu ia mempersembahkan korban bakaran di atas mezbah
itu. (21) Ketika TUHAN mencium persembahan yang harum itu,
berfirmanlah TUHAN dalam hatiNya: ‘Aku takkan mengutuk bumi ini
lagi karena manusia, sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat
dari sejak kecilnya, dan Aku takkan membinasakan lagi segala yang
hidup seperti yang telah Kulakukan. (22) Selama bumi masih ada,
takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin dan panas,
kemarau dan hujan, siang dan malam.’”.
b)
Kalau Allah ‘menjadi bahagia’, berarti tadinya tidak bahagia?
Mazmur
147:11 berbunyi “TUHAN senang kepada orang-orang yang takut akan
Dia, kepada orangorang yang berharap akan kasih setia-Nya.”
Apakah
sebelum adanya orang-orang yang takut kepada Dia itu, Tuhan tidak
senang? Dalam KJV, istilahnya adalah “taketh pleasure.” Apakah
sebelumnya Tuhan tidak punya “pleasure”? Tentu penafsirannya
bukan demikian. Maksudnya adalah Tuhan berkenan kepada orang-orang
yang takut akan Dia. Bukan Tuhan itu “murung” sebelumnya, lalu
menjadi senang setelah ada yang takut akan Dia.
Prinsip
yang sama inilah yang Dr. Suhento sampaikan. Tuhan “menjadi
bahagia” atas tindakan Nuh. Tuhan berkenan atas tindakan itu.
Alkitab memakai istilah “persembahan yang harum,” untuk
menyatakan perkenanan Tuhan. Bukan berarti sebelumnya tidak bahagia
secara absolut. Memang sebelum ada tindakan Nuh itu, Tuhan tidak bisa
berbahagia atas tindakan itu. (Apalagi dosa manusia sebelum air bah,
pastinya menyedihkan Tuhan). Setelah ada tindakan itu, Tuhan “menjadi
bahagia” atas
tindakan
itu. Penggunaan kata-kata haruslah dilihat dalam konteksnya, termasuk
frase “menjadi bahagia.”
Tanggapan
balik Budi Asali:
Saya
mengkritik penggunaan kata ‘menjadi’ yang tidak tepat! Anda sama
tak mengertinya dengan Dji Ji Liong tentang maksud saya, atau sama
pura-pura tak mengertinya dengan dia tentang maksud saya! Kalau
Suhento Liauw sekedar mengatakan ‘Allah berkenan’, itu OK. Tetapi
‘menjadi
bahagia’???
5)
Darah di ambang pintu (tulah ke 10) diberikan di atas, kiri dan
kanan, membentuk salib! Juga ular tembaga ditaruh di atas tiang,
supaya tidak melorot diberi kayu horizontal, dan lagi-lagi membentuk
salib!
Tanggapan
Budi Asali:
Tafsiran
kampungan dan menambahi Alkitab (bertentangan dengan Sola Scriptura)!
Kel
12:7 - “Kemudian
dari darahnya haruslah diambil sedikit dan dibubuhkan pada kedua
tiang pintu dan pada ambang atas, pada rumah-rumah di mana orang
memakannya.”.
Memang
ada kata-kata ‘kedua tiang pintu’, berarti di kiri dan kanan,
lalu ada ‘ambang atas’, berarti di atas, tetapi kalau tidak ada
‘di bawah’, bagaimana bisa membentuk salib???
Lalu
tentang peristiwa ular tembaga, mari kita lihat ceritanya dalam
Alkitab.
Bil
21:4-9 - “(4)
Setelah mereka berangkat dari gunung Hor, berjalan ke arah Laut
Teberau untuk mengelilingi tanah Edom, maka bangsa itu tidak dapat
lagi menahan hati di tengah jalan. (5) Lalu mereka berkata-kata
melawan Allah dan Musa: ‘Mengapa kamu memimpin kami keluar dari
Mesir? Supaya kami mati di padang gurun ini? Sebab di sini tidak ada
roti dan tidak ada air, dan akan makanan hambar ini kami telah muak.’
(6) Lalu TUHAN menyuruh ular-ular tedung ke antara bangsa itu, yang
memagut mereka, sehingga banyak dari orang Israel yang mati. (7)
Kemudian datanglah bangsa itu mendapatkan Musa dan berkata: ‘Kami
telah berdosa, sebab kami berkata-kata melawan TUHAN dan engkau;
berdoalah kepada TUHAN, supaya dijauhkanNya ular-ular ini dari pada
kami.’ Lalu Musa berdoa untuk bangsa itu. (8) Maka berfirmanlah
TUHAN kepada Musa: ‘Buatlah ular tedung dan taruhlah itu pada
sebuah tiang; maka setiap orang yang terpagut, jika ia melihatnya,
akan tetap hidup.’ (9) Lalu Musa membuat ular tembaga dan
menaruhnya pada sebuah tiang; maka jika seseorang dipagut ular, dan
ia memandang kepada ular tembaga itu, tetaplah ia hidup”.
Dimana
gerangan ada kata-kata ‘supaya tidak melorot lalu diberi kayu
horizontal’? Lagi mengigau, Pak Suhento? Hal lain yang harus
diketahui adalah: sebetulnya kita tidak tahu bagaimana bentuk salib
Kristus. Kata ‘salib’ dalam bahasa Yunani adalah STAUROS,
dan sebetulnya berarti ‘an upright
pole’ (= tiang tegak). Dan salib
yang paling awal memang hanya
berbentuk satu tiang tegak. Karena itu tak perlu merasa heran kalau
Saksi Yehuwa menggunakan tiang tegak sebagai salib Kristus. Tetapi
memang belakangan muncul variasi-variasi bentuk salib, sehingga ada
yang berbentuk X, Y, T, dan juga seperti salib yang kita kenal. Lalu
yang mana yang merupakan salib yang digunakan untuk Yesus?
Satu-satunya alasan untuk memilih salib yang paling umum adalah
karena dikatakan bahwa di atas kepala Yesus dituliskan kata-kata
‘Yesus dari Nazaret, raja orang Yahudi’. Kalau salib berbentuk X,
Y, atau T, dimana tulisan itu mau diletakkan? Jadi, dipilih salib
yang kita kenal itu.
Tetapi
ini argumentasi yang sangat lemah, karena untuk salib yang manapun,
bisa diberi tulisan, menggunakan papan yang diikat dengan tali.
Apalagi salib yang berbentuk tiang tegak, tentu tak ada masalah
dengan pemberian tulisan itu. Kesimpulan: bahwa salib Yesus dikatakan
berbentuk seperti yang sekarang kita kenal, merupakan sesuatu yang
sangat tidak pasti!
Wah,
wah, wah...heran juga, saya yang sudah berpuluh-puluh kali
mendengarkan seminar Dr. Suhento Liauw, ketika mendengarkan bagian
ini tidak
pernah mendapatkan kesan bahwa Dr. Suhento Liauw menambahi Alkitab.
Tidak
pernah terkesan bagi saya bahwa Dr. Suhento Liauw mengatakan masalah
bentuk salib (baik di darah Paskah ataupun di ular tembaga) adalah
sesuatu yang tercantum dalam Alkitab.
Kalau saya mendengarkan penjelasan
Dr. Suhento Liauw, yang saya tangkap itu adalah inferensi
dia, dan penjelasan
dia atas teks Alkitab. Beberapa
saudara yang ikut dalam seminar di Surabaya lalu juga merasa
demikian. Mereka tidak merasa bahwa Dr. Suhento mencoba menambahkan
kata-kata ke dalam Alkitab. Saya heran kenapa Budi Asali mendapat
kesan demikian. Barangkali telah terjadi pencampuradukan dalam
pikiran Budi Asali antara penafsiran-inferensi
dengan isi
Alkitab itu sendiri. Mungkin Budi
Asali tidak membedakan antara Dr.
Liauw menjelaskan Alkitab dengan mengutip Alkitab.
Benarkah
Budi Asali mendengar Dr. Suhento Liauw berkata bahwa “Alkitab
mencatat ada bentuk salib?” Ataukah itu hanya suatu simbolisme yang
Dr. Suhento Liauw tafsir dan inferensikan dari ayat-ayat yang ada?
Melakukan inferensi atas sesuatu yang tidak eksplisit tertulis dalam
Alkitab adalah hal yang wajar dan lazim dilakukan. Memang, itu bukan
kebenaran absolut, karenanya hanya inferensi, tetapi Dr. Liauw tidak
menjabarkan masalah ini sebagai kebenaran absolut.
Tanggapan
balik Budi Asali:
Kalau
itu sekedar suatu cerita sejarah, dan penjelasannyapun hanya cerita,
apakah penjelasan itu perlu? Dan apakah boleh memberikan penjelasan
dalam bentuk cerita terhadap cerita yang ada dalam Alkitab? Menurut
saya itu hanya boleh kalau kontext menuntut hal itu. Jadi misalnya
ceritanya tak jelas, seakan-akan meloncat, atau bertentangan dengan
text lain, maka perlu diberi penjelasan. Tetapi dalam kasus ular
tembaga dan darah domba Paskah kasusnya tidak demikian!
Apa
yang Suhento Liauw lakukan sangat berbeda dengan orang yang
betul-betul melakukan penafsiran! Anda tak bisa membedakan antara
orang yang melebih-lebihkan suatu cerita sehingga tak cocok dengan
aslinya, dengan orang yang menafsir!
Yang
ikut seminar (dari kalangan gereja anda) maupun anda tak merasa bahwa
Suhento Liauw menambahi Alkitab? Saya tak heran. Coba tanya
orang-orang dalam kalangan Saksi Yehuwa, apakah mereka merasa bahwa
penatua mereka atau buku-buku mereka mengajarkan ajaran sesat? Coba
tanya orang-orang dari gereja yang Liberal / Katolik / Kharismatik ,
apakah mereka merasa bahwa pendeta-pendeta mereka mengajarkan ajaran
salah / sesat?
Kalau
Budi Asali tidak setuju dengan penafsiran Dr. Suhento Liauw, saya
sama sekali tidak ada masalah. Itu kehendak bebas dia! Tetapi untuk
mengatakan bahwa Dr. Suhento Liauw menambahi Alkitab, itu sudah
merupakan suatu pernyataan yang salah. Saya sempat cek di internet,
karena penasaran, apakah ada orang lain yang melihat simbolisme yang
sama yang Dr. Suhento lihat dalam pemolesan darah domba Paskah.
Tanggapan
balik Budi Asali:
Kalau
di cerita dalam Alkitab tak ada, dan dia adakan, itu jelas menambahi
Alkitab dan bertentangan dengan SOLA SCRIPTURA!
Saya
dapatkan kutipan berikut (saya sama sekali tidak kenal kelompok
pembuat website ini): “What is truly remarkable, is the manner in
which the blood at the Passover was applied to the door posts. First,
the blood was applied to the cross beam in the center, then the blood
would drip down from there, hitting the ground. Secondly, the left
and the right sides of the door frame were likewise marked. This act
was in the perfect shape of a cross.”
(http://www.yhwh.com/Cross/cross8.htm)
Terjemahan: “Yang sangat luar biasa, adalah cara darah Paskah
diaplikasikan ke tiang pintu. Pertama, darah diaplikasikan ke kusen
atas di tengah, lalu darah akan menetes dari sana, mengenai tanah.
Kedua, sisi kiri dan kanan bingkai pintu, juga ditandai dengan cara
yang sama. Tindakan ini adalah dalam bentuk sempurna sebuah salib.”
Saya tidak kenal siapa yang membuat artikel itu, tetapi ini
menunjukkan bahwa apa yang Dr. Suhento lihat, ternyata dilihat juga
oleh orang lain. Ini bukan masalah menambahi Alkitab. Memang Alkitab
tidak bilang secara eksplisit. Tetapi
kita diberi otak oleh Tuhan untuk bisa melihat banyak hal yang tidak
tertulis langsung dalam Alkitab.
Tanggapan
balik Budi Asali:
Hmmm,
makanan rohani anda seperti itu, tak heran anda jadi Arminian, dan
terutama tak heran kalian mengajar yang aneh-aneh seperti ‘Rabu
Agung’, ‘pendeta tak boleh beri berkat dalam kebaktian’ dan
sebagainya. Saya tahu dalam dunia penafsir, banyak yang gila dan
bodoh. Saya tak heran kalau anda bisa mendapatkan kutipan seperti
itu. Tetapi
persoalannya: haruskah kita mempercayai ajaran yang jelas tak cocok
dengan Alkitab?
Jadi,
kalau Suhento Liauw tidak unik dalam hal ini, itu tak membuktikan dia
benar.
Steven,
jujur saja, apakah kalimat terakhir anda di atas, yang saya
garis-bawahi itu, tidak berbahaya, bahkan
sangat berbahaya??
Kalau otak kita boleh menambahi apa yang tidak tertulis dalam
Alkitab, tanpa dasar apapun, ayat manapun dengan mudah menjadi ajaran
sesat!
Kalau
Budi Asali bilang ini penafsiran kampungan, itu hak dia. Tiap orang
kan bisa menilai sendiri. Saya
pribadi melihatnya sebagai sesuatu yang sangat indah, dan Tuhan
secara subtle mengisyarakatkan
sesuatu. Hanya, kalau dikatakan “menambahi Alkitab,” nah ini
justru yang aneh, dan tidak bisa membedakan apa itu penafsiran dan
apa itu pengutipan Alkitab. Hal yang sama berlaku untuk masalah ular
tembaga. Teks berkata “tiang.” Teks
memang tidak berkata bahwa ada kayu horizontal, tetapi teks juga
tidak mengatakan tidak ada.
Jadi, ini adalah penafsiran yang TIDAK BERTENTANGAN dengan data
Alkitab. Ini bukan menambahi Alkitab, tetapi penafsiran. Semoga Budi
Asali bisa membedakan kedua hal ini sekarang.
Tanggapan
balik Budi Asali:
Hmmm,
jadi kalau text tak bilang, boleh ditambahi apapun? Selama
tambahannya tak menabrak text? Lagi-lagi, Steven, ini sangat, sangat
berbahaya!
Saya
pernah mendengar Dr. Paul Yonggi Cho khotbah untuk mendukung teori
‘dimensi keempat’nya. Dia mengatakan dalam Kej 15 waktu Abraham
melihat bintang-bintang di langit, tahu-tahu bintang-bintang itu
berubah
menjadi kepala-kepala bayi.
Ini dia anggap sebagai dasar, untuk mengatakan bahwa kalau kita
berdoa kita harus membayangkan bahwa apa yang didoakan sudah terjadi
/ terkabul. Anda setuju ‘tafsiran’ itu. Ingat, sesuai kata-kata
anda, text Alkitabnya tak punya ‘tambahan’ itu, tetapi juga tak
bilang kalau tambahan itu salah! Jadi, menurut teori anda, itu boleh
dan sah-sah saja?????
Kalau
mau lain lagi, Hawa sendiri waktu digoda Iblis mengatakan bahwa Allah
melarang dia menyentuh
buah itu, padahal larangannya adalah memakan
buah itu. Ia menambahi / mengubah Firman Tuhan, ya atau tidak? Ingat,
textnya juga tidak mengatakan kalau Allah tidak melarang untuk
menyentuh! Jadi, karena kata-kata Hawa tak secara explicit
bertentangan dengan Firman Tuhan, maka itu benar??
Kalau
yang seperti dilakukan oleh Suhento Liauw ini boleh, saya tanya:
bolehkah saya menceritakan cerita Israel yang menyeberangi Laut
Teberau, dengan dinding air di kiri dan kanan mereka, lalu ada air
memercik yang menyimbolkan baptisan percik? (Ini bukan tafsiran saya,
saya hanya memberi contoh!) Silahkan menilai sendiri!
Contoh-contoh
lain:
waktu
Yesus digoda setan dalam Mat 4, bolehkah (seperti dalam film
tertentu) kita menggambarkan bahwa ada ular (yang menyimbolkan
setan) yang bicara dengan Yesus?
waktu
Yerikho dihancurkan temboknya, bolehkah saya menceritakan bahwa pada
saat itu Tuhan membuat suatu gempa bumi, yang menghancurkan tembok
kota itu? Ini tak ada dalam textnya, tetapi textnya juga tak
mengatakan kalau gempa itu tak ada!
waktu
Bileam pergi, dia naik keledai. Bolehkah saya ceritakan bahwa ia
juga membawa seekor gajah? Itu tak ada dalam textnya, tetapi textnya
juga tak mengatakan bahwa ia tidak membawa gajah!
waktu
Tuhan menciptakan langit dan bumi dalam Kej 1, bolehkah kita percaya
bahwa Ia melakukan itu melalui ‘big bang’, sehingga menjadi
dasar dari kepercayaan terhadap teori ‘big bang’? Ingat, textnya
tidak mengatakan bahwa Allah tidak menciptakan langit dan bumi
menggunakan ‘big bang’. Jadi boleh???
waktu
Tuhan menciptakan manusia, bolehkan kita menafsirkan bahwa
sebetulnya dia cipta monyet dulu, yang lalu berevolusi dan menjadi
anda? Textnya tidak mengatakan kalau tidak ada evolusi!
Setelah
melihat ajaran anda dalam hal ini, saya tak heran Dji Ji Liong
mengatakan bahwa pada hari Pentakosta bukan hanya 12 rasul yang
membaptis 3000 orang yang bertobat, tetapi 120 orang jemaat (Kis
1:15) ikut membaptis! Memang text tidak bilang mereka ikut membaptis,
tetapi textnya juga tidak bilang mereka tidak ikut membaptis. Jadi
boleh menafsir seperti itu? Hehehe, betul-betul gila! Mengapa tak
sekalian saja katakan bahwa perempuan-perempuan dalam Kis 1:14 juga
ikut membaptis???? Sama saja, bukan?
Nah,
kalau Budi Asali mau mempersoalkan logis tidak logisnya (baik tidak
baiknya) penafsiran ini, ya silakan. Itu sih saya tidak masalah.
Tetapi kalau mengatakan bahwa hal seperti ini menyangkali Sola
Scriptura, wow....ini sangat
tidak mengena.
Ini terasa seperti serangan
yang dipaksakan dan dibuat-buat.
Tanggapan
balik Budi Asali:
Saya
sangat serius dengan hal ini, sama sekali tidak mengada-ada! Anda dan
Dance Suat sama-sama mengatakan bahwa saya mengada-ada. Yang
mengada-ada itu adalah Suhento Liauw! Dengan mengajar yang aneh-aneh
(seperti yang tentang tiang dari ular tembaga, atau darah pada ambang
pintu) ini, atau bahwa istilah ‘Perjamuan Kudus’ salah, pendeta
tak boleh memberi berkat pada akhir kebaktian, dan sebagainya. Itu
yang mengada-ada.
Menurut saya itu bahkan adalah ajaran yang sengaja mencari sensasi!
Dan saya justru mengcounter apa yang saya anggap mengada-ada / cari
sensasi itu!
‘Sangat
tidak mengena’? Lalu yang bagaimana Sola Scriptura itu, dan yang
bagaimana yang bertentangan dengan SOLA SCRIPTURA itu??? Pada waktu
Martin Luther mengajak untuk ‘back to the Bible’, dan menghendaki
SOLA SCRIPTURA diterapkan, saya yakin Gereja Roma Katolik juga
menganggapnya ‘tidak mengena’ dan ‘mengada-ada’!
Saya
sendiri merasa bahwa penafsiran Dr. Suhento Liauw sangat masuk akal.
Supaya ular tidak melorot, sangat logis sekali untuk menambahi kayu
horizontal. Sekali lagi saya coba cek di internet, dan beberapa detik
searching sudah memberikan hasil gambar berikut: Ini berarti bahwa
ada juga orang lain yang melihat hal yang sama yang dilihat Dr.
Suhento.
Tanggapan
balik Budi Asali:
Ya,
kalian sekelompok, apalagi bapak dengan anak. Buah jatuh tak jauh
dari pohonnya. Tidak aneh kalau anda anggap tafsiran Suhento Liauw
sangat masuk akal / sangat logis dan sebagainya.
Lagi-lagi,
dalam dunia banyak orang gila, dan itu tak seharusnya diikuti. Kalau
mau ajaran sesat, orang-orang yang tak percaya keilahian Yesus, tak
percaya Yesus sebagai satu-satunya jalan, tak percaya Alkitab sebagai
Firman Allah, dsb, pasti ada lebih banyak lagi! Jadi, karena banyak,
tidak unik, maka mereka yang mengajar seperti itu tidak salah????
Steven, banyak tak berarti benar, bukan? ‘Tidak unik’ tak berarti
‘benar’, ataupun ‘bisa diterima’!
Anda
mengatakan ‘masuk akal’! Mana yang lebih benar? ‘Masuk akal’,
atau ‘Alkitabiah’? Mestinya nama gereja anda diganti saja menjadi
GBIMA (Gereja Baptis Independen Masuk Akal)!!!
Masalah
bentuk salib saya tidak mau banyak komentar. Lebih banyak bukti-bukti
Alkitab yang mendukung bentuk salib tradisional, yaitu “t.”
Antara lain: tulisan di atas kepala Yesus. “Ada juga tulisan di
atas kepala-Nya: "Inilah raja orang Yahudi".” (Luk.
23:38) Ini menjurus ke bentuk “t.” Kalau bentuknya satu tiang
saja, ala Saksi Yehovah, maka tangan Yesus ada di atas kepalaNya.
Sehingga tulisan itu pantasnya disebut berada “di atas tanganNya.”
Lebih lanjut lagi, dalam model satu tiang, kedua tangan Yesus
dipakukan di atas kepalaNya, dengan satu paku saja. Jadi, satu paku
untuk dua tangan. Ini model yang saya pernah lihat dalam ilustrasi
Saksi Yehovah. Tetapi Tomas berkata, “Sebelum aku melihat
bekas paku pada
tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku
itu . . . .” (Yoh. 20:25). Kata
“paku” dalam ayat ini, dua kali muncul, dan dalam bentuk jamak.
Dalam KJV: “nails,”
atau “paku-paku.” Artinya, ada lebih dari satu paku yang dipakai
untuk tangan Yesus. Ini lebih mendukung ke bentuk salib tradisional
dibandingkan salib satu tiang. Nah, saya tidak mau berpanjang-panjang
masalah bukti-bukti sejarah bentuk Salib Romawi, atau tradisi bagi
orang hukuman untuk membawa “salib” (patibulum) yang berupa kayu
horizontal. Itu semua pembaca bisa riset sendiri.
