About us

Golgotha Ministry adalah pelayanan dari Pdt. Budi Asali,M.Div dibawah naungan GKRI Golgota Surabaya untuk memberitakan Injil ke seluruh dunia dan mengajarkan kebenaran firman Tuhan melalui khotbah-khotbah, pendalaman Alkitab, perkuliahan theologia dalam bentuk tulisan maupun multimedia (DVD video, MP3, dll). Pelayanan kami ini adalah bertujuan agar banyak orang mengenal kebenaran; dan bagi mereka yang belum percaya, menjadi percaya kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadinya, dan bagi mereka yang sudah percaya, dikuatkan dan didewasakan didalam iman kepada Kristus.
Semua yang kami lakukan ini adalah semata-mata untuk kemuliaan nama Tuhan Yesus Kristus.

Kami mengundang dengan hangat setiap orang yang merasa diberkati dan terbeban didalam pelayanan untuk bergabung bersama kami di GKRI Golgota yang beralamat di : Jl. Raya Kalirungkut, Pertokoan Rungkut Megah Raya D-16, Surabaya.

Tuhan Yesus memberkati.

Minggu, 21 Juli 2013

EKSPOSISI MATIUS 5:31-32 TENTANG PERCERAIAN.


karena adanya orang-orang yang tetap menganggap cerai dilarang secara mutlak maka saya memberikan tulisan ini yang merupakan exposisi dari Mat 5:32 dan Mat 19:9.

 

 

Matius 5:31-32


Mat 5:31-32 - “(31) Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya. (32) Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.”.

I) Perceraian pada jaman Yesus.

1)   Yang diucapkan Yesus dalam ay 31 lagi-lagi merupakan ajaran ahli-ahli Taurat tentang Perjanjian Lama.
Ay 31: Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya.
NASB: And it was said, ‘Whoever sends his wife away, let him give her a certificate of divorce’” (= Dan telah dikatakan: ‘Siapapun yang menceraikan istrinya, hendaklah ia memberinya surat cerai’).

2)   Text Perjanjian Lama yang dipersoalkan.
Ul 24:1-4 - “(1) ‘Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya, (2) dan jika perempuan itu keluar dari rumahnya dan pergi dari sana, lalu menjadi isteri orang lain, (3) dan jika laki-laki yang kemudian ini tidak cinta lagi kepadanya, lalu menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu serta menyuruh dia pergi dari rumahnya, atau jika laki-laki yang kemudian mengambil dia menjadi isterinya itu mati, (4) maka suaminya yang pertama, yang telah menyuruh dia pergi itu, tidak boleh mengambil dia kembali menjadi isterinya, setelah perempuan itu dicemari; sebab hal itu adalah kekejian di hadapan TUHAN. Janganlah engkau mendatangkan dosa atas negeri yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu”.

Pada jaman itu ada kontroversi / perdebatan antara Rabbi Shammai versus Rabbi Hillel. Mereka adalah 2 rabbi Yahudi yang bertentangan pendapat tentang syarat perceraian yang mereka tafsirkan dari Ul 24:1-4.
Catatan:
·         perlu dicamkan bahwa sebetulnya Ul 24:1-4 sama sekali tidak memberikan ijin cerai ataupun syarat perceraian. Ul 24:1-4 itu hanya menekankan bahwa kalau seseorang menceraikan istrinya, dan istrinya itu lalu menjadi istri dari laki-laki lain, dan lalu pernikahan kedua itu juga putus, maka laki-laki pertama itu tidak boleh mengambil kembali perempuan itu menjadi istrinya lagi.
Secara implicit, bagian ini justru memperingatkan orang untuk tidak gampang-gampang bercerai, karena kalau suatu hari ia menyesal dan ingin rujuk, ia tidak bisa rujuk [kalau istri yang dicerai itu belum kawin lagi, maka rujuk diijinkan (1Kor 7:11), tetapi ia kalau sudah kawin lagi, rujuk tidak lagi dimungkinkan].
·         kalaupun dalam prakteknya, Musa menyuruh seorang suami yang menceraikan istrinya untuk memberikan surat cerai, itu tidak berarti bahwa perceraian itu diijinkan. Perceraian tetap dilarang, tetapi diberikan peraturan kalau hal itu terjadi.
Bandingkan dengan Ul 21:15-17 - “(15) ‘Apabila seorang mempunyai dua orang isteri, yang seorang dicintai dan yang lain tidak dicintainya [KJV/Lit: ‘hated’ (= dibenci)], dan mereka melahirkan anak-anak lelaki baginya, baik isteri yang dicintai maupun isteri yang tidak dicintai, dan anak sulung adalah dari isteri yang tidak dicintai, (16) maka pada waktu ia membagi warisan harta kepunyaannya kepada anak-anaknya itu, tidaklah boleh ia memberikan bagian anak sulung kepada anak dari isteri yang dicintai merugikan anak dari isteri yang tidak dicintai, yang adalah anak sulung. (17) Tetapi ia harus mengakui anak yang sulung, anak dari isteri yang tidak dicintai itu, dengan memberikan kepadanya dua bagian dari segala kepunyaannya, sebab dialah kegagahannya yang pertama-tama: dialah yang empunya hak kesulungan.’”.
Apakah text ini mengijinkan polygamy, dan lebih-lebih apakah text ini mengijinkan seorang yang melakukan polygamy itu mencintai seorang istri dan membenci istri yang lain? Tentu saja tidak, tetapi Tuhan tahu bahwa itu pasti akan terjadi, dan karena itu di sini Ia memberikan peraturan kalau hal itu terjadi.
·         dalam hal ini perlu diwaspadai terjemahan yang salah dari KJV yang berbunyi sebagai berikut: When a man hath taken a wife, and married her, and it come to pass that she find no favour in his eyes, because he hath found some uncleanness in her: then let him write her a bill of divorcement, and give it in her hand, and send her out of his house. And when she is departed out of his house, she may go and be another man’s wife. And if the latter husband hate her, and write her a bill of divorcement, and giveth it in her hand, and sendeth her out of his house; or if the latter husband die, which took her to be his wife; Her former husband, which sent her away, may not take her again to be his wife, after that she is defiled; for that is abomination before the LORD: and thou shalt not cause the land to sin, which the LORD thy God giveth thee for an inheritance’ (= Pada waktu seorang laki-laki telah mengambil seorang istri, dan menikah dengan dia, dan terjadilah bahwa ia tidak menyenangkan dalam matanya, karena ia telah menemukan suatu kenajisan dalam dia: maka hendaklah ia menuliskan surat perceraian, dan memberikannya ke tangannya, dan menyuruhnya keluar dari rumahnya. Dan pada waktu ia meninggalkan rumah itu, ia boleh pergi dan menjadi istri orang laki-laki lain. Dan jika suami yang belakangan ini membencinya, dan menulis baginya surat cerai, dan memberikannya kepadanya, dan mengusirnya dari rumahnya; atau jika suami yang belakangan ini, yang mengambilnya sebagai istri, mati; suaminya yang terdahulu, yang telah mengusirnya, tidak boleh mengambil dia kembali menjadi istrinya, setelah ia dinajiskan; karena itu merupakan kekejian di hadapan TUHAN: dan engkau akan menyebabkan negeri, yang diberikan TUHAN Allahmu kepadamu sebagai warisanmu ini, berdosa).
Yang digaris-bawahi itu salah terjemahan. Kesalahan penterjemahan ini menyebabkan dalam KJV ini kelihatannya memang perceraian dan pernikahan lagi itu memang diijinkan, padahal dalam terjemahan. yang seharusnya tidaklah demikian. Dalam terjemahan dari NKJV (New King James Version) kesalahan ini sudah dibetulkan.

a)   Rabbi Shammai menyoroti kata-kata ‘yang tidak senonoh’ dalam Ul 24:1.
KJV: ‘some uncleanness’ (= suatu kenajisan).
RSV/NASB: ‘some indecency’ (= ketidak-senonohan).
NIV: ‘something indecent’ (= sesuatu yang tidak senonoh).

Kelihatannya Barclay menganggap bahwa Rabbi Shammai berpendapat bahwa kata-kata ‘yang tidak senonoh’ dalam Ul 24:1 menunjuk pada perzinahan. Jadi ia berkata bahwa menurut rabbi Shammai perceraian diijinkan hanya kalau terjadi perzinahan.
Barclay (tentang Mat 5:31-32): “Shammai and his school defined ‘some indecency’ as meaning unchastity and nothing but unchastity. ‘Let a wife be as mischievous as the wife of Ahab,’ they said, ‘she cannot be divorced except for adultery.’” (= Shammai dan kelompoknya mendefinisikan ‘yang tidak senonoh’ sebagai ‘ketidak-murnian’ / ‘perzinahan’ dan tidak ada yang lain kecuali ‘perzinahan’. ‘Biarlah seorang istri sama jahatnya seperti istri Ahab’, kata mereka, ‘ia tidak bisa diceraikan kecuali karena perzinahan’) - hal 152.
Catatan: saya tidak terlalu mengerti pandangan Barclay, karena kata ‘unchastity’ bisa diterjemahkan bermacam-macam. Tetapi dari bagian akhir kutipan itu, terlihat bahwa Barclay menganggapnya sebagai ‘perzinahan’. Yang ini tidak diragukan karena Barclay menggunakan kata ‘adultery’ yang memang berarti ‘perzinahan’.

Tasker kelihatannya mempunyai pandangan yang sama dengan Barclay, karena ia mengatakan sebagai berikut:
Tasker (Tyndale): “Jesus favoured the interpretation put on Deutronomy 24:1 by the stricter school of Jewish intrepreters” [= Yesus setuju / menyokong penafsiran tentang Ul 24:1 oleh kelompok / aliran yang lebih ketat dari penafsir Yahudi (maksudnya tentu saja adalah Shammai)] - hal 69.

Tetapi John Stott mempunyai pandangan berbeda. Menurutnya, Rabbi Shammai tidak menganggap hal itu sebagai suatu perzinahan, karena perzinahan diancam dengan hukuman mati, bukan dengan perceraian. Jadi, istilah itu dianggap menunjuk pada pelanggaran sexual, tetapi belum sampai pada perzinahan / persetubuhan.
John Stott: “‘something shameful’ (NEB, RSV) or ‘something indecent’ (NIV) in his wife. This cannot refer to adultery on her part, for this was punishable by death, not divorce. So what was it? During the first century B. C. the rival pharisaic parties led by Rabbi Shammai and Rabbi Hillel were debating this very thing. Shammai was strict and understood ‘something indecent’ (whose Hebrew root alludes to ‘nakedness’ or ‘exposure’) as a sexual offence of some kind which, though left undefined, fell short of adultery or promiscuity” [= ‘sesuatu yang memalukan’ (NEB, RSV) atau ‘sesuatu yang tidak senonoh’ (NIV) dalam diri istrinya. Ini tidak bisa menunjuk pada perzinahan karena perzinahan dijatuhi hukuman mati, bukan perceraian. Lalu itu menunjuk pada apa? Selama abad pertama S. M. kelompok-kelompok Farisi yang bersaingan dipimpin oleh Rabbi Shammai dan Rabbi Hillel memperdebatkan hal ini. Shammai sangat ketat dan mengartikan ‘yang tidak senonoh’ (yang akar kata bahasa Ibraninya menunjuk pada ‘ketelanjangan’ atau ‘pembukaan’) sebagai pelanggaran sexual yang sekalipun tidak didefinisikan, tetapi tidak sampai pada perzinahan atau persetubuhan] - ‘Involvement’, vol II, hal 164.

James Hurley mempunyai pandangan yang sama dengan John Stott, tetapi ia juga secara explicit mengatakan bahwa ada perbedaan pendapat tentang apa yang dimaksudkan oleh rabbi Shammai.

James B. Hurley: “The school of Shammai took a much stricter stand. They understood Moses to permit divorce only for a ‘shameful thing’ or ‘indecency’ ... Scholars have debated the precise meaning of Moses’ phrase and Shammai’s use of it (= Kelompok Shammai mengambil arti yang jauh lebih ketat. Mereka mengartikan Musa mengijinkan perceraian hanya karena ‘sesuatu yang memalukan’ atau’ ketidak-senonohan’ ... Para penafsir berdebat tentang arti yang tepat dari ungkapan yang digunakan oleh Musa, dan penggunaan oleh Shammai terhadap ungkapan itu) - ‘Man and Woman in Biblical Perspective’, hal 97-98.

James B. Hurley: “The school of Shammai ... allowed divorce only for ‘ a shameful thing’ or ‘an indecency’. It is difficult to tell what Shammai meant by the phrase. Many scholars have translated it as ‘unchastity’. By ‘unchastity’ some scholars meant ‘illicit sexual relations’; others meant ‘unbecoming behaviour’. The Talmudic rabbis seem to have similar uncertainty. In some text ‘an indecency’ is left to stand in its ambiguity. Elsewhere the rabbis add further explanations such as spinning in the street, going out ‘uncovered’, or not wearing enough clothes ... These actions were regarded as flagrant violations of marital propriety and as potentially seductive” [= Kelompok Shammai ... mengijinkan perceraian hanya karena ‘hal yang memalukan’ atau ‘suatu ketidak-senonohan’. Adalah sukar untuk mengatakan apa yang dimaksud Shammai dengan istilah ini. Banyak penafsir menterjemahkannya sebagai ‘unchastity’. Ada penafsir yang mengartikan kata ‘unchastity’ ini sebagai ‘hubungan sex yang haram’; dan penafsir-penafsir yang lain mengartikan ‘kelakuan yang tidak pantas’. Rabbi-rabbi dalam kitab Talmud kelihatannya mempunyai ketidak-pastian yang mirip. Dalam sebagian text kata-kata ‘an indecency’ / ‘suatu ketidak-senonohan’ itu dibiarkan dalam arti gandanya. Di tempat lain rabbi-rabbi menambahkan penjelasan-penjelasan lebih lanjut seperti berputar / pusing di jalan (?), pergi ke luar dengan telanjang, atau tidak mengenakan pakaian yang cukup ... Tindakan-tindakan ini dianggap sebagai pelanggaran yang menyolok dari kesopanan pernikahan dan sebagai sangat memungkinkan untuk menggoda] - ‘Man and Woman in Biblical Perspective’, hal 100.

b)   Rabbi Hillel menyoroti kata-kata ‘ia tidak menyukai lagi perempuan itu’ dalam Ul 24:1 dan lalu menafsirkan bahwa segala tindakan istri yang tidak menyenangkan suami boleh dijadikan alasan untuk menceraikan istri (termasuk tindakan yang remeh seperti menggosongkan makanan waktu masak, bicara terlalu keras sehingga terdengar oleh tetangga dsb).

Adam Clarke: “Rabbi Akiba said, ‘If any man saw a woman handsomer than his own wife, he might put his wife away; because it is said in the law, ‘If she find not favour in his eyes.’ Deut. 24:1” (= Rabbi Akiba berkata: ‘Jika ada orang yang melihat seorang perempuan yang lebih cantik dari istrinya sendiri, ia boleh menyingkirkan / menceraikan istrinya; karena dikatakan dalam hukum Taurat: ‘Jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu’. Ul 24:1) - hal 74.

Adam Clarke: “Josephus, the celebrated Jewish historian, ‘in his Life’, tells us, with the utmost coolness and indifference, ‘About this time I put away my wife, who had borne me three children, not being pleased with her manners.’” (= Josephus, ahli sejarah Yahudi yang terkenal, ‘dalam kehidupannya’, memberitahu kita, dengan sikap dingin dan acuh tak acuh, ‘Kira-kira pada saat ini aku menyingkirkan / menceraikan istriku, yang telah melahirkan bagiku 3 anak, karena aku tidak senang dengan kelakuannya’) - hal 74.

Jelas bahwa pandangan Hillel lebih banyak diterima, khususnya oleh orang laki-laki, dari pada pandangan Shammai! Ini, ditambah dengan fakta bahwa proses perceraian merupakan suatu proses yang sangat mudah, membuat pernikahan merupakan sesuatu yang sangat rawan / tidak aman.

Barclay: “The process of divorce was extremely simple. The bill of divorcement simply ran: ‘Let this be from me thy writ of divorce and letter of dismissal and deed of liberation, that thou mayest marry whatsoever man thou wilt.’ All that had to be done was to hand that document to the woman in the presence of two witnesses and she stood divorced” (= Proses perceraian sangat sederhana. Surat perceraian hanya berbunyi: ‘Inilah surat perceraianmu dariku dan surat pembebasan dan tindakan kemerdekaan, supaya engkau bisa menikahi siapapun yang engkau kehendaki’. Semua yang harus dilakukan adalah menyerahkan dokumen itu ke tangan perempuan itu di hadapan dua saksi dan perempuan itu sudah diceraikan) - hal 151.

Barclay: “Human nature being such as it is, it is easy to see which school would have the greater influence. In the time of Jesus divorce had grown easier and easier, so that a situation  had arisen in which girls were actually unwilling to marry, because marriage was so insecure” (= Melihat keadaan manusia, adalah mudah untuk mengetahui pihak mana yang mempunyai pengaruh yang lebih besar. Pada jaman Yesus perceraian telah menjadi makin lama makin mudah, sehingga muncul suatu situasi dimana gadis-gadis betul-betul tidak mau menikah, karena pernikahan begitu ‘tidak pasti / aman’) - hal 152.

II) Ajaran Yesus tentang perceraian.

Ay 32: Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.

Bdk. Mat 19:9 - “Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.’”.

1)   Setiap orang yang menceraikan isterinya.
Matius hanya mempersoalkan suami yang menceraikan istri, karena Matius menujukan Injilnya terutama untuk orang-orang Yahudi, dimana yang banyak terjadi adalah kasus suami menceraikan istri, dan tidak pernah terjadi sebaliknya. Tetapi Markus yang menuliskan Injilnya kepada orang-orang non Yahudi, juga melarang istri menceraikan suaminya.
William Hendriksen: “Matthew was writing primarily to Jews, among whom the rejection of a wife by her husband was well-known, but not vice-versa. Mark, writing to Gentiles, includes both possibilities (10:11,12). But naturally Matt. 5:32 applies to the wife who ‘puts away’ her husband as well as to the husband who does the same to his wife” [= Matius menulis terutama kepada orang-orang Yahudi, di antara siapa penolakan seorang istri oleh suaminya merupakan sesuatu yang terkenal, tetapi tidak sebaliknya. Markus, menulis kepada orang-orang non Yahudi, mencakup kedua kemungkinan (10:11,12). Tetapi tentu saja Mat 5:32 berlaku bagi istri yang menceraikan suaminya sama seperti bagi suami yang melakukan hal yang sama terhadap istrinya] - hal 305 (footnote).

Mark 10:11-12 - “(11) Lalu kataNya kepada mereka: ‘Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. (12) Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah.’”.

2)   Kalimat perkecualian: ‘kecuali karena zinah’.
Ada macam-macam pandangan tentang bagian ini.

a)   Ada yang menganggap kalimat perkecualian ini sebagai tidak sah, karena Markus dan Lukas tidak mempunyainya.
Barclay: “It is now that we are face to face with one of the most real and most acute difficulties in the New Testament. ... The difficulty is - and there is no escaping it - that Mark and Matthew report the words of Jesus differently. ... both Mark and Luke make the prohibition of divorce absolute; with them there are no exceptions whatsoever. But Matthew has one saving clause - divorce is permitted on the ground of adultery. ... In the last analysis we must choose between Matthew’s version of this saying and that of Mark and Luke. We think there is little doubt that the version of Mark and Luke is right. ... Matthew’s saving clause is a later interpretation inserted in the light of the practice of the Church when he wrote” (= Sekarang kita berhadapan dengan salah satu dari kesukaran-kesukaran yang paling nyata dan paling akut dalam Perjanjian Baru. Kesukarannya adalah - dan tidak ada jalan untuk lolos dari kesukaran ini - bahwa Markus dan Matius melaporkan kata-kata Yesus secara berbeda. ... Baik Markus maupun Lukas membuat larangan perceraian itu mutlak; pada mereka tidak ada perkecualian apapun. Tetapi Matius mempunyai satu kalimat perkecualian - perceraian diijinkan dengan alasan perzinahan. ... Pada analisa terakhir kita harus memilih antara versi Matius dari kata-kata ini dan versi Markus dan Lukas. Kami berpendapat bahwa tidak diragukan  bahwa versi dari Markus dan Lukaslah yang benar. ... Kalimat perkecualian Matius merupakan penafsiran belakangan yang dimasukkan dalam terang dari praktek dari Gereja pada saat ia menulis) - hal 200-202.
Catatan: ayat dalam Markus adalah Mark 10:11-12; sedangkan ayat dalam Lukas adalah Luk 16:18.
Mark 10:11-12 - “(11) Lalu kataNya kepada mereka: ‘Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. (12) Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah.’”.
Luk 16:18 - “Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.’”.

Tetapi perlu diketahui bahwa dalam Mat 5:32 maupun Mat 19:9 tidak ada perbedaan manuscripts. Semua manuscripts mempunyai kalimat perkecualian tersebut.

Komentar-komentar tentang ‘kalimat perkecualian’ dalam Mat 19:9 dan Mat 5:32 yang tidak ada dalam Markus dan Lukas:

John Stott:
·         “Because it does not occur in the parallel sayings in Mark and Luke, many scholars have been too ready to dismiss it. Some suggest that it was an early scribal interpolation and no part of Matthew’s original text. But there is no manuscript evidence that it was a gloss; even the alternative reading of Codex Vaticanus, retained in the RSV margin, does not omit the clause. Other scholars attribute the clause to Matthew himself, and / or to the church in which he was writing, but deny that Jesus ever spoke it. But its omission by Mark and Luke is not in itself a sufficient ground for rejecting it as an editorial invention or interpretation by the first evangelist. It is perfectly possible to suppose that Matthew included it for his Jewish readership who were very concerned about the permissible grounds for divorce, whereas Mark and Luke, writing for Gentile readers, did not have the same concern. Their silence is not necessarily due to ignorance; it may equally well be that they took the clause for granted. Pagan cultures regarded adultery as a ground for divorce. So did both the Jewish schools of Hillel and Shammai, in spite of their disagreements on other points. This was not in dispute” [= Karena itu (kalimat perkecualian) tidak ada dalam kata-kata yang paralel dari Markus dan Lukas, banyak penafsir yang terlalu siap untuk membuangnya. Sebagian mengusulkan bahwa itu merupakan suatu penyisipan awal dari penyalin dan bukan bagian dari text orisinil Matius. Tetapi tidak ada bukti manuscripts bahwa itu merupakan catatan / keterangan; bahkan dalam pembacaan yang berbeda dari Codex Vaticanus, yang dipertahankan dalam catatan tepi dari RSV, tidak membuang kalimat itu. Penafsir-penafsir lain menganggap bahwa kalimat itu berasal dari Matius sendiri, dan / atau dari gereja kepada siapa ia menulis, tetapi menyangkal bahwa Yesus pernah mengucapkannya. Tetapi tidak adanya kalimat itu dalam Markus dan Lukas bukan merupakan alasan yang cukup untuk menolaknya sebagai suatu ciptaan redaksi atau penafsiran oleh penginjil pertama itu (Matius). Adalah mungkin untuk menganggap bahwa Matius mencakupnya karena pembaca Yahudinya yang sangat memperhatikan tentang dasar-dasar yang memungkinkan perceraian, sedangkan Markus dan Lukas, yang menulis kepada pembaca-pembaca non Yahudi, tidak mempunyai perhatian yang sama. Diamnya mereka tidak harus disebabkan oleh ketidak-tahuan; juga mungkin bahwa mereka menganggap kalimat itu sudah jelas / pasti (sehingga tidak perlu ditulis). Kebudayaan kafir menganggap perzinahan sebagai dasar perceraian. Demikian juga kedua kelompok / aliran dari Hillel dan Shammai, sekalipun mereka mempunyai ketidak-cocokan dalam hal-hal lain. Ini tidak diperdebatkan] - ‘Involvement’, vol II, hal 169-170.
·         “It seems far more likely that its absence from Mark and Luke is due not to their ignorance of it but to their acceptance of it as something taken for granted. After all, under the Mosaic law adultery was punishable by death (although the death penalty for this offence seems to have fallen into disuse by the time of Jesus); so nobody would have questioned that marital unfaithfulness was a just ground for divorce. Even the rival Rabbis Shammai and Hillel were agreed about this” [= Jauh lebih memungkinkan bahwa tidak adanya kalimat perkecualian dalam Markus dan Lukas bukan disebabkan karena ketidak-tahuan mereka tentang hal itu, tetapi karena mereka menerima hal itu sebagai sesuatu yang sudah pasti / jelas. Dalam jaman Musa, perzinahan dihukum dengan hukuman mati (sekalipun hukuman mati untuk pelanggaran ini kelihatannya sudah tidak dilakukan pada jaman Yesus); sehingga tak seorangpun akan mempertanyakan bahwa ketidak-setiaan pernikahan merupakan alasan yang benar untuk perceraian. Bahkan Rabbi Shammai dan Hillel yang bersaingan setuju tentang hal ini] - ‘The Message of the Sermon on the Mount’, hal 96,97.