Tanggapan
balik Budi Asali:
Saya
tak bilang bahwa saya setuju teori Saksi Yehuwa. Kalau bekas paku
pada tangan dalam bentuk jamak, itu masih memungkinkan. Kedua kaki
yang sama-sama dipaku di bawah juga bisa dipaku dengan dua paku,
mengapa kedua tangan di atas tidak bisa?
Dan
kalaupun bukan tiang tegak, bisa bentuk T, atau Y, atau X. Tulisan
bisa diberi tali.
Penekanan
saya, kita tak tahu dengan pasti bentuk salib untuk Yesus. Jadi,
mengapa gerangan tiang ular harus diberi kayu horizontal, dan darah
pada ambang pintu membentuk salib (yang kita kenal)???
6)
Baptisan harus selam, kalau tidak seperti Kain yang beri persembahan
hasil bumi dan bukan binatang. Kata Yunani BAPTIZO artinya dicelup /
direndam. Jadi, orang yang dibaptis percik sama saja dengan belum
dibaptis!
Tanggapan
Budi Asali:
Dalam
seminar itu mula-mula ia mengatakan baptisan itu bukan merupakan
sesuatu yang hakiki untuk keselamatan, tetapi anehnya pada waktu
menekankan keharusan baptisan selam, ia mengatakan bahwa orang yang
menggunakan baptisan percik adalah seperti Kain, yang bukannya
mempersembahkan binatang tetapi mempersembahkan tanaman. Bukankah ia
menjadikannya sebagai sesuatu yang bersifat hakiki / mutlak untuk
keselamatan? Ia secara bodoh mengajarkan sesuatu yang bertentangan
dengan ajarannya di bagian depan.
Ajaran
Baptis dari dulu adalah bahwa baptisan tidak menyelamatkan. Tetapi
kaum Baptis serius menanggapi perintah Tuhan untuk membaptiskan!
Bukan memercikkan atau menuangkan, atau mengibarkan bendera atas,
atau mengelap badannya, atau yang lainnya! Dr. Suhento Liauw telah
membuat jelas di awal bahwa baptisan tidak menyelamatkan. Lalu dia
membandingkan baptisan percik dengan Kain yang mengubah binatang
menjadi tanaman. Oleh Budi Asali ini dilihat sebagai pertentangan,
karena Kain tidak selamat.
Catatan:
bagian tentang baptisan ini panjang sekali, dan akan saya letakkan
dalam file tersendiri, dengan judul ‘Baptisan selam atau non selam?
Steven Liauw VS Budi Asali’.
7)
Nama / sebutan Perjamuan Kudus salah, seharusnya Perjamuan Tuhan.
Istilah Perjamuan Kudus kita dapat dari Katolik. Perjamuan itu tidak
bisa menguduskan, jadi nama itu salah.
Tanggapan
Budi Asali:
Saya
setuju saja kalau digunakan istilah ‘Perjamuan Tuhan’, karena
istilah itu memang ada dalam Alkitab (1Kor 10:21 1Kor 11:20). Tetapi
istilah ‘Perjamuan Kudus’ juga tak masalah, karena itu hanya soal
istilah. Bahwa itu didapatkan dari Katolik merupakan omong kosong,
yang tak akan bisa ia buktikan. Dan siapa gerangan orang bodoh yang
mempercayai bahwa Perjamuan Kudus itu menguduskan? Itu merupakan
fitnahan terhadap orang-orang yang menggunakan istilah ‘Perjamuan
Kudus’.
Perjamuan
Tuhan adalah istilah yang Alkitabiah. Perjamuan Kudus tidak
Alkitabiah. Pemakaian istilah yang tidak alkitabiah akan membawa
dampak yang tidak boleh diremehkan. Banyak orang yang memang
beranggapan bahwa “Perjamuan Kudus” itu menguduskan. Saya saja
pernah ketemu. Apakah
penggunaan
istilah penting? Menurut saya penting. Menurut Budi Asali tidak
penting. Ok, kita catat itu. Itu juga sebabnya kami tidak mau pakai
“pendeta.” Itu istilah yang tidak alkitabiah dan juga sarat
dengan konotasi yang tidak alkitabiah.
Tanggapan
balik Budi Asali:
Anda
mengatakan “Perjamuan
Tuhan adalah istilah yang Alkitabiah. Perjamuan Kudus tidak
Alkitabiah. Pemakaian istilah yang tidak alkitabiah akan membawa
dampak yang tidak boleh diremehkan. Banyak orang yang memang
beranggapan bahwa “Perjamuan Kudus” itu menguduskan. Saya saja
pernah ketemu.”.
Saya
tanya: kalau ada orang yang menganggap Perjamuan Kudus menguduskan,
apakah pemikiran / kepercayaan salah itu berasal dari istilahnya?
Atau dari hal-hal lain? Sudah adakan research / penyelidikan yang
mendalam? Atau hanya menebak-nebak saja?
Kalau
ada orang-orang seperti itu, itu salah mereka sendiri, bukan salah
istilahnya. Ada banyak istilah yang dipakai oleh semua gereja dan
orang Kristen tetapi tidak ada dalam Alkitab. Misalnya: Natal, Paskah
(Easter), Tritunggal, hakekat dan prbadi (dalam Kristologi atau
doktrin Allah Tritunggal), sakramen, dan banyak lagi. Saya tahu
sedikitnya sebagian dari istilah-istilah ini gereja anda sendiri juga
menggunakan! Itu menjadikan gereja anda tidak Alkitabiah? Ganti saja
namanya Menjadi GBITA (Gereja Baptis Independen Tidak Alkitabiah)!
Istilah
‘independen’ muncul di Alkitab sebelah mana? Dan anda
menjadikannya nama gereja anda!
Wah,
wah, sekarang ketambahan satu lagi ajaran nyeleneh. Tidak bolah pakai
istilah ‘pendeta’. Lalu kalian bapak dan anak disebut apa?
Disebut ‘penatua’ seperti dalam Saksi Yehuwa?
Kamus
Inggris - Indonesia mengatakan bahwa kata ‘pendeta’ merupakan
terjemahan dari kata bahasa Inggris
‘pastor’, dan kamus Webster mengatakan bahwa kata ‘pastor’
sebenarnya berarti ‘shepherd’ (= gembala), dan istilah ini jelas
ada dalam Ef 4:11 - “Dan
Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik
pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala
dan pengajar-pengajar”.
Dan
anda mengatakan istilah ini juga tidak Alkitabiah? Dan sarat dengan
konotasi yang tidak Alkitabiah? Konotasi apa? Omong kosong! Ini cuma
ajaran yang cari sensasi! Cari kepopuleran? Ingat bahwa ‘terkenal’
dalam bahasa Inggris bisa dua macam, yaitu ‘famous’ (terkenal
dalam arti yang baik) dan ‘notorious’ (= terkenal dalam arti yang
buruk). Dengan ajaran kalian yang nyeleneh itu kalian memang bisa
jadi populer / terkenal, tetapi dalam arti ‘notorious’!
Ingat
bahwa istilah ini beda dengan kata bahasa Indonesia
‘pastor’ yang digunakan dalam Gereja Roma Katolik. Kalau ini
terjemahan bahasa Inggrisnya adalah ‘priest’ (= imam), dan memang
pastor Katolik berfungsi sebagai imam / pengantara. Kalau itu, memang
tidak Alkitabiah, karena pada jaman Perjanjian Baru, imam /
pengantara kita hanya Kristus (1Tim 2:5). Kalau orang Kristen disebut
imam (1Pet 2:9), itu hanya menunjukkan bahwa orang Kristen bisa
berhubungan langsung dengan Allah, hanya melalui Yesus, dan bukan
pengantara manusia biasa.
8)
Ia tahu cara penggunaan Urim dan Tumim, dan menjelaskannya.
Tanggapan
Budi Asali:
Tak
ada penafsir yang tahu dengan pasti tentang hal itu. Jangankan cara
menggunakannya, bahkan bagaimana bentuk dari Urim dan Tumimpun tidak
ada yang tahu. Entah Suhento Liauw belajar dari mimpi atau bagaimana?
Kel
28:30 - “Dan di dalam tutup dada
pernyataan keputusan itu haruslah kautaruh Urim dan Tumim; haruslah
itu di atas jantung Harun, apabila ia masuk menghadap TUHAN, dan
Harun harus tetap membawa keputusan bagi orang Israel di atas
jantungnya, di hadapan TUHAN”.
Adam
Clarke (tentang Kel 28:30): “‘Thou
shalt put in the breastplate of judgment the Urim and the Thummim.’
What these were has, I believe, never yet been discovered. 1. They
are nowhere described. 2. There is no direction given to Moses or any
other how to make them. ... 6. That God was often consulted by Urim
and Thummim, is sufficiently evident from several Scriptures; but how
or in what manner he was thus consulted appears in none”.
Apa
yang dikatakan oleh Bil 27:21 tidaklah menunjukkan cara penggunaan
Urim dan Tumim.
Bil
27:21 - “Ia harus berdiri di depan
imam Eleazar, supaya Eleazar menanyakan keputusan Urim bagi dia di
hadapan TUHAN; atas titahnya mereka akan keluar dan atas titahnya
mereka akan masuk, ia beserta semua orang Israel, segenap umat
itu.’”.
“Lalu
berkatalah Saul: "Ya, TUHAN, Allah Israel, mengapa Engkau tidak
menjawab hamba-Minyak urapan pada hari ini? Jika kesalahan itu ada
padaku atau pada anakku Yonatan, ya TUHAN, Allah Israel, tunjukkanlah
kiranya Urim; tetapi jika kesalahan itu ada pada umat-Mu Israel,
tunjukkanlah Tumim." Lalu didapati Yonatan dan Saul, tetapi
rakyat itu terluput.” (1 Sam. 14:41). Catatan: Dalam Masoretic
Text, ayat ini lebih pendek dan tidak menyinggung Urim & Tumim,
LAI menerjemahkan dari Septuaginta. Ini juga menjelaskan mengapa
Clarke tidak membahas 1 Sam. 14:41. Tidak perlu pakai mimpi, dalam
Septuaginta ada indikasinya kok. Jadi, berdasarkan teks ini, Urim dan
Tumim itu dipakai seperti semacam undian. Setelah berdoa kepada
Tuhan, imam akan meminta jawaban Tuhan,
dan akan meng-assign jawaban
tertentu kepada Urim, dan jawaban yang lain kepada Tumim. Jadi, cara
kerjanya rupanya adalah dengan menanyakan dua alternatif. Ini cocok
dengan Bilangan 27:21. Kita juga tahu bahwa Urim Tumim ditaruh di
tutup dada imam besar (Kel. 28:30), jadi implikasinya adalah: setelah
berdoa, imam mengambil salah satu objek di dalam tutup dadanya. Jika
yang keluar adalah Urim, maka dia mendapat jawaban dari Tuhan sesuai
doanya tadi, apa yang dia minta untuk Urim. Sama dengan Tumim.
Kalaupun ada yang memprotes bahwa Septuaginta di sini salah (dan ini
protes yang sah), tetap saja bukan berarti pengajaran Dr. Suhento
Liauw berasal dari “mimpi,” melainkan ada landasan yang bisa
diperiksa.
Tanggapan
balik Budi Asali:
Saya
tanya: bentuknya Urim dan Tumim bagaimana? Saya juga tahu kalau bisa
jawab Urim atau Tumim, tetapi caranya bagaimana? Bentuknya seperti
mata uang, lalu dilemparkan ke atas? Atau seperti dadu, yang lalu
dilemparkan? Atau seperti kartu, lalu dipilih salah satu? Tak ada
yang tahu, bukan? Ini yang saya maksudkan tak ada yang tahu cara
penggunaannya!
9)
Ia percaya bahasa Roh, nubuat, mimpi dari Tuhan, malaikat datang beri
petunjuk firman, karunia lakukan mujijat / kesembuhan; semua ini tak
ada lagi. 1Kor 13:8 ditafsirkan menunjuk pada selesainya penulisan
Kitab Suci. Ia membahas kata Yunani TON TELEION dalam ayat itu dan ia
mengartikannya sebagai ‘the perfect thing’.
Bukan
“ton teleion,” tetapi “to teleion”. Ini adalah perbedaan
gender maskulin atau netral dalam Yunani, dan menjadi salah satu inti
argumen justru.
Tanggapan
Budi Asali:
Sepanjang
saya tahu, tak ada satupun Kitab Suci bahasa Inggris yang
menterjemahkan ‘the perfect thing’.
KJV:
‘But when that which is perfect is
come, then that which is in part shall be done away’.
RSV:
‘but when the perfect comes, the
imperfect will pass away’.
NIV:
‘but when perfection comes, the
imperfect disappears’.
NASB:
‘but when the perfect comes, the
partial will be done away’.
ASV:
‘but when that which is perfect is
come, that which is in part shall be done away’.
NKJV:
‘But when that which is perfect has
come, then that which is in part will be done away’.
Memang
Dr. Suhento Liauw tidak mengatakan ada Alkitab yang menerjemahkannya
demikian. Tetapi
dia
menunjukkan sebuah interlinear yang menerjemahkan “the perfect
thing.”
Dan
sekalipun memang ada penafsir-penafsir yang menafsirkan bahwa ini
menunjuk pada selesainya penulisan Alkitab, tetapi hanya sangat
sedikit penafsir yang menafsir seperti itu. Pada umumnya para
penafsir mengatakan bahwa ini menunjuk pada saat kita masuk surga /
pada kedatangan Kristus yang keduakalinya.
Saya
tidak mau panjang lebar menjawab ini, karena ini adalah materi
seminarnya. Kebenaran memang bukan berdasarkan banyaknya penafsir.
Tanggapan
balik Budi Asali:
Memang,
tetapi pada saat banyak penafsir itu menggunakan
argumentasi-argumentasi yang meyakinkan, maka kalau anda tetap tak
mau peduli, anda tak Alkitabiah! Text itu, khususnya ay 10,12,
tidak memungkinkan itu kita menafsirkan TO TELEION sebagai menunjuk
pada lengkapnya Alkitab.
1Kor
13:8-10 - “(8)
Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan
berhenti; pengetahuan akan lenyap. (9) Sebab pengetahuan kita tidak
lengkap dan nubuat kita tidak sempurna. (10) Tetapi jika yang
sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap”.
Kalau
kata-kata ‘jika
yang sempurna tiba’ (ay
10) dianggap menunjuk pada saat Alkitab lengkap, bagaimana mungkin
pada saat itu pengetahuan akan lenyap? Bukankah dengan lengkapnya
Alkitab, pengetahuan bukan saja tidak lenyap, tetapi makin bertambah?
Wah,
berarti Budi Asali tidak mendengarkan seminar dengan baik. Poin ini
selalu dibahas oleh Dr. Suhento Liauw. Saya yang sudah ikut
seminarnya berkali-kali tahu bahwa ini salah satu poin yang selalu
beliau bahas. Pengetahuan itu bukan mengacu kepada pengetahuan umum,
seperti matematika, atau fisika, atau pengetahuan alam. Konteks
sedang bicara mengenai karunia rohani (lihat dua item lainnya adalah
karunia bahasa lidah, dan karunia bernubuat). Jadi pengetahuan ini
juga mengacu kepada suatu karunia rohani, yaitu yang disebut Paulus
dalam 1 Kor. 12:8, yaitu “karunia berkata-kata dengan pengetahuan,”
yang disingkat saja “pengetahuan” di pasal 13. Ini adalah
synecdoche.
Tanggapan
balik Budi Asali:
Yang
bicara tentang pengetahuan umum siapa? Anda tak mengerti kata-kata
saya? Saat itu sudah ada Perjanjian Lama, dan juga mungkin
kitab-kitab Injil. Jadi orang sudah punya pengetahuan rohani, tetapi
hanya sebagian, karena Perjanjian Baru belum lengkap. Pada saat
Perjanjian Baru lengkap, kan pengetahuan rohani itu bertambah? Kok
bisa dikatakan bahwa pada saat itu pengetahuan ‘akan lenyap’?
Jadi jelas, itu tidak mungkin menunjuk pada lengkapnya Alkitab,
tetapi pasti menunjuk pada kedatangan Kristus yang keduakalinya.
Kalau
‘pengetahuan’ dianggap sebagai karunia, lalu ‘iman’ dan
‘kasih’ tidak? Lucu sekali! Anda tak pernah perhatikan ikatan
kalimat / kata-katanya dalam menafsir! Dalam menafsir, anda yang
punya gelar ‘doktor’, menafsir seperti anak Sekolah Minggu!
Synecdoche
tidak menyingkat seperti itu! Jangan omong kosong! Synecdoche adalah
gaya bahasa dimana kadang-kadang disebutkan hanya sebagian, tetapi
yang dimaksud adalah seluruhnya, dan kadang-kadang terbalik. Yang
dibicarakan seluruhnya, tetapi yang dimaksudkan adalah sebagian.
Misalnya kalau dikatakan mata
Tuhan ada di segala tempat. Ini memang digabungkan dengan
Anthropomorphism, tetapi jelas juga merupakan synecdoche, karena yang
dibicarakan sebagian, yaitu ‘mata’, tetapi jelas yang ada di
segala tempat adalah seluruh diri Allah.
Tetapi
synecdoche tidak menyingkat ‘karunia berkata-kata dengan
pengetahuan’, menjadi ‘pengetahuan’! Jangan ngawur saja kalau
pakai istilah!
Kata
‘pengetahuan’ tak bisa diartikan seperti itu karena dihubungkan
dengan karunia bernubuat dan karunia bahasa Roh. Kata ‘pengetahuan’
harus ditafsir sesuai kontext. Perhatikan 1Kor 13:2 - “Sekalipun
aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku
mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan;
dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan
gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak
berguna”.
Juga
perhatikan 1Kor 13:12b - “Sekarang
aku hanya mengenal dengan
tidak sempurna, tetapi nanti
aku akan mengenal dengan
sempurna, seperti aku sendiri
dikenal”.
Mengapa
sekarang mengenal dengan tidak sempurna? Karena pengetahuan juga
tidak sempurna. Mengapa nanti ‘mengenal dengan sempurna’? Karena
pengetahuan nanti menjadi sempurna!
Jadi
jelas kata ‘pengetahuan’ tak berhubungan dengan ‘karunia
berkata-kata dengan pengetahuan’, tetapi memang merupakan
‘pengetahuan itu sendiri’ (rohani)!
Tetapi
kalau diartikan menunjuk pada kedatangan Kristus yang keduakalinya,
maka itu memang memungkinkan, karena pengetahuan pada saat itu
pastilah sangat berbeda dengan pengetahuan kita di dunia ini. Jadi
pengetahuan yang sekarang ini, yang tidak lengkap / tidak sempurna,
akan lenyap, digantikan oleh pengetahuan yang sempurna / lengkap,
yang sama sekali baru.
Pertama,
“to teleion” tidak mungkin mengacu kepada Kristus, karena
gendernya netral.
Tanggapan
balik Budi Asali:
Kalau
saya mengatakan bahwa TO TELEION menunjuk pada kedatangan Kristus
yang keduakalinya, itu tak berarti menunjuk kepada Kristusnya! Tetapi
bisa pada keadaan sempurna / kesempurnaan, pada saat Ia datang
kedua-kalinya! Jadi tak masalah dengan gender yang netral!
By
the way, mengapa anda tak bicara tentang case / kasus dari kata To
TELEION itu? Suhento Liauw mengatakan itu case-nya akusatif, saya
mengatakan itu pasti nominatif. Yang mana yang benar? Dia ngawur
bukan? Dan anda pura-pura melupakan hal itu?
Kedua,
kalau mau menafsirkan ini mengacu kepada “kedatangan Kristus,”
tidak membantu menyelesaikan masalah “pengetahuan” tadi. Karena
setelah Kristus datang, pengetahuan kita (dalam artian pengetahuan
pada umumnya) tidak hilang. Bertambah sudah pasti! Menjadi lebih baik
sudah pasti! Tetapi yang lama tidak lenyap. Apakah pengetahuan kita
bahwa 2 + 2 = 4 akan lenyap saat Kristus datang? Ingat ayat berkata
“lenyap,” bukan berubah, bukan ditambah, bukan dimodifikasi,
tetapi lenyap!
Tanggapan
balik Budi Asali:
Hehehe,
alangkah bodohnya. Anda sendiri mengatakan bahwa yang dimaksudkan
adalah pengetahuan rohani. Kok bisa tahu-tahu bicara tentang 2 + 2 =
4? Itu pengetahuan rohani?
Anda
tak pintar membaca tulisan, Steven? saya kutip ulang kata-kata saya
sendiri.
“Tetapi
kalau diartikan menunjuk pada kedatangan Kristus yang keduakalinya,
maka itu memang memungkinkan, karena pengetahuan pada saat itu
pastilah sangat
berbeda
dengan pengetahuan kita di dunia ini. Jadi pengetahuan yang sekarang
ini, yang tidak lengkap / tidak sempurna, akan lenyap, digantikan
oleh pengetahuan yang sempurna / lengkap, yang sama sekali baru.”.
Menurut
saya ini sama dengan istilah ‘langit dan bumi yang sekarang akan
lenyap’ dan diganti dengan ‘langit dan bumi yang baru’. Bdk.
2Pet 3:10-13 Wah 21:1.
Jadi,
memang tidak ada cara selain melihat bahwa “pengetahuan” ini
mengacu kepada “karunia berkata-kata dengan pengetahuan.” Ini
sekaligus cocok dengan konteks. 1 Korintus 13 membandingkan karunia
rohani dengan kasih. 13:1-3 mengajarkan bahwa kasih lebih penting
dari karunia rohani. 13:4-7 menjelaskan superioritas kasih. 13:8-13
mengajarkan bahwa kasih lebih bertahan lama daripada karunia rohani.
Ini dalam konteks bahwa jemaat Korintus menyalahgunakah karunia
rohani mereka.
Tanggapan
balik Budi Asali:
Omong
kosong. Sudah saya buktikan di atas bahwa ay 2 dan ay 12 menunjukkan
bahwa ‘pengetahuan’ memang adalah ‘pengetahuan’ (rohani),
bukan ‘karunia berkata-kata dengan pengetahuan’.
Sekarang
kita lihat ay 1-3.