Tasker (Tyndale): “There is no manuscripts evidence for the omission of the exception-clause” (= Tidak ada bukti manuscripts untuk penghapusan dari kalimat perkecualian) - hal 96.

A. T. Robertson: “An unusual phrase that perhaps means ‘except for a matter of unchastity.’ ... McNeile denies that Jesus made this exception because Mark and Luke do not give it. He claims that the early Christians made the exception to meet a pressing need, but one fails to see the force of this charge against Matthew’s report of the words of Jesus” (= Suatu ungkapan yang tidak biasa, yang mungkin berarti ‘kecuali karena persoalan ketidak-murnian / perzinahan’. ... McNeille menyangkal bahwa Yesus membuat perkecualian ini karena Markus dan Lukas tidak memberikannya. Ia mengclaim bahwa orang-orang Kristen abad-abad awal membuat perkecualian untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak, tetapi seseorang gagal untuk melihat kekuatan dari tuduhan terhadap laporan Matius tentang kata-kata Yesus) - ‘Word Pictures in the New Testament’, vol I, hal 47.

A. T. Robertson memberi komentar tambahan tentang kata-kata McNeile ini: “That in my opinion is gratuitous criticism which is unwilling to accept Matthew’s report because it disagrees with one’s views on the subject of divorce. He adds: ‘It cannot be supposed that Matthew wished to represent Jesus as siding with the school of Shammai.’ Why not, if Shammai on this point agreed with Jesus?” (= Dalam pandangan saya merupakan suatu kritik yang serampangan / tidak beralasan / tidak pada tempatnya jika seseorang tidak mau menerima laporan Matius karena laporan itu tidak cocok dengan pandangannya tentang pokok perceraian. Ia menambahkan: ‘Tidak bisa dianggap bahwa Matius ingin menggambarkan Yesus sebagai berpihak kepada kelompok / aliran Shammai’. Mengapa tidak, jika Shammai dalam hal ini setuju dengan Yesus?) - ‘Word Pictures in the New Testament’, vol I, hal 155.
Catatan: dari kata-kata yang terakhir ini kelihatannya A. T. Robertson menganggap bahwa Shammai mengijinkan perceraian hanya kalau terjadi perzinahan (sama seperti pandangan Barclay tentang Shammai).

b)   Kata yang diterjemahkan ‘zinah’ adalah PORNEIA, dan kata PORNEIA ini biasanya diterjemahkan ‘fornication’ (= percabulan), dan ini biasanya dibedakan dengan kata Yunani MOICHEIA, yang biasanya diartikan ‘adultery’ (= perzinahan).
Biasanya ‘adultery’ (= perzinahan) dianggap menunjuk pada tindakan orang yang sudah menikah, sedangkan ‘fornication’ (= percabulan) menunjuk pada tindakan orang yang belum menikah.
Ini menyebabkan ada yang menafsirkan bahwa yang Yesus maksudkan adalah:

1.   Perzinahan yang dilakukan sebelum pernikahan, dan baru diketahui sesudah pernikahan. Bandingkan dengan Ul 22:13-21 - orang kawin tetapi tidak didapati tanda keperawanan.

John Stott: “The Greek word is PORNEIA. It is normally translated ‘fornication’, denoting the immorality of the unmarried, and is often distinguished from MOICHEIA (‘adultery’), the immorality of the married. For this reason some have argued that the exceptive clause permits divorce if some pre-marital sexual sin is later discovered [= Kata Yunaninya adalah PORNEIA. Biasanya kata itu diterjemahkan ‘percabulan’, menunjuk pada tindakan tidak bermoral dari orang yang belum menikah, dan kata itu sering dibedakan dari MOICHEIA (‘perzinahan’), tindakan tidak bermoral dari orang yang sudah menikah. Karena alasan ini beberapa orang berargumentasi bahwa kalimat perkecualian mengijinkan perceraian jika dosa sexual yang terjadi sebelum pernikahan ditemukan / diketahui belakangan] - ‘The Message of the Sermon on the Mount’, hal 97.

Matthew Henry tentang Mat 19:9: “Dr. Whitby understands this, not of adultery, but (because our Saviour uses the word porneia - fornication) of uncleanness committed before marriage, but discovered afterward; because if it were committed after, it was a capital crime, and there needed no divorce” [= Dr. Whitby mengerti ini, bukan sebagai perzinahan, tetapi (karena Juruselamat kita menggunakan kata porneia / PORNEIA - percabulan) kenajisan yang dilakukan sebelum pernikahan, tetapi baru diketemukan kemudian; karena jika itu dilakukan setelah pernikahan, itu harus dihukum mati, dan tidak perlu ada perceraian] - hal 270.

2.   Perzinahan yang dilakukan pada masa pertunangan tingkat dua dalam adat Yahudi.
Dalam tradisi mereka ada beberapa tahap menuju pernikahan:
a.         Pertunangan I (engagement).
Pertunangan I ini terjadi pada waktu dua orang yang diper­tunangkan itu masih kecil, dimana mereka dipertunangkan oleh orang tua mereka, dan mereka belum saling kenal. Pertunangan I ini bisa dibatalkan.
b.         Pertunangan II (bethrotal).
Pertunangan II ini terjadi setelah dua orang tadi sudah cukup umur. Pada saat pertunangan II ini mereka sudah disebut ‘suami istri’ (bdk. Ul 22:23-24; dalam ay 23nya disebutkan ‘bertunangan’ tetapi dalam ay 24nya disebut sebagai ‘istri’) tetapi mereka belum tinggal bersama dan mereka belum boleh melakukan hubungan sex. Dalam tradisi Yahudi saat itu, pemutusan pertunangan II ini dianggap sebagai perceraian dan dianggap sebagai dosa. Pertunangan II ini hanya berlangsung 1 tahun.
c.         Pernikahan.

Pandangan ini menganggap bahwa perzinahan itu terjadi pada masa pertunangan tingkat dua. Bandingkan dengan kasus Yusuf yang hendak menceraikan Maria, karena ia mengira bahwa Maria mengandung dari perzinahan.

The Wycliffe Bible Commentary tentang Mat 19:9: “If fornication be regarded as a general term including adultery (an identification most uncertain in the New Testament), then our Lord allowed divorce only for the cause of infidelity by the wife. ... However, if fornication be viewed in its usual meaning, and referred here to unchastity by the bride during betrothal (cf. Joseph’s suspicious, Mt 1:18,19), then Christ allowed no grounds what ever for divorce of married persons. Thus he agreed neither with Shammai nor Hillel” [= Jika percabulan dianggap sebagai suatu istilah umum yang mencakup perzinahan (suatu identifikasi yang sangat tidak pasti dalam Perjanjian Baru), maka Tuhan kita mengijinkan perceraian hanya karena ketidak-setiaan oleh istri. ... Tetapi, jika percabulan dipandang dalam artinya yang biasa, dan di sini menunjuk pada perzinahan oleh mempelai perempuan pada masa pertunangan (bdk. kecurigaan Yusuf, Mat 1:18-19), maka Kristus tidak mengijinkan dasar apapun untuk perceraian dari orang-orang yang menikah. Dengan demikian Ia tidak setuju baik dengan Shammai ataupun Hillel] - hal 963.

Westminster Confession of Faith, chapter XXIV, No 5a - Adultery or fornication committed after a contract, being detected before marriage, giveth just occasion to the innocent party to dissolve the contract” (= Perzinahan atau percabulan yang dilakukan setelah suatu kontrak / perjanjian, yang dideteksi sebelum pernikahan, memberikan alasan yang benar kepada pihak yang tidak bersalah untuk membubarkan kontrak / perjanjian).
Catatan: kata-kata dari Westminster Confession of Faith di sini tidak berarti bahwa Westminster Confession of Faith menyetujui penafsiran ini. Ini terlihat dari pasal 24 ayat 5b yang nanti saya kutip di bawah. Westminster Confession of Faith hanya menganggap bahwa dalam kasus seperti itu, perceraian diijinkan. Dasar yang dipakai adalah kasus Yusuf dan Maria (Mat 1:18-19).

Keberatan terhadap pandangan ini:

a.   Dalam Mat 19, Yesus dan orang-orang Farisi tidak sedang berbicara tentang pertunangan, tetapi tentang pernikahan. Dan dalam Mat 19, text-text Kitab Suci yang dipersoalkan, yaitu Ul 24:1-4 dan Kej 2:24, semua berbicara tentang pernikahan, bukan pertunangan.
Mat 19:3-10 - “(3) Maka datanglah orang-orang Farisi kepadaNya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: ‘Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?’ (4) Jawab Yesus: ‘Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? (5) Dan firmanNya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. (6) Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.’ (7) Kata mereka kepadaNya: ‘Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?’ (8) Kata Yesus kepada mereka: ‘Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. (9) Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.’ (10) Murid-murid itu berkata kepadaNya: ‘Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin.’”.

b.         Arti dan penggunaan dari kata PORNEIA.
·         Kata PORNEIA tidak hanya menunjuk pada dosa sexual dari orang yang belum menikah, tetapi kata ini merupakan istilah umum yang artinya luas, dan mencakup hal-hal seperti:
*        incest (1Kor 5:1).
*        homosex (Yudas 7).
*        perzinahan (Yer 3:2,6 versi LXX).
·         ada penafsir mengatakan bahwa kata PORNEIA digunakan dalam Sirakh 23:23 (salah satu kitab dari kitab-kitab Apocrypha / Deuterokanonika) dan menunjuk pada dosa dari seorang pezinah perempuan, yang jelas-jelas sudah menikah.
Pulpit Commentary (tentang Mat 19:9): “it is not correct to say that porneia denotes solely the sin of unmarried people. All illicit connection is described by this term, and it cannot be limited to one particular kind of transgression. In Ecclus. 23:23 it is used expressly of the sin of an adulteress” (= tidak benar untuk mengatakan bahwa PORNEIA hanya menunjuk pada dosa dari orang yang belum menikah. Semua hubungan gelap / haram digambarkan oleh istilah ini, dan itu tidak bisa dibatasi pada satu jenis pelanggaran tertentu. Dalam Sirakh 23:23 kata itu digunakan secara jelas tentang dosa dari seorang perzinah perempuan) - hal 244-245.
Catatan:
*        jangan mencampur-adukkan kitab yang dalam bahasa Inggris disebut ‘Ecclesiastes’ (= kitab Pengkhotbah) dengan ‘Ecclesiasticus’. Yang terakhir ini menunjuk kepada salah satu dari kitab-kitab Apocrypha / Deuterokanonika, yang dalam bahasa Indonesia (Kitab Suci Katolik) disebut ‘kitab Sirakh’.
*        Sirakh 23:22-23 - “Demikianlah halnya seorang istri yang meninggalkan suaminya dan dari orang lain melahirkan  waris. Sebab pertama-tama ia tidak taat kepada hukum dari Yang Mahatinggi, keduanya ia bersalah terhadap suaminya, ketiganya ia berzinah dengan melacur, dan akhirnya melahirkan anak dari laki-laki lain”.
·         John Stott: “PORNEIA was, in fact, a generic word for sexual infidelity or ‘marital unfaithfulness’ (NIV) and included, ‘every kind of unlawful sexual intercourse’ (Arndt-Gingrich)” [= dalam faktanya, PORNEIA merupakan kata umum untuk ketidak-setiaan sexual atau ‘ketidak-setiaan pernikahan’ (NIV) dan mencakup ‘setiap jenis hubungan sex yang tidak sah’ (Arndt-Gingrich)] - ‘Involvement’, vol II, hal 170.
Catatan: Arndt-Gingrich adalah nama-nama dari 2 penulis suatu lexicon / kamus Yunani yang sangat tebal, dan merupakan lexicon / kamus standard.
·         W. E. Vine: “PORNEIA (porneia) is used (a) of illicit sexual intercourse, ... in Matt. 5:32 and 19:9 it stands for, or includes, adultery; it is distinguished from it in 15:19 and Mark 7:21” [= PORNEIA (porneia) digunakan (a) tentang hubungan sexual yang tidak sah, ... dalam Mat 5:32 dan 19:9 kata itu berarti, atau mencakup, perzinahan; kata itu dibedakan dari perzinahan dalam (Mat) 15:19 dan Mark 7:21] - ‘An Expository Dictionary of New Testament Words’, hal 455.
·         Knox Chamblin: “The meaning of PORNEIA. The fundamental meaning of the term is ‘prostitution,’ in keeping with its nominal counterpart PORNE, ‘prostitute, harlot.’ Yet it also denotes ‘fornication’ and indeed can be used to comprehend ‘every kind of unlawful sexual intercourse’ ... Thus the term is more comprehensive than MOICHEIA, ‘adultery.’” (= Arti dari kata PORNEIA. Arti dasar dari istilah ini adalah ‘pelacuran’, sesuai dengan kata benda pasangannya yaitu PORNE, ‘pelacur’. Tetapi kata itu juga menunjuk pada ‘percabulan’ dan bisa digunakan untuk mencakup ‘setiap jenis hubungan sex yang tidak sah’ ... Jadi istilah ini mempunyai arti yang lebih luas dari pada MOICHEIA, ‘perzinahan’) - hal 150.
·         John Stott: “PORNEIA is derived from PORNE, a prostitute, without specifying whether she (or her client) is married or unmarried. Further, it is used in the Septuagint for the unfaithfulness of Israel, Yahweh’s bride, as exemplified in Hosea’s wife Gomer. It seems, therefore, that we must agree with R. V. G. Tasker’s conclusion that PORNEIA is ‘a comprehensive word, including adultery, fornication and unnatural vice’” [= PORNEIA diturunkan dari PORNE, ‘seorang pelacur’, tanpa menyatakan apakah ia (atau langganannya) menikah atau tidak menikah. Selanjutnya, kata itu digunakan dalam Septuaginta untuk ketidak-setiaan dari Israel, mempelai perempuan dari Yahweh, seperti ditunjukkan dalam diri dari istri Hosea yaitu Gomer. Karena itu, kelihatannya kita harus setuju dengan kesimpulan dari R. V. G. Tasker bahwa PORNEIA merupakan kata yang luas / meliputi banyak hal, termasuk perzinahan, percabulan dan kejahatan sexual yang tidak alamiah] - ‘The Message of the Sermon on the Mount’, hal 97.
Catatan: pada footnotenya John Stott menyebutkan bahwa ayat dalam Hosea yang dimaksudkan adalah:
*        Hos 1:2,3 - “Ketika TUHAN mulai berbicara dengan perantaraan Hosea, berfirmanlah Ia kepada Hosea: ‘Pergilah, kawinilah seorang perempuan sundal dan peranakkanlah anak-anak sundal, karena negeri ini bersundal hebat dengan membelakangi TUHAN.’ Maka pergilah ia dan mengawini Gomer binti Diblaim, lalu mengandunglah perempuan itu dan melahirkan baginya seorang anak laki-laki”.
*        Hos 2:1,3 - “‘Adukanlah ibumu, adukanlah, sebab dia bukan isteriKu, dan Aku ini bukan suaminya; biarlah dijauhkannya sundalnya dari mukanya, dan zinahnya dari antara buah dadanya, ... Tentang anak-anaknya, Aku tidak menyayangi mereka, sebab mereka adalah anak-anak sundal”.
Catatan: dalam Kitab Suci Inggris Hos 2:2,4.
·         Kata PORNEIA dan MOICHEIA digunakan secara interchangeable (= bisa dibolak-balik) dalam Wah 2:20-22, karena Wah 2:20,21 menggunakan PORNEIA, sedangkan Wah 2:22 menggunakan MOICHEIA, padahal semua membicarakan satu hal yang sama.
Wah 2:20-22 - “(20) Tetapi Aku mencela engkau, karena engkau membiarkan wanita Izebel, yang menyebut dirinya nabiah, mengajar dan menyesatkan hamba-hambaKu supaya berbuat zinah (porneusai / PORNEUSAI) dan makan persembahan-persembahan berhala. (21) Dan Aku telah memberikan dia waktu untuk bertobat, tetapi ia tidak mau bertobat dari zinahnya (porneiaj / PORNEIAS). (22) Lihatlah, Aku akan melemparkan dia ke atas ranjang orang sakit dan mereka yang berbuat zinah (moiceuontaj / MOICHEUONTAS) dengan dia akan Kulemparkan ke dalam kesukaran besar, jika mereka tidak bertobat dari perbuatan-perbuatan perempuan itu”.
Kesimpulan: adalah salah untuk memberikan garis pemisah yang tegas antara PORNEIA dan MOICHEIA, dan mengartikan PORNEIA sebagai dosa sexual dari orang yang belum menikah sedangkan MOICHEIA adalah dosa sexual dari orang yang sudah menikah.

c)   Kalimat ini dianggap sebagai suatu perkecualian. Jadi, Yesus melarang perceraian, kecuali terjadi perzinahan. Ini merupakan pandangan dari hampir semua penafsir. Jadi, kata-kata banyak orang bahwa pada umumnya pandangan yang diterima adalah bahwa orang kristen tidak boleh bercerai, sekalipun terjadi perzinahan, adalah kata-kata yang salah. Ini akan saya buktikan nanti dengan memberikan banyak kutipan di bawah.

Tetapi, perzinahan itu haruslah perzinahan fisik, bukan perzinahan dalam hati seperti dalam Mat 5:28. Mengapa?
·         karena kalau cerai diijinkan pada saat terjadi perzinahan pikiran, maka semua perempuan boleh mencerikan suaminya. Mana ada orang laki-laki yang tidak pernah melanggar Mat 5:28?
·         Mat 19:9 dan Mat 5:31-32 mengatakan ‘perzinahan’ bukan ‘perzinahan dalam hati’ seperti yang dikatakan Mat 5:28.
·         perzinahan dalam hati tidak bisa dibuktikan, sehingga tidak memungkinkan untuk dijadikan dasar untuk menceraikan pasangannya.
·         Ada penafsir mengatakan bahwa kata PORNEIA digunakan karena memang kata itu lebih menekankan sifat fisik dari perzinahan yang dilakukan dibandingkan dengan kata MOICHEIA.
Pulpit Commentary tentang Mat 5:32: “‘Fornication.’ The reference is to sin after marriage. ... The more general word (porneia) is used, because it lays more stress on the physical character of the sin than moiceia would have laid” [= ‘Percabulan’.  Yang ditunjuk adalah dosa setelah pernikahan. ... Kata yang lebih umum (porneia - PORNEIA) digunakan, karena kata itu lebih menekankan sifat fisik dari dosa tersebut dari pada kata moiceia / MOICHEIA] - hal 164.
John Stott: “PORNEIA means physical sexual immorality; the reason why Jesus made it the sole permissible ground for divorce must be that it violates the ‘one flesh’ principle which is foundational to marriage as divinely ordained and biblically defined” (= PORNEIA berarti ketidak-bermoralan sexual secara fisik; alasan mengapa Yesus membuatnya sebagai satu-satunya dasar yang mengijinkan perceraian haruslah karena hal itu melanggar prinsip ‘satu daging’ yang merupakan dasar dari pernikahan sebagai sesuatu yang ditetapkan Allah dan didefinisikan oleh Alkitab) - ‘Involvement’, vol II, hal 170.

Beberapa penafsir menganggap bahwa tindakan penyimpangan sexual seperti homosex, lesbianisme, bestiality (= hubungan sex dengan binatang) juga tercakup di sini, karena kata PORNEIA memang mencakup hal-hal tersebut.

Mengapa saya mengambil pandangan ini?
1.   Arti dan penggunaan kata PORNEIA yang sudah dibahas di atas.
2.   Yer 3:1-8, khususnya ay 8nya, yang berbunyi: “Dilihatnya, bahwa oleh karena zinahnya Aku telah menceraikan Israel, perempuan murtad itu, dan memberikan kepadanya surat cerai; namun Yehuda, saudaranya perempuan yang tidak setia itu tidak takut, melainkan ia juga pun pergi bersundal”.
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah mempraktekkan prinsip yang Yesus ajarkan dalam Mat 5:32 dan Mat 19:9 itu. Pada waktu Israel bersundal / berzinah / tidak setia kepada Allah, maka Allah menceraikan Israel dan memberikan surat cerai kepadanya! Memang perzinahan yang dilakukan oleh Israel, adalah perzinahan rohani, dimana mereka tidak setia kepada Allah dan lalu menyembah berhala / allah lain, tetapi prinsipnya sama yaitu: jikalau terjadi perzinahan maka perceraian diijinkan!
3.   1Kor 6:16 - “Atau tidak tahukah kamu, bahwa siapa yang mengikatkan dirinya pada perempuan cabul, menjadi satu tubuh dengan dia? Sebab, demikianlah kata nas: ‘Keduanya akan menjadi satu daging.’”.
Ini menunjukkan bahwa perzinahan menghancurkan ikatan pernikahan.
G. I. Williamson: “If a man becomes one flesh with an harlot, it is hard to see how he can yet be one flesh with his wife. Unless such be repented of and forgiven, we do not see how it can be denied that the adultery necessitates the dissolution of the marriage” (= Jika seorang laki-laki menjadi satu daging dengan seorang pelacur, sukar untuk melihat bagaimana ia bisa tetap satu daging dengan istrinya. Kecuali ia bertobat dan diampuni, kami tidak melihat bagaimana bisa disangkal bahwa perzinahan itu mengharuskan pembubaran / terputusnya pernikahan) - ‘The Westminster Confession of Faith’, hal 185.

Banyak orang menyoroti pandangan ini secara negatif, karena mengijinkan perceraian. Tetapi sebetulnya pandangan ini bisa disoroti secara positif, karena dengan adanya pandangan ini, maka orang akan agak takut untuk berzinah.