1Kor
13:1-3 - “(1) Sekalipun
aku dapat berkata-kata dengan
semua bahasa manusia dan bahasa malaikat,
tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang
berkumandang dan canang yang gemerincing. (2) Sekalipun aku mempunyai
karunia untuk bernubuat
dan aku mengetahui segala
rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan;
dan sekalipun aku memiliki iman
yang sempurna untuk memindahkan gunung,
tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna.
(3) Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku,
bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak
mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku”.
Omong
kosong lagi kalau 1Kor 13:1-3 hanya
bicara tentang ‘karunia-karunia’. Ay 1 memang bicara tentang
‘karunia bahasa Roh’, tetapi ay 2 berbicara tentang ‘karunia
bernubuat’ dan ‘pengetahuan’ dan ‘iman’. Sedangkan ay 3
bicara tentang apa? ‘sekalipun
aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan
menyerahkan tubuhku untuk dibakar’
(ay 3a). Ini karunia apa?
Saya
ingin memberikan penafsiran beberapa penafsir tentang kata
‘pengetahuan’ dalam ay 2, dan ‘kerelaan memberikan sesuatu dan
bahkan menyerahkan tubuh untuk dibakar’ dalam ay 3.
Matthew
Henry: “Prophecy,
and the understanding of mysteries, and all knowledge. This without
charity is as nothing, v. 2. Had a man ever so clear an understanding
of the prophecies and types under the old dispensation, ever so
accurate a knowledge of the doctrines of Christianity, nay, and this
by inspiration, from the infallible dictates and illumination of the
Spirit of God, without charity he would be nothing; all this would
stand him in no stead. Note, A clear and deep head is of no
signification, without a benevolent and charitable heart. It is not
great knowledge that God sets a value upon, but true and hearty
devotion and love”.
Adam
Clarke: “[And
understand all mysteries] The meaning of all the types and figures in
the Old Testament, and all the unexplored secrets of nature; and all
knowledge-every human art and science; and thought I have all
faith-such miraculous faith as would enable me even to remove
mountains; or had such powerful discernment in sacred things that I
could solve the greatest difficulties, see the note at Matt 21:21,
and have not charity-this love to God and man, as the principle and
motive of all my conduct, the characteristics of which are given in
the following verses; I am nothing-nothing in myself, nothing in the
sight of God, nothing in the church, and good for nothing to mankind.
Balsam, and several others not under the influence of this love of
God, prophesied; and we daily see many men, who are profound
scholars, and well skilled in arts and sciences, and yet not only
careless about religion but downright infidels! It does not require
the tongue of the inspired to say that these men, in the sight of
God, are nothing; nor can their literary or scientific acquisitions
give them a passport to glory”.
Saya
tak terjemahkan, tetapi intinya jelas bahwa Matthew Henry maupun Adam
Clarke menganggap ‘pengetahuan’ sebagai ‘pengetahuan’, bukan
‘karunia untuk berkata-kata dengan pengetahuan’!
Matthew
Henry: “4.
The outward acts of charity: Bestowing his goods to feed the poor, v.
3.
Should all a man has be laid out in this manner, if he had no
charity, it would profit him nothing. There may be an open and lavish
hand, where there is no liberal and charitable heart. The external
act of giving alms may proceed from a very ill principle.
Vain-glorious ostentation, or a proud conceit of merit, may put a man
to large expense this way who has no true love to God nor men. Our
doing good to others will do none to us, if it be not well done,
namely, from a principle of devotion and charity, love to God, and
good-will to men. Note, If we leave charity out of religion, the most
costly services will be of no avail to us. If we give away all we
have, while we withhold the heart from God, it will not profit. 5.
Even sufferings, and even those of the most grievous kind: If we give
our bodies to be burnt, without charity, it profiteth nothing, v. 3.
Should we sacrifice our lives for the faith of the gospel, and be
burnt to death in maintenance of its truth, this will stand us in no
stead without charity, unless we be animated to these sufferings by a
principle of true devotion to God, and sincere love to his church and
people, and good-will to mankind. The outward carriage may be
plausible, when the invisible principle is very bad. Some men have
thrown themselves into the fire to procure a name and reputation
among men. It is possible that the very same principle may have
worked up some to resolution enough to die for their religion who
never heartily believed and embraced it. But vindicating religion at
the cost of our lives will profit nothing if we feel not the power of
it; and true charity is the very heart and spirit of religion. If we
feel none of its sacred heat in our hearts, it will profit nothing,
though we be burnt to ashes for the truth. Note, The most grievous
sufferings, the most costly sacrifices, will not recommend us to God,
if we do not love the brethren; should we give our own bodies to be
burnt, it would not profit us. How strange a way of recommending
themselves to God are those got into who hope to do it by burning
others, by murdering, and massacring, and tormenting their
fellow-christians, or by any injurious usage of them! My soul, enter
not thou into their secrets. If I cannot hope to recommend myself to
God by giving my own body to be burnt while I have no charity, I will
never hope to do it by burning or maltreating others, in open
defiance to all charity”.
Barnes’
Notes: “[And
though I bestow] The Greek word used here psoomisoo,
from psaoo,
to break off) meant properly to break off, and distribute in small
portions; to feed by morsels; and may be applicable here to
distributing one's property in small portions. Charity or alms to the
poor, was usually distributed at one's gate (Luke 16:20,) or in some
public place. Of course, if property was distributed in this manner,
many more would be benefitted than if all were given to one person.
There would be many more to be thankful, and to celebrate one's
praises. This was regarded as a great virtue; and was often performed
in a most ostentatious manner. It was a gratification to wealthy men
who desired the praise of being benevolent, that many of the poor
flocked daily to their houses to be fed; and against this desire of
distinction, the Saviour directed some of his severcst reproofs; see
Matt 6:1-4. To make the case as strong as possible, Paul says that if
ALL that a man had were dealt out in this way, in small portions, so
as to benefit as many as possible, and yet were not attended "with
true love toward God and toward man," it would be all false,
hollow, hypocritical, and really of no value in regard to his own
salvation. It would profit nothing. It would not be such an act as
God would approve; it would be no evidence that the soul would be
saved. Though good might be done to others, yet where the "motive"
was wrong, it could not meet with the divine approbation, or be
connected with his favor. [And though I give my body to be burned]
Evidently as a martyr, or a witness to the truth of religion. Though
I should be willing to lay down my life in the most painful manner,
and have not charity, it would profit me nothing”.
Intinya
tentang ay 3 dimana orang membagi-bagikan segala sesuatu dan bahkan
menyerahkan diri untuk dibakar, kalau tak ada kasih (motivasinya
salah), itu ia anggap sebagai tindakan yang dimaksudkan untuk pameran
saja, dan tak ada harganya / nilainya sama sekali. Jelas Matthew
Henry maupun Albert Barnes tidak
menganggap hal-hal ini sebagai karunia-karunia rohani.
Jadi
kesimpulan saya: sekalipun mungkin penekanan utama adalah
kesuperioran kasih terhadap karunia-karunia rohani, tetapi jelas
bukan HANYA
terhadap karunia-karunia rohani!
1Kor
13:4-7 tidak menunjukkan kesuperioran kasih, tetapi menunjukkan apa
itu kasih.
1Kor
13:4-7 - “(4) Kasih itu
sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan
diri dan tidak sombong. (5) Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan
tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak
menyimpan kesalahan orang lain. (6) Ia tidak bersukacita karena
ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. (7) Ia menutupi segala
sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar
menanggung segala sesuatu.”.
Yang
menunjukkan kesuperioran kasih adalah ay 1-3! Tetapi bukan hanya atas
karunia-karunia rohani, tetapi juga atas tindakan-tindakan ketaatan
(ay 3), pengetahuan (ay 2), dan iman (ay 2).
1Kor
13:8-13 - “(8) Kasih
tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti;
pengetahuan akan lenyap.
(9) Sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak
sempurna. (10) Tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak
sempurna itu akan lenyap. (11) Ketika aku kanak-kanak, aku
berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku
berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa,
aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu. (12) Karena sekarang kita
melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar, tetapi nanti
kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku hanya mengenal
dengan tidak sempurna, tetapi
nanti aku akan mengenal dengan
sempurna, seperti aku sendiri
dikenal. (13) Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman,
pengharapan dan kasih, dan
yang paling besar di antaranya ialah kasih”.
Anda
mengatakan “13:8-13
mengajarkan bahwa kasih lebih bertahan lama daripada karunia rohani.
Ini dalam konteks bahwa jemaat Korintus menyalahgunakah karunia
rohani mereka”.
Tetap
bicara karunia rohani? Lalu bagaimana menafsirkan ‘iman’ dan
‘pengharapan’ dalam ay 13? Itu juga karunia-karunia rohani?
Adam
Clarke (tentang 1Kor 13:10): “‘But
when that which is perfect.’ The state of eternal blessedness; then
that which is in part - that which is imperfect, shall be done away;
the imperfect as well as the probationary state shall cease for
ever”.
Konteks
di 1 Korintus 13:13 tidak cocok dengan penafsiran bahwa yang dimaksud
adalah kondisi kekekalan. Dalam ayat 13 tersebut, setelah hilangnya
nubuat, bahasa roh, dan karunia pengetahuan, akan tinggal iman,
pengharapan dan kasih. Ini jelas belum kekekalan. Dalam kekekalan,
tidak diperlukan lagi iman, karena iman sudah menjadi kenyataan,
“faith turn into sight” (Ibr. 11:1). Juga tidak perlu lagi
pengharapan, karena sudah terjadi (Roma 8:24).
Tanggapan
balik Budi Asali:
Kelihatannya
tidak cocok, karena terjemahan Indonesia salah. Seharusnya dalam ay
13 ada kata ‘sekarang’. RSV sama salahnya dengan Kitab Suci
Indonesia, dan tidak mempunyai kata tersebut.
1Kor
13:13 - “Demikianlah
tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang
paling besar di antaranya ialah kasih”.
KJV:
And now
abideth faith, hope, charity, these three; but the greatest of these
is charity.
NIV:
And now
these three remain: faith, hope and love. But the greatest of these
is love.
NASB:
But now
faith, hope, love, abide these three; but the greatest of these is
love.
ASV:
But now
abideth faith, hope, love, these three; and the greatest of these is
love.
NKJV:
And now
abide faith, hope, love, these three; but the greatest of these is
love.
Jadi
setelah bicara tentang kedatangan Kristus yang keduakalinya dalam ay
10-12, maka dalam ay 13,
Paulus kembali bicara masa sekarang.
Adam
Clarke (tentang 1Kor 13:13):
“‘And
now (in this present life)
abideth faith, hope, charity’”
[= ‘Dan sekarang
(dalam hidup sekarang ini)
tinggal iman, pengharapan, kasih’].
10)
Mulai saat Yesus mati sampai Kitab Suci selesai ditulis rasul-rasul
jadi Standard kebenaran.
Konteksnya
adalah mereka menjadi Standar Kebenaran terutama dalam fungsi mereka
sebagai saksi kebangkitan Yesus dan semua pengajaran Yesus, dan dalam
menuliskan Firman Tuhan. Lihat juga Efesus 2:20. Bukan berarti secara
pribadi mereka tidak bisa salah, jadi semua kutipan Firman Tuhan di
bawah, saya aminkan.
Apakah
Dr. Suhento Liauw ada mengatakan bahwa para Rasul tidak bisa berbuat
salah dalam seminar itu? Saya yakin tidak. Mahasiswa GITS pasti
tertawa mendengar tuduhan ini, karena mereka sering mendengar Dr.
Suhento Liauw menjabarkan beberapa kesalahan rasul tertentu. Jadi,
saya curiga beberapa poin yang muncul di sini ini adalah karena
over-zealous-nya
Budi Asali mencari kesalahan.
Tanggapan
Budi Asali:
Kok
Petrus bisa salah, dalam Kis 10 dan Gal 2?
Kis
10:13-15,34-35 - “(13)
Kedengaranlah olehnya suatu suara yang berkata: ‘Bangunlah, hai
Petrus, sembelihlah dan makanlah!’ (14) Tetapi Petrus menjawab:
‘Tidak, Tuhan, tidak, sebab aku belum pernah makan sesuatu yang
haram dan yang tidak tahir.’ (15) Kedengaran pula untuk kedua
kalinya suara yang berkata kepadanya: ‘Apa yang dinyatakan halal
oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram.’ ... (34) Lalu
mulailah Petrus berbicara, katanya: ‘Sesungguhnya aku telah
mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. (35) Setiap orang dari
bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran
berkenan kepadaNya”.
Gal
2:11-14 - “(11)
Tetapi waktu Kefas datang ke Antiokhia, aku berterang-terang
menentangnya, sebab ia salah. (12) Karena sebelum beberapa orang dari
kalangan Yakobus datang, ia makan sehidangan dengan saudara-saudara
yang tidak bersunat, tetapi setelah mereka datang, ia mengundurkan
diri dan menjauhi mereka karena takut akan saudarasaudara yang
bersunat. (13) Dan orang-orang Yahudi yang lainpun turut berlaku
munafik dengan dia, sehingga Barnabas sendiri turut terseret oleh
kemunafikan mereka. (14) Tetapi waktu kulihat, bahwa kelakuan mereka
itu tidak sesuai dengan kebenaran Injil, aku berkata kepada Kefas di
hadapan mereka semua: ‘Jika engkau, seorang Yahudi, hidup secara
kafir dan bukan secara Yahudi, bagaimanakah engkau dapat memaksa
saudara-saudara yang tidak bersunat untuk hidup secara Yahudi?’”.
Dan
Yohanes bisa salah dengan menyembah malaikat?
Wah
19:10 - “Maka
tersungkurlah aku di depan kakinya untuk menyembah dia, tetapi ia
berkata kepadaku: ‘Janganlah berbuat demikian! Aku adalah hamba,
sama dengan engkau dan saudara-saudaramu, yang memiliki kesaksian
Yesus. Sembahlah Allah! Karena kesaksian Yesus adalah roh nubuat.’”.
Wah
22:8-9 - “(8)
Dan aku, Yohanes, akulah yang telah mendengar dan melihat semuanya
itu. Dan setelah aku mendengar dan melihatnya, aku tersungkur di
depan kaki malaikat, yang telah menunjukkan semuanya itu kepadaku,
untuk menyembahnya. (9) Tetapi ia berkata kepadaku: ‘Jangan berbuat
demikian! Aku adalah hamba, sama seperti engkau dan saudarasaudaramu,
para nabi dan semua mereka yang menuruti segala perkataan kitab ini.
Sembahlah Allah!’”.
Tanggapan
balik Budi Asali:
Saya
hanya menilai Suhento Liauw dalam
seminar.
Dia mengatakan seperti itu, dan bukan salah saya kalau membantah
seperti itu. Mestinya kalau mau mengatakan rasul jadi standard
kebenaran, dia harus menjelaskan dalam arti apa ia memaksudkan hal
itu. Dia tidak mengatakan apa yang anda katakan, dan itu salahnya
dia.
11)
Mat 11:13-14 - “(13)
Sebab semua nabi dan kitab Taurat bernubuat hingga tampilnya Yohanes
(14) dan - jika kamu mau menerimanya - ialah Elia yang akan datang
itu.”.
Ini
ditafsirkan, jika kamu mau menerima, ia adalah Elia, jika tidak mau
terima ia adalah Yohanes Pembaptis!
M
Tanggapan
Budi Asali :
Ini
ajaran sinting, dan merupakan penafsiran ‘liar’, yang tidak
membutuhkan tanggapan.
Karena
Budi Asali tidak menanggapi dan merasa tidak perlu menanggapi,
berarti juga tidak ada apa-apa yang bisa saya tanggapi lagi. Kalau
ada waktu lebih mestinya saya akan senang menjabarkan pengajaran ayat
ini secara lebih mendetil, jadi pembaca bisa melihat keseluruhan
penjelasan, bukan sepenggal kalimat. Tetapi waktu saya sungguh
terbatas. Hanya satu poin saja: yang jelas ayat ini mengajarkan
Allah berurusan dengan suatu event yang contingent
(tidak harus/pasti, bisa A atau bisa
B). Nah, saya paham bahwa event yang contingent
sejati itu tidak ada dalam kamus
Kalvinis seperti Budi Asali. Mungkin inilah mengapa ia bilang ini
“ajaran sinting.”
Tanggapan
balik Budi Asali:
Saya
anggap orang mengerti kalau itu tafsiran sinting, tetapi karena anda
tak mengerti, saya jelaskan. Yohanes Pembaptis memang adalah ‘Elia’
yang dinubuatkan dalam Perjanjian Lama (bukan berarti Elia
reinkarnasi, tetapi ia datang dalam, roh dan kuasa Elia).
Luk
1:17 - “dan ia akan
berjalan mendahului Tuhan dalam roh dan kuasa Elia untuk membuat hati
bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati orang-orang durhaka
kepada pikiran orang-orang benar dan dengan demikian menyiapkan bagi
Tuhan suatu umat yang layak bagiNya.’”.
Jadi,
itu kebenarannya; Yohanes Pembaptis adalah Elia. Kata-kata ‘Jika
engkau mau menerimanya’ tidak bisa diartikan seperti Suhento Liauw
katakan. Mau menerima atau tidak mau menerima tetap saja Yohanes
Pembaptis adalah Elia! Kok bisa kalau tidak mau menerima maka Yohanes
Pembaptis adalah Yohanes Pembaptis??? Lucu, dan gila!
12)
Karena mau gerejanya steril, Suhento Liauw selalu khotbah sendiri.
Tanggapan
Budi Asali:
Lucu
sekali. Kalau dia yang khotbah pasti steril? Jadi ajarannya Suhento
Liauw itu inerrant / infallible? Dan bagaimana kalau dia mati?
Anaknya sendiri steril atau tidak? Apa mungkin dua orang punya
theologia yang persis sama?
Khotbah
sendiri? Mungkin Budi Asali salah dengar? Atau mengabaikan konteks?
Posisi Dr. Suhento adalah bahwa yang khotbah di gerejanya hanyalah
yang sedoktrin dengan dia. Ini untuk menjaga agar kesesatan tidak
masuk (steril). Di awal-awal memang kebanyakan Dr. Suhento Liauw yang
khotbah. Tetapi setelah ada banyak lulusan GITS, pengkhotbah di
gereja kami cukup bervariasi. Juga, kalau ada tamu yang sedoktrin,
kami sering memintanya khotbah. Dua orang bisa saja punya theologi
yang berbeda sedikit-sedikit dalam
hal-hal yang tidak major,
tetapi tetap bisa dikatakan sedoktrin dalam hal-hal yang major.
Tanggapan
balik Budi Asali:
Saya
yakin tak salah dengar. Ia berkata ‘saya khotbah sendiri’ dan
lalu tak ada penjelasan apa-apa.
13)
Kata ‘Katolik’ dalam 12 Pengakuan Iman Rasuli (Indonesia
diterjemahkan ‘AM’), disamakan dengan gereja Katolik!
Tanggapan
Budi Asali:
Kata
yang sama belum tentu artinya sama, dan kalau artinya sama belum
tentu menunjuk pada hal yang sama. Kata ‘Katolik’ memang artinya
‘am’ atau ‘universal’. Jadi kata-kata dalam 12 Pengakuan Iman
Rasuli versi bahasa Inggris, ‘the Holy Catholic Church’ (Gereja
Katolik yang kudus / Gereja yang kudus dan am), tidak salah. Ini
menunjuk pada Gereja yang tak kelihatan, atau gereja universal, yaitu
semua orang percaya di seluruh dunia dan sepanjang jaman.
Encyclopedia
Britannica 2010 dengan entry ‘Catholic’: “(from
Greek katholikos, ‘universal’), the characteristic that,
according to ecclesiastical writers since the 2nd century,
distinguished the Christian Church at large from local communities or
from heretical and schismatic sects. A notable exposition of the term
as it had developed during the first three centuries of Christianity
was given by St. Cyril of Jerusalem in his Catecheses (348): the
church is called catholic on the ground of its worldwide extension,
its doctrinal completeness, its adaptation to the needs of men of
every kind, and its moral and spiritual perfection. The theory that
what has been universally taught or practiced is true was first fully
developed by St. Augustine in his controversy with the Donatists (a
North African heretical Christian sect) concerning the nature of the
church and its ministry. It received classic expression in a
paragraph by St. Vincent of Lérins in his Commonitoria (434), from
which is derived the formula: ‘What all men have at all times and
everywhere believed must be regarded as true.’ St. Vincent
maintained that the true faith was that which the church professed
throughout the world in agreement with antiquity and the consensus of
distinguished theological opinion in former generations. Thus, the
term catholic tended to acquire the sense of orthodox. Some confusion
in the use of the term has been inevitable, because various groups
that have been condemned by the Roman Catholic Church as heretical or
schismatic never retreated from their own claim to catholicity. Not
only the Roman Catholic Church but also the Eastern Orthodox Church,
the Anglican Church, and a variety of national and other churches
claim to be members of the holy catholic church, as do most of the
major Protestant churches”.
Tetapi
istilah ‘Katolik’ juga digunakan oleh Gereja Roma Katolik,
mungkin karena mereka menganggap mereka adalah satu-satunya gereja
universal. Itu sebetulnya merupakan suatu penggunaan yang
kontradiksi, karena ‘Roma’ merupakan sebutan yang bersifat lokal,
sedangkan ‘Katolik’ sebutan yang bersifat universal.
Bahwa
mereka menggunakan kata itu secara salah, itu urusan mereka. Tetapi
kalau Suhento Liauw melarang / menyalahkan orang Kristen menggunakan
kata itu, merupakan suatu kebodohan! Mengapa? Karena gereja-gereja
yang dikecam oleh Gereja Roma Katolik sebagai gereja sesat, termasuk
gereja Protestan, juga mengclaim
istilah itu bagi gereja mereka,
karena mereka menganggap gereja merekalah yang benar.
Dr.
Suhento Liauw bukan tidak tahu bahwa gereja Roma menggunakan
“katolik” dalam pengertian yang berbeda dari gereja-gereja
Protestan. Namun tetap pada intinya sama, dan salah. Roma mengatakan
dirinya adalah gereja yang “katolik” yaitu “universal.”
Mereka percaya kepada gereja yang
universal
dan kelihatan (Universal Visible Church). Jadi, “kelihatan” bahwa
gereja Roma ada di manamana, di setiap negara. Para Reformator yang
keluar dari Roma, bukannya bergabung dengan gerejagereja sejati saat
itu (misal gereja-gereja Anabaptis, sebaliknya malah menganiaya
mereka, terutama Zwingli). Calvin, Luther, Zwingli, semuanya
“dipercik” waktu bayi sebagai seorang Katolik. Jadi, mereka
adalah anggota gereja Katolik Roma. Mereka terbiasa dengan konsep
gereja yang “universal.” Dan sampai matinya mereka, mereka tidak
pernah menyangkali “percikan bayi” mereka yang menjadikan mereka
anggota gereja Roma. Mereka tidak pernah mencari baptisan yang
alkitabiah.
Kaum
Baptis memiliki konsep bahwa gereja adalah lokal, bukan universal.
Bahkan ekklesia yang
universal adalah suatu kontradiksi istilah, karena ekklesia
berarti assembly, atau perkumpulan,
yang per definisi haruslah lokal. Kami percaya kepada gereja yang
Visible dan
Local.
Para reformator, setelah keluar dari Katolik, harus mencari definisi
gereja yang baru, sebab jelas gereja mereka tidaklah Visible
dan Universal.
Jadi, mereka menciptakan suatu
konsep, yaitu gereja yang Universal
dan Invisible.
Intinya, mereka setuju dengan Katolik, bahwa gereja itu universal,
tetapi menjadikannya invisible,
sedangkan Katolik menjadikannya visible.
Kami tidak setuju bahwa gereja itu universal.
Ini adalah kata-kata yang sangat singkat untuk suatu topik yang
sangat mendalam, yang berakar kepada apa itu hakekat ekklesia.
Tempat dan waktu saya tidak
memungkinkan penjelasan panjang lebar. Pembaca yang ingin tahu lebih
lanjut, saya rujuk kepada http://bbccromwell.
org/Seminary_Articles/Ye-are-Body-of-Christ.pdf
Tanggapan
balik Budi Asali:
Anda
menyebut Anabaptis sebagai gereja yang sejati. Hehehe. Dasarnya apa?
Menurut saya itu gereja sesat, sekalipun saya tak tahu seluruh
ajarannya. Teapi jelas ada beberapa yang sesat, dan saya tahu karena
Calvin sering membahasnya.
Mengapa
gerangan para Reformator harus menggabungkan diri dengan gereja yang
ajarannya jelas berbeda dengan mereka? Kalau di atas Suhento Liauw
mau khotbah sendiri (atau anda katakan hanya orang-orang yang
sealiran yang boleh khotbah), mengapa sekarang anda salahkan para
Reformator yang tak mau gabung dengan Anabaptis, yang jelas-jelas
beda aliran dengan mereka? Sangat tidak konsisten bukan? Anda
sendiri, atau Suhento Liauw, mengapa mendirikan GBIA, dan tidak
gabung dengan gereja-gereja yang sudah ada sebelum anda? Kalian boleh
dirikan gereja sendiri, dan para Reformator tak boleh? Dengan
otoritas apa anda melarang?
Saya
pernah baca Anabaptis dianiaya, tetapi siapa yang melakukan? Zwingli?
Dia sendiri? Saya kok tidak yakin, karena pada hari Reformasi tahun
lalu (tahun 2011) saya membahas tentang Zwingli dan saya tak
menjumpai hal itu. Dan kalau ada kesalahan dari siapapun, itu
kesalahan oknum, tak bisa dipukul rata semua seperti itu! Kalau
kalian memfitnah, seperti yang sudah saya buktikan, saya tak akan
mengatakan semua gereja Baptis pemfitnah. Bahkan saya tak berani
mengatakan seluruh jemaat kalian dan mahasiswa theologia kalian
adalah pemfitnah!
Luther,
Zwingli, Calvin keluar (atau dikeluarkan) dari Gereja Roma Katolik,
jelas karena adanya pertentangan Theologia antara mereka dengan
ajaran Gereja Roma Katolik. Tetapi kalau ada pertentangan theologia,
bukan berarti bertentangan dalam segala hal. Misalnya doktrin Allah
Tritunggal ataupun Kristologi, jelas sama. Gereja Roma Katolik tidak
salah dalam hal itu. Demikian juga dalam hal baptisan. Mereka salah
dalam hal-hal lain, seperti doktrin Alkitab, juga keselamatan karena
iman dan perbuatan baik, dan adanya Paus, doktrin-doktrin tentang
Maria dan sebagainya. Sekalipun banyak, tak bisa dikatakan bahwa
mereka salah dalam segala hal! Jadi, para tokoh Reformasi, tentu
harus memilah-milah, bukan membuang semua ajaran Gereja Roma Katolik,
tetapi membuang hanya yang salah, dan mempertahankan yang benar.
Mereka tidak secara membuta mengikuti baptisan percik, hanya karena
pada saat bayi mereka dipercik. Buktinya mereka punya
argumentasi-argumentasi yang mendukung baptisan percik, dan yang
sudah saya gunakan untuk menghancurkan keharusan baptisan selam anda!
Itu
menunjukkan mereka menyeleksi, membahas matang-matang yang mana yang
harus diterima dan yang mana yang harus ditolak. Memang masih ada
hal-hal dimana sukar membuang ajaran yang sudah begitu mendarah
daging dalam diri mereka. Misalnya kalau dilihat dari 95 thesis
Luther, kelihatannya ia masih percaya api penyucian. Jelas bahwa
ajaran mereka tidak sempurna, termasuk Calvin. Tetapi bagi saya,
Calvin / Calvinist / Calvinisme sudah merupakan yang terbaik dari
semua yang tidak sempurna. Saya punya problem dengan ajaran Luther,
tetapi kalau Luther (bukan Lutheran) dibandingkan kalian, saya pilih
Luther!
Sekarang
saya ingin bahas kata-kata anda ini: “Kaum
Baptis memiliki konsep bahwa gereja adalah lokal, bukan universal.
Bahkan ekklesia yang
universal adalah suatu kontradiksi istilah, karena ekklesia
berarti assembly, atau perkumpulan,
yang per definisi haruslah lokal. Kami percaya kepada gereja yang
Visible dan
Local.
Para reformator, setelah keluar dari Katolik, harus mencari definisi
gereja yang baru, sebab jelas gereja mereka tidaklah Visible
dan Universal.
Jadi, mereka menciptakan suatu
konsep, yaitu gereja yang Universal
dan Invisible.
Intinya, mereka setuju dengan Katolik, bahwa gereja itu universal,
tetapi menjadikannya invisible,
sedangkan Katolik menjadikannya visible.
Kami tidak setuju bahwa gereja itu universal.
Ini adalah kata-kata yang sangat singkat untuk suatu topik yang
sangat mendalam, yang berakar kepada apa itu hakekat ekklesia.”.
Lucu
sekali kalau anda pakai nama ‘Alkitabiah’ dalam gereja anda,
tetapi dalam berargumentasi (membenarkan diri sendiri dan menyalahkan
orang lain) anda tak pakai ayat Alkitab sama sekali. Semua ini
sampah, karena tidak ada dasar Alkitabnya sama sekali!
Anda
mengatakan bahwa “Bahkan
ekklesia yang
universal adalah suatu kontradiksi istilah, karena ekklesia
berarti assembly, atau perkumpulan,
yang per definisi haruslah lokal.”.
Omong kosong. Dalam dunia apa hanya ada satu EKKLESIA? Pada waktu
dikatakan dalam Alkitab bahwa ‘Kristus adalah kepala jemaat /
gereja’ (Ef 5:23 Kol 1:18 dsb), saya tanya anda: ini gereja apa
yang dimaksudkan? Gereja lokal? Mustahil bukan? Jadi pasti gereja
Universal, yang mencakup juga orang-orang percaya di tiap gereja
lokal (yang tidak percaya tidak termasuk)!
Juga
dalam Ro 12:5-dst, dan 1Kor 12:12-dst, orang-orang Kristen disebut
sebagai ‘tubuh Kristus’. Ini orang-orang Kristen dari satu gereja
lokal? Mustahil, karena kalau demikian akan ada satu kepala dengan
banyak tubuh, dan itu menjadi monster! Jadi, ini pasti orang-orang
Kristen dari gereja universal! Istilah ‘gereja universal’ memang
tak ada dalam Alkitab, tetapi ajaran tentang ‘gereja universal’
jelas ada.
By
the way, anda kok mau pakai istilah ‘gereja kelihatan’, ‘gereja
lokal’, dsb? Di mana dalam Alkitab anda ada istilah-istilah itu?
Bukankah anda katakan kalau pakai istilah yang tak ada dalam Alkitab,
menjadi tidak Alkitabiah? Hmmm, serangan tolol anda menjadi boomerang
yang menghantam kepala anda sendiri, bukan????
Dalam
kalangan kami juga ada gereja lokal dan kelihatan. Saya dengan
Stephen Tong saja sekarang beda gereja. Dia GRII (Gereja Reformed
Injili Indonesia), saya GKRI (Gereja Kristus Rahmani Indonesia).
Tetapi istilah gereja Universal / tak kelihatan, semua harus percaya.
Itu menunjuk bukan pada gedung atau merk gerejanya, tetapi menunjuk
kepada semua orang-orang percaya di seluruh dunia dan dalam sepanjang
jaman. Ini pasti ada bukan? Ayat-ayat sudah saya berikan di atas.
Penjahat
yang bertobat dan mati di sisi Yesus, apakah ia anggota gereja yang
kelihatan / lokal? Tidak. Tetapi anggota gereja yang universal / tak
kelihatan, ya! Karena ia beriman pada saat itu dan Yesus menjamin ia
masuk surga!
Kalau
tadi anda sama-samakan para tokoh Reformasi dengan Gereja Roma
Katolik, maka sekarang saya minta anda baca kata-kata A. W. Pink di
bawah ini!
Arthur W. Pink:
“Among
the ‘decrees’ of the
Council of Trent (1563),
which is the avowed standard of Popery, we find the following: - ‘If
any one shall affirm, that man’s
free-will, moved and
excited by God, does not, by consenting, co-operate with God, the
mover and exciter, so as to prepare
and dispose
itself for the attainment
of justification; if
moreover, anyone shall say, that the human will cannot refuse
complying, if it pleases,
but that it is inactive,
and merely passive; let such an one be
accursed’! ‘If anyone
shall affirm, that since the fall of Adam, man’s free-will is lost
and extinguished; or, that
it is a thing titular, yea a name, without a thing, and a fiction
introduced by Satan into the Church; let such an one be
accursed’! Thus,
those who today insist on the free-will of the natural man believe
precisely what Rome teaches on the subject! That Roman Catholics and
Arminians walk hand in hand may be seen from others of the decrees
issued by the Council of Trent:
- ‘If any one shall affirm that a regenerate and justified man is
bound to believe that he is certainly in the number of the elect
(which, 1 Thessalonians 1:4, 5 plainly teaches. A.W.P.) let such an
one be accursed’! ‘If any one shall affirm with positive and
absolute certainty, that he shall surely have the gift of
perseverance to the end (which John 10:28-30 assuredly guarantees,
A.W.P.); let him be accursed’!”
(= ) - ‘The
Sovereignty of God’ (AGES), hal
128-129.
Saya berikan intinya saja bagi pembaca yang
tak mengerti bahasa Inggris. A. W. Pink mengatakan bahwa doktrin
tentang free will dari Gereja Roma Katolik sama dengan doktrin
tentang free will dalam Arminianisme. Demikian juga kalau seseorang
yakin bahwa ia akan bertekun sampai akhir, itu dikutuk oleh Gereja
Roma Katolik (sidang gereja Trent). Jadi, Arminianisme tak percaya
point ke 5 dari 5 points Calvinisme, itu sama dengan kepercayaan
Gereja Roma Katolik!
Jadi, siapa yang mirip dengan Gereja Roma
Katolik? Hehehe. Anda tak pernah bercermin???
14)Serang
predestinasi dan katakan neraka bukan dicipta untuk manusia tetapi
untuk setan.hai
kamu
malaikat-malaikatnya.”.
Tanggapan
Budi Asali:
Jawaban
tentang kebodohan ini tidak saya berikan di sini karena ini
berhubungan dengan debat tanggal 24 Agustus 2012 antara Esra + saya
vs Steven Liauw + partnernya. Saya tak mau tunjukkan ‘senjata’
saya sebelum debat tanggal 24 Agustus itu terlaksana.
Tidak
perlu komentar dari saya. Matius 25:41.
Tanggapan
balik Budi Asali:
Hehehe,
ayatnya tak salah, tetapi tafsirannya yang lucu. Kalau mau hancur,
saya tantang anda, coba gunakan ayat itu dalam debat tanggal 24
Agustus nanti. Saya akan habisi argumentasi anda berdasarkan ayat
itu, semudah membalikkan tangan saya!
15)
Dalam kebaktian tak boleh ada pemberkatan pada akhir kebaktian.
Pemberkatan ada pada jaman keimaman Harun, jaman sekarang semua orang
Kristen adalah imam, jadi tak boleh ada satu memberkati yang lain.
Pemberkatan nikah itu salah, seharusnya peneguhan nikah.
Tanggapan
Budi Asali:
Ajaran
ini betul-betul gila, dan tak sulit untuk membantahnya /
menghancurkannya.
a)
Dalam jaman Perjanjian Lama, yang memberkati adalah imam besar,
tetapi berkat itu sebetulnya jelas bukan datang dari imam besar itu
sendiri, tetapi dari Tuhan. Jadi, imam besar itu hanyalah alat Tuhan.
Bil
6:22-27 - “(22)
TUHAN berfirman kepada Musa: (23) ‘Berbicaralah kepada Harun dan
anak-anaknya: Beginilah harus kamu memberkati orang Israel,
katakanlah kepada mereka: (24) TUHAN memberkati engkau dan melindungi
engkau; (25) TUHAN menyinari engkau dengan wajahNya dan memberi
engkau kasih karunia; (26) TUHAN menghadapkan wajahNya kepadamu dan
memberi engkau damai sejahtera. (27) Demikianlah harus mereka
meletakkan namaKu atas orang Israel, maka Aku akan memberkati
mereka.’”.
Lalu
mengapa dalam Perjanjian Baru, pendeta tak boleh jadi alat Tuhan
untuk memberikan berkat dalam kebaktian?
Dalam
PL, Tuhan memberkati melalui imam. Memang Tuhan yang memberkati, itu
tidak diragukan siapapun. Tetapi, dalam PL, imam menjadi media resmi
atau saluran resmi berkat Tuhan. Melalui imam-lah Tuhan secara khusus
memberkati umatnya pada waktu itu. Selain ayat Bilangan 6:22-27 yang
sudah dikutip oleh Budi Asali, lihat juga ayat berikut: “Imam-imam
bani Lewi haruslah tampil ke depan, sebab merekalah yang dipilih
TUHAN, Allahmu, untuk melayani Dia dan untuk MEMBERI BERKAT demi nama
TUHAN; menurut putusan merekalah setiap perkara dan setiap hal
luka-melukai harus diselesaikan” (Ul. 21:5). Jadi, Tuhan mengatur
bahwa imam-lah yang memberkati rakyat. Dan Tuhan secara spesial
mendengarkan berkat dari imam ini, sebagaimana Tuhan janjikan di Bil.
6:22-27. Orang-orang non-imam di PL bisa juga “memberkati,” dalam
pengertian memintakan berkat Tuhan atas orang lain. Tetapi imam,
sebagai jabatan yang spesial, memberkati secara spesial, yaitu
sebagai “saluran berkat resmi yang ditunjuk Tuhan.” Praktek
mengangkat tangan memberkati juga adalah praktek imam. “Harun
mengangkat kedua tangannya atas bangsa itu, lalu memberkati mereka,
kemudian turunlah ia, setelah mempersembahkan korban penghapus dosa,
korban bakaran dan korban keselamatan” (Im. 9:22). Budi Asali
bertanya, “Lalu mengapa dalam Perjanjian Baru, pendeta tak boleh
jadi alat Tuhan untuk memberikan berkat dalam kebaktian?” Siapapun
bisa menjadi alat Tuhan menjadi berkat bagi orang lain. Tetapi, yang
harus ditanamkan adalah: PENDETA BUKAN IMAM! Jadi, Pendeta bukanlah
jabatan yang Tuhan berikan kuasa khusus untuk memberkati “umat,”
seperti imam di PL. (Bahkan tidak ada jabatan Pendeta dalam Alkitab,
saya mengasumsikan yang dimaksud oleh Budi Asali adalah gembala
sidang/penilik/penatua). Pada prakteknya, banyak “pendeta” yang
mencoba membangun suatu atmosfir, seolah-olah dia-lah “imam” atas
jemaatnya. Lalu di akhir kebaktian, dia angkat tangan, lalu
“memberkati” jemaat. Praktek ini sangat bermasalah. Ini
mengajarkan kepada jemaat yang tidak begitu mengerti theologi, bahwa
“saya pendeta adalah jalur Tuhan memberkati kamu,” dan memberi
kesan “saya ini imam atas kamu.” Kalaupun di gereja itu diajarkan
keimamatan semua orang percaya, praktek seperti ini menggerogoti
konsep itu. Saya bertanya kepada gereja-gereja yang “pendeta”nya
angkat tangan pada akhir khotbah “memberkati” jemaat. Apakah
mereka akan memperbolehkan seorang jemaat biasa untuk menggantikan
dirinya melakukan itu? Saya yakin hampir semua (kalau bukan semua)
akan menjawab tidak boleh. Kenapa tidak? Bukankah semua orang percaya
adalah imam? Nah di sinilah letak perbedaan teori “imamat semua
orang percaya” dengan praktek lapangan.
Tanggapan
balik Budi Asali:
Dalam
Perjanjian Lama imam mengajar dan memberkati. Kalau karena sekarang
jaman Perjanjian Baru tak ada imam, dan pendeta bukan imam, dan
karena itu pendeta tak boleh memberkati, maka konsekwensinya, pendeta
juga tak boleh mengajar!
Omong
kosong, saya juga memberikan berkat dalam kebaktian, tetapi tak
pernah terlintas dalam pikiran saya bahwa saya adalah imam! Itu
tuduhan tak berdasar alias FITNAH! Dan kalau urusan memfitnah, kalian
berdua, bapak dan anak, memang jagonya!
Dalam
Ibr 7:7 dikatakan bahwa yang lebih tinggi memberkati yang lebih
rendah. Kalau pendeta tak ada, lalu penatua memberkati, boleh saja.
Tetapi kalau jemaat biasa memberkati, dan yang diberkati ada penatua,
maka itu bertentangan dengan Ibr 7:7 tersebut. Jadi, yang melarang
adalah ayat ini, bukannya apakah dia imam atau bukan.
Alkitab
memang mengatakan bahwa imam memberkati, tetapi Alkitab tidak
mengatakan bahwa HANYA imam yang boleh memberkati.
Kej
12:3 - “Aku akan
memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk
orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi
akan mendapat berkat.’”.
Kalau
orang tak boleh memberkati, dan hanya imam yang boleh memberkati,
maka siapa yang bisa memberkati keturunan Abraham? Dan karena hanya
imam yang bisa memberkati, maka hanya mereka yang diberkati oleh
Tuhan. Ini tak masuk akal.
Dalam
Kej 27-28 Ishak memberkati Yakub dan Esau (sekalipun yang untuk Esau
ini lebih tepat disebut ‘kutuk’). Padahal Ishak bukan imam.
Laban
memberkati anak-anak dan cucu-cucunya (Kej 31:55) dan Laban juga
bukan imam.
Lalu
Yakub memberkati anak-anak Yusuf (Kej 48:13dst) dan memberkati
anak-anaknya (Kej 49) padahal Yakub juga bukan imam.
Musa
juga memberkati orang Israel (Kel 39:43), padahal ia bukan imam,
sekalipun ia dari suku Lewi.
Lalu,
bahkan orang seperti Bileam dipakai Allah, bahkan diperintah Allah,
untuk memberkati orang Israel, padahal ia sendiri maunya mengutuk
mereka (Bil 23-24).
Bil
23:11 - Lalu berkatalah Balak kepada Bileam: ‘Apakah yang
kaulakukan kepadaku ini? Untuk menyerapah musuhkulah aku menjemput
engkau, tetapi sebaliknya engkau memberkati
mereka.’
Bil
23:20 - Ketahuilah, aku mendapat
perintah untuk memberkati, dan
apabila Dia memberkati,
maka aku tidak dapat membalikkannya.
Bil
24:1 - Ketika dilihat Bileam, bahwa baik di mata TUHAN untuk
memberkati
Israel, ia tidak mencarikan pertanda lagi seperti yang sudah-sudah,
tetapi ia menghadapkan mukanya ke arah padang gurun.
Bil
24:9 - Ia meniarap dan merebahkan diri sebagai singa jantan, dan
sebagai singa betina; siapakah yang berani membangunkannya?
Diberkatilah orang yang
memberkati engkau, dan
terkutuklah orang yang mengutuk engkau!"
Bil
24:10 - Lalu bangkitlah amarah Balak terhadap Bileam dan dengan
meremas-remas jarinya berkatalah ia kepada Bileam: ‘Untuk
menyerapah musuhku aku memanggil engkau, tetapi sebaliknya sampai
tiga kali engkau memberkati
mereka.
Yos
14:13 - “Lalu Yosua
memberkati
Kaleb bin Yefune, dan diberikannyalah Hebron kepadanya menjadi milik
pusakanya”.
Yer
4:2 - “Dan jika engkau
bersumpah dalam kesetiaan, dalam keadilan dan dalam kebenaran: Demi
TUHAN yang hidup!, maka bangsa-bangsa
akan saling memberkati
di dalam Dia dan akan
bermegah di dalam Dia.’”.
Mungkin
anda mengatakan, itu semua pemberkatan yang dilakukan bukan bukan
kebaktian. Saya menjawab:
1) Apa
dasar Alkitabnya untuk membedakan pemberkatan dalam kebaktian dan
yang bukan dalam kebaktian? Saya tak pernah tahu ada dasar Alkitab
apapun untuk membuat pembedaan seperti itu.
2) Kalau
anda tetap berkeras, di sini saya beri ayat-ayat yang menunjukkan
pemberkatan dalam kebaktian, tetapi tidak dilakukan oleh imam.