Keberatan terhadap pandangan ini:

a.   Apakah itu berarti tidak ada pengampunan?
Jawab: Merupakan sesuatu yang menarik bahwa persis sebelum text dari Mat 19:1-12 terdapat text Mat 18:21-35 (perumpamaan tentang orang yang berhutang 10.000 talenta) yang menekankan pengampunan. Karena itu jelas bahwa ‘menceraikan pasangan yang berzinah’ tidak boleh diartikan ‘tidak mengampuni’. Orang itu harus diampuni, tetapi tidak diterima kembali sebagai pasangan hidup! Ini sama seperti kasus pendeta yang jatuh dalam perzinahan, sehingga dipecat dari jabatannya. Kalau ia bertobat, ia diampuni, tetapi tetap tidak diterima kembali sebagai pendeta, karena ia tidak lagi memenuhi syarat penatua dalam 1Tim 3:7 - ‘mempunyai nama baik’.
Saya tidak setuju dengan Jay E. Adams (‘Marriage, Divorce, and Remarriage in the Bible’, hal 56-57) yang mengharuskan pihak yang tidak bersalah untuk mengampuni dan menerima kembali pasangan yang berzinah, jika pasangan yang berzinah tersebut bertobat. Saya berpendapat bahwa ia memang harus mengampuni pasangannya tersebut tetapi ia tidak harus (tetapi boleh) menerimanya kembali sebagai pasangan hidup. Ia berhak menceraikannya dan menikah lagi dengan orang lain.
Pada waktu Yusuf mengira bahwa Maria telah berzinah dengan laki-laki lain, ia tidak menegur ataupun berusaha mempertobatkan Maria, supaya ia bisa menerimanya kembali, tetapi ia berusaha menceraikannya. Dan ia disebut sebagai ‘seorang yang tulus hati’ (Lit: ‘seorang yang benar’) - Mat 1:18-19.

b.   Mat 19:7-8 - “(7) Kata mereka kepadaNya: ‘Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?’ (8) Kata Yesus kepada mereka: ‘Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian.
Kata-kata ‘karena ketegaran hatimu’ disoroti dan ditafsirkan bahwa perceraian karena perzinahan itupun diijinkan karena ketegaran hati manusia. Jadi sebetulnya tetap tidak boleh cerai sekalipun ada perzinahan.

Jawab:
Dalam Mat 19:7 itu orang-orang Farisi menggunakan istilah ‘memerintahkan’. Sekalipun memang mereka berkata bahwa ‘Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai’, tetapi orang bisa menerima secara salah, seolah-olah Musa memerintahkan perceraian. Karena itu, pada waktu Yesus menjawab dalam Mat 19:8, Ia tidak mau menggunakan istilah ‘memerintahkan’, tetapi Ia menggu­nakan istilah ‘mengijinkan’.
Padahal, tadi di atas sudah kita lihat bahwa sebetulnya Ul 24:1-4 tidak mengijinkan perceraian / pernikahan lagi ataupun memberikan syarat perceraian; lalu mengapa dalam Mat 19:8 Yesus mengatakan bahwa Musa mengijinkan perceraian? Ada 2 kemungkinan jawaban:
·         Karena Musa tidak melarang perceraian secara tegas, maka itu dianggap mengijinkan.
·         Waktu Yesus berkata ‘Musa mengijinkan’, Ia tidak memaksud­kan Ul 24:1-4, tetapi dalam praktek / kenyataannya, dimana Musa memang mengijinkan perceraian.
Itupun tidak berarti bahwa Musa menghalalkan perceraian itu atau menganggapnya tidak dosa. Karena itu Yesus berkata karena ketegaran hatimu maka Musa mengijinkan hal itu’. Jadi, supaya tidak terjadi hal yang lebih buruk seperti istri dipukuli, tidak diberi makan dsb, maka Musa akhirnya mengijinkan perceraian. Tetapi perceraian yang dimaksud di sini bukanlah perceraian yang terjadi karena perzinahan / dosa sexual yang hebat.
Kata-kata ‘tetapi sejak semula tidaklah demikian’ mungkin menunjuk pada keadaan ideal (pada saat tidak ada dosa, pada saat pernikahan itu pertama-tama diadakan oleh Allah). Memang pernikahan diadakan bukan supaya ada perceraian.
Penafsiran ini tidak bertentangan dengan kontex. Coba perhatikan: dalam Mat 19:3 orang-orang itu bertanya: ‘Apakah diperbolehkah orang menceraikan istrinya dengan alasan apa saja?’. Dalam Mat 19:4-6 Yesus tidak langsung menjawab pertanyaan mereka, tetapi Ia lebih dulu membicarakan peraturan umum atau keadaan idealnya, yaitu orang tidak boleh bercerai. Lalu dalam Mat 19:7 mereka bertanya: ‘Mengapa Musa menyuruh memberi surat cerai?’. Dan Yesus menjawab dalam Mat 19:8: ‘Karena ketegaran hatimu’. Lalu dalam Mat 19:9 Ia menekankan lagi bahwa orang tidak boleh bercerai, tetapi sekarang ini Ia memberikan perkecualian, yaitu kalau terjadi perzinahan. Baru dalam Mat 19:9 ini Ia menjawab pertanyaan mereka dalam Mat 19:3. Dengan demikian kesimpulan seluruhnya adalah sebagai berikut: Terhadap pertanyaan: apakah boleh seseorang menceraikan istrinya dengan alasan apa saja? Yesus menjawab: Tidak, orang hanya boleh bercerai kalau terjadi perzinahan!

Komentar-komentar dari para penafsir:

Tasker (Tyndale) tentang Mat 19:3-9: “Their question ‘Is it lawful for a man to put away his wife for every cause?’ is not immediately or very directly answered; but the subsequent narrative implies that in effect the answer of Jesus is ‘If you mean for any cause, My answer is Yes; if you mean for every cause, My answer is No’” (= Pertanyaan mereka: ‘Apakah diperbolehkan orang menceraikan istrinya dengan alasan apa saja?’ tidak dijawab secara langsung; tetapi cerita selanjutnya secara tidak langsung menunjukkan bahwa sebetulnya jawaban Yesus adalah: ‘Jika engkau memaksudkan untuk sesuatu alasan, jawabanKu adalah Ya; jika engkau memaksudkan untuk setiap alasan / alasan apa saja, jawabanKu adalah Tidak’) - hal 179.

Tasker (Tyndale): “The word PORNEIA translated ‘fornication’ is a comprehensive word, including adultery, fornication and unnatural vice. ... Jesus does not insist that there must be divorce in these cases, ...  but that these, and not trivial considerations, are the kind of things for which divorce may rightly be granted” (= Kata PORNEIA yang diterjemahkan ‘percabulan’ merupakan suatu kata yang mempunyai banyak arti, termasuk perzinahan, percabulan, and kejahatan yang tidak alamiah. ... Yesus tidak berkeras bahwa harus ada perceraian dalam kasus-kasus ini, ... tetapi bahwa hal-hal ini, dan bukannya pertimbangan-pertimbangan yang remeh, merupakan jenis hal-hal untuk mana perceraian bisa diberikan secara benar) - hal 184.

Knox Chamblin tentang Mat 19:3-9: “It is now to be emphasizes that Jesus’ ‘except clause in v. 9 does not represent a reversal or even an exception to the principle enunciated in vv. 4-6. For where PORNEIA has occurred, the marital union has already been severed. In this case a divorce does not cause the rift but witnesses to a rift that has already occurred. Jesus legitimizes ‘a kind of divorce that consists solely in the formalization of a break that has already occurred through sexual infidelity’” (= Sekarang harus ditekankan bahwa kalimat perkecualian Yesus dalam ay 9 tidak menggambarkan suatu pembalikan atau bahkan suatu perkecualian terhadap prinsip yang diucapkan dalam ay 4-6. Karena dimana PORNEIA telah terjadi, persatuan pernikahan telah terpotong / terputus. Dalam kasus ini perceraian tidak menyebabkan keretakan itu tetapi memberi kesaksian tentang suatu keretakan yang telah terjadi. Yesus mengesahkan ‘suatu jenis perceraian yang semata-mata merupakan peresmian dari suatu keretakan / perpecahan yang sudah terjadi melalui ketidak-setiaan sexual’) - hal 150.

Barnes’ Notes tentang Mat 5:32: “Our Saviour brought marriage back to its original institution, and declared that whosoever put away his wife henceforward should be guilty of adultery. But one offence, he declared, could justify divorce. ... Nor has any man, or set of men, a right to interfere and declare that divorces may be granted for any other cause. Whosoever, therefore, are divorced for any cause except the single one of adultery, if they marry again, are, according to the Scriptures, living in adultery” (= Juruselamat kita membawa pernikahan kembali kepada pendirian orisinilnya, dan menyatakan bahwa siapapun yang menceraikan istrinya mulai saat itu bersalah dalam persoalan perzinahan. Tetapi satu pelanggaran, Ia menyatakan, bisa membenarkan perceraian. ... Tidak ada siapapun, baik seseorang maupun sekelompok orang, yang berhak untuk mencampuri dan menyatakan bahwa perceraian diijinkan untuk alasan lain apapun juga. Karena itu siapapun yang diceraikan karena alasan lain kecuali perzinahan, jika mereka menikah lagi, menurut Kitab Suci, hidup dalam perzinahan) - hal 25.

Barnes’ Notes tentang Mat 19:9: “Only one offence was to make divorce lawful. This is the law of God. And by the same law, all marriages which take place after divorce, where adultery is not the cause of divorce, are adulterous. Legislatures have no right to say that men may put away their wives for any other cause; and where they do, and where there is marriage afterwards, by the law of God such marriages are adulterous” (= Hanya satu pelanggaran yang membuat perceraian menjadi sah. Ini adalah hukum Allah. Dan oleh hukum yang sama, semua pernikahan yang terjadi setelah perceraian, dimana perzinahan bukanlah alasan dari perceraian tersebut, adalah perzinahan. Pembuat undang-undang tidak mempunyai hak untuk mengatakan bahwa orang boleh menceraikan istri mereka untuk alasan lain apapaun juga; dan dimana mereka melakukannya, dan dimana ada pernikahan setelahnya, oleh hukum Allah pernikahan seperti itu dianggap sebagai perzinahan) - hal 87.

John Murray tentang Mat 5:31-32: “In verse 32 Jesus proceeds to propound the principle that to put away or dismiss a wife for any reason but that of sexual infidelity is sin” (= Dalam ay 32 Yesus melanjutkan dengan mengemukakakan prinsip bahwa menceraikan atau memecat seorang istri untuk alasan lain selain alasan ketidak-setiaan sexual adalah dosa) - ‘Divorce’, hal 20.

William Hendriksen tentang Mat 5:31-32: “The exception to which Jesus refers in Matt. 5:32 (‘except on the ground of infidelity’) permits divorce only when one of the contracting parties, here the wife, by means of marital unfaithfulness (‘fornication’) rises in rebellion against the very essence of the marriage bond” [= Perkecualian yang ditunjukkan oleh Yesus dalam Mat 5:32 (‘kecuali karena percabulan’) mengijinkan perceraian hanya pada waktu satu dari pihak-pihak yang menikah, di sini si istri, oleh ketidak-setiaan pernikahan (‘percabulan’) memberontak terhadap inti / hakekat dari ikatan pernikahan] - hal 305.

Matthew Henry tentang Mat 5:32: “divorce is not to be allowed, except in case of adultery, which breaks the marriage covenant” (= perceraian tidak diijinkan, kecuali dalam kasus perzinahan, yang menghancurkan perjanjian pernikahan) - hal 62.

Pulpit Commentary tentang Mat 5:32: “The popular school, that of Hillel, allowed divorce ‘for every cause’ (ch. 19:3); the Lord allows it only ‘for the cause of fornication.’” (= Kelompok / aliran yang poupler, yaitu kelompok / aliran dari Hillel, mengijinkan perceraian ‘karena alasan apa saja’ (pasal 19:3); Tuhan mengijinkannya hanya ‘karena percabulan’) - hal 177.

Calvin (tentang Mat 5:31): “Though the husband and the wife are united by mutual consent, yet God binds them by an indissoluble tie, so that they are not afterwards at liberty to separate. An exception is added, ‘except on account of fornication’: for the woman, who has basely violated the marriage-vow, is justly cast off; because it was by her fault that the tie was broken, and the husband set at liberty” (= Sekalipun suami dan istri idpersatukan oleh persetujuan bersama, Allah mengikat mereka dengan ikatan yang tidak bisa diputuskan, sehingga setelah itu mereka tidak bebas untuk berpisah / bercerai. Suatu perkecualian ditambahkan, ‘kecuali karena percabulan’: karena perempuan, yang secara hina telah melanggar janji pernikahan, secara benar dibuang; karena kesalahannya menyebabkan ikatan itu hancur dan suami itu menjadi bebas) - hal 293.

Calvin tentang Mat 19:9: “But an exception is added; for the woman, by fornication, cuts herself off, as a rotten member, from her husband, and sets him at liberty. Those who search for other reasons ought justly to be set at nought, because they choose to be wise above the heavenly teacher. ... the husband, who convicts his wife of uncleanness, is here freed by Christ from the bond” [= Tetapi suatu perkecualian ditambahkan; karena perempuan itu, oleh percabulan, membuang / memotong dirinya sendiri, sebagai anggota yang membusuk, dari suaminya, dan membuat suaminya bebas. Mereka yang mencari alasan-alasan lain, secara benar harus ditolak, karena mereka memilih untuk menjadi lebih bijaksana di atas guru surgawi. ... sang suami, yang membuktikan kenajisan istrinya, di sini dibebaskan oleh Kristus dari ikatan tersebut]- hal 383,384.

John Murray tentang Mat 5:31-32: “Fornication is unequivocally stated to be the only legitimate ground for which a man may put away his wife. The word used here is the more generic term for sexual uncleanness, namely, fornication (porneia). This term may be used of all kinds of illicit sexual intercourse and may apply to such on the part of unmarried persons, in whose case the sin would not be in the specific sense of adultery. But though it is the generic word that is used here (cf. also Matt. 19:9), it is not to be supposed that the sense is perplexed thereby. What Jesus sets in the forefront is the sin of illicit sexual intercourse. It is, of course, implied that such on the part of a married woman is not only fornication but also adultery in the specific sense, for the simple reason that it constitutes sexual infidelity to her spouse. And this is the only case in which, according to Christ’s unambiguous assertion, a man may dismiss his wife without being involved in the sin which Jesus proceeds to characterise as making his wife to be an adulteress” [= Percabulan dengan tegas dinyatakan sebagai satu-satunya dasar yang sah dengan mana seorang boleh menceraikan istrinya. Kata yang digunakan di sini merupakan istilah yang lebih umum untuk kenajisan sexual, yaitu percabulan (porneia - PORNEIA). Istilah ini bisa digunakan untuk semua jenis hubungan sex yang gelap / haram dan bisa diterapkan hal-hal itu pada orang-orang yang belum menikah, sehingga dosanya bukanlah perzinahan dalam arti spesifik / khusus. Tetapi sekalipun kata yang umum yang digunakan di sini (bdk. juga Mat 19:9), tidak boleh dianggap bahwa dengan demikian artinya dibingungkan / dikaburkan. Apa yang diajukan oleh Yesus adalah dosa dari hubungan sex yang haram / gelap. Tentu saja secara tidak langsung itu menunjuk pada hal-hal dari perempuan yang sudah menikah, yang bukan hanya merupakan percabulan tetapi juga perzinahan dalam arti spesifik / khusus, karena alasan yang sederhana bahwa itu merupakan ketidak-setiaan sexual terhadap pasangannya. Dan ini adalah satu-satunya kasus dalam mana, menurut penegasan Kristus yang jelas, seseorang boleh menceraikan istrinya tanpa terlibat dalam dosa yang Yesus gambarkan sebagai membuat istrinya menjadi pezinah] - ‘Divorce’, hal 20-21.

John Murray tentang Mat 5:31-32: “the Old Testament law did not provide for divorce in the case of adultery. The law was more stringent; it required death for such sexual infidelity. The marriage was indeed thereby dissolved but this was effected through the death of the guilty party. The law enunciated by our Lord, on the other hand, institutes divorce as the means of relief for the husband in the case of adultery on the part of the wife. Here then is something novel and it implies that the requirement of death for adultery is abrogated in the economy Jesus himself inaugurated. ... He abrogated the Mosaic penalty for adultery and he legitimated divorce for adultery” (= hukum Perjanjian Lama tidak menyediakan perceraian dalam kasus perzinahan. Hukumnya lebih keras; hukum itu mengharuskan kematian untuk ketidak-setiaan sexual seperti itu. Pernikahan itu memang bubar tetapi ini terjadi melalui kematian dari pihak yang bersalah. Di sisi lain, hukum yang diucapkan oleh Tuhan kita, menegakkan / menetapkan perceraian sebagai jalan pembebasan untuk suami dalam kasus perzinahan yang dilakukan oleh istri. Maka di sini ada sesuatu yang baru dan secara tidak langsung hal itu menunjukkan bahwa hukuman mati untuk perzinahan dibatalkan dalam pengaturan / sistim yang diresmikan oleh Yesus sendiri. ... Ia membatalkan hukuman dari hukum Taurat Musa untuk perzinahan dan ia mengesahkan perceraian untuk perzinahan) - ‘Divorce’, hal 27.

A. T. Robertson: “it is plain that Matthew represents Jesus in both places as allowing divorce for fornication as a general term (porneia) which is technically adultery (moicheia from moichao or moicheuo)” [= adalah jelas bahwa Matius menggambarkan Yesus di kedua tempat sebagai mengijinkan perceraian untuk percabulan sebagai suatu istilah umum (PORNEIA) yang secara tehnis adalah perzinahan (moicheia dari moichao atau moicheuo)] - ‘Word Pictures in the New Testament’, vol  I, hal 155.

John Stott: “Only sexual infidelity could be admitted as a ground for breaking the marriage bond. This had been clearly recognised in the Old Testament because it was punishable by death. But the death sentence for adultery had fallen into disuse, and in any case the Romans did not permit the Jews to administer it. So when Joseph suspected Mary of unfaithfulness, he thought of divorce, not death (Matthew 1:18f). And Jesus refused to be trapped by those who asked if the woman caught in adultery should be stoned (John 8:3ff). It seems, then, that he abrogated the death penalty for sexual infidelity, and made this the only legitimate ground for dissolving the marriage bond, by divorce not death, and then only as a permission” [= Hanya ketidak-setiaan sexual bisa diterima sebagai suatu dasar untuk menghancurkan ikatan pernikahan. Ini telah secara jelas dikenali dalam Perjanjian Lama karena hal itu dijatuhi dengan hukuman mati. Tetapi hukuman mati untuk perzinahan telah tidak digunakan, dan bagaimanapun juga orang Romawi tidak mengijinkan orang-orang Yahudi untuk melaksanakannya. Jadi pada saat Yusuf mencurigai Maria tentang ketidak-setiaan, ia memikirkan perceraian, bukan kematian (Matius 1:18-dst). Dan Yesus menolak untuk dijebak oleh mereka yang bertanya apakah perempuan yang tertangkap dalam perzinahan harus dirajam (Yoh 8:3-dst). Jadi kelihatannya Ia membatalkan hukuman mati untuk ketidak-setiaan sexual, dan membuat hal ini sebagai satu-satunya dasar yang sah untuk mengancurkan ikatan pernikahan, oleh perceraian bukan oleh kematian, dan itu hanya merupakan ijin] - ‘Involvement’, vol II, hal 172.

James B. Hurley: “If we take PORNEIA at its common face value, as illicit intercourse, Jesus’ response rejects both rabbinic views. We can now see why the disciples were surprised at Jesus’ teaching. He was far stricter than the rabbis. ... He permitted it only for sexual violations of the marriage bond, violations which, under the Old Testament, would have meant a death sentence. According to Jesus only illicit sexual relations (PORNEIA: adultery, homosexuality, bestiality) provide reason to terminate a marriage [= Jika kita menerima PORNEIA sesuai dengan artinya yang umum, sebagai hubungan gelap / haram, maka tanggapan Yesus menolak pandangan dari kedua rabbi. Sekarang kita bisa melihat mengapa murid-murid terkejut mendengar ajaran Yesus. Ia jauh lebih ketat dari rabbi-rabbi itu. ... Ia mengijinkannya hanya karena pelanggaran sexual terhadap ikatan pernikahan, pelanggaran mana, di bawah Perjanjian Lama, berarti hukuman mati. Menurut Yesus hanya hubungan sexual yang gelap / haram (PORNEIA: perzinahan, homosex, bestiality / hubungan sex dengan binatang) memberikan alasan untuk mengakhiri suatu pernikahan] - ‘Man and Woman in Biblical Perspective’, hal 103.

Jay E. Adams: “That there is confusion about the word ‘fornication’ is understandable. In American law, the word ‘fornication’ has come to mean sexual sin by unmarried persons, over against ‘adultery’ which means sexual sin involving a married person. However, that distinction must not be read back into the Bible as many unwittingly do. It was not the biblical distinction. Indeed, Scripture writers used the word ‘fornication’ (PORNEIA) to describe ‘sexual sin in general’, and in the Bible it referred to cases of incest (1Cor. 5:1), homosexuality (Jude 7) and even adultery (Jeremiah 3:1,2,6,8 - here a married adulteress is divorced because of her fornication; cf. vv.2,6 in the LXX) as fornication” [= Bahwa di sana ada kebingungan tentang kata ‘percabulan’ merupakan sesuatu yang bisa dimengerti. Dalam hukum Amerika, kata ‘percabulan’ berarti dosa sexual yang dilakukan oleh orang-orang yang belum menikah, sedangkan ‘perzinahan’ berarti dosa sexual yang menyangkut orang-orang yang sudah menikah. Tetapi pembedaan itu tidak boleh dimasukkan ke dalam Alkitab seperti yang dilakukan oleh banyak orang tanpa disadari. Itu bukan merupakan pembedaan yang alkitabiah. Bahkan penulis-penulis Kitab Suci menggunakan kata ‘percabulan’ (PORNEIA) untuk menggambarkan ‘dosa sexual secara umum’, dan dalam Alkitab kata itu menunjuk pada kasus-kasus incest (1Kor 5:1), homosex (Yudas 7) dan bahkan perzinahan (Yeremia 3:1,2,6,8 - di sini seorang pezinah yang telah menikah diceraikan karena percabulannya; bdk. ay 2,6 dalam LXX / Septuaginta) sebagai percabulan] - ‘Marriage, Divorce, and Remarriage in the Bible’, hal 53-54.

Yer 3:1-8 - “(1) FirmanNya: ‘Jika seseorang menceraikan isterinya, lalu perempuan itu pergi dari padanya dan menjadi isteri orang lain, akan kembalikah laki-laki yang pertama kepada perempuan itu? Bukankah negeri itu sudah tetap cemar? Engkau telah berzinah dengan banyak kekasih, dan mau kembali kepadaKu? demikianlah firman TUHAN. (2) Layangkanlah matamu ke bukit-bukit gundul dan lihatlah! Di manakah engkau tidak pernah ditiduri? Di pinggir jalan-jalan engkau duduk menantikan kekasih, seperti seorang Arab di padang gurun. Engkau telah mencemarkan negeri dengan zinahmu dan dengan kejahatanmu. (3) Sebab itu dirus hujan tertahan dan hujan pada akhir musim tidak datang. Tetapi dahimu adalah dahi perempuan sundal, engkau tidak mengenal malu. (4) Bukankah baru saja engkau memanggil Aku: Bapaku! Engkaulah kawanku sejak kecil! (5) Untuk selama-lamanyakah Ia akan murka atau menaruh dendam untuk seterusnya? Demikianlah katamu, namun engkau sedapat-dapatnya melakukan kejahatan.’ (6) TUHAN berfirman kepadaku dalam zaman raja Yosia: ‘Sudahkah engkau melihat apa yang dilakukan Israel, perempuan murtad itu, bagaimana dia naik ke atas setiap bukit yang menjulang dan pergi ke bawah setiap pohon yang rimbun untuk bersundal di sana? (7) PikirKu: Sesudah melakukan semuanya ini, ia akan kembali kepadaKu, tetapi ia tidak kembali. Hal itu telah dilihat oleh Yehuda, saudaranya perempuan yang tidak setia. (8) Dilihatnya, bahwa oleh karena zinahnya Aku telah menceraikan Israel, perempuan murtad itu, dan memberikan kepadanya surat cerai; namun Yehuda, saudaranya perempuan yang tidak setia itu tidak takut, melainkan ia juga pun pergi bersundal”.

Jay E. Adams: “fornication covers incest, bestiality, homosexuality and lesbianism as well as adultery. To speak of adultery only, might tend to narrow the focus too much” (= percabulan mencakup incest / perzinahan dalam keluarga, bestiality / hubungan sex dengan binatang, homosex dan lesbian maupun perzinahan. Hanya mengatakan perzinahan, bisa cenderung terlalu menyempitkan fokusnya) - ‘Marriage, Divorce, and Remarriage in the Bible’, hal 54-55.

Matthew Poole: “He (Jesus) here opposeth the Pharisees in two points. 1. Asserting that all divorces are unlawful except in case of adultery. 2. Asserting that whosoever married her that was put away committed adultery” [= di sini Ia (Yesus) menentang orang-orang Farisi dalam dua hal. 1. Menegaskan bahwa semua perceraian tidak sah kecuali dalam kasus perzinahan. 2. Menegaskan bahwa siapapun yang menikahi dia yang diceraikan, melakukan perzinahan] - hal 24.
Matthew Poole: “it is unlawful in any case but that of adultery, which dissolves the marriage knot and covenant” [= itu (perceraian) tidak sah dalam kasus apapun kecuali kasus perzinahan, yang membubarkan ikatan dan perjanjian pernikahan] - hal 25.

D. Martyn Lloyd-Jones: “There is only one legitimate cause and reason for divorce - that which is here called ‘fornication’. ... There is only one cause for divorce. There is one; but there is only one. And that is unfaithfulness by one party” (= Hanya ada satu sebab dan alasan yang sah untuk perceraian - yaitu apa yang di sini disebut ‘percabulan’. ... Hanya ada satu alasan untuk perceraian. Ada satu, tetapi hanya ada satu. Dan itu adalah ketidak-setiaan oleh satu pihak) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 250.

Matthew Henry tentang Mat 19:9: “He allows divorce, in case of adultery; the reason of the law against divorce being this, ‘They two shall be one flesh.’ If the wife play the harlot, and make herself one flesh with an adulterer, the reason of the law ceases, and so does the law. By the law of Moses adultery was punished with death, Deut. 22:22. Now our Lord mitigates the rigour of that, and appoints divorce to be the penalty” (= Ia mengijinkan perceraian, dalam kasus perzinahan; alasan dari hukum yang menentang perceraian adalah ini: ‘Keduanya itu menjadi satu daging’ ... Jika sang istri bersundal dan membuat dirinya sendiri satu daging dengan seorang pezinah, alasan dari hukum itu berhenti, dan demikian juga dengan hukumnya. Oleh hukum Taurat Musa perzinahan dihukum dengan hukuman mati, Ul 22:22. Sekarang Tuhan mengurangi kekerasan dari hukuman itu, dan menetapkan perceraian sebagai hukumannya) - hal 270.

Westminster Confession of Faith, chapter XXIV, No 5b - In the case of adultery after marriage, it is lawful for the innocent party to sue out a divorce and, after the divorce, to marry another, as if the offending party were dead” (= Dalam kasus perzinahan setelah pernikahan, adalah sah bagi pihak yang tidak bersalah untuk menuntut suatu perceraian, dan setelah perceraian, untuk menikah dengan orang lain, seakan-akan pihak yang bersalah itu mati).

Penafsir-penafsir yang termasuk dalam kelompok ke 3 ini (yang mengijinkan perceraian kalau terjadi perzinahan), terbagi dalam 2 kelompok lagi:

1.   Yang tidak mengijinkan pernikahan lagi bahkan bagi pihak yang tidak bersalah.
Penafsir yang mengambil pandangan ini berpendapat bahwa ‘kalimat perkecualian’ dalam Mat 19:9 itu hanya berlaku untuk ‘perceraian’, tetapi tidak berlaku untuk ‘pernikahan lagi’ (re-marriage).

Pulpit Commentary tentang Mat 19:9: “Our Lord seems to have introduced the exceptional clause in order to answer what were virtually two questions of the Pharisees, viz. whether it was lawful to ‘put away a wife for every cause,’ and whether, when a man had legally divorced his wife, he might marry again. To the former Christ replies that separation was allowable only in the case of fornication; in response to the second, he rules that even in that case remarriage was wholly barred” (= Tuhan kita kelihatannya memberikan kalimat perkecualian untuk menjawab apa yang sebetulnya merupakan dua pertanyaan dari orang-orang Farisi, yaitu apakah diperbolehkan untuk ‘menceraikan istrinya karena alasan apa saja’, dan apakah, pada waktu seseorang secara sah telah menceraikan istrinya, ia boleh menikah lagi. Kepada pertanyaan yang pertama Kristus menjawab bahwa perpisahan diijinkan hanya dalam kasus percabulan; dan terhadap pertanyaan yang kedua, ia memberi peraturan bahwa bahkan dalam kasus seperti itu pernikahan lagi sepenuhnya dilarang) - hal 245.
Pulpit Commentary tentang Mat 19:9: “The Lord distinctly forbids divorce, ‘except it be for fornication.’ He does not sanction remarriage even in that case” (= Tuhan secara jelas melarang perceraian, ‘kecuali karena percabulan’. Ia tidak menyetujui pernikahan lagi bahkan dalam kasus itu) - hal 254.

Sepanjang apa yang saya baca dari buku-buku tafsiran saya, hanya penafsir ini saja yang tetap melarang pernikahan lagi sekalipun perceraiannya terjadi karena pasangannya berzinah.

2.   Yang mengijinkan pernikahan lagi dari pihak yang tidak bersalah.
Kelompok kedua ini menganggap bahwa ‘kalimat perkecualian’ dalam Mat 19:9 itu berlaku baik untuk perceraian maupun untuk pernikahan lagi. Hampir semua penafsir memegang pandangan ini.

Knox Chamblin: “The ‘except clause’ must be related to both the divorce and the remarriage” (= ‘Kalimat perkecualian’ harus dihubungkan baik dengan ‘perceraian’ maupun dengan ‘pernikahan lagi’) - hal 150.

John Murray tentang Mat 19:9: “Matthew informs us of two things: (a) a man may put away his wife for adultery; (b) he may marry another when such divorce is consummated” [= Matius menginformasikan kita dua hal: (a) seseorang boleh menceraikan istrinya karena perzinahan; (b) ia boleh menikah dengan orang lain pada waktu perceraian seperti itu terjadi] - ‘Divorce’, hal 52.

William Hendriksen tentang Mat 19:9: “As far as the record goes, this is the only ground Jesus ever mentioned for giving the innocent person - in the present case the husband, ... - the right to divorce his wife and marry again” (= Sejauh terlihat dari catatannya, ini adalah satu-satunya dasar yang pernah disebutkan oleh Yesus yang memberikan kepada orang yang tidak bersalah - dalam kasus ini adalah sang suami, ... - hak untuk menceraikan istrinya dan menikah lagi) - hal 717.

A. T. Robertson: “Jesus by implication, as in 5:31, does allow remarriage of the innocent party, but not of the guilty one” (= Yesus, secara implicit, seperti dalam 5:31, memang mengijinkan pernikahan lagi, tetapi bukan oleh pihak / orang yang bersalah) - ‘Word Pictures in the New Testament’, vol I, hal 155.

Calvin tentang Mat 19:9: “‘And whosoever shall marry her that is divorced.’ This clause has been very ill explained by many commentators; for they have thought that generally, and without exception, celibacy is enjoined in all cases when a divorce has taken place; and, therefore, if a husband should put away an adulteress, both would be lain under the necessity of remaining unmarried. ... It was therefore a gross error; for, though Christ condemns as an adulterer the man who shall marry a wife that has been divorced, this is undoubtedly restricted to unlawful and frivolous divorces” (= ‘Dan siapapun yang menikah dengan ia yang diceraikan’. Kalimat ini dijelaskan secara buruk oleh banyak penafsir; karena mereka berpikir secara umum, dan tanpa perkecualian, bahwa dalam semua kasus dimana terjadi perceraian orangnya diharuskan hidup celibat / tidak menikah; dan karena itu, jika seorang suami menceraikan seorang pezinah, keduanya tidak boleh menikah lagi. ... Karena itu, itu merupakan suatu kesalahan yang besar / menyolok; karena sekalipun Kristus mengecam sebagai seorang pezinah orang yang menikahi seorang istri yang telah diceraikan, tidak diragukan bahwa ini dibatasi pada perceraian-perceraian yang tidak sah dan sembrono) - hal 384.
Catatan: Mat 19:9 (KJV): - “And I say unto you, Whosoever shall put away his wife, except it be for fornication, and shall marry another, committeth adultery: and whoso marrieth her which is put away doth commit adultery (= Dan Aku berkata kepadamu: Siapapun yang menceraikan istrinya, kecuali karena percabulan, dan menikah dengan orang lain, ia melakukan perzinahan: dan siapapun menikah dengan perempuan yang diceraikan, ia melakukan perzinahan).
Terjemahan KJV agak berbeda, karena bagian akhir dari KJV (yang saya garis-bawahi) tidak ada dalam Kitab Suci yang lain (mungkin ini dari manuscripts yang berbeda). Dan Calvin mengomentari bagian ini.

John Stott: “with only one exception, he called all remarriage after divorce adultery” (= dengan hanya satu perkecualian, Ia menyebut semua pernikahan lagi setelah perceraian sebagai perzinahan) - ‘The Message of the Sermon on the Mount’, hal 95.

John Stott: “The only situation in which divorce and remmariage are possible without breaking the seventh commandment is when it has already been broken by some serious sexual sin” (= Satu-satunya situasi dalam mana perceraian dan pernikahan lagi dimungkinkan tanpa melanggar hukum ketujuh adalah pada saat pernikahan itu telah dihancurkan oleh dosa sexual yang serius) - ‘The Message of the Sermon on the Mount’, hal 97-98.

Matthew Poole: “Some have upon these words made a question whether it be lawful for the husband or the wife separated for adultery to marry again while each other liveth. As to the offending party, it may be a question; but as to the innocent person offended, it is no question, for the adultery of the person offending hath dissolved the knot of marriage by the Divine law. ... it seemeth against reason that both persons should have the like liberty to a second marriage. ... It is unreasonable that she should make an advantage of her own sin and error. ... But for the innocent person, it is an unreasonable that he or she should be punished for the sin of another” (= Beberapa orang berdasarkan kata-kata ini mempertanyakan apakah diperbolehkan untuk suami atau istri yang bercerai karena perzinahan untuk menikah lagi sementara mereka sama-sama masih hidup. Berkenaan dengan pihak yang bersalah, itu memang merupakan suatu pertanyaan; tetapi berkenaan dengan pribadi yang tidak bersalah, tidak perlu dipertanyakan, karena perzinahan dari pihak yang bersalah telah membubarkan ikatan pernikahan oleh hukum Ilahi. ... kelihatannya bertentangan dengan akal bahwa kedua orang mempunyai kebebasan yang sama untuk menikah lagi. ... Adalah tidak masuk akal bahwa ia mendapatkan keuntungan dari dosa dan kesalahannya sendiri. ... Tetapi untuk pribadi yang tidak bersalah, adalah tidak masuk akal bahwa ia harus dihukum karena kesalahan dari pihak yang lain) - hal 88-89.

D. Martyn Lloyd-Jones: “We can say not only that a person who thus has divorced his wife because of her adultery is entitled to do so. We can go further and say that the divorce has ended the marriage, and that this man is now free and as a free man he is entitled to re-marriage. ... His relationship to that woman is the same as if she were dead; and this innocent man is therefore entitled to re-marriage” (= Kita bisa mengatakan bukan hanya bahwa seseorang yang telah menceraikan istrinya karena perzinahannya berhak melakukan hal itu. Kita bisa melanjutkan dan berkata bahwa perceraian itu telah mengakhiri pernikahan, dan bahwa orang ini sekarang bebas dan sebagai seorang yang bebas ia berhak untuk menikah lagi. ... Hubungannya dengan perempuan itu adalah sama seakan-akan perempuan itu sudah mati; dan karena itu orang yang tidak bersalah ini berhak untuk menikah lagi) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 252.

Barclay: “Jesus’s answer was to take things back to the very beginning, back to the ideal of creation. ... Jesus was laying down the principle that all divorce is wrong. Thus early we must note that it is not a law; it is a principle, which is a very different thing. ... Here, at once, the Pharisees saw a point of attack. ... They could now say to Jesus, ‘Are you saying Moses was wrong? Are you seeking to abrogate the divine law which was given to Moses? Are you setting yourself above Moses as a law-giver?’ Jesus’s answer was that what Moses said was not in fact a law, but nothing more than a concession. Moses did not command a divorce; at the best he only permitted it in order to regulate a situation which would have become chaotically promiscuous. ... The Mosaic regulation was only a concession to fallen human nature. ... It is now that we are face to face with one of the most real and most acute difficulties in the New Testament. ... The difficulty is - and there is no escaping it - that Mark and Matthew report the words of Jesus differently. ... both Mark and Luke make the prohibition of divorce absolute; with them there are no exceptions whatsoever. But Matthew has one saving clause - divorce is permitted on the ground of adultery. ... In the last analysis we must choose between Matthew’s version of this saying and that of Mark and Luke. We think there is little doubt that the version of Mark and Luke is right. ... Matthew’s saving clause is a later interpretation inserted in the light of the practice of the Church when he wrote” (= Jawaban Yesus membawa semua kembali pada keadaan semula, kembali pada keadaan ideal dari penciptaan. ... Yesus sedang menetapkan suatu prinsip bahwa semua perceraian adalah salah. Kita harus memperhatikan bahwa ini bukanlah suatu hukum; ini adalah suatu prinsip, yang merupakan sesuatu yang sangat berbeda. ... Di sini, segera orang-orang Farisi melihat suatu titik untuk melakukan penyerangan. ... Sekarang mereka bisa berkata kepada Yesus: ‘Apakah Engkau berkata bahwa Musa itu salah? Apakah Engkau berusaha membatalkan hukum ilahi yang diberikan kepada Musa? Apakah Engkau menempatkan diriMu sendiri di atas Musa sebagai pemberi hukum?’. Jawaban Yesus adalah bahwa apa yang Musa katakan dalam faktanya bukanlah suatu hukum, tetapi tidak lebih dari suatu kelonggaran. Musa tidak memerintahkan perceraian; paling-paling ia hanya mengijinkannya untuk mengatur suatu keadaan yang bisa menjadi kacau balau. ... Peraturan Musa hanya merupakan suatu kelonggaran bagi manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa. ... Sekarang kita berhadapan dengan salah satu dari kesukaran-kesukaran yang paling nyata dan paling akut dalam Perjanjian Baru. ... Kesukarannya adalah - dan tidak ada jalan untuk lolos dari kesukaran ini - bahwa Markus dan Matius melaporkan kata-kata Yesus secara berbeda. ... Baik Markus maupun Lukas membuat larangan perceraian itu mutlak; pada mereka tidak ada perkecualian apapun. Tetapi Matius mempunyai satu kalimat perkecualian - perceraian diijinkan dengan alasan perzinahan. ... Pada analisa terakhir kita harus memilih antara versi Matius dari kata-kata ini dan versi Markus dan Lukas. Kami berpendapat bahwa tidak diragukan  bahwa versi dari Markus dan Lukaslah yang benar. ... Kalimat perkecualian Matius merupakan penafsiran belakangan yang dimasukkan dalam terang dari praktek dari Gereja pada saat ia menulis) - hal 200-202.
Catatan: ayat dalam Markus adalah Mark 10:11-12; sedangkan ayat dalam Lukas adalah Luk 16:18.
·         Mark 10:11-12 - “Lalu kataNya kepada mereka: ‘Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah.’”.
·         Luk 16:18 - “Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.’”.

Barclay: “It would be wrong to leave this matter without some attempt to see what it actually means for the question of divorce at the present time. ... What Jesus laid down was a principle and not a law” (= Adalah salah untuk meninggalkan persoalan ini tanpa suatu usaha untuk melihat apa arti sebenarnya untuk pertanyaan tentang perceraian pada jaman sekarang. ... Apa yang Yesus tetapkan adalah suatu prinsip dan bukan suatu hukum) - hal 208.

Dan ia lalu mengatakan (hal 209) bahwa seandainya ada suatu pernikahan yang menjadi kacau sehingga menjadi seperti neraka di dunia, dan seandainya sudah diusahakan semua cara untuk memperbaikinya tetapi pernikahan tersebut tetap kacau, apakah dua orang itu harus tetap mempertahankan pernikahan tersebut?

Barclay: “are then these two people to be for ever fettered together in a situation which cannot do other than bring a lifetime of misery to both? It is extremely difficult to see how such reasoning can be called Christian; it is extremely hard to see Jesus legalistically condemning two people to any such situation. This is not to say that divorce should be made easy, but it is to say that when all the physical and mental and spiritual resources have been brought to bear on such situation, and the situation remains incurable and even dangerous, then the situation should be ended” (= maka apakah kedua orang ini harus diikat bersama-sama selama-lamanya dalam suatu keadaan yang hanya bisa memberikan kesengsaraan seumur hidup kepada mereka berdua? Adalah sangat sukar untuk melihat bagaimana pemikiran / pertimbangan seperti itu bisa disebut Kristen; adalah sangat sukar untuk melihat Yesus secara legalistik mengecam / menghukum dua orang pada keadaan seperti itu. Ini bukan berarti bahwa perceraian harus dibuat menjadi mudah, tetapi maksudnya adalah bahwa pada saat semua sumber-sumber fisik, mental dan rohani telah dibawa untuk diarahkan pada keadaan itu, dan keadaan itu tetap tidak bisa disembuhkan dan bahkan berbahaya, maka keadaan itu harus diakhiri) - hal 209.

Catatan: bagi saya seluruh pemikiran Barclay di sini menunjukkan kesesatannya. Saya tidak mengerti bagtaimana ia memisahkan / membedakan ‘prinsip’ dan ‘hukum’. Juga aneh bahwa ia menyalahkan Matius karena memberikan kalimat perkecualian, tetapi pada akhirnya ia tetap mengijinkan perceraian kalau pernikahan itu memburuk dan memang tidak bisa diperbaiki lagi.

Saya sendiri mengambil pandangan kedua ini. Saya beranggapan bahwa kalimat perkecualian dalam Mat 5:32 dan Mat 19:9 berlaku baik bagi perceraian maupun pernikahan lagi.

Contoh kasus: kalau seorang suami menceraikan istrinya, sekalipun bukan karena perzinahan, maka mereka berdua tidak boleh menikah lagi. Tetapi bagaimana kalau suami itu melanggar larangan tersebut, dan ia menikah lagi? Saya tidak menemukan buku tafsiran yang membahas kasus seperti ini. Tetapi saya sendiri berpendapat sebagai berikut: suami itu sebetulnya tidak berhak menikah lagi. Kalau ia menikah lagi, maka di hadapan Allah pernikahan itu merupakan perzinahan. Dengan demikian ditinjau dari sudut istri yang diceraikan, suaminya berzinah, dan karena itu si istri menjadi berhak menikah lagi.

3)   “Ia menjadikan istrinya berzinah”.
Tentang kata-kata ‘ia menjadikan isterinya berzinah’ dalam ay 32b, Calvin berkata: “the man who, unjustly and unlawfully, abandons the wife whom God had given him, is justly condemned for having prostituted his wife to others” (= orang yang secara tidak benar dan tidak sah meninggalkan istri yang telah Allah berikan kepadanya, secara benar dikecam sebagai telah melacurkan istrinya kepada orang-orang lain) - hal 293.

William Hendriksen: “she is called an adulteresses because she may easily become one. ... Far better, it would seem to me, is therefore the translation, ‘Whoever divorces his wife except on the basis of infidelity exposes her to adultery,’ or something similar. What Jesus is saying, then, is this: Whoever divorces his wife except on the ground of infidelity must bear the chief responsibility if as a result she, in her deserted state, should immediately yield to the temptation of becoming married to someone else” (= ia disebut sebagai pezinah karena ia dengan mudah menjadi seorang pezinah. ... Karena itu, bagi saya jauh lebih baik terjemahan: ‘Siapapun menceraikan istrinya kecuali berdasarkan ketidak-setiaan membukakan dia kepada perzinahan’, atau terjemahan lain yang serupa. Jadi, apa yang dimaksud oleh Yesus adalah ini: Siapapun menceraikan istrinya kecuali berdasarkan ketidak-setiaan harus memikul tanggung jawab utama jika sebagai akibatnya perempuan itu, dalam keadaan ditinggalkan, menyerah pada pencobaan untuk menjadi istri dari orang lain) - hal 305,306.

4)   “dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah”.
Ini tentu saja berlaku kalau perceraian itu merupakan perceraian yang tidak sah.
Penerapan: karena itu jangan terlalu cepat berpikir negatif kalau ada janda / duda yang mau menikah lagi. Kita harus mengetahui lebih dulu apa sebabnya ia menjadi janda / duda. Kalau itu disebabkan karena pasangannya mati, atau karena ia menceraikan pasangannya yang berzinah, maka ia berhak untuk menikah lagi!


Penutup:

Kalau saudara bertanya kepada kebanyakan pendeta maka kebanyakan dari mereka akan mengatakan bahwa cerai dilarang secara mutlak. Jadi, tak peduli ada perzinahan, tetap tak boleh bercerai. Mereka bahkan tetap berkeras dengan pandangan ini, sekalipun diberi ayat-ayat seperti Mat 5:32 dan Mat 19:9!
Tetapi kalau saudara membaca buku-buku tafsiran, maka kebanyakan (hampir semua) penafsir mengatakan bahwa perceraian memang dilarang tetapi dengan satu perkecualian, yaitu kalau terjadi perzinahan fisik. Dalam kasus seperti itu, bukan hanya boleh bercerai, tetapi bahkan pihak yang tidak bersalah boleh menikah lagi. Mat 5:32 dan Mat 19:9 menjadi dasar pandangan ini.
Apa kesimpulan yang bisa didapatkan dari sini? Kesimpulannya adalah: kebanyakan pendeta-pendeta yang mempunyai pandangan bahwa cerai mutlak dilarang adalah pendeta-pendeta yang tidak pernah belajar buku! Tidak heran pandangannya kacau balau! Yang belajar akan mempunyai pandangan seperti yang saya berikan dalam tulisan ini.



-o0o-

2 komentar:

  1. Pak Budi ; Kalau begitu bagaiman Bapak menjelaskan 2 ayat di bawah ini yang tidak ada dalam penjelasan bapak di atas;
    Matius 19:6 Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."
    Markus 10:9 Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi Yesus sendiri membuat pengecualian, kalo terjadi perzinahan, dibolehkan

      Tapi kalo memang tidak mau bercerai jg gpp

      Hapus