2Sam
6:17-18 - “(17) Tabut
TUHAN itu dibawa masuk, lalu diletakkan di tempatnya, di dalam kemah
yang dibentangkan Daud untuk itu, kemudian Daud mempersembahkan
korban bakaran dan korban keselamatan di hadapan TUHAN. (18) Setelah
Daud selesai mempersembahkan korban bakaran dan korban keselamatan,
diberkatinyalah
bangsa itu demi nama TUHAN semesta alam”.
1Raja
8:14 - “Kemudian
berpalinglah raja (Salomo)
lalu memberkati
seluruh jemaah Israel, sedang segenap jemaah Israel berdiri”.
1Raja
8:55 - “Maka berdirilah
ia (Salomo)
dan memberkati
segenap jemaah Israel dengan suara nyaring, katanya”.
Daud
dan Salomo bukan imam, mereka bahkan bukan dari suku Lewi, tetapi
suku Yehuda, tetapi mereka memberkati, dan ini jelas dalam kebaktian,
dalam kasus Daud ada korban persembahan, dan dalam kasus Salomo itu
adalah pentahbisan Bait Allah.
Dalam
Perjanjian Baru, Paulus juga selalu menutup suratnya dengan suatu
berkat. Dan perhatikan bahwa berkat Paulus kepada gereja Korintus
dalam 2Kor 13:13, justru dipakai oleh kebanyakan pendeta dalam
memberikan berkat dalam kebaktian! Apakah Paulus imam?
b)
Kalau karena dalam jaman Perjanjian Baru semua orang Kristen adalah
imam, dan karena itu tak boleh orang Kristen yang satu memberkati
orang Kristen yang lain, maka ingat bahwa dalam jaman Perjanjian Lama
imam punya tugas mengajar Firman Tuhan.
Orang
Kristen PB tidak “memberkati” seperti imam memberkati di PL,
yaitu seolah-olah dirinya memiliki jabatan khusus untuk memberikan
berkat khusus. Bolehkah orang Kristen PB bilang kepada saudaranya:
“Kiranya Tuhan memberkati!” atau “God bless you.” Jelas
boleh! Kami tidak pernah menentang itu! Bahkan jangan hanya di mulut,
kalau ada yang perlu bantuan, kita bantu. Itu menjadi berkat bagi
dia! Tetapi, “pendeta” angkat tangan di akhir khotbah untuk
“memberkati” umat, ini sudah menjadi semacam ritual yang dianggap
memang mendatangkan berkat oleh kebanyakan jemaat. Bahkan ada pendeta
yang mengharuskan umatnya membuka tangan mereka saat ia “memberkati”
supaya berkat dari tangan pendeta “jatuh” ke tangan umat. Wow!
Seorang
gembala sidang tidak memberkati umat karena dia angkat tangan di
akhir kebaktian dan mengucapkan “kata-kata berkat.” Gembala
sidang memberkati jemaat melalui penjelasan Firman Tuhan, antara
lain. Juga melalui pelayanan dia kepada umat.
Tanggapan
balik Budi Asali:
Pendeta
memang merupakan jabatan khusus, butuh panggilan khusus! Pendeta
angkat tangan untuk memberkati, memang merupakan sesuatu yang ritual,
tetapi apa dasarnya untuk melarang? Tanpa dasar Alkitab, tetapi tetap
melarang? Dan anda mengaku gereja anda sebagai Alkitabiah?
Kalau
mengharuskan umat buka tangan, itu urusan mereka yang melakukannya,
saya tidak seperti itu. Jadi jangan pukul rata! Hanya karena ada satu
atau dua orang Kristen yang salah, lalu anda pukul rata semua orang
Kristen salah???
Omong
kosong. Memberi penjelasan tentang Firman Tuhan sangat beda dengan
memberkati! Melayani juga berbeda dengan memberkati!
Mal
2:1-7 - “(1)
Maka sekarang, kepada kamulah tertuju perintah ini, hai para imam!
(2) Jika kamu tidak mendengarkan, dan jika kamu tidak memberi
perhatian untuk menghormati namaKu, firman TUHAN semesta alam, maka
Aku akan mengirimkan kutuk ke antaramu dan akan membuat
berkat-berkatmu menjadi kutuk, dan Aku telah membuatnya menjadi
kutuk, sebab kamu ini tidak memperhatikan. (3) Sesungguhnya, Aku akan
mematahkan lenganmu dan akan melemparkan kotoran ke mukamu, yakni
kotoran korban dari hari-hari rayamu, dan orang akan menyeret kamu ke
kotoran itu. (4) Maka kamu akan sadar, bahwa Kukirimkan perintah ini
kepadamu, supaya perjanjianKu dengan Lewi tetap dipegang, firman
TUHAN semesta alam. (5) PerjanjianKu dengan dia pada satu pihak ialah
kehidupan dan sejahtera dan itu Kuberikan kepadanya - pada pihak lain
ketakutan - dan ia takut kepadaKu dan gentar terhadap namaKu. (6)
Pengajaran yang benar ada dalam mulutnya dan kecurangan tidak
terdapat pada bibirnya. Dalam damai sejahtera dan kejujuran ia
mengikuti Aku dan banyak orang dibuatnya berbalik dari pada
kesalahan. (7) Sebab bibir seorang imam memelihara pengetahuan dan
orang mencari pengajaran dari mulutnya, sebab dialah utusan TUHAN
semesta alam”.
Kalau
karena dalam jaman Perjanjian Baru semua orang Kristen adalah imam,
dan karena itu tak boleh orang Kristen yang satu memberkati orang
Kristen yang lain, maka konsekwensinya adalah: orang Kristen yang
satu juga tak boleh mengajar Firman Tuhan kepada orang Kristen yang
lain! Semua orang Kristen harus menjadi pengajar Firman Tuhan, dan
lalu siapa pendengarnya?
Ada
perbedaan yang mendasar antara tugas imam “memberkati” dan tugas
imam “mengajar.”
Pertama, yang mengajar bukan hanya imam, tetapi juga adalah bani Lewi
secara keseluruhan. “Berkatalah ia kepada orang-orang Lewi yang
adalah pengajar seluruh Israel . . .” (2 Taw. 35:3). Bandingkan
juga Neh. 8:7-9. Kedua, tidak ada dalam PB dikatakan bahwa
“memberkati” adalah salah satu tugas gembala sidang. Semua orang
percaya PB bisa meminta berkat kepada Tuhan secara langsung, tidak
perlu lagi lewat imam, karena semua adalah imam. Jadi, tidak perlu
jabatan khusus untuk memberkati. Sebaliknya, dalam PB, jelas
dikatakan bahwa gembala sidang perlu mengajar. Salah satu syarat
seorang gembala (penilik) adalah cakap mengajar (1 Tim. 3:2). Dan
selain itu memang benar, semua orang harus “mengajar.” Lalu siapa
jadi pendengarnya? Ya semua juga. Artinya, semua orang mengajar
sesuai kemampuannya, dan diajar oleh yang lebih tahu Firman Tuhan.
Tanggapan
balik Budi Asali:
Lho,
baru saja anda mengatakan “Gembala
sidang memberkati jemaat melalui penjelasan Firman Tuhan, antara
lain.”.
Sekarang anda mengatakan “Gembala
sidang memberkati jemaat melalui penjelasan Firman Tuhan, antara
lain.”.
Hehehe, anda pikun atau tolol?
Siapa
yang bicara tentang orang-orang Lewi? Suhento Liauw bicara tentang
imam, dan saya juga bicara tentang imam, dan anda mau belokkan ke
orang Lewi. Saya juga tahu orang Lewi memang mengajar, dan demikian
juga nabi-nabi. Tetapi sekarang pembicaraan tentang imam.
c)
Bandingkan juga dengan ayat-ayat ini:
Ro
12:14 - “Berkatilah
siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengutuk!”.
1Kor
4:12 - “kami
melakukan pekerjaan tangan yang berat. Kalau kami dimaki, kami
memberkati; kalau kami dianiaya, kami sabar;”.
Ibr
7:7 - “Memang
tidak dapat disangkal, bahwa yang lebih rendah diberkati oleh yang
lebih tinggi”.
Roma
12:14 dan 1 Korintus 4:12 sama sekali kami aminkan! Ini bukanlah
mengatakan ada jabatan khusus untuk memberkati. Ini justru
mengajarkan bahwa semua orang Kristen bisa memberkati, tetapi bukan
dalam konsep seperti imam PL. Ini seperti berkata: “God Bless You,”
atau “kiranya Tuhan memberkati.” Kami sama sekali tidak menentang
“berkat” yang seperti ini. Ibrani 7:7 beda lagi. Ini justru
mengacu kepada “berkat” khusus seperti yang dilakukan oleh imam
PL (konteksnya Melkisedek, seorang imam, memberkati Abraham). Nah,
justru ini tidak dilakukan oleh orang Kristen PB, karena kita tidak
ada yang lebih tinggi lebih rendah. Semuanya “imam.” “Pendeta”
bukan imam. Pendeta perlu ditanya dulu: dari Shaolin atau Butong pai.
Tanggapan
balik Budi Asali:
Omong
kosong kalau tidak ada tinggi atau rendah dalam Perjanjian Baru.
Semua disebut imam, tak membuktikan bahwa semua setingkat. Mengapa?
1) Sebutan
imam tak berarti mereka betul-betul diberi jabatan imam seperti dalam
Perjanjian Lama. Itu hanya menunjukkan bahwa mereka bebas untuk
datang kepada Tuhan, dengan hanya melalui Yesus Kristus sebagai
pengantara / imam, dan tak dibutuhkan lagi imam manusia biasa.
William
Barclay (tentang 1Pet 2:9):
“this means that every
Christian has the right of access to God”
(= ini berarti bahwa setiap orang Kristen mempunyai hak masuk kepada
Allah) - hal 199.
2) Tuhan
menetapkan jabatan-jabatan dalam gereja, seperti yang dinyatakan
dalam Ef 4:11, 1Tim 3:1dst. Jadi, bagaimana mungkin tak ada yang
lebih tinggi atau lebih rendah?
Kontext
Ibr 7 memang tentang Melkisedek, tetapi dalam penceritaan fakta pada
saat dia memberkati Abraham, diberi suatu pernyataan yang
sifatnya umum, yaitu yang
lebih tinggi memberkati yang lebih rendah! Karena sifatnya umum, maka
dalam Perjanjian Barupun boleh yang lebih tinggi memberkati yang
lebih rendah (dengan catatan berkat tetap datang dari Tuhan, orang
yang memberkati hanya sebagai alat Tuhan).
Adam
Clarke: “That
the superior blesses the inferior is a general
proposition; but Abraham was blessed of Melchizedek, therefore
Melchizedek was greater than Abraham”
(= Bahwa yang lebih tinggi memberkati yang lebih rendah adalah suatu
dalil yang umum;
tetapi Abraham diberkati oleh Melkisedek, krn itu Melkisedek lebih
besar / tinggi dari Abraham).
Juga
dimana dalam Alkitab dikatakan ada jabatan khusus untuk memberkati?
Dimana dikatakan bahwa itu hanya
untuk imam?
Kata-kata
anda “Pendeta
perlu ditanya dulu: dari Shaolin atau Butong pai.”,
merupakan kata-kata tolol, karena menganggap bahwa istilah ‘pendeta’
adalah istilah agama Buddha. Justru istilah ‘pendeta’ tak ada
dalam Buddha! Anda terlalu banyak baca buku silat dan tak pernah baca
Alkitab, makanya ajarannya lebih mirip buku silat. Ganti saja nama
GBIA jadi GBIBS (Gereja Baptis Independen Buku Silat)!
Sekarang
saya ambil rumus yang anda sendiri ‘ciptakan’ dalam point ke 5 di
atas. Untuk mudahnya saya kutip ulang kata-kata anda sendiri “Teks
memang tidak berkata bahwa ada kayu horizontal, tetapi teks juga
tidak mengatakan tidak ada. Jadi, ini adalah penafsiran yang TIDAK
BERTENTANGAN dengan data Alkitab.”.
Sekarang berdasarkan rumus anda sendiri (sekalipun saya bukannya
setuju dengan rumus tolol itu), saya tanya: mengapa / bagaimana
gerangan dengan memiliki / menciptakan rumus seperti itu, anda bisa
melarang adanya jabatan pendeta, dan juga bisa melarang pendeta untuk
memberikan berkat dalam kebaktian, dsb? Bukankah Alkitab di bagian
manapun tak melarang hal itu? Dan kalau tak dilarang berarti menurut
anda boleh / tidak salah? Hehehe, lagi-lagi rumus tolol ciptaan anda
sendiri menjadi boomerang yang menghantam kepala anda sendiri!
16)Nama
Allah yang benar bukan YAHWEH tetapi YEHOVAH. Alasan: karena dalam
manuscript
tertua
yang gunakan huruf hidup (MT) namanya disebutkan YEHOVAH.
Tanggapan
Budi Asali:
Ini
lucu karena MT bukan manuscript! Dalam manuscript tak ada huruf
hidup! Memang YAHWEHpun belum tentu benar, tetapi YEHOVAH pasti
salah, karena huruf hidupnya dipinjam dari ADONAY (dan mungkin juga
dari ELOHIM).
Wah...wah...kalau
dalam manuscript tidak ada huruf hidup, lalu huruf hidup yang ada
hari ini dapat dari mana? Sepertinya ada yang salah mendefinisikan
“manuscript.” Memang ada manuscript tanpa huruf hidup, seperti
yang ditemukan di Gulungan Laut Mati. Tetapi Alkitab bahasa Ibrani
yang kita miliki hari ini (yang ada huruf hidup) tentunya berasal
dari manuscript yang punya huruf hidup.
Misalnya:
Aleppo Codex (abad 10), Leningrad Codex (juga abad 10), Codex
Cairensis (abad 9), dan masih banyak lagi yang lain. Silakan meriset
dulu hal ini baik-baik sebelum membuat pernyataan yang sangat salah.
Masoretic Text sendiri diambil dari beberapa manuscript utama. Selama
400 tahun, diambil dari text Ben Chayyim (abad 16), lalu belakangan
di ambil dari Leningrad Codex. Jadi, manuscript-manuscript yang
menyumbang kepada Masoretic Text ini sering disebut manuscript MT.
Tanggapan
balik Budi Asali:
Hehehe,
anda memang tak mengerti bahasa Ibrani sama sekali, atau pura-pura
tak mengerti? Huruf-huruf bahasa Ibrani hanya 22 dan semuanya huruf
mati. Jadi, jelas bahwa Perjanjian Lama ditulis hanya dengan huruf
mati. Tanda-tanda yang menunjukkan bunyi huruf hidup baru diciptakan
sekitar abad 9-10 M.!
Saya
akan kutip dari buku pelajaran bahasa Ibrani saya sendiri waktu saya
sekolah theologia. Buku ini dipakai dalam semester pertama waktu
sekolah theologia! Anehnya doktor theologia bisa tidak tahu!
Menahem
Mansoor:
“8.
The Hebrew Bible was originally written without
vowels.
The Hebrew of the Dead Sea Scrolls, dated between the second century
b.c.
and the first century a.d.,
has
no vowels.
When Hebrew had ceased to be a spoken language, several
systems of vowel signs were invented by Jewish grammarians to help
the public read Hebrew accurately.
Our present system was probably adopted during
the ninth or tenth century a.d.
and is known as the Tiberian - developed by Jewish scholars of
Tiberias in Palestine. Since the Hebrew text of the Bible was
regarded as sacred, the Rabbis did not effect any changes in the
consonantal text of the Bible but added the vowel signs above, below,
and inside the consonants. 9. Modern
Hebrew books and newspapers are usually printed without vowels. In
fact, all writing in Hebrew is usually printed without vowels, with
the exception of grammars, Hebrew texts for beginners, dictionaries,
and printed Bibles (where the vowel signs are convenient and
desirable)”
(= ) - ‘The Biblical Hebrew:
Step by Step’, hal 31.
Kutipan
ini mengatakan bahwa Alkitab Ibrani yang mula-mula, ditulis tanpa
huruf hidup. Manuscript-manuscript ‘Dead Sea Scrolls’,
manuscript-manuscript tertua yang masih ada pada saat ini, yang
berasal dari abad ke 2 atau abad ke 1 S.M. juga tidak punya huruf
hidup. Ini bisa dilihat di Google, dan banyak buku-buku lain, dimana
ditunjukkan foto-foto dari manuscript-manuscript dari Dead Sea, yang
memang menunjukkan tidak adanya tanda-tanda yang menyatakan bunyi
huruf hidup.
Tanda-tanda
yang menyatakan bunyi huruf hidup diciptakan sekitar abad 9-10 M.
Bahkan buku-buku Ibrani modern dan surat kabar modern, ditulis tanpa
huruf hidup. Hanya buku gramatika, buku-buku untuk pemula, kamus,
Alkitab yang dicetak, baru diberi tanda-tanda yang menunjukkan bunyi
huruf hidupnya.
Bahkan
sampai jaman sekarang, kalau anda non TV dan menunjukkan keadaan di
Israel, tetap mereka menulis tanpa tanda-tanda yang menunjukkan huruf
hidup!
Anda
mau sebutkan manuscript apapun namanya, saya tak peduli. Kalau
manuscript sudah diberi tanda-tanda yang menyatakan bunyi huruf
hidup, menurut saya itu bukan lagi manuscript!
Bagaimana
membacanya? Karena mereka terus menggunakan maka pada umumnya mereka
tahu bunyi huruf hidupnya. Contoh: saya menulis sms kepada anda.
“Stvn, km bdh skl”. Bisa mengerti? Kalau anda memang menguasai
bahasa Indonesia, maka anda pasti mengerti, sekalipun sms itu saya
hapus semua huruf hidupnya! Kalau tidak mengerti, maka kata-kata
dalam sms itu memang benar!
Tetapi
memang, ada kasus-kasus dimana huruf hidupnya diperdebatkan, karena
bisa berbeda-beda.
Contoh:
Mal 2:3 - “Sesungguhnya,
Aku akan mematahkan lenganmu
dan akan melemparkan kotoran ke mukamu, yakni kotoran korban dari
hari-hari rayamu, dan orang akan menyeret kamu ke kotoran itu”.
Kata
Ibrani yang diterjemahkan ‘lengan’ bisa diberi tanda untuk untuk
hidup yang berbeda, sehingga bisa dibaca HAZERA (= the seed), atau
HAZROA (the arm / shoulder). Alkitab Indonesia menterjemahkan
‘lengan’, jadi memilih HAZROA. Tetapi KJV/RSV/NIV/NASB
menterjemahkan ‘seed / offspring / descendant’, jadi memilih
HAZERA.
Jadi,
kalau suatu manuscript diberi tanda-tanda yang menunjukkan bunyi
huruf hidupnya, itu
berarti penafsiran sudah masuk ke dalamnya!
Sekarang,
bagaimana dengan nama Allah? Dalam Alkitab Ibrani sebetulnya hanya 4
huruf mati yaitu YHWH. Dari kata Halelu-yah (pujilah Yah), yang masuk
ke dalam bahasa Yunani, seperti dalam Wah 19:1,3,4,6, dan juga dari
sebutan ‘Yah’ untuk Tuhan, seperti misalnya dalam Yes 12:2, maka
kita bisa tahu bahwa suku kata pertama adalah ‘Yah’. Tetapi
selanjutnya bagaimana, tidak terlalu pasti. Jadi, Yahweh juga tidak
pasti, tetapi hanya merupakan kemungkinan.
Saya
akan memberi kutipan dari buku saya sendiri tentang Yahweh-isme, yang
berbunyi sebagai berikut: Bagaimana
dengan pengucapan ‘Jehovah’
/
‘Yehovah’?
Di
atas sudah saya jelaskan bahwa setiap kali bertemu dengan nama YHWH,
mereka membacanya ADONAY (= Tuhan). Lalu pada suatu saat, ada
orang-orang yang memasukkan bunyi huruf-huruf hidup dari kata ADONAY,
yaitu A - O - A ke sela-sela dari YHWH itu, sehingga didapatkan
YAHOWAH, dan seorang dosen saya mengatakan bahwa dalam aksen Jerman
(entah dari mana kok tahu-tahu ada aksen Jerman), ini lalu berubah
menjadi YEHOWAH atau YEHOVAH. Pulpit Commentary dalam tafsirannya
tentang Im 24:11 mengatakan bahwa perubahan YAHOWAH menjadi YEHOWAH
itu disebabkan karena: “the
laws of the Hebrew language required the first a to be changed into
e, and hence the name Jehovah”
(= hukumhukum dari bahasa Ibrani mengharuskan huruf a yang pertama
untuk diubah menjadi huruf e, dan karena itu menjadi Jehovah) -
hal 383.
Catatan:
perlu diketahui bahwa dalam bahasa Ibrani, huruf V dan W adalah sama.
The
New Bible Dictionary (dengan topik ‘God, names of’): “YHWH
was considered too sacred to pronounce; so ADONAY (my Lord) was
substituted in reading, and the vowels of this word were combined
with the consonants YHWH to give ‘Jehovah’, a form first attested
at the beginning of the 12th
century
AD” [=
YHWH dianggap terlalu keramat untuk diucapkan; maka ADONAY (Tuhanku)
dijadikan pengganti dalam pembacaan, dan huruf-huruf hidup dari kata
ini dikombinasikan dengan huruf-huruf mati YHWH untuk memberikan
‘Jehovah’, suatu bentuk yang pertama-tama ditegaskan pada
permulaan abad ke 12 M.] -
hal 478.
Nelson’s
Bible Dictionary (dengan topik ‘God, Names of’): “The
divine name Yahweh is usually translated Lord in English versions of
the Bible, because it became a practice in late Old Testament Judaism
not to pronounce the sacred name YHWH, but to say instead ‘my Lord’
(Adonai) - a practice still used today in the synagogue. When the
vowels of Adonai were attached to the consonants YHWH in the medieval
period, the word Jehovah resulted” [=
Nama ilahi ‘Yahweh’ biasanya diterjemahkan ‘Lord’
(=
Tuhan) dalam versi-versi Alkitab bahasa Inggris, karena menjadi suatu
praktek dalam Yudaisme Perjanjian Lama belakangan, untuk tidak
mengucapkan nama keramat / kudus YHWH, tetapi mengatakan ‘Tuhanku’
(ADONAY) sebagai gantinya - suatu praktek yang masih digunakan jaman
ini dalam sinagog. Pada waktu huruf-huruf hidup dari ADONAY diberikan
pada huruf-huruf mati YHWH pada jaman abad pertengahan, kata Yehovah
dihasilkan].
a
D o N a Y
Y
H W H YaHoWaH
YeHoWaH
/ YeHoVaH
Encyclopedia
Britannica memberikan penjelasan yang agak berbeda. Encyclopedia
Britannica mengatakan bahwa bunyi huruf-huruf hidup yang dimasukkan
di sela-sela YHWH itu diambil bukan hanya dari kata ADONAY (= Tuhan),
tetapi juga dari kata ELOHIM (= Allah). Dari kata yang pertama
didapatkan A - O - A dan dari kata yang kedua didapatkan E - O - I.
Penggabungannya dimasukkan ke sela-sela YHWH. Untuk bunyi huruf hidup
pertama, yang diambil adalah E, untuk yang kedua diambil O, dan untuk
yang ketiga diambil A. Jadi, muncul YEHOWAH / YEHOVAH.
Encyclopedia
Britannica 2007: “The
Masoretes, who from about the 6th
to
the 10th
century
worked to reproduce the original text of the Hebrew Bible, replaced
the vowels of the name YHWH with the vowel signs of the Hebrew words
Adonai or Elohim. Thus, the artificial name Jehovah (YeHoWaH) came
into being” [=
Para ahli Taurat Yahudi, yang dari kira-kira abad ke 6 sampai abad ke
10 bekerja untuk mereproduksi text orisinil dari Alkitab Ibrani,
menggantikan huruf-huruf hidup dari nama YHWH dengan tanda-tanda
huruf-huruf hidup dari kata-kata Ibrani Adonai atau Elohim. Maka,
nama buatan YEHOVAH (YeHoWaH) tercipta].
a
D o N a Y
Y
H W H YeHoWaH
/ YeHoVaH
e
L o H i M
Louis
Berkhof rupanya juga sependapat, karena ia berkata: “And
therefore in reading the Scriptures they substituted for it either
’Adonai or ’Elohim; and the Masoretes, while leaving the
consonants intact, attached to them the vowels of one of these names,
usually those of ’Adonai” [=
Dan
karena itu dalam membaca Kitab Suci mereka (orang-orang Yahudi)
menggantikannya atau dengan ADONAY atau ELOHIM; dan ahli-ahli Taurat
Yahudi, sementara mereka membiarkan huruf-huruf mati itu utuh,
melekatkan kepada huruf-huruf mati itu huruf-huruf hidup dari salah
satu dari nama-nama ini,
biasanya
huruf-huruf hidup dari ADONAY] -
‘Systematic
Theology’,
hal 49.
Dari
penjelasan ini bisa dinyatakan bahwa penyebutan YEHOVAH (atau dalam
bahasa Inggris ‘Jehovah’),
sebenarnya pasti salah, karena bunyi huruf hidupnya diambil dari kata
ADONAY, atau dari ADONAY dan
ELOHIM.
Saya
tidak akan menyalahkan Budi Asali
untuk penjelasan di atas, karena jelas itu adalah penjelasan
mainstream.
Dia pastinya diajarkan seperti itu. Saya dulu juga percayanya seperti
itu. Antara lain: bahwa teks awal Alkitab Ibrani awalnya tidak ada
huruf hidup, huruf hidup baru ditambahkan belakangan oleh para
Masoretes, lalu bahwa YHWH sudah tidak diketahui cara sebutnya, dan
bahwa lafal “Yehovah” adalah dari Adonai, sekali lagi dilakukan
oleh para Masoretes.
Tetapi
setelah saya selidiki lebih lanjut, posisi ini adalah posisi yang
(walaupun dipegang kebanyakan “theolog”), sangat sulit
dipertahankan jika ditilik dari sudut pandang iman. Jika
benar bahwa teks asli PL tidak punya huruf hidup, dan bahwa huruf
hidup ditambahkan belakangan, maka PL sama sekali kehilangan
otoritasnya.
Hal ini sudah terjadi di kalangan liberal. Kalau mereka tidak suka
dengan suatu teks tertentu, mereka berkata bahwa huruf hidupnya
salah, dan mereka merancang kombinasi huruf hidup baru untuk
menyesuaikan maunya mereka! Ditarik kepada konsekuensi akhirnya,
posisi ini posisi yang meruntuhkan otoritas PL.
Bahwa
huruf hidup Yehovah berasal dari Adonai, adalah spekulasi belaka.
Tidak ada bukti sama sekali. Ada yang bilang Adonai, ada yang bilang
Elohim. Ini semua tanpa bukti tentunya. Ini spekulasi. Hanya karena
huruf hidup suatu kata sama dengan huruf hidup kata lain, bukan
berarti yang satu mengambil huruf hidup yang lainnya.
Karena
ini hanya jawaban singkat, saya tidak punya waktu untuk menjelaskan
panjang lebar topik yang sangat menarik ini. Saya refer saja pembaca
yang ingin tahu lebih lanjut, ke beberapa artikel:
http://bbc-cromwell.org/Seminary_Articles/Who-is-this-Deity-named-Yahweh.pdf
http://bbc-cromwell.org/Seminary_Articles/Tittle.doc.pdf
Tanggapan
balik Budi Asali:
Kalau
tidak tahu, bilang saja tidak tahu. Tak usah banyak omong kosong!
Terus terang saja, Doktor yang bisa ngomong seperti yang anda
lakukan, saya ragukan ke-doktor-annya!
Kalian
memang senang mengajar yang nyeleneh, untuk cari sensasi.
Apa
urusannya Perjanjian Lama tanpa huruf hidup dengan otoritasnya???
Jelas anda memang tolol bukan main! Anda sendiri mengakui bahwa Dead
Sea Scrolls tak mempunyai tanda-tanda yang menunjukkan bunyi huruf
hidup, dan itu pasti jauh lebih tua dari ‘manuscript-manuscript’
yang digunakan untuk menciptakan MT. Yang mana yang lebih kuat
otoritasnya? Kalau anda katakan MT, anda pasti gila!
Bahwa
huruf hidup YEHOVAH diambil dari ADONAY merupakan sesuatu yang sangat
masuk akal. Mengapa? Karena suatu waktu (sekitar abad 6 SM), mereka
menjadi sangat takut mengucapkan YHWH itu, dan setiap kali bertemu
dengan kata itu dalam Alkitab / Perjanjian Lama, mereka membacanya
ADONAY. Ini tetap dilakukan dalam gerejanya Bambang Noorsena.
Lama
kelamaan orang yang tahu bagaimana membaca YHWH mati semua, dan tak
seorangpun tahu bagaimana membacanya dengan pasti. Jadi, kalau
belakangan mau dipulihkan, lalu menggunakan bunyi huruf hidup dari
ADONAY, itu penjelasan yang masuk akal. Penjelasan ini diberikan oleh
boleh dikatakan semua dictionary / encyclopedia. Suhento Liauw
sendiri mengecam orang-orang dari kelompok Yahweh-isme yang menolak
penjelasan dia yang dia ambil dari dictionary dan encyclopedia,
tetapi ternyata sekarang anaknya seperti itu! Lucu sekali!
17)
Ia percaya semua bayi yang mati masuk surga. Dasar Alkitab yang ia
berikan adalah
1Raja
14:13i
pada keluarga Yerobeam yang akan mendapat kubur, sebab di antara
keluarga Yerobeam hanya padanyalah terdapat sesuatu yang baik di mata
TUHAN, Allah Israel.”.
Ia
berkata anak Yerobeam ini belum akil balik / dewasa dan karena itu
Tuhan menemukan adanya sesuatu yang baik dalam dirinya (ia belum
punya dosa dari dirinya sendiri).
Tanggapan
Budi Asali:
Sangat
lucu, jadi dosa asal tak membuat Allah murka kepada seseorang. Kalau
begitu mengapa bayi bisa mati? Juga anak Yerobeam itu bukan bayi /
anak kecil. Kata Ibrani yang digunakan adalah NAAR, yang bisa berarti
‘boy’ (=
anak laki-laki) ataupun ‘youth’
(= pemuda). Karena itu anak itu
sudah pasti punya dosa dari dirinya sendiri. Kalau dikatakan Allah
mendapati sesuatu yang baik dalam dirinya maka itu pasti menunjukkan
anak itu sudah beriman, karena tanpa iman tidak mungkin seseorang
bisa memperkenan Tuhan.
Ibr
11:6a -
“Tetapi
tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah.”.
Mungkin
karena ia beriman maka ia tidak setuju dengan penyembahan berhala
yang dilakukan oleh ayahnya (Yerobeam), dan itulah hal yang baik yang
ada pada anak itu. Adanya hal yang baik ini pasti juga merupakan
hasil pekerjaan Tuhan dan kasih karuniaNya dalam diri anak itu,
sehingga sekalipun ia dilahirkan dalam keluarga yang brengsek, ia
sendiri bisa beriman dan mempunyai kesalehan, sehingga bisa
memperkenan Tuhan.
Aneh
sekali bahwa Budi Asali justru tidak menangkap alasan utama yang
diberikan oleh Dr. Suhento Liauw, bahwa semua bayi pasti masuk Surga:
yaitu bahwa dosa asal sudah diselesaikan oleh Yesus Kristus di atas
kayu salib. Ingat bahwa Yesus menanggung dosa seisi dunia. Tentunya
Budi Asali yang tidak percaya kata-kata Alkitab ini, melainkan
memasukkan konsep Limited Atonement-nya untuk menafsir ulang “dunia,”
memiliki kesulitan dengan konsep ini. Tidak mengapa. Ini toh salah
satu poin yang bisa muncul dalam debat nanti, jadi tidak perlu
panjang lebar.
Tanggapan
balik Budi Asali:
Hmmm,
omong kosong. Dia mengatakan semua bayi masuk surga, dosanya ditebus
Yesus. Lalu dia mau membuktikan, dengan menggunakan ayat ini. Tetapi
saya mau tunjukkan ayat ini sama sekali tidak cocok!
Kalau
anda mengatakan bayi pasti masuk surga karena dosa asalnya sudah
ditebus oleh Yesus, saya tanya: bagaimana kalau bayi itu hidup terus
sampai dewasa, lalu mati tanpa percaya Yesus? Dia masuk mana? Kalau
masuk neraka, kok bisa sudah ditebus tetapi masuk neraka? Apakah yang
ditebus hanya dosa asalnya. Jadi Yesus menebus sebagian dosa?
Saya
memang percaya ‘Limited
Atonement’
(= Penebusan Terbatas) dan tidak ‘Universal
Atonement’
(= Penebusan Universal). Mau debat tentang itu? Boleh saja. Kalau
percaya ‘Universal
Atonement’
(= Penebusan Universal), anda harus jelaskan bagaimana dari semua
orang yang hutang dosanya sudah dibayar lunas oleh Yesus itu,
akhirnya banyak yang tak percaya dan lalu masuk neraka? Itu akan
berarti hutang dosa mereka dibayar 2 x. Pertama Kristus yang bayar,
lalu orangnya sendiri disuruh bayar lagi. Itu tidak adil dan kurang
ajar. Tidak mungkin Allah menagih hutang 2x!
18)
Dalam pengajaran, Suhento Liauw ini sering memfitnah orang:
a)
Ia menunjukkan foto di koran, ada 4 orang, themanya kira-kira
penyatuan / penyamaan Kristen dengan Katolik. Lalu berkata: yang ini
James Ryadi (memang benar), yang ini Stephen Tong (ngawur, itu pasti
bukan Stephen Tong). Lalu di koran itu ditulis nama Sekolah Tinggi
Theologia Reformed Injili Indonesia.
Tanggapan
Budi Asali:
Ini
saya protes dalam acara tanya jawab dan saya jelaskan: yang satu
memang James Ryadi, yang satu lagi Yakub Susabda, tetapi tak ada
Stephen Tong, itu FITNAH!
Dia agak malu, lalu bilang kalau fotonya kabur jadi mirip Stephen
Tong. Padahal fotonya nggak mirip sama sekali dengan Stephen Tong!
Dan kalau memang tidak tahu, lebih baik jangan omong tentang
kejelekan orang lain, atau itu harus dianggap sebagai
FITNAH!
Tuduhan
yang cukup berat, tetapi ada beberapa “barang bukti” yang tidak
disampaikan:
1.
Apakah Dr. Suhento Liauw, setelah mendapat klarifikasi dari Budi
Asali, bahwa itu bukan Stephen Tong, tetap mengatakan itu Stephen
Tong? Ini saya rasa adalah kuncinya. Kalau Dr. Suhento Liauw tetap
ngotot mengatakan itu Stephen Tong, dan terbukti bukan Stephen Tong,
maka bisa saja dikatakan fitnah. Tetapi, kalau sesudah diklarifikasi,
Dr. Liauw menerima baik klarifikasi itu, maka apanya yang fitnah??
Baik,
untuk menjernihkan, saya akan pampangkan foto yang dimaksud: Foto ini
diambil dari koran Suara Pembaruan, 27 Agustus 2008. Inti yang
dibahas oleh Dr. Liauw adalah bahwa ada gerakan penyatuan
Protestan-Katolik, dengan contoh kasus artikel ini, yang menyatakan
bahwa Sekolah Tinggi Teologi Reformed Injili Indonesia membuka dialog
agar tidak terjadi perpecahan dengan Katolik.
2.
Dr.
Suhento Liauw mulai dengan bertanya kepada audiens: Nah, orang-orang
ini siapa? Lalu beliau mulai dengan tokoh paling kanan, dan berkata,
“Nah, kalau yang ini James Riady.” Audiens mengiyakan. Lalu,
beralih ke tokoh kedua dari kanan, “Nah, kalau yang ini, apakah ini
Stephen Tong?” Audiens sebagian mengiyakan, “Ya itu Stephen
Tong.”
Jadi,
Dr. Suhento sebenarnya mulai dengan pertanyaan, bukan pernyataan. Ada
audiens yang ikut mengiyakan. Nah, memang, Dr. Suhento mengakui bahwa
dirinya juga awalnya mengira ini adalah Stephen Tong. Saya ada
buka-buka web untuk membandingkan dengan foto Stephen Tong (di
wikipedia, dan situs-situs lain), dan saya dapatkan bahwa memang bisa
saja orang terkecoh, terutama yang tidak kenal pribadi dengan pak
Tong. Tentunya Budi Asali yang sesama Reformed (walaupun beda
organisasi dan saya tahu ada beda doktrin juga) lebih kenal. Tetapi
rupanya bukan hanya Dr. Liauw yang terkecoh, tetapi audiens juga
lumayan banyak yang terkecoh. Mungkin karena konteks artikel mengenai
“Reformed,” itu membuat semacam sugesti. Tetapi memang Dr. Liauw
memulai dengan pertanyaan, bukan suatu deklarasi tegas, audiens
mengiyakan. Dr. Liauw memang secara pribadi juga mengira itu benar
Stephen Tong. Untuk kesalahan ini, Ev. Dance, salah satu panitia
seminar, lewat status FB-nya sudah minta maaf.
3.
Pada
saat tanya jawab, Budi Asali membuat klarifikasi, bahwa itu bukanlah
Stephen Tong, melainkan Yakub Susabda. (Padahal sebenarnya yang mirip
Yakub Susabda adalah yang nomor tiga dari kanan, bukan nomor dua dari
kanan). Dia bilang tidak ada Stephen Tong di situ, tetapi Yakub
Susabda, dan ini dia tegaskan dengan yakin. Dr. Liauw, mengatakan,
“benarkah?” Lalu setelah menayangkan kembali foto, dan setelah
ditegaskan lagi oleh Budi Asali, Dr. Liauw berkata kira-kira “Ok,
kalau begitu, tidak masalah [ini bukan Stephen Tong], yang jelas ini
adalah Reformed” (Dan Budi Asali juga menjelaskan beda antara satu
Reformed dengan kelompok Reformed lainnya). Intinya adalah: Dr.
Suhento Liauw menerima klarifikasi Budi Asali, dan mengatakan bahwa
poin seminar tidak tergantung kepada siapa individu di dalam foto.
Semua orang yang hadir di seminar itu mendengarkan
klarifikasi
Budi Asali.
Dengan
kronologi seperti itu, saya jadi bingung mengapa hal ini diangkat
lagi oleh Budi Asali? Apakah dia merasa bahwa Dr. Liauw tidak
menerima klarifikasi-nya? Saya rasa tidak mungkin. Lalu kalau memang
klarifikasi sudah dibuat, sudah didengar semua yang hadir, mengapa
Dr. Liauw masih dikatakan memfitnah? Saya khawatir ini hanyalah suatu
serangan demi untuk menyerang. Suatu serangan untuk membuat sensasi.
Ironisnya, karena penasaran, saya memperbesar foto itu secara
elektronik, dan saya dapatkan bahwa caption di bawah foto masih bisa
terbaca:
Jadi,
rupanya, Suara Pembaruan membuat caption nama-nama yang difoto: Wim
Tangkilisan, Samuel Budiprasetya, Yohanes Indrakusuma, dan James
Riady. (Catatan: pada waktu seminar, bagian ini tidak terbaca karena
buram/kecil).
Malah
tidak ada Yakub Susabda! Nah, kalau memang Dr. Liauw memfitnah
Stephen Tong, bukankah dapat dikatakan bahwa Budi Asali memfitnah
Yakub Susabda? Kalau saya pribadi berkesimpulan tidak demikian. KBBI
online memberi definisi berikut untuk “fitnah”: “perkataan
bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yg disebarkan dng maksud
menjelekkan orang.” Saya melihat bahwa salah satu elemen krusial
dalam fitnah adalah: sudah tahu itu salah, tetapi masih
menyebarkannya dengan tujuan menjelekkan yang bersangkutan.
(Referensi:
http://kamusbahasaindonesia.org/fitnah#ixzz1ynWbP8uV)
Saya
rasa baik Dr. Liauw maupun Budi Asali memang membuat kesalahan yang
jujur, bukan bermaksud memfitnah. Semoga pembaca juga sampai pada
kesimpulan yang sama.
Tanggapan
balik Budi Asali:
Ini
akan saya bahas dalam file terpisah berjudul ‘Fitnah Suhento Liauw
ttg Stephen Tong 2’.
b)
Calvin / Calvinist ada jejak darah, dalam persoalan kematian
Servetus. Lucu, yang menghukum mati Servetus bukan Calvin, tetapi
pengadilan! Orang gila ini senang memfitnah!
Tanggapan
Budi Asali:
Ini
fitnahan yang lazim dalam kalangan Arminian! Entah mereka tidak tahu
sejarahnya atau pura-pura tidak tahu, itu bukan urusan saya. Tetapi
siapapun mau bicara tentang kejelakan orang, ia harus tahu bahwa apa
yang ia bicarakan itu pasti benar. Kalau tidak, itu merupakan
FITNAH!
Ah,
masalah Calvin dan Servetus. Baiklah. Apakah fitnah bahwa Calvin ada
jejak darah? Apakah Calvin seorang penonton saja saat pengadilan
menjatuhkan hukuman mati pada Servetus, sehingga ia bisa lepas
tanggung jawab? Kalaupun bukan tanggung jawab hukum, bagaimana dengan
tanggung jawab moral di hadapan Tuhan? Baik, saya tidak mau panjang
lebar. Silakan pembaca pikir sendiri:
Tanggapan
balik Budi Asali:
Pertama-tama
pikirkan kata-kata ‘jejak darah’! Itu, oleh semua orang yang
waras, harus diartikan bahwa Calvin adalah pembunuh Servetus, atau
setidaknya ikut tercakup dalam pembunuhan terhadap Servetus. Jadi,
ini sudah merupakan penggunaan kata-kata yang kurang ajar dari
seorang yang tak berarti seperti Suhento Liauw, terhadap seorang
tokoh Reformasi seperti Calvin!
Servetus
dihukum mati oleh pengadilan. Dan karena itu, itu jelas tidak bisa
dianggap sebagai pembunuhan. Kalau ada orang bunuh orang, lalu
pembunuh tertangkap, dan dihukum mati, apakah hakim dsb adalah
pembunuh? Dan kalau saya menjadi saksi, dan menyatakan bahwa pembunuh
itu memang membunuh, lalu ia dihukum mati, apakah saya jadi pembunuh
hanya karena memberi kesaksian? Kalau kesaksian saya itu dusta, dan
orang itu dihukum mati karena kesaksian dusta saya, maka memang saya
termasuk dalam komplotan pembunuhan. Tetapi kalau kesaksian saya
benar? Kalau anda tetap katakan ya, anda tolol dan sama sekali tak
mengerti hukum, baik hukum negara maupun Hukum Tuhan!
Philip
Schaff, seorang ahli sejarah top, yang bukan Calvinist, menyatakan
bahwa Calvin memang hanya melaporkan kehadiran Servetus di Jenewa,
dan menjadi saksi ahli dalam pengadilan. Tetapi setelah itu,
pengadilan yang menjatuhkan hukuman mati dengan dibakar. Bahkan
Calvin ingin meringankan hukuman itu menjadi hukuman penggal, tetapi
itu ditolak oleh pengadilan. Itu menunjukkan bahwa Calvin tak punya
otoritas apapun terhadap pengadilan! Jadi, mengapa Suhento Liauw
secara kurang ajar mengatakan ‘jejak darah’? Orang brengsek ini,
tanpa punya pengertian tentang Calvin, mencela tokoh Reformasi itu
dengan kata-kata yang kurang ajar! Dan itu adalah FITNAH! Saya tak
heran, karena dalam tulisan-tulisan tololnya dia sudah sangat banyak
memfitnah Calvinisme. Juga memfitnah Stephen Tong dalam seminarnya!
Dan
kembali pada Calvin dan Servetus, tindakan Calvin didukung sepenuhnya
oleh orang-orang saleh / beriman pada jamannya. Mereka salah semua?
Calvin
punya banyak musuh-musuh, dan musuh-musuh ini memberikan segala
macam fitnahan khususnya dalam persoalan Servetus. Suhento Liauw
termasuk di dalamnya!
Mau
bukti tentang Calvin dan Servetus? Saya berikan kutipan-kutipan dari
Schaff di bawah ini (sebagai catatan: Schaff adalah ahli sejarah yang
tergolong top; ia menulis buku sejarah dalam 8 volume! Jelas ia bukan
orang kacangan seperti Suhento Liauw dan Steven Liauw).
1) Servetus adalah seorang bidat, dan
bahkan, lebih dari itu, ia adalah seorang penghujat yang betul-betul
luar biasa kurang ajar dengan kata-katanya. Ini terlihat dari
kata-kata Philip Schaff sebagai berikut:
Philip
Schaff: “Servetus
- theologian, philosopher, geographer, physician, scientist, and
astrologer - was one of the most remarkable men in
the history of heresy”
(= Servetus - ahli theolgia, ahli filsafat, ahli ilmu bumi, dokter,
ilmuwan, dan ahli nujum - adalah salah seorang yang paling hebat
dalam sejarah bidat)
- ‘History of the Christian
Church’, vol VIII, hal 786.
Philip
Schaff: “Let
us remember also that it
was not simply a case of fundamental heresy, but of horrid blasphemy,
with which he had to deal. If he was mistaken, if he misunderstood
the real opinions of Servetus, that was an error of judgment, and an
error which all the Catholics and Protestants of that age
shared” - ‘History
of the Christian Church’,
vol VIII, hal 691.
Philip
Schaff: “It
is not surprising that this book gave great offence to Catholics and
Protestants alike, and appeared to them blasphemous.
Servetus
calls the Trinitarians tritheists and atheists.
He
frivolously asked such questions as whether God had a spiritual wife
or was without sex.
He
calls the three gods of the Trinitarians a deception of the devil,
yea (in his later writings), a three-headed monster” - ‘History
of the Christian Church’,
vol VIII, hal 718-719.
Philip
Schaff: “Servetus
charges the Reformed Christians of Geneva that they had a gospel
without a God, without true faith, without good works; and that
instead of the true God they worshipped a
three-headed Cerberus” - ‘History
of the Christian Church’,
vol VIII, hal 731.
Catatan: Cerberus
= anjing berkepala tiga yang menjaga Hades dalam mitologi Romawi dan
Yunani (Webster’s New World Dictionary, College Edition).
Philip
Schaff: “He
calls all Trinitarians ‘tritheists’
and ‘atheists.’ They
have not one absolute God, but a three-parted, collective, composite
God - that is, an unthinkable, impossible God, which is no God at
all. They worship three
idols of the demons,
- a
three-headed monster, like the Cerberus of the Greek mythology.
One of their gods is unbegotten, the second is begotten, the third
proceeding. One died, the other two did not die. Why is not the
Spirit begotten, and the Son proceeding? By distinguishing the
Trinity in the abstract from the three persons separately considered,
they have even four gods. The Talmud and the Koran, he thinks, are
right in opposing such nonsense and blasphemy” - ‘History
of the Christian Church’,
vol VIII, hal 741-742.
Philip
Schaff: “Servetus
continued to trouble Calvin, and published in his Restitutio no less
than thirty letters to him, but without dates and without replies
from Calvin. They are conceived in a haughty and self-sufficient
spirit. He writes to the greatest divine of the age, not as a
learner, or even an equal, but as a superior. In the first of these
printed letters he charges Calvin with holding absurd, confused, and
contradictory opinions on the sonship of Christ, on the Logos, and on
the Trinity. In the second letter he tells him: ‘You
make three Sons of God: the human nature is a son to you, the divine
nature is a son, and the whole Christ is a son.... All such
tritheistic notions are a three-headed illusion of the Dragon, which
easily crept in among the sophists in the present reign of
Antichrist. Or have you not read of the spirit of the dragon, the
spirit of the beast, the spirit of the false prophets, three spirits?
Those who acknowledge the trinity of the beast are possessed by three
spirits of demons. These three spirits incite war against the
immaculate Lamb, Jesus Christ (Rev 16). False are all the invisible
gods of the Trinitarians, as false as the gods of the Babylonians.
Farewell.’ He begins the third letter with the oft-repeated warning
(saepius te monui) not to admit that impossible - monster
of three things in God.
In another letter he calls him a reprobate and blasphemer (improbus
et blasphemus) for calumniating good works. He charges him with
ignorance of the true nature of faith, justification, regeneration,
baptism, and the kingdom of heaven”
- ‘History
of the Christian Church’,
vol VIII, hal 730-731.
Philip
Schaff: “Servetus,
with the Bible as his guide, aimed at a more radical revolution than
the Reformers. He started with a new doctrine of God and of Christ,
and undermined the very foundations of the Catholic creed. The three
most prominent negative features of his system are three denials: the
denial of the orthodox dogma of the Trinity, as, set forth in the
Nicene Creed; the denial of the orthodox Christology, as determined
by the Oecumenical Council of Chalcedon; and the denial of infant
baptism, as practised everywhere except by the Anabaptists. From
these three sources he derived all the evils and corruptions of the
Church. The first two denials were the basis of the theoretical
revolution, the third was the basis of the practical revolution which
he felt himself providentially called to effect by his anonymous
book. Those three negations in connection with what appeared to be
shocking blasphemy, though not intended as such, made him an object
of horror to all orthodox Christians of his age, Protestants as well
as Roman Catholic, and led to his double condemnation, first at
Vienne, and then at Geneva”
- ‘History
of the Christian Church’,
vol VIII, hal 738.
Philip
Schaff: “The
severest charge against him is blasphemy. Bullinger remarked to a
Pole that if Satan himself should come out of hell, he could use no
more blasphemous language against the Trinity than this Spaniard; and
Peter Martyr, who was present, assented and said that such a living
son of the devil ought not to be tolerated anywhere. We cannot even
now read some of his sentences against the doctrine of the Trinity
without a shudder. Servetus lacked reverence and a decent regard for
the most sacred feelings and convictions of those who differed from
him. But there was a misunderstanding on both sides. He did not mean
to blaspheme the true God in whom he believed himself, but only the
three false and imaginary gods, as he wrongly conceived them to be,
while to all orthodox Christians they were the Father, the Son, and
the Holy Spirit of the one true, eternal, blessed Godhead”
- ‘History
of the Christian Church’,
vol VIII, hal 788.
2) Calvin hanya melaporkan kehadiran
Servetus, dan menjadi saksi dalam pengadilan bahwa Servetus memang
sesat dan melakukan penghujatan. Tetapi Calvin sama sekali tidak
berurusan dengan hukuman mati yang dijatuhkan oleh pengadilan.
Philip
Schaff: “Shortly
after the publication of the ‘Restitution,’ the fact was made
known to the Roman Catholic authorities at Lyons through Guillaume
Trie, a native of Lyons and a convert from Romanism, residing at that
time in Geneva. He corresponded with a cousin at Lyons, by the name
of Arneys, a zealous Romanist, who tried to reconvert him to his
religion, and reproached the Church of Geneva with the want of
discipline. On the 26th of February, 1553, he wrote to Arneys that in
Geneva vice and blasphemy were punished, while in France a dangerous
heretic was tolerated, who deserved to be burned by Roman Catholics
as well as Protestants, who blasphemed the holy Trinity, called Jesus
Christ an idol, and the baptism of infants a diabolic invention. He
gave his name as Michael Servetus, who called himself at present
Villeneuve, a practising physician at Vienne. In confirmation he sent
the first leaf of the ‘Restitution,’ and named the printer
Balthasar Arnoullet at Vienne. This letter, and two others of Trie
which followed, look very much as if they had been dictated or
inspired by Calvin. Servetus held him responsible. But Calvin denied
the imputation as a calumny. At the same time he speaks rather
lightly of it, and thinks that it would not have been dishonorable to
denounce so dangerous a heretic to the proper authorities. He
also frankly acknowledges that he caused his arrest at Geneva.
He could see no material difference in principle between doing the
same thing, indirectly, at Vienne and, directly, at Geneva. He
simply denies that he was the originator of the papal trial and of
the letter of Trie; but he does not deny that he furnished material
for evidence,
which was quite well known and publicly made use of in the trial
where Servetus’s letters to Calvin are mentioned as pieces
justificatives. There can be no doubt that Trie, who describes
himself as a comparatively unlettered man, got his information about
Servetus and his book from Calvin, or his colleagues, either directly
from conversation, or from pulpit denunciations. We must acquit
Calvin of direct agency, but we cannot free him of indirect agency in
this denunciation. Calvin’s indirect agency, in the first, and his
direct agency in the second arrest of Servetus admit of no proper
justification, and are due to an excess of zeal for
orthodoxy” - ‘History
of the Christian Church’,
vol VIII, hal 757-759.
Philip
Schaff: “The
final responsibility of the condemnation, therefore, rests with the
Council of Geneva, which would probably have acted otherwise, if it
had not been strongly influenced by the judgment of the Swiss
Churches and the government of Bern. Calvin
conducted the theological part of the examination of the trial, but
had no direct influence upon the result.
His theory was that the Church may convict and denounce the heretic
theologically, but thathis
condemnation and punishment is the exclusive function of the State,
and that it is one of its most sacred duties to punish attacks made
on the Divine majesty. ‘From
the time Servetus was convicted of his heresy,’ says Calvin, ‘I
have not uttered a word about his punishment, as all honest men will
bear witness; and I challenge even the malignant to deny it if they
can.’One thing only he did: he expressed the wish for a mitigation
of his punishment.
And this humane sentiment is almost the only good thing that can be
recorded to his honor in this painful trial” - ‘History
of the Christian Church’,
vol VIII, hal 767-768.
Philip
Schaff: “On
the 18th of October the messenger of the State returned with the
answers from the four foreign churches. They were forthwith
translated into French, and examined by the magistrates. We already
know the contents. The churches were unanimous in condemning the
theological doctrines of Servetus, and in the testimony of respect
and affection for Calvin and his colleagues. Even Bern, which was not
on good terms with Calvin, and had two years earlier counselled
toleration in the case of Bolsec, regarded Servetus a much more
dangerous heretic and advised to remove this ‘pest.’ Yet
none of the Churches consulted expressly suggested the death penalty.
They left the mode of punishment with the discretion of a sovereign
State” -
‘History of the Christian
Church’, vol VIII, hal 780.
3) Orang-orang
saleh pada jaman itu semua membela / membenarkan tindakan Calvin.
Philip
Schaff: “Beza
gives a brief account in his Calvini Vita, ad a. 1553 and 1554, where
he says that ‘Servetus
was justly punished at Geneva, not as a sectary, but as a monster
made up of nothing but impiety and horrid blasphemies,
with which, by his speeches and writings, for the space of thirty
years, he had infected both heaven and earth.’ He thinks that
Servetus uttered a satanic prediction on the title-page of his book:
‘Great war took place in heaven, Michael and his angels fighting
with [not against] the dragon.’ He
also wrote an elaborate defence of the death-penalty for heresy in
his tract De
haereticis a civili magistratu puniendis, adversus Martini Bellii
[pseudonym] farraginem et novorum academicorum sectam. Geneva (Oliva
Rob. Stephani), 1554; second ed. 1592; French translation, 1560. See
Heppe's Beza, p. 38 sq”
- ‘History
of the Christian Church’,
vol VIII, hal 684.
Philip
Schaff: “Melanchthon’s
record on this painful subject is unfortunately worse than Luther’s.
This is all the more significant because he was the mildest and
gentlest among the Reformers. But we should remember that his
utterances on the subject are of a later date, several years after
Luther's death. He thought that the Mosaic law against idolatry and
blasphemy was as binding upon Christian states as the Decalogue, and
was applicable to heresies as well. He
therefore fully and repeatedly justified the course of Calvin and the
Council of Geneva, and even held them up as models for imitation!
In a letter to Calvin, dated Oct. 14, 1554, nearly one year after the
burning of Servetus, he wrote: - ‘Reverend and dear Brother: I have
read your book, in which you have clearly refuted the horrid
blasphemies of Servetus; and I give thanks to the Son of God, who was
the brabeuth/$
(the
awarder of your crown of victory) in this your combat. To you also
the Church owes gratitude at the present moment, and will owe it to
the latest posterity. I
perfectly assent to your opinion. I affirm also that your magistrates
did right in punishing, after a regular trial, this blasphemous man.’
A year later, Melanchthon wrote to Bullinger, Aug. 20, 1555: -
‘Reverend and dear Brother: I have read your answer to the
blasphemies of Servetus, and I approve of your piety and opinions. I
judge also that the Genevese Senate did perfectly right, to put an
end to this obstinate man, who could never cease blaspheming. And I
wonder at those who disapprove of this severity.’
Three years later, April 10, 1557, Melanchthon incidentally (in the
admonition in the case of Theobald Thamer, who had returned to the
Roman Church) adverted again to the execution of Servetus, and called
it, ‘a pious and memorable example to all posterity.’ It is an
example, indeed, but certainly not for imitation”
- ‘History
of the Christian Church’,
vol VIII, hal 706-708.
Philip
Schaff: “Bucer,
who stands third in rank among the Reformers of Germany, was of a
gentle and conciliatory disposition, and abstained from persecuting
the Anabaptists in Strassburg. He knew Servetus personally, and
treated him at first with kindness, but after the publication of his
work on the Trinity, be refuted it in his lectures as a ‘most
pestilential book.’ He
even declared in the pulpit or in the lecture-room that Servetus
deserved to be disembowelled and torn to pieces. From this we may
infer how fully he would have approved his execution, had he lived
till 1553” -
‘History of the Christian
Church’, vol VIII, hal 708.
Philip
Schaff: “The
Reformers of French Switzerland went further than those of German
Switzerland. Farel
defended death by fire,
and feared that Calvin in advising a milder punishment was guided by
the feelings of a friend against his bitterest foe. Beza
wrote a special work in
defence of the execution of Servetus,
whom he characterized as ‘a monstrous compound of mere impiety and
horrid blasphemy.’ Peter
Martyr called him ‘a
genuine son of the devil,’ whose ‘pestiferous and detestable
doctrines’ and ‘intolerable blasphemies’ justified
the severe sentence of the magistracy”
- ‘History
of the Christian Church’,
vol VIII, hal 710.
Philip
Schaff: “Rilliet
justifies the arrest as
a necessary measure of self-defence.
‘Under pain of abdication,’ he says, ‘Calvin must do everything
rather than suffer by his side in Geneva a man whom he considered the
greatest enemy of the Reformation; and the critical position in which
he saw it in the bosom of the Republic, was one motive more to
remove, if it was possible, the new element of dissolution which the
free sojourn of Servetus would have created.... To tolerate Servetus
with impunity at Geneva would have been for Calvin to exile
himself...He had no alternative. The man whom a Calvinist accusation
had caused to be arrested, tried, and condemned to the flames in
France, could not find an asylum in the city from which that
accusation had issued.’”
- ‘History
of the Christian Church’,
vol VIII, hal 765-766.
Philip
Schaff: “Haller,
the pastor of Bern, however, wrote to Bullinger of Zürich that, if
Servetus had fallen into the hands of Bernese justice, he would
undoubtedly have been condemned to the flames”
- ‘History
of the Christian Church’,
vol VIII, hal 780-781.
4) Pembelaan
Calvin sendiri.
Philip
Schaff: “Calvin
never changed his views or regretted his conduct towards Servetus.
Nine years after his execution he justified it in self-defence
against the reproaches of Baudouin (1562), saying: ‘Servetus
suffered the penalty due to his heresies, but
was it by my will?
Certainly his arrogance destroyed him not less than his impiety. And
what crime was it of mine if our Council, at my exhortation, indeed,
but in conformity with the opinion of several Churches, took
vengeance on his execrable blasphemies?
Let Baudouin abuse me as long as he will, provided that, by the
judgment of Melanchthon, posterity owes me a debt of gratitude for
having purged the Church of so pernicious a monster.’” - ‘History
of the Christian Church’,
vol VIII, hal 690-691.
5) Calvin meminta pengadilan meringankan
hukuman Servetus dari dibakar menjadi pemenggalan, tetapi ditolak
oleh pengadilan.
Philip
Schaff: “In
one respect he was in advance of his times, by recommending to the
Council of Geneva, though in vain, a mitigation of punishment and the
substitution of the sword for the stake”
- ‘History
of the Christian Church’,
vol VIII, hal 691.
Philip
Schaff: “...
the wish of Calvin to substitute the sword for the fire was
overruled” (= ... keinginan
Calvin untuk menggantikan api dengan pedang ditolak) - ‘History
of the Christian Church’,
vol VIII, hal 781-782.
6) Pandangan
/ komentar Philip Schaff sendiri tentang persoalan Calvin dan
Servetus.
Philip
Schaff: “It
is objected that there was no law in Geneva to justify the punishment
of Servetus, since the canon law had been abolished by the
Reformation in 1535; but the Mosaic law was not abolished, it was
even more strictly enforced; and it is from the Mosaic law against
blasphemy that Calvin drew his chief argument”
- ‘History
of the Christian Church’,
vol VIII, hal 691-692.
Philip
Schaff: “He
must be judged by the standard of his own, and not of our, age. The
most cruel of those laws - against witchcraft, heresy, and blasphemy
- were inherited from the Catholic Middle Ages, and continued in
force in all countries of Europe, Protestant as well as Roman
Catholic, down to the end of the seventeenth century. Tolerance is a
modern virtue” (= Ia harus
dinilai oleh standard jamannya sendiri, bukan standard jaman kita.
Hukum-hukum yang paling kejam, yang menentang sihir, ajaran sesat dan
penghujatan, diwarisi dari Katolik abad pertengahan, dan tetap
berlaku di semua negara-negara Eropa, baik yang Protestan maupun yang
Katolik, terus sampai akhir abad ke 17. Toleransi adalah kebajikan /
sifat baik modern) - ‘History
of the Christian Church’,
vol VIII, hal 493-494.
Philip
Schaff: “The
judgment of historians on these remarkable men has undergone a great
change. Calvin’s course in the tragedy of Servetus was fully
approved by the best men in the sixteenth and seventeenth centuries.
It is as fully condemned in the nineteenth century”
(= Penghakiman dari ahli-ahli sejarah terhadap orang-orang hebat ini
mengalami perubahan yang besar. Jalan Calvin dalam tragedi Servetus
disetujui sepenuhnya oleh orang-orang yang terbaik dalam abad ke 16
dan ke 17. Tetapi hal itu dikecam sepenuhnya dalam abad ke 19) -
‘History of the Christian
Church’, vol VIII, hal 689.
Philip
Schaff: “...
if we consider Calvin’s course in the light of the sixteenth
century, we must come to the conclusion that he acted his part from a
strict sense of duty and in harmony with the public law and dominant
sentiment of his age, which justified the death penalty for heresy
and blasphemy, and abhorred toleration as involving indifference to
truth. Even Servetus
admitted the principle under which he suffered; for he said, that
incorrigible obstinacy and malice deserved death before God and men”
(= ... jika kita merenungkan jalan Calvin dalam terang dari abad ke
16, kita pasti sampai pada kesimpulan bahwa ia bertindak dari rasa
kewajiban / tanggung jawab yang ketat dan sesuai dengan hukum rakyat
/ umum dan perasaan yang dominan pada jamannya, yang membenarkan
hukuman mati untuk orang sesat dan penghujat, dan tidak menyukai
toleransi dan menganggapnya sebagai ketidakpedulian pada kebenaran.
Bahkan Servetus sendiri
mengakui prinsip dibawah mana ia menderita; karena ia berkata bahwa
sikap keras kepala dan kejahatan yang tidak dapat diperbaiki, layak
mendapatkan kematian di hadapan Allah dan manusia)
- ‘History of the Christian
Church’, vol VIII, hal 690.
1.
Calvin mengaku bahwa dia mendorong (exhort) pengadilan untuk
menjatuhkan hukuman mati. Lalu apakah Kalvinis hari ini bisa berkata:
“Calvin tidak ada hubungannya dengan itu, itu adalah pengadilan?”
Kami tidak membenarkan pengadilan itu, mereka sama (atau mungkin
lebih) bersalah dengan Kalvin. Tetapi kami berkata bahwa Kalvin jelas
juga bersalah di sini! Dan karena kesalahannya adalah mematikan orang
yang tidak seharusnya dimatikan, maka ini adalah jejak darah!
Tanggapan
balik Budi Asali:
Kata-kata
anda ngawur dan fitnah. Memang bapak dan anak sama saja. Buah jatuh
tak jauh dari pohonnya! Calvin melaporkan, dan menjadi saksi ahli
dalam pengadilan untuk membuktikan bahwa Servetus memang sesat dan
menghujat. Tetapi selebihnya Calvin tak melakukan apa-apa; itu
sepenuhnya merupakan keputusan pengadilan. Lihat kutipan-kutipan dari
Schaff dalam point ke 2) di atas.
Dan
siapa bilang ia tidak harus dimatikan? Hukum di sana pada saat itu
memang memberikan hukuman mati kepada orang seperti itu! Jangan
dinilai menurut hukum saat ini!
2.
Tujuh
tahun sebelum Servertus dihukum mati, Calvin menulis kepada temannya,
Farel, tanggal 13 Februari 1546: “If
he [Servetus]
comes
[to
Geneva], I
shall never let him go out alive if my authority has weight”
(Schaff-Herzog
Encyclopedia of Religious Knowledge
(Baker
Book House, 1950), hal. 371, dikutip dari
http://www.evangelicaloutreach.org/michaelservetus.
htm#2).
Jadi Kalvin menyombong kepada Farel bahwa kuasa dia di Jenewa akan
memastikan Servetus mati! Hmm...entah mengapa Budi Asali tidak
mengutip yang satu ini?
Tanggapan
balik Budi Asali:
Anda
memang orang bodoh yang tak bisa menilai kata-kata. Anda katakan
‘menyombong’? Dari mana? Saya melihat kata-kata Calvin ini,
sebagai perwujudan dari kemarahan. Salahkah marah terhadap orang
sesat dan penghujat? Orang yang cinta kebenaran harus benci
kesesatan! Apaklah Yesus tidak marah terhadap kesesatan dan
kemunafikan dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi pada saat
itu?
Philip
Schaff:
“Calvin
was, as he himself confessed, not free from impatience, passion, and
anger, which were increased by his physical infirmities; but he was
influenced by an honest zeal for the purity of the Church, and not
by personal malice” (=
Calvin, seperti yang diakuinya sendiri, tidaklah bebas dari
ketidaksabaran, nafsu dan kemarahan, yang diperhebat oleh kelemahan
fisiknya; tetapi ia dipengaruhi oleh semangat yang jujur untuk
kemurnian Gereja, dan bukan oleh kebencian / kedengkian pribadi) -
‘History of the Christian
Church’, vol VIII, hal
493.
“His
intolerance sprang from the intensity of his convictions and his
zeal for the truth” (=
Ketidak-adaan toleransinya timbul dari intensitas keyakinannya dan
semangatnya untuk kebenaran) - ‘History
of the Christian Church’,
vol VIII, hal 839.
Memang,
kemarahan Calvin, kalau sampai ia menginginkan kematian seseorang
harus dianggap kelewat batas. Tetapi menurut saya, ini lebih baik
dari pada orang yang sabar saja pada waktu melihat kesesatan!
Dan
kalau Calvin kelewat batas, sampai mengucapkan kata-kata itu, toh itu
tidak ia lakukan! Jadi kemarahannya diwujudkan hanya dengan kata-kata
yang kelewat keras, tetapi tidak dengan tindakan sungguh-sungguh
membunuh Servetus. Lalu dimana jejak darahnya???
Tanggapan
balik Budi Asali:
Jawaban
saya sama dengan pada point 3. di atas. Itu kemarahan terhadap dosa,
sebetulnya bisa disebut sebagai holy anger / righteous indignation
(kemarahan yang kudus / benar), tetapi bagaimanapun ia adalah manusia
biasa yang berdosa, sehingga kemarahannya kelewatan. Tetapi ia,
seperti dalam kutipan yang sudah saya berikan di atas, tidak
melakukan apapun untuk mewujudkan keinginannya itu. Ia hanya
melaporkan sehingga Servetus ditangkap, lalu memberikan kesaksian
bahwa orang itu memang sesat dan menghujat. Titik!
Saya
tanya kalian, bapak dan anak, kalau kalian mendengar terorist membom
gereja, menabrakkan pesawat ke WTC, apa reaksi kalian? Kalian tak
ingin mereka dihukum mati? Kalau tidak, kalian tolol dan tidak cinta
kebenaran! Para teroris hanya pembunuh tubuh, tetapi orang sesat ini
adalah pembunuh jiwa! Jadi, salahkah mengharapkan kematian orang
sesat seperti itu?
Siapapun
membela Servetus, ia segolongan dengan dia!
4.
Bahwa
ini adalah “kesalahan zaman itu,” dan bahwa ini adalah hal yang
lumrah terjadi di abad itu, bukanlah alasan. Kesalahan zaman itu
tetaplah kesalahan. Di manakah Sola Scriptura, bahwa kita menaati
Alkitab, bukan kebiasaan sekeliling kita? Lagipula, ada kelompok yang
tidak menganiaya siapa-siapa, yaitu kaum Anabaptis. Mereka menjadi
yang teraniaya terus. Kaum Baptis dari dulu mengedepankan “liberty
of conscience,” bahkan sejak abad-abad pertengahan. Jadi, tidak
benar bahwa semua orang pada waktu itu punya pandangan bahwa penyesat
harus dihukum mati.
Tanggapan
balik Budi Asali:
Bukan
sekedar kesalahan jaman itu! Tetapi pengadilan yang memutuskan
menurut hukum yang berlaku saat itu. Salahnya Calvin dimana, tolol?
Anabaptis
juga sesat, biarpun tidak segila Servetus. Penganiayaan merupakan
kesalahan oknum, bukan ajarannya. Dan Calvin, sepanjang pengetahuan
saya, tidak ikut campur dalam hal itu. Jadi jangan membelokkan ke
urusan lain.
Baptis
beda dengan Anabaptis. Kalian bela mereka, berarti kalian sebetulnya
Anabaptis? Kalau ya tak heran kalian sesat!
5.
Bahwa
Servetus sangat sesat juga bukan alasan. Apakah Budi Asali ingin
mengatakan bahwa orang Kristen boleh membunuh penyesat?
Tanggapan
balik Budi Asali:
Tidak
boleh, dan Calvin juga tidak membunuh Servetus. Pengadilan yang
melakukan, dan itu sesuai dengan hukum pada saat itu. Jadi, dalam hal
ini, menurut saya tak ada yang salah dalam penjatuhan hukuman mati
itu. Seperti kata-kata Calvin, Servetus mati karena kesalahannya
sendiri.
Perlu
diketahui beberapa hal dalam persoalan penghukuman mati terhadap
Servetus dengan dibakar pada jaman Calvin:
1.
Servetus dihukum mati bukan karena dia anti Calvinisme, tetapi karena
ia bukan saja tak percaya pada doktrin Allah Tritunggal, tetapi lebih
dari itu, ia menghujatnya mati-matian dengan mengatakan hal itu
sebagai ‘monster berkepala tiga’ dsb sehingga menimbulkan
kemarahan dari semua orang Kristen dan bahkan Katolik di seluruh
dunia.
2.
Calvin memang yang melaporkan dia kepada pemerintah / polisi pada
waktu ia secara berani mati muncul di Geneva. Tetapi yang menangkap,
mengadili, menjatuhkan hukuman mati dengan dibakar, dan melaksanakan
hukuman mati itu adalah pemerintah / pengadilan.
3.
Calvin justru memintakan keringanan supaya hukuman itu diubah dari
dibakar menjadi pemenggalan, tetapi permintaan Calvin ditolak oleh
pengadilan.
Semua
cerita ini ada dalam buku sejarah dari Philip Schaff (orang ini ahli
sejarah, dan ia bukan Calvinist), dan itu bisa saya buktikan.
Philip
Schaff: “if we consider Calvin’s
course in the light of the sixteenth century, we must come to the
conclusion that he acted his part from a strict sense of duty and in
harmony with the public law and dominant sentiment of his age, which
justified the death penalty for
heresy
and blasphemy, and abhorred toleration as involving indifference to
truth Even Servetus admitted the principle under which he suffered;
for he said, that incorrigible obstinacy and malice deserved death
before God and men” - ‘History
of the Christian Church’, vol
VIII, hal 690.
Philip
Schaff: “Calvin never changed
his views or regretted his conduct towards Servetus. Nine years after
his execution he justified it in self-defence against the reproaches
of Baudouin (1562), saying: ‘Servetus suffered the penalty due to
his heresies, but was it by my will? Certainly his arrogance
destroyed him not less than his impiety. And what crime was it of
mine if our Council, at my exhortation, indeed, but in conformity
with the opinion of several Churches, took vengeance on his execrable
blasphemies? Let Baudouin abuse me as long as he will, provided that,
by the judgment of Melanchthon, posterity owes me a debt of gratitude
for having purged the Church of so pernicious a monster.’”
- ‘History of the Christian
Church’, vol VIII, hal 690-691.
Philip
Schaff: “Let us remember also
that it was not simply a case of fundamental heresy, but of horrid
blasphemy, with which he had to deal. If he was mistaken, if he
misunderstood the real opinions of Servetus, that was an error of
judgment, and an error which all the Catholics and Protestants of
that age shared” - ‘History
of the Christian Church’, vol
VIII, hal 691.
Philip
Schaff: “It is not surprising
that this book gave great offence to Catholics and Protestants alike,
and appeared to them blasphemous. Servetus calls the Trinitarians
tritheists and atheists. He frivolously asked such questions as
whether God had a spiritual wife or was without sex. He calls the
three gods of the Trinitarians a deception of the devil, yea (in his
later writings), a three-headed monster”
- ‘History of the Christian
Church’, vol VIII, hal 718-719.
Philip
Schaff: “Servetus charges the
Reformed Christians of Geneva that they had a gospel without a God,
without true faith, without good works; and that instead of the true
God they worshipped a three-headed Cerberus”
- ‘History of the Christian
Church’, vol VIII, hal 731.
Catatan:
Cerberus = anjing berkepala tiga yang menjaga Hades dalam mitologi
Romawi dan Yunani (Webster’s New World Dictionary, College
Edition).
Philip
Schaff: “He calls all
Trinitarians ‘tritheists’ and ‘atheists.’ They have not one
absolute God, but a three-parted, collective, composite God - that
is, an unthinkable, impossible God, which is no God at all. They
worship three idols of the demons, - a three-headed monster, like the
Cerberus of the Greek mythology. One of their gods is unbegotten, the
second is begotten, the third proceeding. One died, the other two did
not die. Why is not the Spirit begotten, and the Son proceeding? By
distinguishing the Trinity in the abstract from the three persons
separately considered, they have even four gods. The Talmud and the
Koran, he thinks, are right in opposing such nonsense and blasphemy”
- ‘History of the Christian
Church’, vol VIII, hal 741-742.
Philip
Schaff: “Shortly after the
publication of the ‘Restitution,’ the fact was made known to the
Roman Catholic authorities at Lyons through Guillaume Trie, a native
of Lyons and a convert from Romanism, residing at that time in
Geneva. He corresponded with a cousin at Lyons, by the name of
Arneys, a zealous Romanist, who tried to reconvert him to his
religion, and reproached the Church of Geneva with the want of
discipline. On the 26th of February, 1553, he wrote to Arneys that in
Geneva vice and blasphemy were punished, while in France a dangerous
heretic was tolerated, who deserved to be burned by Roman Catholics
as well as Protestants, who blasphemed the holy Trinity, called Jesus
Christ an idol, and the baptism of infants a diabolic invention. He
gave his name as Michael Servetus, who called himself at
present
Villeneuve, a practising physician at Vienne. In confirmation he sent
the first leaf of the ‘Restitution,’ and named the printer
Balthasar Arnoullet at Vienne. This letter, and two others of Trie
which followed, look very much as if they had been dictated or
inspired by
Calvin.
Servetus held him responsible. But Calvin denied the imputation as a
calumny. At the same time he speaks rather lightly of it, and thinks
that it would not have been dishonorable to denounce so dangerous a
heretic to the proper authorities. He also frankly acknowledges
that
he caused his arrest at Geneva. He could see no material difference
in principle between doing the same thing, indirectly, at Vienne and,
directly, at Geneva. He simply denies that he was the originator of
the papal trial and of the letter of Trie; but he does not deny that
he
furnished
material for evidence, which was quite well known and publicly made
use of in the trial where Servetus’s letters to Calvin are
mentioned as pieces justificatives. There can be no doubt that Trie,
who describes himself as a comparatively unlettered man, got his
information about Servetus and his book from Calvin, or his
colleagues, either directly from conversation, or from pulpit
denunciations. We must acquit Calvin of direct agency, but we cannot
free him of indirect agency in this denunciation. Calvin’s indirect
agency, in the first, and his direct agency in the second arrest of
Servetus admit of no proper justification, and are due to an excess
of zeal for orthodoxy” -
‘History of the Christian Church’,
vol VIII, hal 757-759.
Philip
Schaff: “The final
responsibility of the condemnation, therefore, rests with the Council
of Geneva, which would probably have acted otherwise, if it had not
been strongly influenced by the judgment of the Swiss Churches and
the government of Bern. Calvin conducted the theological part of the
examination of the trial, but had no direct influence upon the
result. His theory was that the Church may convict and denounce the
heretic theologically, but that his condemnation and punishment is
the exclusive function of the State, and that it is one of its most
sacred duties to punish attacks made on the Divine majesty. ‘From
the time Servetus was convicted of his heresy,’ says Calvin, ‘I
have not uttered a word about his punishment, as all honest men will
bear witness; and I challenge even the malignant to deny it if they
can.’ One thing only he did: he expressed the wish for a mitigation
of his punishment. And this humane sentiment is almost the only good
thing that can be recorded to his honor in this painful trial”
- ‘History of the Christian
Church’, vol VIII, hal 767-768.
Philip
Schaff: “... the wish of Calvin
to substitute the sword for the fire was overruled” (=
... keinginan Calvin untuk menggantikan api dengan pedang ditolak) -
‘History of the Christian Church’,
vol VIII, hal 781-782.
Philip
Schaff: “The severest charge
against him is blasphemy. Bullinger remarked to a Pole that if Satan
himself should come out of hell, he could use no more blasphemous
language against the Trinity than this Spaniard; and Peter Martyr,
who was present, assented and said
that
such a living son of the devil ought not to be tolerated anywhere. We
cannot even now read some of his sentences against the doctrine of
the Trinity without a shudder. Servetus lacked reverence and a decent
regard for the most sacred feelings and convictions of those
who
differed from him” - ‘History
of the Christian Church’, vol
VIII, hal 781-788.
Tanggapan
balik Budi Asali:
Mengapa
kutipan saya yang banyak ini tak ditanggapi? Ayo tanggapi, dan
buktikan kalau Calvin salah dan ada ‘jejak darah’? Kalau tidak
bisa, kalian memang pemfitnah!
Saya
ingin menambahkan beberapa kutipan berkenaan dengan Calvin dan
Servetus dari seorang penulis yang lain.
Thomas
Smyth: “If,
however, there ever was a case in which the execution of the penalty
of death could have been properly inflicted, it was in that of
Servetus. Never had man so blasphemed his Maker, so outraged
Christian feeling and all propriety, so insulted the laws in force
for his destruction, and so provoked the slumbering arm of vengeance
to fall upon him”
(= ) - ‘Calvin
and His Enemies’, hal 30.
Thomas
Smyth: “Servetus
had been driven from every attempted residence on account of his
unbearable conduct. He had been tried and condemned to be burned to
death by the Romanists at Vienna, from whose hands he had just
escaped when he came to Geneva. He was well aware of the intolerant
character of the laws of the city of Geneva, enacted against heretics
by the Emperor Frederick I, when under imperial and Romish
jurisdiction which had been often exercised before that time - and
which were still in force. Calvin, regarding his sentiments and
conduct with just abhorrence, and believing it to be his duty, for
the reasons stated, to oppose them, gave him previous notice, that if
he came to the city of Geneva, he should be under the necessity of
prosecuting him. There was therefore no previous malice in Calvin
towards him. When Servetus had come, and Calvin had brought his
character and opinions to the view of the authorities, his
interference in the matter there ceased. He never visited the court,
except when required to do so. The Senate, instead of being
influenced by him in the course they pursued, were, the greater part
of them, at that very time opposed to him. The whole matter also,
before sentence
had been passed, was, at Servetus’ request, submitted to the
judgment of the other cities, who unanimously approved of his
condemnation”
(= ) - ‘Calvin
and His Enemies’, hal 31.
Thomas
Smyth: “It
was the sentiment of the age, that those who obstinately persisted in
heresy and blasphemy were worthy of death. Even the gentle
Melanchthon affirms, in a letter to Calvin, that the magistrates so
acted rightly in putting this blasphemer to death;’ and in a letter
to Bullinger, the same mild and cautious and truly Christian man
declares, ‘I have been
surprised that there are
men who blame this severity.’ Servetus
himself maintained this
principle in his ‘Restitution of Christianity,’ the very work
which led to his trim and condemnation. The justice of such a
punishment towards himself, Servetus repeatedly avowed, if guilty of
the charges against him. And this punishment Servetus continually
demanded to be inflicted on Calvin, on the ground that by the laws of
the state it was required that the person who lodged an accusation
against any one should sustain it and make it good, or failing to do
this, should suffer the punishment which would have been due to the
accused. This punishment, Servetus was led to believe he would be
able to inflict on Calvin, since in the council of two hundred,
before whom the case was first argued, the opponents and determined
enemies of Calvin - the Libertines - predominated”
(= ) - ‘Calvin
and His Enemies’, hal
31-32.
Thomas
Smyth: “There
is, however, no probability that Servertus, under the circumstances,
would have been visited with the punishment he suffered, merely
for his opinions. For what
then, it has been asked, was he condemned? Not for heretical opinions
of any sort merely, or chiefly, we reply, his opinions and doctrines
were doubtless heretical enough, according to the standards of
judgment at the time; heretical they would in any age be pronounced
by the great body of the Christian Church. But it was not so much his
opinions in themselves, as the
manner in which he
stated and defended them,
which gave offense. The elder Socinus was teaching substantially the
same doctrines at Zurich without molestation. But
not content with simply maintaining and defending calmly but
earnestly what he thought to be truth, Servetus it seems had from the
first set himself to assail with terms of bitterest obloquy and
reproach, nay with ribaldry and unmeasured abuse, the opinions of
those who differed from him. He made use of language which could not
fail to shock the minds of all sober and pious men who held the
doctrines of either the Catholic or the Protestant Church.
He calls persons of the Godhead delusions of the devil, and the
triune God a monster, a three-headed Cerberus. It was this bitterness
and intolerance of spirit, this entire want of reverence for the most
sacred things, this deliberate insult and outrage of the religious
feelings of the entire Christian world, that armed the entire
Christian world against him, and made him a marked and outlawed man
long before he ever saw Calvin or Geneva. Some thirteen years before
his trial he sent back to Calvin, with whom he was then
corresponding, a copy of his Institutes, with the most severe and
bitter reflections and taunts upon the margin, and sent him several
letters of the most abusive and insulting character. The same spirit
was exhibited on his trial. He manifested neither respect for his
judges, nor a decent regard for the religious sentiment of the age.
In the most insulting manner he heaped upon Calvin the most
undeserved reproaches and the most abusive epithets, dealing so much
in personalities and invectives as to shame even his judges, and wear
out the patience of men, many of whom were inclined to look favorably
upon his cause. So far was this abuse carried, that unable to bear it
longer, the entire body of the clergy, with Calvin at their head,
arose on one occasion and left the tribunal, thus closing the
examination”
(= ) - ‘Calvin
and His Enemies’, hal
32-33.
Thomas
Smyth: “It
was not, then, so much his opinions and dogmas, as the manner in
which he maintained them, that occasioned the final decision of the
judges, and the almost unanimous verdict of the Christian world
against Servetus. ‘If Servetus had only attacked the doctrine of
the Trinity by arguments,’ says an able writer, the would have been
answered by arguments, and without danger of persecution by the
Protestants he might have gone on defending it, until called to
answer for his belief by Him whose character he had impugned.
Argument was not that which Calvin and his contemporaries opposed, by
the civil tribunal. It
was insult and ribaldry, and that too against the Most High, whose
character they would defend in the midst of a perverse and rebellious
generation.’ ‘If
ever a poor fanatic thrust himself into the fire,’ says J. T.
Coleridge, ‘it was Michael Servetus.’”
(= ) - ‘Calvin
and His Enemies’, hal 33.
Thomas
Smyth: “We
do not defend, in all this, the condemnation and death of Servetus.
It was a great mistake; call it if you will a crime. But
let the blame rest where
it belongs; not on
John Calvin, but on the men who decreed that death, and on the age
which sanctioned and demanded it”
(= ) - ‘Calvin
and His Enemies’, hal 34.
Thomas
Smyth: “And
when it is remembered that at this very time the flames were
consuming the victims of Romish persecution, and also of those
condemned by Cranmer, who is called a pattern of humility - that
Davides fell a victim to the intolerance of Socinus - that the
English Reformers applauded the execution of Servetus - that his
punishment was regarded as the common cause of all the churches in
christendom - and that for fifty years thereafter no writer
criminated Calvin for his agency in this matter - may we not say to
those who now try Calvin by an ex
post facto law, by a
public opinion, which is the result of the very doctrines he
promulgated - let him that is guiltless among you cast the first
stone? In thus singling out Calvin as the object of your fierce
resentment, you manifest the very spirit you condemn - a spirit
partial, unchristian, and unrighteous. So much for the charge of
intolerance”
(= ) - ‘Calvin
and His Enemies’, hal 35.
19)
Kesan yang didapat adalah: ia anggap dan nyatakan gerejanya sebagai
‘the only true church’, dan anjurkan orang pindah ke gerejanya!
Katolik, Kharismatik, Calvinist, tokoh-tokoh reformasi (Martin
Luther, Calvin, dsb), semua digempur.
Tanggapan
Budi Asali:
Saya
menganggap semua orang yang menganggap gerejanya sebagai ‘the only
true church’, sebagai orang-orang sesat. Saksi Yehuwa mempunyai
pandangan seperti itu, dan Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh juga
mempunyai kepercayaan seperti itu, dan itu saya anggap sebagai salah
satu bukti kesesatan mereka. Saya sering mengecam banyak pendeta dan
gereja sebagai sesat, tetapi saya tidak pernah punya anggapan /
pemikiran / kepercayaan bahwa gereja saya adalah ‘the only true
church’!
Kami
percaya saat ini ada ribuan gereja Baptis Independen (Fundamental) di
seluruh dunia. Yang semuanya tidak di bawah satu kendali atau sinode,
tetapi dengan doktrin yang sangat mirip satu sama lain. Bahwa Dr.
Liauw percaya seminar yang dia bawakan adalah kebenaran itu tidak
heran. Bahwa Dr. Liauw ingin kaum Katolik, Kharismatik, Kalvinis,
untuk bertobat, itu saya aminkan! Bertobatlah!
Tanggapan
balik Budi Asali:
Menganggap
kepercayaan sendiri sebagai paling benar, bukan merupakan sesuatu
yang salah, tetapi bahkan logis. Kalau bukan yang paling benar, lalu
mengapa dianut? Jadi ini memang tak salah. Tetapi serangan saya
terhadap Suhento Liauw adalah: ia menganggap diri sebagai
satu-satunya yang benar, dan gerejanya sebagai ‘the only true
church’. Ini sangat berbeda, seperti langit di atas bumi! Orang
yang menganggap dirinya sebagai satu-satunya yang benar, dan
gerejanya sebagai ‘the only true church’, justru dia yang saya
anggap sesat! Contohnya banyak: Saksi Yehuwa, Gereja Masehi Advent
Hari Ketujuh juga punya anggapan seperti itu. Saya kira Katolik juga!
Dan sekarang ditambah dengan Suhento Liauw dan Steven Liauw dan GBIA
Graphe! Kalianlah yang harus bertobat!
Disamping,
apa maksud Suhento Liauw dalam menyerang SEMUA gereja dalam
seminarnya? Motivasi itu menentukan apakah tindakan itu bisa
dibenarkan atau tidak. Saya juga menyerang banyak gereja, sekalipun
tidak semua gereja, tetapi motivasi saya adalah menegakkan kebenaran
dan menghancurkan kesesatan. Tetapi Suhento Liauw, setelah menyerang
semua gereja, menganjurkan orang pindah ke gerejanya. Hmmm,
betul-betul motivasi busuk dan tak tahu malu!
Bdk.
Ro 15:20 - “Dan dalam
pemberitaan itu aku menganggap sebagai kehormatanku, bahwa aku tidak
melakukannya di tempat-tempat, di mana nama Kristus telah dikenal
orang, supaya aku jangan membangun di atas dasar, yang telah
diletakkan orang lain”.
-o0o-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar