About us

Golgotha Ministry adalah pelayanan dari Pdt. Budi Asali,M.Div dibawah naungan GKRI Golgota Surabaya untuk memberitakan Injil ke seluruh dunia dan mengajarkan kebenaran firman Tuhan melalui khotbah-khotbah, pendalaman Alkitab, perkuliahan theologia dalam bentuk tulisan maupun multimedia (DVD video, MP3, dll). Pelayanan kami ini adalah bertujuan agar banyak orang mengenal kebenaran; dan bagi mereka yang belum percaya, menjadi percaya kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadinya, dan bagi mereka yang sudah percaya, dikuatkan dan didewasakan didalam iman kepada Kristus.
Semua yang kami lakukan ini adalah semata-mata untuk kemuliaan nama Tuhan Yesus Kristus.

Kami mengundang dengan hangat setiap orang yang merasa diberkati dan terbeban didalam pelayanan untuk bergabung bersama kami di GKRI Golgota yang beralamat di : Jl. Raya Kalirungkut, Pertokoan Rungkut Megah Raya D-16, Surabaya.

Tuhan Yesus memberkati.

Selasa, 10 Juli 2012

TANGGAPAN BALIK DARI PDT. BUDI ASALI TERHADAP TANGGAPAN STEVEN LIAUW TENTANG SEMINAR AKHIR ZAMANNYA SUHENTO LIAUW


Pada tanggal 1 Juni 2012 yang lalu Pdt. Dr. Suhento Liauw
mengadakan acara seminar "ESKATOLOGI" di Surabaya di
mana seminar ini juga dihadiri oleh Pdt. Budi Asali, M. Div.
Berikut ini adalah catatan dan tanggapan Pdt. Budi Asali terhadap hal-hal yang dibicarakan
Suhento Liauw dalam seminarnya :
Berikut ini adalah tanggapan dari saya, Dr. Steven Liauw:
Pada awalnya, saya tidak terlalu mengacuhkan tulisan Budi Asali ini. Toh namanya seminar, wajar saja jika ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Semua orang diminta untuk memeriksa segala sesuatu berdasarkan Firman Tuhan. Lagipula, beberapa poin yang diangkat oleh Budi Asali di sini, dijelaskan oleh Dr. Suhento Liauw dalam seminarnya, jadi untuk menjawabnya seperti mengulang seminar lagi. Saya merasa seperti Nehemia, yang menjawab “Aku tengah melakukan suatu pekerjaan yang besar. Aku tidak bisa datang! Untuk apa pekerjaan ini terhenti oleh sebab aku meninggalkannya dan pergi kepada kamu!” (Neh. 6:3). Saya memang sedang sibuk dengan banyak proyek pelayanan, dan perbantahan seperti ini biasanya tidak berujung.
Tetapi, Nehemia sekalipun, ketika dituduh sedang mau melakukan pemberontakan, akhirnya mengirim pesan, “Hal seperti yang kausebut itu tidak pernah ada. Itu isapan jempolmu belaka!” (Neh. 6:8). Demikianlah beberapa tuduhan (terutama tuduhan fitnah) Budi Asali, adalah hal yang tidak benar. Ini merupakan jawaban singkat saja. Saya tidak mau panjang lebar, walaupun pembahasan tentang baptisan memang mau tidak mau memakan lebih banyak tempat. Tujuan saya bukanlah untuk memulai suatu ronde debat lagi. Toh, saya memang akan berdebat dengan Budi Asali tanggal 24 Agustus masalah Kalvinisme. Ini hanyalah klarifikasi beberapa hal, terutama mengenai tuduhan fitnah.

Tanggapan balik Budi Asali:
Steven, anda pandai menggunakan text alkitab secara sangat tak sesuai dengan tujuan dan arti text yang sebenarnya. Untuk menunjukkan itu, saya kutip seluruh kontext dari Neh 6 itu.

Neh 6:1 Ketika Sanbalat dan Tobia dan Gesyem, orang Arab itu dan musuh-musuh kami yang lain mendengar, bahwa aku telah selesai membangun kembali tembok, sehingga tidak ada lagi lobang, walaupun sampai waktu itu di pintu-pintu gerbang belum kupasang pintunya,
Neh 6:2 maka Sanbalat dan Gesyem mengutus orang kepadaku dengan pesan: ‘Mari, kita mengadakan pertemuan bersama di Kefirim, di lembah Ono!’ Tetapi mereka berniat mencelakakan aku.
Neh 6:3 Lalu aku mengirim utusan kepada mereka dengan balasan: ‘Aku tengah melakukan suatu pekerjaan yang besar. Aku tidak bisa datang! Untuk apa pekerjaan ini terhenti oleh sebab aku meninggalkannya dan pergi kepada kamu!’
Neh 6:4 Sampai empat kali mereka mengirim pesan semacam itu kepadaku dan setiap kali aku berikan jawaban yang sama kepada mereka.
Neh 6:5 Lalu dengan cara yang sama untuk kelima kalinya Sanbalat mengirim seorang anak buahnya kepadaku yang membawa surat yang terbuka.
Neh 6:6 Dalam surat itu tertulis: ‘Ada desas-desus di antara bangsa-bangsa dan Gasymu membenarkannya, bahwa engkau dan orang-orang Yahudi berniat untuk memberontak, dan oleh sebab itu membangun kembali tembok. Lagipula, menurut kabar itu, engkau mau menjadi raja mereka.
Neh 6:7 Bahkan engkau telah menunjuk nabi-nabi yang harus memberitakan tentang dirimu di Yerusalem, demikian: Ada seorang raja di Yehuda! Sekarang, berita seperti itu akan didengar raja. Oleh sebab itu, mari, kita sama-sama berunding!’
Neh 6:8 Tetapi aku mengirim orang kepadanya dengan balasan: ‘Hal seperti yang kausebut itu tidak pernah ada. Itu isapan jempolmu belaka!’
Neh 6:9 Karena mereka semua mau menakut-nakutkan kami, pikirnya: ‘Mereka akan membiarkan pekerjaan itu, sehingga tak dapat diselesaikan.’ Tetapi aku justru berusaha sekuat tenaga.

Apa tidak cocoknya? Nehemia bukan menghadapi serangan terhadap ajarannya, tetapi mendapatkan ajakan untuk bertemu, yang ia tahu bahwa maksudnya adalah untuk mencelakakan dia! Itu sebabnya ia tidak mau. Lalu pada bagian akhir, apakah ia berubah dari tidak mau menjadi mau? Tidak, ia mengatakan itu isapan jempolmu, dan ia tetap tidak mau datang!

Apakah ini cocok untuk digunakan dalam kasus anda? Saya tidak mengajak anda melakukan pertemuan, tetapi saya menyerang ajaran ayah anda (Suhento Liauw). Anda berubah dari tidak mau menjadi mau; ini justru bertentangan dengan sikap Nehemia yang tetap tidak mau!

Dalam kasus suatu serangan terhadap ajaran, selama serangan itu serius, maka ayat yang cocok adalah 1Pet 3:15b - “Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat”.

Dan karena dalam hal ini yang saya serang adalah Suhento Liauw, maka dialah yang seharusnya menjawab, bukan anda! Kalau anda menambahkan, tak masalah. Tetapi dia sendiri harus menjawab juga! Dimana pengecut itu sembunyi?

Dalam seminar itu, Suhento Liauw mengajarkan hal-hal ini:
1) Seminar berhubungan dengan pengetahuan / pikiran, kalau KKR hanya dengan perasaan. Karena
itu dia buat seminar, bukan KKR.
Tanggapan Budi Asali:
Omong kosong, semua tergantung siapa yang berkhotbah dalam seminar atau KKR itu. Kalau yang berkhotbah memang adalah orang-orang yang senang mengobarkan emosi, baik KKR ataupun seminar akan berhubungan dengan perasaan saja. Sebaliknya kalau yang berkhotbah adalah orangorang yang memang menekankan pendidikan dan pengajaran, maka baik KKR maupun seminar akan berhubungan dengan pikiran dan memberikan pengetahuan.

Pernyataan Dr. Suhento Liauw bahwa seminar lebih akademis dibandingkan KKR, dan KKR lebih emosional dibandingkan seminar, adalah suatu pernyataan kebenaran umum. Saya sendiri setuju dengan pernyataan tersebut. Ini bukan berarti tidak ada pengecualian. Kalau Budi Asali merasa KKR yang dia pimpin bersifat akademis, dari pihak kami sama sekali tidak akan memprotes. Ini seperti pernyataan: “laki-laki lebih kuat fisiknya daripada wanita.” Ini adalah pernyataan umum yang benar. Apakah berarti tidak ada wanita yang lebih kuat fisiknya dari laki-laki tertentu? Tentu ada. Memang pernyataan seperti ini adalah generalisasi, tetapi dapat diterima umum, dan memang tidak dimaksudkan sebagai pernyataan absolut. “Udara desa lebih segar daripada udara kota” juga merupakan suatu pernyataan generalisasi umum yang dapat kita aminkan. Bukan berarti ini absolut benar, karena bisa saja di desa sedang kebakaran hutan. Dari formatnya saja, seminar lebih mendukung ke arah penyampaian informasi dan argumentasi secara akademis. Seminar juga biasanya lebih panjang waktunya. KKR biasanya berformat kebaktian dengan khotbah. Saya rasa tidak ada yang salah dengan generalisasi bahwa “seminar lebih akademis daripada KKR” atau “seminar lebih ke pikiran, KKR ke perasaan (pengobaran semangat).” Masingmasing ada tempatnya. Tetapi kalau Budi Asali bersikukuh bahwa generalisasi ini salah, sebenarnya juga tidak akan saya ributkan. Ini toh bukan kebenaran Alkitab. Pengalaman Dr. Suhento, saya, dan juga saya yakin kebanyakan para pendengar seminar itu, adalah bahwa generalisasi itu benar adanya.

Tanggapan balik Budi Asali:
Saya tetap beranggapan semua acara rohani, apakah menyampaikan pengetahuan, atau hanya ‘main perasaan’, tergantung pada siapa yang memberitakan Firman Tuhan. Anda mau percaya yang lain terserah. Saya kira anda perlu mendengar saya membuat KKR. Jangankan KKR, khotbah untuk kematian, pernikahan dsb, ataupun dalam renungan dalam persekutuan rumah tangga, saya tetap menyampaikan pengetahuan!

2) Kalau ada free will - harus ada pilihan, berbuat dosa atau berbuat baik.
Tanggapan Budi Asali:
Jawaban tentang kebodohan ini tidak saya berikan di sini karena ini berhubungan dengan debat tanggal 24 Agustus 2012 antara Esra + saya vs Steven Liauw + partnernya. Saya tak mau tunjukkan ‘senjata’ saya sebelum debat tanggal 24 Agustus itu terlaksana.

Saya aminkan pernyataan Dr. Suhento Liauw. Tidak perlu komentar lain.

Tanggapan balik Budi Asali:
Coba keluarkan kata-kata ini dalam debat tanggal 24 Agustus. Hehe, saya yakin bisa saya habisi!

3) Ia percaya komandan setan namanya Lucifer.

Tanggapan Budi Asali:
Ini memang kesalahan yang umum, tetapi salah. Kata / nama ‘Lucifer’ muncul dalam terjemahan KJV dalam Yes 14:12 (dalam Kitab Suci Indonesia diterjemahkan ‘Bintang Timur’), dan kalau saudara membaca kontextnya jelas bahwa istilah ini menunjuk kepada raja Babel, bukan kepada komandan setan.
Yes 14:4,12,22,23 - “(4) maka engkau akan memperdengarkan ejekan ini tentang raja Babel, dan berkata: ‘Wah, sudah berakhir si penindas sudah berakhir orang lalim! ... (12) ‘Wah, engkau sudah jatuh dari langit, hai Bintang Timur, putera Fajar, engkau sudah dipecahkan dan jatuh ke bumi, hai yang mengalahkan bangsa-bangsa! ... (22) ‘Aku akan bangkit melawan mereka,’ demikianlah firman TUHAN semesta alam, ‘Aku akan melenyapkan nama Babel dan sisanya, anak cucu dan anak cicitnya,’ demikianlah firman TUHAN. (23) ‘Aku akan membuat Babel menjadi milik landak dan menjadi air rawa-rawa, dan kota itu akan Kusapu bersih dan Kupunahkan,’ demikianlah firman TUHAN semesta alam”.
Yes 14:12 (KJV): How art thou fallen from heaven, O Lucifer, son of the morning! how art thou cut down to the ground, which didst weaken the nations!.
Calvin (tentang Yes 14:12): The exposition of this passage, which some have given, as if it referred to Satan, has arisen from ignorance; for the context plainly shows that these statements must be understood in reference to the king of the Babylonians. But when passages of Scripture are taken at random, and no attention is paid to the context, we need not wonder that mistake of this kind frequently arise. Yet it was an instance of very gross ignorance, to imagine that Lucifer was the king of devils, and that the Prophet gave him this name. But as these inventions have no probability whatever, let us pass by them as useless fables” (= Exposisi yang diberikan oleh beberapa orang tentang text ini, seakan-akan text ini menunjuk kepada setan / berkenaan dengan setan, muncul / timbul dari ketidaktahuan; karena kontex secara jelas menunjukkan bahwa pernyataan-pernyataan ini harus dimengerti dalam hubungannya dengan raja Babel. Tetapi pada waktu bagian-bagian Kitab Suci diambil secara sembarangan, dan kontex tidak diperhatikan, kita tidak perlu heran bahwa kesalahan seperti ini muncul / timbul. Tetapi itu merupakan contoh dari ketidaktahuan yang sangat hebat, untuk membayangkan bahwa Lucifer adalah raja dari setan-setan, dan bahwa sang nabi memberikan dia nama ini. Tetapi karena penemuan-penemuan ini tidak mempunyai kemungkinan apapun, marilah kita mengabaikan mereka sebagai dongeng / cerita bohong yang tidak ada gunanya) - hal 442.
Adam Clarke (tantang Yes 14:12) : And although the context speaks explicitly concerning Nebuchadnezzar, yet this has been, I know not why, applied to the chief of the fallen angels, who is most incongruously denominated Lucifer, (the bringer of light!) an epithet as common to him as those of Satan and Devil. That the Holy Spirit by his prophets should call this arch-enemy of God and man the light-bringer, would be strange indeed. But the truth is, the text speaks nothing at all concerning Satan nor his fall, nor the occasion of that fall, which many divines have with great confidence deduced from this text. O how necessary it is to understand the literal meaning of Scripture, that preposterous comments may be prevented!” [= Dan sekalipun kontexnya berbicara secara explicit tentang Nebukadnezar, tetapi entah mengapa kontex ini telah diterapkan kepada kepala dari malaikat-malaikat yang jatuh, yang secara sangat tidak pantas disebut / dinamakan Lucifer (pembawa terang!), suatu julukan yang sama umumnya bagi dia, seperti Iblis dan Setan. Bahwa Roh Kudus oleh nabiNya menyebut musuh utama dari Allah dan manusia sebagai pembawa terang, betul-betul merupakan hal yang sangat aneh. Tetapi kebenarannya adalah, text ini tidak berbicara sama sekali tentang Setan maupun kejatuhannya, ataupun saat / alasan kejatuhan itu, yang dengan keyakinan yang besar telah disimpulkan dari text ini oleh banyak ahli theologia. O alangkah pentingnya untuk mengerti arti hurufiah dari Kitab Suci, supaya komentar-komentar yang gila-gilaan / tidak masuk akal bisa dicegah!] - hal 82.

Apakah kita perlu mengadu banyak komentator? Saya rasa tidak. Di komputer saya kebetulan ada komentari elektronik dari Guzik, jadi saya copy paste saja ulasan dia tentang Yesaya 14:12.
The prophetic habit of speaking to both a near and a distant fulfillment, the prophet will sometimes speak more to the near or more to the distant. Here is a good example of Isaiah speaking more to the distant, ultimate fulfillment. It is true that the king of literal Babylon shined brightly among the men of his day, and fell as hard and as completely as if a man were to fall from heaven. But there was a far more brightly shining being who inhabited heaven, and fell even more dramatically - the king of spiritual Babylon, Satan.” (Saya tidak terjemahkan, saya percaya para pembaca mengerti).

Tanggapan balik Budi Asali:
Katanya tak mau mengadu komentator? Kok memberikan kata-kata penafsir?
Saya tanggapi kata-kata penafsir anda itu: Saya sendiri juga percaya bahwa nubuat-nubuat bisa mempunyai penggenapan sebagian, lalu mempunyai penggenapan lagi (kadang-kadang sampai beberapa kali) dan akhirnya ada penggenapan akhir. Contoh Mat 24, yang sebagian digenapi dalam kehancuran Yerusalem tahun 70 M tetapi penggenapan akhir dan total adalah pada saat kedatangan Kristus yang keduakalinya.
Tetapi itu sangat tidak masuk akal untuk diterapkan pada ‘Lucifer’ ini. Kalau itu menunjuk kepada rasa Babel, lalu penggenapan akhir menunjuk kepada komandan setan, itu sangat tidak cocok, karena kejatuhan komandan setan sudah terjadi jauh lebih dulu! Hmmm, penafsir anda tak punya logika! Dan dengan percaya kepadanya, anda sama dengan dia! Orang buta memimpin orang buta?

Banyak sekali theolog lain yang bisa saya kutip yang berpendapat bahwa Lucifer adalah Satan, tetapi tidak perlu, karena komentator bukan standar kebenaran. Memang banyak komentator di abadabad pertengahan percaya ini bukan Satan, tetapi banyak komentar-komentar yang lebih baru melihat bahwa ini adalah Satan. Ini trend yang saya lihat. Posisi Dr. Suhento tidaklah unik di poin ini. Yesaya 14:4 memang menyebut raja Babel. Dan dari ayat 4-11 diakui umum mengacu kepada raja Babel. Tetapi ayat 12-15 tidak cocok kepada raja Babel jasmani. Di ayat 13 dan 14 dikatakan bahwa pribadi “raja Babel” ini mau menyamai Allah, mendirikan takhta di atas bintang-bintang Allah. Ini tidak cocok sama sekali untuk raja Babel jasmani, tetapi cocok untuk Satan. Adalah lazim dalam literatur genre prophetic, untuk beralih cepat dari nubuat jangka pendek, ke nubuat jangka panjang, atau sebaliknya. Contohnya adalah Yesaya 7:14-17. Jelas Yesaya 7:14 mengacu kepada Yesus Kristus, yang masih 700an tahun setelah Yesaya. Tetapi ayat 17 mengacu kepada situasi politik lokal saat itu. Memang ada perbedaan pendapat (yang saya tidak akan bahas di sini) mengenai apakah ayat 15 mengacu kepada Yesus atau situasi lokal. Tetapi intinya, adanya double prophecy, itu adalah sesuatu yang lazim. Masih banyak contoh lain.

Tanggapan balik Budi Asali:
Saya sudah katakan itu penafsiran umum, tetapi salah! Dalam jawaban saya kepada Dji Ji Liong saya sudah jelaskan bahwa itu bahasa puisi, jadi tak boleh dihurufiahkan, dan kalau tak dihurufiahkan, tentu saja cocok dengan raja Babel.

Hmm, tentang Yes 7:14 saya tak yakin saya setuju dengan anda. Memang saya tahu ada dua macam penafsiran tentang hal ini. Tetapi saya lebih setuju pada single reference theory, yang mengatakan bahwa ini hanya menunjuk kepada Yesus Kristus. Tetapi ini di luar kontext pembahasan kita. Saya tak mau memperpanjang hal ini.

Yehezkiel 28:12-16 juga dimengerti mengacu kepada Satan, walaupun ada konteks tentang Raja Tirus. Mengapa? Karena raja Tirus tidak mungkin berada di Eden (Yeh. 28:13), atau berjalan-jalan dekat kerub (ay. 14). Kalau Yesaya 14 dan Yehezkiel tidak mengacu kepada Satan, artinya kita tidak diberitahu oleh Alkitab sama sekali tentang alasan kejatuhan Satan. Menurut saya ini agak aneh. Satan
adalah salah satu pribadi yang banyak berperan dalam Alkitab. Saya percaya Yesaya 14 dan Yehezkiel
28 adalah cara Tuhan memberitahu kita tentang mengapa ia jatuh.

Tanggapan balik Budi Asali:
Saya tahu text ini juga dipakai untuk menunjuk kepada komandan setan. Tetapi sama seperti dalam kasus Yes 14, saya juga tak setuju dengan hal ini. Yang ini menunjuk kepada raja Tirus. Ay 13,14 lagi-lagi bahasa puisi, bukan hurufiah.

Yeh 28:1 Maka datanglah firman TUHAN kepadaku:
Yeh 28:2 ‘Hai anak manusia, katakanlah kepada raja Tirus: Beginilah firman Tuhan ALLAH: Karena engkau menjadi tinggi hati, dan berkata: Aku adalah Allah! Aku duduk di takhta Allah di tengah-tengah lautan. Padahal engkau adalah manusia, bukanlah Allah, walau hatimu menempatkan diri sama dengan Allah.
Yeh 28:3 Memang hikmatmu melebihi hikmat Daniel; tiada rahasia yang terlindung bagimu.
Yeh 28:4 Dengan hikmatmu dan pengertianmu engkau memperoleh kekayaan. Emas dan perak kaukumpulkan dalam perbendaharaanmu.
Yeh 28:5 Karena engkau sangat pandai berdagang engkau memperbanyak kekayaanmu, dan karena itu engkau jadi sombong.
Yeh 28:6 Oleh sebab itu beginilah firman Tuhan ALLAH: Karena hatimu menempatkan diri sama dengan Allah
Yeh 28:7 maka, sungguh, Aku membawa orang asing melawan engkau, yaitu bangsa yang paling ganas, yang akan menghunus pedang mereka, melawan hikmatmu yang terpuja; dan semarakmu dinajiskan.
Yeh 28:8 Engkau diturunkannya ke lobang kubur, engkau mati seperti orang yang mati terbunuh di tengah lautan.
Yeh 28:9 Apakah engkau masih akan mengatakan di hadapan pembunuhmu: Aku adalah Allah!? Padahal terhadap kuasa penikammu engkau adalah manusia, bukanlah Allah.
Yeh 28:10 Engkau akan mati seperti orang tak bersunat oleh tangan orang asing. Sebab Aku yang mengatakannya, demikianlah firman Tuhan ALLAH.’
Yeh 28:11 Lalu datanglah firman TUHAN kepadaku:
Yeh 28:12 ‘Hai anak manusia, ucapkanlah suatu ratapan mengenai raja Tirus dan katakanlah kepadanya: Beginilah firman Tuhan ALLAH: Gambar dari kesempurnaan engkau, penuh hikmat dan maha indah.
Yeh 28:13 Engkau di taman Eden, yaitu taman Allah penuh segala batu permata yang berharga: yaspis merah, krisolit dan yaspis hijau, permata pirus, krisopras dan nefrit, lazurit, batu darah dan malakit. Tempat tatahannya diperbuat dari emas dan disediakan pada hari penciptaanmu.
Yeh 28:14 Kuberikan tempatmu dekat kerub yang berjaga, di gunung kudus Allah engkau berada dan berjalan-jalan di tengah batu-batu yang bercahaya-cahaya.
Yeh 28:15 Engkau tak bercela di dalam tingkah lakumu sejak hari penciptaanmu sampai terdapat kecurangan padamu.
Yeh 28:16 Dengan dagangmu yang besar engkau penuh dengan kekerasan dan engkau berbuat dosa. Maka Kubuangkan engkau dari gunung Allah dan kerub yang berjaga membinasakan engkau dari tengah batu-batu yang bercahaya.
Yeh 28:17 Engkau sombong karena kecantikanmu, hikmatmu kaumusnahkan demi semarakmu. Ke bumi kau Kulempar, kepada raja-raja engkau Kuserahkan menjadi tontonan bagi matanya.
Yeh 28:18 Dengan banyaknya kesalahanmu dan kecurangan dalam dagangmu engkau melanggar kekudusan tempat kudusmu. Maka Aku menyalakan api dari tengahmu yang akan memakan habis engkau. Dan Kubiarkan engkau menjadi abu di atas bumi di hadapan semua yang melihatmu.
Yeh 28:19 Semua di antara bangsa-bangsa yang mengenal engkau kaget melihat keadaanmu. Akhir hidupmu mendahsyatkan dan lenyap selamanya engkau.’

Perhatikan bagian-bagian yang saya garis-bawahi, apakah cocok untuk komandan setan!
Dan sama seperti Yes 14, tak mungkin nubuat ini punya penggenapan akhir dalam bentuk kejatuhan komandan setan, yang terjadi jauh sebelumnya!

Apakah Tuhan harus memberitahu segala sesuatu kepada kita? Tujuan Alkitab yang terutama adalah memperkenalkan Allah kepada kita dan supaya kita mengenal jalan keselamatan. Untuk apa tahu kejatuhan setan? Ini memang diceritakan, tetapi hanya secara samar-samar dalam alkitab! Secara sama saya tanya: mengapa Yesus antara usia 12 - 30 tahun tidak ada ceritanya dalam Alkitab? Kehidupan Yesus sebagai remaja / pemuda, bukankah penting sebagai teladan dari pemuda remaja jaman sekarang? Mengapa tidak ada? Bdk. Yoh 20:30-31.
Yoh 20:30 Memang masih banyak tanda lain yang dibuat Yesus di depan mata murid-murid-Nya, yang tidak tercatat dalam kitab ini,
Yoh 20:31 tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam namaNya.

Menurut saya ini ayat-ayat yang sungguh-sungguh berbicara tentang kejatuhan setan.

a) 2Pet 2:4 - “Sebab jikalau Allah tidak menyayangkan malaikat-malaikat yang berbuat dosa tetapi melemparkan mereka ke dalam neraka dan dengan demikian menyerahkannya ke dalam gua-gua yang gelap untuk menyimpan mereka sampai hari penghakiman”.
Untuk menafsirkan ayat ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
  • Kata ‘neraka’ di sini diterjemahkan dari kata bahasa Yunani TARTARUS yang hanya dipergunakan satu kali ini saja dalam Kitab Suci. Karena itu sukar diketahui artinya secara pasti.
  • Bagian ini tidak boleh ditafsirkan seakan-akan setan sudah masuk neraka, karena ini akan bertentangan dengan Mat 8:29 Mat 25:41 Wah 20:10 yang menunjukkan secara jelas bahwa saat ini setan belum waktunya masuk neraka. Hal itu baru akan terjadi pada kedatangan Yesus yang keduakalinya.
  • Disamping itu, kalau ditafsirkan bahwa setan sudah masuk ke neraka, maka itu akan bertentangan dengan 2Pet 2:4 itu sendiri, yang pada bagian akhirnya berbunyi: ‘dan dengan demikian menyerahkannya ke dalam gua-gua yang gelap untuk menyimpan mereka sampai hari penghakiman’.
Jadi, mungkin bagian ini hanya menunjukkan kepastian bahwa setan akan masuk neraka.

b) 1Tim 3:6 - “Janganlah ia seorang yang baru bertobat, agar jangan ia menjadi sombong dan kena hukuman Iblis”.

c) Yudas 6 - “Dan bahwa Ia menahan malaikat-malaikat yang tidak taat pada batas-batas kekuasaan mereka, tetapi yang meninggalkan tempat kediaman mereka, dengan belenggu abadi di dalam dunia kekelaman sampai penghakiman pada hari besar”.

Jadi, mungkin sekali ia yang diciptakan sebagai malaikat, merasa sombong dan tidak puas dengan kedudukannya, lalu ingin menjadi lebih tinggi dan ingin menjadi Allah. Karena itu tidak heran ia meminta Yesus menyembahnya (Mat 4:9) dan ia menggoda Hawa dengan keinginan untuk menjadi seperti Allah (Kej 3:5).


4) Waktu Nuh keluar dari bahtera, lalu beri persembahan kepada Allah, dan Allah mencium baunya
dan lalu ‘menjadi bahagia’!

Tanggapan Budi Asali:
a) Dari mana gerangan omong kosong itu? Dalam Kitab Suci saya tak ada!
Kej 8:20-22 - “(20) Lalu Nuh mendirikan mezbah bagi TUHAN; dari segala binatang yang tidak haram dan dari segala burung yang tidak haram diambilnyalah beberapa ekor, lalu ia mempersembahkan korban bakaran di atas mezbah itu. (21) Ketika TUHAN mencium persembahan yang harum itu, berfirmanlah TUHAN dalam hatiNya: ‘Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia, sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya, dan Aku takkan membinasakan lagi segala yang hidup seperti yang telah Kulakukan. (22) Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan hujan, siang dan malam.’”.
b) Kalau Allah ‘menjadi bahagia’, berarti tadinya tidak bahagia?

Mazmur 147:11 berbunyi “TUHAN senang kepada orang-orang yang takut akan Dia, kepada orangorang yang berharap akan kasih setia-Nya.”
Apakah sebelum adanya orang-orang yang takut kepada Dia itu, Tuhan tidak senang? Dalam KJV, istilahnya adalah “taketh pleasure.” Apakah sebelumnya Tuhan tidak punya “pleasure”? Tentu penafsirannya bukan demikian. Maksudnya adalah Tuhan berkenan kepada orang-orang yang takut akan Dia. Bukan Tuhan itu “murung” sebelumnya, lalu menjadi senang setelah ada yang takut akan Dia.
Prinsip yang sama inilah yang Dr. Suhento sampaikan. Tuhan “menjadi bahagia” atas tindakan Nuh. Tuhan berkenan atas tindakan itu. Alkitab memakai istilah “persembahan yang harum,” untuk menyatakan perkenanan Tuhan. Bukan berarti sebelumnya tidak bahagia secara absolut. Memang sebelum ada tindakan Nuh itu, Tuhan tidak bisa berbahagia atas tindakan itu. (Apalagi dosa manusia sebelum air bah, pastinya menyedihkan Tuhan). Setelah ada tindakan itu, Tuhan “menjadi bahagia” atas
tindakan itu. Penggunaan kata-kata haruslah dilihat dalam konteksnya, termasuk frase “menjadi bahagia.”

Tanggapan balik Budi Asali:
Saya mengkritik penggunaan kata ‘menjadi’ yang tidak tepat! Anda sama tak mengertinya dengan Dji Ji Liong tentang maksud saya, atau sama pura-pura tak mengertinya dengan dia tentang maksud saya! Kalau Suhento Liauw sekedar mengatakan ‘Allah berkenan’, itu OK. Tetapi ‘menjadi bahagia’???

5) Darah di ambang pintu (tulah ke 10) diberikan di atas, kiri dan kanan, membentuk salib! Juga ular tembaga ditaruh di atas tiang, supaya tidak melorot diberi kayu horizontal, dan lagi-lagi membentuk salib!

Tanggapan Budi Asali:
Tafsiran kampungan dan menambahi Alkitab (bertentangan dengan Sola Scriptura)!
Kel 12:7 - “Kemudian dari darahnya haruslah diambil sedikit dan dibubuhkan pada kedua tiang pintu dan pada ambang atas, pada rumah-rumah di mana orang memakannya.”.
Memang ada kata-kata ‘kedua tiang pintu’, berarti di kiri dan kanan, lalu ada ‘ambang atas’, berarti di atas, tetapi kalau tidak ada ‘di bawah’, bagaimana bisa membentuk salib???

Lalu tentang peristiwa ular tembaga, mari kita lihat ceritanya dalam Alkitab.
Bil 21:4-9 - “(4) Setelah mereka berangkat dari gunung Hor, berjalan ke arah Laut Teberau untuk mengelilingi tanah Edom, maka bangsa itu tidak dapat lagi menahan hati di tengah jalan. (5) Lalu mereka berkata-kata melawan Allah dan Musa: ‘Mengapa kamu memimpin kami keluar dari Mesir? Supaya kami mati di padang gurun ini? Sebab di sini tidak ada roti dan tidak ada air, dan akan makanan hambar ini kami telah muak.’ (6) Lalu TUHAN menyuruh ular-ular tedung ke antara bangsa itu, yang memagut mereka, sehingga banyak dari orang Israel yang mati. (7) Kemudian datanglah bangsa itu mendapatkan Musa dan berkata: ‘Kami telah berdosa, sebab kami berkata-kata melawan TUHAN dan engkau; berdoalah kepada TUHAN, supaya dijauhkanNya ular-ular ini dari pada kami.’ Lalu Musa berdoa untuk bangsa itu. (8) Maka berfirmanlah TUHAN kepada Musa: ‘Buatlah ular tedung dan taruhlah itu pada sebuah tiang; maka setiap orang yang terpagut, jika ia melihatnya, akan tetap hidup.’ (9) Lalu Musa membuat ular tembaga dan menaruhnya pada sebuah tiang; maka jika seseorang dipagut ular, dan ia memandang kepada ular tembaga itu, tetaplah ia hidup”.
Dimana gerangan ada kata-kata ‘supaya tidak melorot lalu diberi kayu horizontal’? Lagi mengigau, Pak Suhento? Hal lain yang harus diketahui adalah: sebetulnya kita tidak tahu bagaimana bentuk salib Kristus. Kata ‘salib’ dalam bahasa Yunani adalah STAUROS, dan sebetulnya berarti ‘an upright pole’ (= tiang tegak). Dan salib yang paling awal memang hanya berbentuk satu tiang tegak. Karena itu tak perlu merasa heran kalau Saksi Yehuwa menggunakan tiang tegak sebagai salib Kristus. Tetapi memang belakangan muncul variasi-variasi bentuk salib, sehingga ada yang berbentuk X, Y, T, dan juga seperti salib yang kita kenal. Lalu yang mana yang merupakan salib yang digunakan untuk Yesus? Satu-satunya alasan untuk memilih salib yang paling umum adalah karena dikatakan bahwa di atas kepala Yesus dituliskan kata-kata ‘Yesus dari Nazaret, raja orang Yahudi’. Kalau salib berbentuk X, Y, atau T, dimana tulisan itu mau diletakkan? Jadi, dipilih salib yang kita kenal itu.
Tetapi ini argumentasi yang sangat lemah, karena untuk salib yang manapun, bisa diberi tulisan, menggunakan papan yang diikat dengan tali. Apalagi salib yang berbentuk tiang tegak, tentu tak ada masalah dengan pemberian tulisan itu. Kesimpulan: bahwa salib Yesus dikatakan berbentuk seperti yang sekarang kita kenal, merupakan sesuatu yang sangat tidak pasti!

Wah, wah, wah...heran juga, saya yang sudah berpuluh-puluh kali mendengarkan seminar Dr. Suhento Liauw, ketika mendengarkan bagian ini tidak pernah mendapatkan kesan bahwa Dr. Suhento Liauw menambahi Alkitab. Tidak pernah terkesan bagi saya bahwa Dr. Suhento Liauw mengatakan masalah bentuk salib (baik di darah Paskah ataupun di ular tembaga) adalah sesuatu yang tercantum dalam Alkitab. Kalau saya mendengarkan penjelasan Dr. Suhento Liauw, yang saya tangkap itu adalah inferensi dia, dan penjelasan dia atas teks Alkitab. Beberapa saudara yang ikut dalam seminar di Surabaya lalu juga merasa demikian. Mereka tidak merasa bahwa Dr. Suhento mencoba menambahkan kata-kata ke dalam Alkitab. Saya heran kenapa Budi Asali mendapat kesan demikian. Barangkali telah terjadi pencampuradukan dalam pikiran Budi Asali antara penafsiran-inferensi dengan isi Alkitab itu sendiri. Mungkin Budi Asali tidak membedakan antara Dr. Liauw menjelaskan Alkitab dengan mengutip Alkitab.
Benarkah Budi Asali mendengar Dr. Suhento Liauw berkata bahwa “Alkitab mencatat ada bentuk salib?” Ataukah itu hanya suatu simbolisme yang Dr. Suhento Liauw tafsir dan inferensikan dari ayat-ayat yang ada? Melakukan inferensi atas sesuatu yang tidak eksplisit tertulis dalam Alkitab adalah hal yang wajar dan lazim dilakukan. Memang, itu bukan kebenaran absolut, karenanya hanya inferensi, tetapi Dr. Liauw tidak menjabarkan masalah ini sebagai kebenaran absolut.

Tanggapan balik Budi Asali:
Kalau itu sekedar suatu cerita sejarah, dan penjelasannyapun hanya cerita, apakah penjelasan itu perlu? Dan apakah boleh memberikan penjelasan dalam bentuk cerita terhadap cerita yang ada dalam Alkitab? Menurut saya itu hanya boleh kalau kontext menuntut hal itu. Jadi misalnya ceritanya tak jelas, seakan-akan meloncat, atau bertentangan dengan text lain, maka perlu diberi penjelasan. Tetapi dalam kasus ular tembaga dan darah domba Paskah kasusnya tidak demikian!

Apa yang Suhento Liauw lakukan sangat berbeda dengan orang yang betul-betul melakukan penafsiran! Anda tak bisa membedakan antara orang yang melebih-lebihkan suatu cerita sehingga tak cocok dengan aslinya, dengan orang yang menafsir!

Yang ikut seminar (dari kalangan gereja anda) maupun anda tak merasa bahwa Suhento Liauw menambahi Alkitab? Saya tak heran. Coba tanya orang-orang dalam kalangan Saksi Yehuwa, apakah mereka merasa bahwa penatua mereka atau buku-buku mereka mengajarkan ajaran sesat? Coba tanya orang-orang dari gereja yang Liberal / Katolik / Kharismatik , apakah mereka merasa bahwa pendeta-pendeta mereka mengajarkan ajaran salah / sesat?

Kalau Budi Asali tidak setuju dengan penafsiran Dr. Suhento Liauw, saya sama sekali tidak ada masalah. Itu kehendak bebas dia! Tetapi untuk mengatakan bahwa Dr. Suhento Liauw menambahi Alkitab, itu sudah merupakan suatu pernyataan yang salah. Saya sempat cek di internet, karena penasaran, apakah ada orang lain yang melihat simbolisme yang sama yang Dr. Suhento lihat dalam pemolesan darah domba Paskah.

Tanggapan balik Budi Asali:
Kalau di cerita dalam Alkitab tak ada, dan dia adakan, itu jelas menambahi Alkitab dan bertentangan dengan SOLA SCRIPTURA!

Saya dapatkan kutipan berikut (saya sama sekali tidak kenal kelompok pembuat website ini): “What is truly remarkable, is the manner in which the blood at the Passover was applied to the door posts. First, the blood was applied to the cross beam in the center, then the blood would drip down from there, hitting the ground. Secondly, the left and the right sides of the door frame were likewise marked. This act was in the perfect shape of a cross.” (http://www.yhwh.com/Cross/cross8.htm) Terjemahan: “Yang sangat luar biasa, adalah cara darah Paskah diaplikasikan ke tiang pintu. Pertama, darah diaplikasikan ke kusen atas di tengah, lalu darah akan menetes dari sana, mengenai tanah. Kedua, sisi kiri dan kanan bingkai pintu, juga ditandai dengan cara yang sama. Tindakan ini adalah dalam bentuk sempurna sebuah salib.” Saya tidak kenal siapa yang membuat artikel itu, tetapi ini menunjukkan bahwa apa yang Dr. Suhento lihat, ternyata dilihat juga oleh orang lain. Ini bukan masalah menambahi Alkitab. Memang Alkitab tidak bilang secara eksplisit. Tetapi kita diberi otak oleh Tuhan untuk bisa melihat banyak hal yang tidak tertulis langsung dalam Alkitab.

Tanggapan balik Budi Asali:
Hmmm, makanan rohani anda seperti itu, tak heran anda jadi Arminian, dan terutama tak heran kalian mengajar yang aneh-aneh seperti ‘Rabu Agung’, ‘pendeta tak boleh beri berkat dalam kebaktian’ dan sebagainya. Saya tahu dalam dunia penafsir, banyak yang gila dan bodoh. Saya tak heran kalau anda bisa mendapatkan kutipan seperti itu. Tetapi persoalannya: haruskah kita mempercayai ajaran yang jelas tak cocok dengan Alkitab?
Jadi, kalau Suhento Liauw tidak unik dalam hal ini, itu tak membuktikan dia benar.

Steven, jujur saja, apakah kalimat terakhir anda di atas, yang saya garis-bawahi itu, tidak berbahaya, bahkan sangat berbahaya?? Kalau otak kita boleh menambahi apa yang tidak tertulis dalam Alkitab, tanpa dasar apapun, ayat manapun dengan mudah menjadi ajaran sesat!

Kalau Budi Asali bilang ini penafsiran kampungan, itu hak dia. Tiap orang kan bisa menilai sendiri. Saya pribadi melihatnya sebagai sesuatu yang sangat indah, dan Tuhan secara subtle mengisyarakatkan sesuatu. Hanya, kalau dikatakan “menambahi Alkitab,” nah ini justru yang aneh, dan tidak bisa membedakan apa itu penafsiran dan apa itu pengutipan Alkitab. Hal yang sama berlaku untuk masalah ular tembaga. Teks berkata “tiang.” Teks memang tidak berkata bahwa ada kayu horizontal, tetapi teks juga tidak mengatakan tidak ada. Jadi, ini adalah penafsiran yang TIDAK BERTENTANGAN dengan data Alkitab. Ini bukan menambahi Alkitab, tetapi penafsiran. Semoga Budi Asali bisa membedakan kedua hal ini sekarang.

Tanggapan balik Budi Asali:
Hmmm, jadi kalau text tak bilang, boleh ditambahi apapun? Selama tambahannya tak menabrak text? Lagi-lagi, Steven, ini sangat, sangat berbahaya!

Saya pernah mendengar Dr. Paul Yonggi Cho khotbah untuk mendukung teori ‘dimensi keempat’nya. Dia mengatakan dalam Kej 15 waktu Abraham melihat bintang-bintang di langit, tahu-tahu bintang-bintang itu berubah menjadi kepala-kepala bayi. Ini dia anggap sebagai dasar, untuk mengatakan bahwa kalau kita berdoa kita harus membayangkan bahwa apa yang didoakan sudah terjadi / terkabul. Anda setuju ‘tafsiran’ itu. Ingat, sesuai kata-kata anda, text Alkitabnya tak punya ‘tambahan’ itu, tetapi juga tak bilang kalau tambahan itu salah! Jadi, menurut teori anda, itu boleh dan sah-sah saja?????

Kalau mau lain lagi, Hawa sendiri waktu digoda Iblis mengatakan bahwa Allah melarang dia menyentuh buah itu, padahal larangannya adalah memakan buah itu. Ia menambahi / mengubah Firman Tuhan, ya atau tidak? Ingat, textnya juga tidak mengatakan kalau Allah tidak melarang untuk menyentuh! Jadi, karena kata-kata Hawa tak secara explicit bertentangan dengan Firman Tuhan, maka itu benar??

Kalau yang seperti dilakukan oleh Suhento Liauw ini boleh, saya tanya: bolehkah saya menceritakan cerita Israel yang menyeberangi Laut Teberau, dengan dinding air di kiri dan kanan mereka, lalu ada air memercik yang menyimbolkan baptisan percik? (Ini bukan tafsiran saya, saya hanya memberi contoh!) Silahkan menilai sendiri!
Contoh-contoh lain:
  • waktu Yesus digoda setan dalam Mat 4, bolehkah (seperti dalam film tertentu) kita menggambarkan bahwa ada ular (yang menyimbolkan setan) yang bicara dengan Yesus?
  • waktu Yerikho dihancurkan temboknya, bolehkah saya menceritakan bahwa pada saat itu Tuhan membuat suatu gempa bumi, yang menghancurkan tembok kota itu? Ini tak ada dalam textnya, tetapi textnya juga tak mengatakan kalau gempa itu tak ada!
  • waktu Bileam pergi, dia naik keledai. Bolehkah saya ceritakan bahwa ia juga membawa seekor gajah? Itu tak ada dalam textnya, tetapi textnya juga tak mengatakan bahwa ia tidak membawa gajah!
  • waktu Tuhan menciptakan langit dan bumi dalam Kej 1, bolehkah kita percaya bahwa Ia melakukan itu melalui ‘big bang’, sehingga menjadi dasar dari kepercayaan terhadap teori ‘big bang’? Ingat, textnya tidak mengatakan bahwa Allah tidak menciptakan langit dan bumi menggunakan ‘big bang’. Jadi boleh???
  • waktu Tuhan menciptakan manusia, bolehkan kita menafsirkan bahwa sebetulnya dia cipta monyet dulu, yang lalu berevolusi dan menjadi anda? Textnya tidak mengatakan kalau tidak ada evolusi!

Setelah melihat ajaran anda dalam hal ini, saya tak heran Dji Ji Liong mengatakan bahwa pada hari Pentakosta bukan hanya 12 rasul yang membaptis 3000 orang yang bertobat, tetapi 120 orang jemaat (Kis 1:15) ikut membaptis! Memang text tidak bilang mereka ikut membaptis, tetapi textnya juga tidak bilang mereka tidak ikut membaptis. Jadi boleh menafsir seperti itu? Hehehe, betul-betul gila! Mengapa tak sekalian saja katakan bahwa perempuan-perempuan dalam Kis 1:14 juga ikut membaptis???? Sama saja, bukan?

Nah, kalau Budi Asali mau mempersoalkan logis tidak logisnya (baik tidak baiknya) penafsiran ini, ya silakan. Itu sih saya tidak masalah. Tetapi kalau mengatakan bahwa hal seperti ini menyangkali Sola Scriptura, wow....ini sangat tidak mengena. Ini terasa seperti serangan yang dipaksakan dan dibuat-buat.

Tanggapan balik Budi Asali:
Saya sangat serius dengan hal ini, sama sekali tidak mengada-ada! Anda dan Dance Suat sama-sama mengatakan bahwa saya mengada-ada. Yang mengada-ada itu adalah Suhento Liauw! Dengan mengajar yang aneh-aneh (seperti yang tentang tiang dari ular tembaga, atau darah pada ambang pintu) ini, atau bahwa istilah ‘Perjamuan Kudus’ salah, pendeta tak boleh memberi berkat pada akhir kebaktian, dan sebagainya. Itu yang mengada-ada. Menurut saya itu bahkan adalah ajaran yang sengaja mencari sensasi! Dan saya justru mengcounter apa yang saya anggap mengada-ada / cari sensasi itu!

Sangat tidak mengena’? Lalu yang bagaimana Sola Scriptura itu, dan yang bagaimana yang bertentangan dengan SOLA SCRIPTURA itu??? Pada waktu Martin Luther mengajak untuk ‘back to the Bible’, dan menghendaki SOLA SCRIPTURA diterapkan, saya yakin Gereja Roma Katolik juga menganggapnya ‘tidak mengena’ dan ‘mengada-ada’!

Saya sendiri merasa bahwa penafsiran Dr. Suhento Liauw sangat masuk akal. Supaya ular tidak melorot, sangat logis sekali untuk menambahi kayu horizontal. Sekali lagi saya coba cek di internet, dan beberapa detik searching sudah memberikan hasil gambar berikut: Ini berarti bahwa ada juga orang lain yang melihat hal yang sama yang dilihat Dr. Suhento.

Tanggapan balik Budi Asali:
Ya, kalian sekelompok, apalagi bapak dengan anak. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Tidak aneh kalau anda anggap tafsiran Suhento Liauw sangat masuk akal / sangat logis dan sebagainya.
Lagi-lagi, dalam dunia banyak orang gila, dan itu tak seharusnya diikuti. Kalau mau ajaran sesat, orang-orang yang tak percaya keilahian Yesus, tak percaya Yesus sebagai satu-satunya jalan, tak percaya Alkitab sebagai Firman Allah, dsb, pasti ada lebih banyak lagi! Jadi, karena banyak, tidak unik, maka mereka yang mengajar seperti itu tidak salah???? Steven, banyak tak berarti benar, bukan? ‘Tidak unik’ tak berarti ‘benar’, ataupun ‘bisa diterima’!

Anda mengatakan ‘masuk akal’! Mana yang lebih benar? ‘Masuk akal’, atau ‘Alkitabiah’? Mestinya nama gereja anda diganti saja menjadi GBIMA (Gereja Baptis Independen Masuk Akal)!!!

Masalah bentuk salib saya tidak mau banyak komentar. Lebih banyak bukti-bukti Alkitab yang mendukung bentuk salib tradisional, yaitu “t.” Antara lain: tulisan di atas kepala Yesus. “Ada juga tulisan di atas kepala-Nya: "Inilah raja orang Yahudi".” (Luk. 23:38) Ini menjurus ke bentuk “t.” Kalau bentuknya satu tiang saja, ala Saksi Yehovah, maka tangan Yesus ada di atas kepalaNya. Sehingga tulisan itu pantasnya disebut berada “di atas tanganNya.” Lebih lanjut lagi, dalam model satu tiang, kedua tangan Yesus dipakukan di atas kepalaNya, dengan satu paku saja. Jadi, satu paku untuk dua tangan. Ini model yang saya pernah lihat dalam ilustrasi Saksi Yehovah. Tetapi Tomas berkata, “Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu . . . .” (Yoh. 20:25). Kata “paku” dalam ayat ini, dua kali muncul, dan dalam bentuk jamak. Dalam KJV: “nails,” atau “paku-paku.” Artinya, ada lebih dari satu paku yang dipakai untuk tangan Yesus. Ini lebih mendukung ke bentuk salib tradisional dibandingkan salib satu tiang. Nah, saya tidak mau berpanjang-panjang masalah bukti-bukti sejarah bentuk Salib Romawi, atau tradisi bagi orang hukuman untuk membawa “salib” (patibulum) yang berupa kayu horizontal. Itu semua pembaca bisa riset sendiri.

Tanggapan balik Budi Asali:
Saya tak bilang bahwa saya setuju teori Saksi Yehuwa. Kalau bekas paku pada tangan dalam bentuk jamak, itu masih memungkinkan. Kedua kaki yang sama-sama dipaku di bawah juga bisa dipaku dengan dua paku, mengapa kedua tangan di atas tidak bisa?
Dan kalaupun bukan tiang tegak, bisa bentuk T, atau Y, atau X. Tulisan bisa diberi tali.
Penekanan saya, kita tak tahu dengan pasti bentuk salib untuk Yesus. Jadi, mengapa gerangan tiang ular harus diberi kayu horizontal, dan darah pada ambang pintu membentuk salib (yang kita kenal)???


6) Baptisan harus selam, kalau tidak seperti Kain yang beri persembahan hasil bumi dan bukan binatang. Kata Yunani BAPTIZO artinya dicelup / direndam. Jadi, orang yang dibaptis percik sama saja dengan belum dibaptis!

Tanggapan Budi Asali:
Dalam seminar itu mula-mula ia mengatakan baptisan itu bukan merupakan sesuatu yang hakiki untuk keselamatan, tetapi anehnya pada waktu menekankan keharusan baptisan selam, ia mengatakan bahwa orang yang menggunakan baptisan percik adalah seperti Kain, yang bukannya mempersembahkan binatang tetapi mempersembahkan tanaman. Bukankah ia menjadikannya sebagai sesuatu yang bersifat hakiki / mutlak untuk keselamatan? Ia secara bodoh mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan ajarannya di bagian depan.

Ajaran Baptis dari dulu adalah bahwa baptisan tidak menyelamatkan. Tetapi kaum Baptis serius menanggapi perintah Tuhan untuk membaptiskan! Bukan memercikkan atau menuangkan, atau mengibarkan bendera atas, atau mengelap badannya, atau yang lainnya! Dr. Suhento Liauw telah membuat jelas di awal bahwa baptisan tidak menyelamatkan. Lalu dia membandingkan baptisan percik dengan Kain yang mengubah binatang menjadi tanaman. Oleh Budi Asali ini dilihat sebagai pertentangan, karena Kain tidak selamat.

Catatan: bagian tentang baptisan ini panjang sekali, dan akan saya letakkan dalam file tersendiri, dengan judul ‘Baptisan selam atau non selam? Steven Liauw VS Budi Asali’.


7) Nama / sebutan Perjamuan Kudus salah, seharusnya Perjamuan Tuhan. Istilah Perjamuan Kudus kita dapat dari Katolik. Perjamuan itu tidak bisa menguduskan, jadi nama itu salah.

Tanggapan Budi Asali:
Saya setuju saja kalau digunakan istilah ‘Perjamuan Tuhan’, karena istilah itu memang ada dalam Alkitab (1Kor 10:21 1Kor 11:20). Tetapi istilah ‘Perjamuan Kudus’ juga tak masalah, karena itu hanya soal istilah. Bahwa itu didapatkan dari Katolik merupakan omong kosong, yang tak akan bisa ia buktikan. Dan siapa gerangan orang bodoh yang mempercayai bahwa Perjamuan Kudus itu menguduskan? Itu merupakan fitnahan terhadap orang-orang yang menggunakan istilah ‘Perjamuan Kudus’.

Perjamuan Tuhan adalah istilah yang Alkitabiah. Perjamuan Kudus tidak Alkitabiah. Pemakaian istilah yang tidak alkitabiah akan membawa dampak yang tidak boleh diremehkan. Banyak orang yang memang beranggapan bahwa “Perjamuan Kudus” itu menguduskan. Saya saja pernah ketemu. Apakah
penggunaan istilah penting? Menurut saya penting. Menurut Budi Asali tidak penting. Ok, kita catat itu. Itu juga sebabnya kami tidak mau pakai “pendeta.” Itu istilah yang tidak alkitabiah dan juga sarat dengan konotasi yang tidak alkitabiah.

Tanggapan balik Budi Asali:

Anda mengatakan “Perjamuan Tuhan adalah istilah yang Alkitabiah. Perjamuan Kudus tidak Alkitabiah. Pemakaian istilah yang tidak alkitabiah akan membawa dampak yang tidak boleh diremehkan. Banyak orang yang memang beranggapan bahwa “Perjamuan Kudus” itu menguduskan. Saya saja pernah ketemu.”.
Saya tanya: kalau ada orang yang menganggap Perjamuan Kudus menguduskan, apakah pemikiran / kepercayaan salah itu berasal dari istilahnya? Atau dari hal-hal lain? Sudah adakan research / penyelidikan yang mendalam? Atau hanya menebak-nebak saja?

Kalau ada orang-orang seperti itu, itu salah mereka sendiri, bukan salah istilahnya. Ada banyak istilah yang dipakai oleh semua gereja dan orang Kristen tetapi tidak ada dalam Alkitab. Misalnya: Natal, Paskah (Easter), Tritunggal, hakekat dan prbadi (dalam Kristologi atau doktrin Allah Tritunggal), sakramen, dan banyak lagi. Saya tahu sedikitnya sebagian dari istilah-istilah ini gereja anda sendiri juga menggunakan! Itu menjadikan gereja anda tidak Alkitabiah? Ganti saja namanya Menjadi GBITA (Gereja Baptis Independen Tidak Alkitabiah)!

Istilah ‘independen’ muncul di Alkitab sebelah mana? Dan anda menjadikannya nama gereja anda!

Wah, wah, sekarang ketambahan satu lagi ajaran nyeleneh. Tidak bolah pakai istilah ‘pendeta’. Lalu kalian bapak dan anak disebut apa? Disebut ‘penatua’ seperti dalam Saksi Yehuwa?

Kamus Inggris - Indonesia mengatakan bahwa kata ‘pendeta’ merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggris ‘pastor’, dan kamus Webster mengatakan bahwa kata ‘pastor’ sebenarnya berarti ‘shepherd’ (= gembala), dan istilah ini jelas ada dalam Ef 4:11 - “Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar”.
Dan anda mengatakan istilah ini juga tidak Alkitabiah? Dan sarat dengan konotasi yang tidak Alkitabiah? Konotasi apa? Omong kosong! Ini cuma ajaran yang cari sensasi! Cari kepopuleran? Ingat bahwa ‘terkenal’ dalam bahasa Inggris bisa dua macam, yaitu ‘famous’ (terkenal dalam arti yang baik) dan ‘notorious’ (= terkenal dalam arti yang buruk). Dengan ajaran kalian yang nyeleneh itu kalian memang bisa jadi populer / terkenal, tetapi dalam arti ‘notorious’!

Ingat bahwa istilah ini beda dengan kata bahasa Indonesia ‘pastor’ yang digunakan dalam Gereja Roma Katolik. Kalau ini terjemahan bahasa Inggrisnya adalah ‘priest’ (= imam), dan memang pastor Katolik berfungsi sebagai imam / pengantara. Kalau itu, memang tidak Alkitabiah, karena pada jaman Perjanjian Baru, imam / pengantara kita hanya Kristus (1Tim 2:5). Kalau orang Kristen disebut imam (1Pet 2:9), itu hanya menunjukkan bahwa orang Kristen bisa berhubungan langsung dengan Allah, hanya melalui Yesus, dan bukan pengantara manusia biasa.

8) Ia tahu cara penggunaan Urim dan Tumim, dan menjelaskannya.

Tanggapan Budi Asali:
Tak ada penafsir yang tahu dengan pasti tentang hal itu. Jangankan cara menggunakannya, bahkan bagaimana bentuk dari Urim dan Tumimpun tidak ada yang tahu. Entah Suhento Liauw belajar dari mimpi atau bagaimana?
Kel 28:30 - “Dan di dalam tutup dada pernyataan keputusan itu haruslah kautaruh Urim dan Tumim; haruslah itu di atas jantung Harun, apabila ia masuk menghadap TUHAN, dan Harun harus tetap membawa keputusan bagi orang Israel di atas jantungnya, di hadapan TUHAN”.
Adam Clarke (tentang Kel 28:30): “‘Thou shalt put in the breastplate of judgment the Urim and the Thummim.’ What these were has, I believe, never yet been discovered. 1. They are nowhere described. 2. There is no direction given to Moses or any other how to make them. ... 6. That God was often consulted by Urim and Thummim, is sufficiently evident from several Scriptures; but how or in what manner he was thus consulted appears in none”.
Apa yang dikatakan oleh Bil 27:21 tidaklah menunjukkan cara penggunaan Urim dan Tumim.
Bil 27:21 - “Ia harus berdiri di depan imam Eleazar, supaya Eleazar menanyakan keputusan Urim bagi dia di hadapan TUHAN; atas titahnya mereka akan keluar dan atas titahnya mereka akan masuk, ia beserta semua orang Israel, segenap umat itu.’”.

Lalu berkatalah Saul: "Ya, TUHAN, Allah Israel, mengapa Engkau tidak menjawab hamba-Minyak urapan pada hari ini? Jika kesalahan itu ada padaku atau pada anakku Yonatan, ya TUHAN, Allah Israel, tunjukkanlah kiranya Urim; tetapi jika kesalahan itu ada pada umat-Mu Israel, tunjukkanlah Tumim." Lalu didapati Yonatan dan Saul, tetapi rakyat itu terluput.” (1 Sam. 14:41). Catatan: Dalam Masoretic Text, ayat ini lebih pendek dan tidak menyinggung Urim & Tumim, LAI menerjemahkan dari Septuaginta. Ini juga menjelaskan mengapa Clarke tidak membahas 1 Sam. 14:41. Tidak perlu pakai mimpi, dalam Septuaginta ada indikasinya kok. Jadi, berdasarkan teks ini, Urim dan Tumim itu dipakai seperti semacam undian. Setelah berdoa kepada Tuhan, imam akan meminta jawaban Tuhan, dan akan meng-assign jawaban tertentu kepada Urim, dan jawaban yang lain kepada Tumim. Jadi, cara kerjanya rupanya adalah dengan menanyakan dua alternatif. Ini cocok dengan Bilangan 27:21. Kita juga tahu bahwa Urim Tumim ditaruh di tutup dada imam besar (Kel. 28:30), jadi implikasinya adalah: setelah berdoa, imam mengambil salah satu objek di dalam tutup dadanya. Jika yang keluar adalah Urim, maka dia mendapat jawaban dari Tuhan sesuai doanya tadi, apa yang dia minta untuk Urim. Sama dengan Tumim. Kalaupun ada yang memprotes bahwa Septuaginta di sini salah (dan ini protes yang sah), tetap saja bukan berarti pengajaran Dr. Suhento Liauw berasal dari “mimpi,” melainkan ada landasan yang bisa diperiksa.

Tanggapan balik Budi Asali:
Saya tanya: bentuknya Urim dan Tumim bagaimana? Saya juga tahu kalau bisa jawab Urim atau Tumim, tetapi caranya bagaimana? Bentuknya seperti mata uang, lalu dilemparkan ke atas? Atau seperti dadu, yang lalu dilemparkan? Atau seperti kartu, lalu dipilih salah satu? Tak ada yang tahu, bukan? Ini yang saya maksudkan tak ada yang tahu cara penggunaannya!

9) Ia percaya bahasa Roh, nubuat, mimpi dari Tuhan, malaikat datang beri petunjuk firman, karunia lakukan mujijat / kesembuhan; semua ini tak ada lagi. 1Kor 13:8 ditafsirkan menunjuk pada selesainya penulisan Kitab Suci. Ia membahas kata Yunani TON TELEION dalam ayat itu dan ia mengartikannya sebagai ‘the perfect thing’.

Bukan “ton teleion,” tetapi “to teleion”. Ini adalah perbedaan gender maskulin atau netral dalam Yunani, dan menjadi salah satu inti argumen justru.

Tanggapan Budi Asali:
Sepanjang saya tahu, tak ada satupun Kitab Suci bahasa Inggris yang menterjemahkan ‘the perfect thing’.
KJV: ‘But when that which is perfect is come, then that which is in part shall be done away’.
RSV: ‘but when the perfect comes, the imperfect will pass away’.
NIV: ‘but when perfection comes, the imperfect disappears’.
NASB: ‘but when the perfect comes, the partial will be done away’.
ASV: ‘but when that which is perfect is come, that which is in part shall be done away’.
NKJV: ‘But when that which is perfect has come, then that which is in part will be done away’.

Memang Dr. Suhento Liauw tidak mengatakan ada Alkitab yang menerjemahkannya demikian. Tetapi
dia menunjukkan sebuah interlinear yang menerjemahkan “the perfect thing.”

Dan sekalipun memang ada penafsir-penafsir yang menafsirkan bahwa ini menunjuk pada selesainya penulisan Alkitab, tetapi hanya sangat sedikit penafsir yang menafsir seperti itu. Pada umumnya para penafsir mengatakan bahwa ini menunjuk pada saat kita masuk surga / pada kedatangan Kristus yang keduakalinya.

Saya tidak mau panjang lebar menjawab ini, karena ini adalah materi seminarnya. Kebenaran memang bukan berdasarkan banyaknya penafsir.

Tanggapan balik Budi Asali:
Memang, tetapi pada saat banyak penafsir itu menggunakan argumentasi-argumentasi yang meyakinkan, maka kalau anda tetap tak mau peduli, anda tak Alkitabiah! Text itu, khususnya ay 10,12, tidak memungkinkan itu kita menafsirkan TO TELEION sebagai menunjuk pada lengkapnya Alkitab.

1Kor 13:8-10 - “(8) Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap. (9) Sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak sempurna. (10) Tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap”.
Kalau kata-kata ‘jika yang sempurna tiba’ (ay 10) dianggap menunjuk pada saat Alkitab lengkap, bagaimana mungkin pada saat itu pengetahuan akan lenyap? Bukankah dengan lengkapnya Alkitab, pengetahuan bukan saja tidak lenyap, tetapi makin bertambah?

Wah, berarti Budi Asali tidak mendengarkan seminar dengan baik. Poin ini selalu dibahas oleh Dr. Suhento Liauw. Saya yang sudah ikut seminarnya berkali-kali tahu bahwa ini salah satu poin yang selalu beliau bahas. Pengetahuan itu bukan mengacu kepada pengetahuan umum, seperti matematika, atau fisika, atau pengetahuan alam. Konteks sedang bicara mengenai karunia rohani (lihat dua item lainnya adalah karunia bahasa lidah, dan karunia bernubuat). Jadi pengetahuan ini juga mengacu kepada suatu karunia rohani, yaitu yang disebut Paulus dalam 1 Kor. 12:8, yaitu “karunia berkata-kata dengan pengetahuan,” yang disingkat saja “pengetahuan” di pasal 13. Ini adalah synecdoche.

Tanggapan balik Budi Asali:
Yang bicara tentang pengetahuan umum siapa? Anda tak mengerti kata-kata saya? Saat itu sudah ada Perjanjian Lama, dan juga mungkin kitab-kitab Injil. Jadi orang sudah punya pengetahuan rohani, tetapi hanya sebagian, karena Perjanjian Baru belum lengkap. Pada saat Perjanjian Baru lengkap, kan pengetahuan rohani itu bertambah? Kok bisa dikatakan bahwa pada saat itu pengetahuan ‘akan lenyap’? Jadi jelas, itu tidak mungkin menunjuk pada lengkapnya Alkitab, tetapi pasti menunjuk pada kedatangan Kristus yang keduakalinya.

Kalau ‘pengetahuan’ dianggap sebagai karunia, lalu ‘iman’ dan ‘kasih’ tidak? Lucu sekali! Anda tak pernah perhatikan ikatan kalimat / kata-katanya dalam menafsir! Dalam menafsir, anda yang punya gelar ‘doktor’, menafsir seperti anak Sekolah Minggu!

Synecdoche tidak menyingkat seperti itu! Jangan omong kosong! Synecdoche adalah gaya bahasa dimana kadang-kadang disebutkan hanya sebagian, tetapi yang dimaksud adalah seluruhnya, dan kadang-kadang terbalik. Yang dibicarakan seluruhnya, tetapi yang dimaksudkan adalah sebagian. Misalnya kalau dikatakan mata Tuhan ada di segala tempat. Ini memang digabungkan dengan Anthropomorphism, tetapi jelas juga merupakan synecdoche, karena yang dibicarakan sebagian, yaitu ‘mata’, tetapi jelas yang ada di segala tempat adalah seluruh diri Allah.
Tetapi synecdoche tidak menyingkat ‘karunia berkata-kata dengan pengetahuan’, menjadi ‘pengetahuan’! Jangan ngawur saja kalau pakai istilah!

Kata ‘pengetahuan’ tak bisa diartikan seperti itu karena dihubungkan dengan karunia bernubuat dan karunia bahasa Roh. Kata ‘pengetahuan’ harus ditafsir sesuai kontext. Perhatikan 1Kor 13:2 - “Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna”.
Juga perhatikan 1Kor 13:12b - “Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal”.
Mengapa sekarang mengenal dengan tidak sempurna? Karena pengetahuan juga tidak sempurna. Mengapa nanti ‘mengenal dengan sempurna’? Karena pengetahuan nanti menjadi sempurna!
Jadi jelas kata ‘pengetahuan’ tak berhubungan dengan ‘karunia berkata-kata dengan pengetahuan’, tetapi memang merupakan ‘pengetahuan itu sendiri’ (rohani)!

Tetapi kalau diartikan menunjuk pada kedatangan Kristus yang keduakalinya, maka itu memang memungkinkan, karena pengetahuan pada saat itu pastilah sangat berbeda dengan pengetahuan kita di dunia ini. Jadi pengetahuan yang sekarang ini, yang tidak lengkap / tidak sempurna, akan lenyap, digantikan oleh pengetahuan yang sempurna / lengkap, yang sama sekali baru.

Pertama, “to teleion” tidak mungkin mengacu kepada Kristus, karena gendernya netral.

Tanggapan balik Budi Asali:
Kalau saya mengatakan bahwa TO TELEION menunjuk pada kedatangan Kristus yang keduakalinya, itu tak berarti menunjuk kepada Kristusnya! Tetapi bisa pada keadaan sempurna / kesempurnaan, pada saat Ia datang kedua-kalinya! Jadi tak masalah dengan gender yang netral!

By the way, mengapa anda tak bicara tentang case / kasus dari kata To TELEION itu? Suhento Liauw mengatakan itu case-nya akusatif, saya mengatakan itu pasti nominatif. Yang mana yang benar? Dia ngawur bukan? Dan anda pura-pura melupakan hal itu?

Kedua, kalau mau menafsirkan ini mengacu kepada “kedatangan Kristus,” tidak membantu menyelesaikan masalah “pengetahuan” tadi. Karena setelah Kristus datang, pengetahuan kita (dalam artian pengetahuan pada umumnya) tidak hilang. Bertambah sudah pasti! Menjadi lebih baik sudah pasti! Tetapi yang lama tidak lenyap. Apakah pengetahuan kita bahwa 2 + 2 = 4 akan lenyap saat Kristus datang? Ingat ayat berkata “lenyap,” bukan berubah, bukan ditambah, bukan dimodifikasi, tetapi lenyap!

Tanggapan balik Budi Asali:
Hehehe, alangkah bodohnya. Anda sendiri mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah pengetahuan rohani. Kok bisa tahu-tahu bicara tentang 2 + 2 = 4? Itu pengetahuan rohani?

Anda tak pintar membaca tulisan, Steven? saya kutip ulang kata-kata saya sendiri.
Tetapi kalau diartikan menunjuk pada kedatangan Kristus yang keduakalinya, maka itu memang memungkinkan, karena pengetahuan pada saat itu pastilah sangat berbeda dengan pengetahuan kita di dunia ini. Jadi pengetahuan yang sekarang ini, yang tidak lengkap / tidak sempurna, akan lenyap, digantikan oleh pengetahuan yang sempurna / lengkap, yang sama sekali baru.”.

Menurut saya ini sama dengan istilah ‘langit dan bumi yang sekarang akan lenyap’ dan diganti dengan ‘langit dan bumi yang baru’. Bdk. 2Pet 3:10-13 Wah 21:1.

Jadi, memang tidak ada cara selain melihat bahwa “pengetahuan” ini mengacu kepada “karunia berkata-kata dengan pengetahuan.” Ini sekaligus cocok dengan konteks. 1 Korintus 13 membandingkan karunia rohani dengan kasih. 13:1-3 mengajarkan bahwa kasih lebih penting dari karunia rohani. 13:4-7 menjelaskan superioritas kasih. 13:8-13 mengajarkan bahwa kasih lebih bertahan lama daripada karunia rohani. Ini dalam konteks bahwa jemaat Korintus menyalahgunakah karunia rohani mereka.

Tanggapan balik Budi Asali:
Omong kosong. Sudah saya buktikan di atas bahwa ay 2 dan ay 12 menunjukkan bahwa ‘pengetahuan’ memang adalah ‘pengetahuan’ (rohani), bukan ‘karunia berkata-kata dengan pengetahuan’.

Sekarang kita lihat ay 1-3.
1Kor 13:1-3 - “(1) Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing. (2) Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. (3) Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku”.

Omong kosong lagi kalau 1Kor 13:1-3 hanya bicara tentang ‘karunia-karunia’. Ay 1 memang bicara tentang ‘karunia bahasa Roh’, tetapi ay 2 berbicara tentang ‘karunia bernubuat’ dan ‘pengetahuan’ dan ‘iman’. Sedangkan ay 3 bicara tentang apa? ‘sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar’ (ay 3a). Ini karunia apa?

Saya ingin memberikan penafsiran beberapa penafsir tentang kata ‘pengetahuan’ dalam ay 2, dan ‘kerelaan memberikan sesuatu dan bahkan menyerahkan tubuh untuk dibakar’ dalam ay 3.

Matthew Henry: Prophecy, and the understanding of mysteries, and all knowledge. This without charity is as nothing, v. 2. Had a man ever so clear an understanding of the prophecies and types under the old dispensation, ever so accurate a knowledge of the doctrines of Christianity, nay, and this by inspiration, from the infallible dictates and illumination of the Spirit of God, without charity he would be nothing; all this would stand him in no stead. Note, A clear and deep head is of no signification, without a benevolent and charitable heart. It is not great knowledge that God sets a value upon, but true and hearty devotion and love.
Adam Clarke: [And understand all mysteries] The meaning of all the types and figures in the Old Testament, and all the unexplored secrets of nature; and all knowledge-every human art and science; and thought I have all faith-such miraculous faith as would enable me even to remove mountains; or had such powerful discernment in sacred things that I could solve the greatest difficulties, see the note at Matt 21:21, and have not charity-this love to God and man, as the principle and motive of all my conduct, the characteristics of which are given in the following verses; I am nothing-nothing in myself, nothing in the sight of God, nothing in the church, and good for nothing to mankind. Balsam, and several others not under the influence of this love of God, prophesied; and we daily see many men, who are profound scholars, and well skilled in arts and sciences, and yet not only careless about religion but downright infidels! It does not require the tongue of the inspired to say that these men, in the sight of God, are nothing; nor can their literary or scientific acquisitions give them a passport to glory.

Saya tak terjemahkan, tetapi intinya jelas bahwa Matthew Henry maupun Adam Clarke menganggap ‘pengetahuan’ sebagai ‘pengetahuan’, bukan ‘karunia untuk berkata-kata dengan pengetahuan’!

Matthew Henry: ‎4. The outward acts of charity: Bestowing his goods to feed the poor, v. 3. Should all a man has be laid out in this manner, if he had no charity, it would profit him nothing. There may be an open and lavish hand, where there is no liberal and charitable heart. The external act of giving alms may proceed from a very ill principle. Vain-glorious ostentation, or a proud conceit of merit, may put a man to large expense this way who has no true love to God nor men. Our doing good to others will do none to us, if it be not well done, namely, from a principle of devotion and charity, love to God, and good-will to men. Note, If we leave charity out of religion, the most costly services will be of no avail to us. If we give away all we have, while we withhold the heart from God, it will not profit. 5. Even sufferings, and even those of the most grievous kind: If we give our bodies to be burnt, without charity, it profiteth nothing, v. 3. Should we sacrifice our lives for the faith of the gospel, and be burnt to death in maintenance of its truth, this will stand us in no stead without charity, unless we be animated to these sufferings by a principle of true devotion to God, and sincere love to his church and people, and good-will to mankind. The outward carriage may be plausible, when the invisible principle is very bad. Some men have thrown themselves into the fire to procure a name and reputation among men. It is possible that the very same principle may have worked up some to resolution enough to die for their religion who never heartily believed and embraced it. But vindicating religion at the cost of our lives will profit nothing if we feel not the power of it; and true charity is the very heart and spirit of religion. If we feel none of its sacred heat in our hearts, it will profit nothing, though we be burnt to ashes for the truth. Note, The most grievous sufferings, the most costly sacrifices, will not recommend us to God, if we do not love the brethren; should we give our own bodies to be burnt, it would not profit us. How strange a way of recommending themselves to God are those got into who hope to do it by burning others, by murdering, and massacring, and tormenting their fellow-christians, or by any injurious usage of them! My soul, enter not thou into their secrets. If I cannot hope to recommend myself to God by giving my own body to be burnt while I have no charity, I will never hope to do it by burning or maltreating others, in open defiance to all charity.
Barnes’ Notes: [And though I bestow] The Greek word used here ‎psoomisoo, from ‎psaoo, to break off) meant properly to break off, and distribute in small portions; to feed by morsels; and may be applicable here to distributing one's property in small portions. Charity or alms to the poor, was usually distributed at one's gate (Luke 16:20,) or in some public place. Of course, if property was distributed in this manner, many more would be benefitted than if all were given to one person. There would be many more to be thankful, and to celebrate one's praises. This was regarded as a great virtue; and was often performed in a most ostentatious manner. It was a gratification to wealthy men who desired the praise of being benevolent, that many of the poor flocked daily to their houses to be fed; and against this desire of distinction, the Saviour directed some of his severcst reproofs; see Matt 6:1-4. To make the case as strong as possible, Paul says that if ALL that a man had were dealt out in this way, in small portions, so as to benefit as many as possible, and yet were not attended "with true love toward God and toward man," it would be all false, hollow, hypocritical, and really of no value in regard to his own salvation. It would profit nothing. It would not be such an act as God would approve; it would be no evidence that the soul would be saved. Though good might be done to others, yet where the "motive" was wrong, it could not meet with the divine approbation, or be connected with his favor. [And though I give my body to be burned] Evidently as a martyr, or a witness to the truth of religion. Though I should be willing to lay down my life in the most painful manner, and have not charity, it would profit me nothing.

Intinya tentang ay 3 dimana orang membagi-bagikan segala sesuatu dan bahkan menyerahkan diri untuk dibakar, kalau tak ada kasih (motivasinya salah), itu ia anggap sebagai tindakan yang dimaksudkan untuk pameran saja, dan tak ada harganya / nilainya sama sekali. Jelas Matthew Henry maupun Albert Barnes tidak menganggap hal-hal ini sebagai karunia-karunia rohani.

Jadi kesimpulan saya: sekalipun mungkin penekanan utama adalah kesuperioran kasih terhadap karunia-karunia rohani, tetapi jelas bukan HANYA terhadap karunia-karunia rohani!

1Kor 13:4-7 tidak menunjukkan kesuperioran kasih, tetapi menunjukkan apa itu kasih.
1Kor 13:4-7 - “(4) Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. (5) Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. (6) Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. (7) Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.”.
Yang menunjukkan kesuperioran kasih adalah ay 1-3! Tetapi bukan hanya atas karunia-karunia rohani, tetapi juga atas tindakan-tindakan ketaatan (ay 3), pengetahuan (ay 2), dan iman (ay 2).

1Kor 13:8-13 - “(8) Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap. (9) Sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak sempurna. (10) Tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap. (11) Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu. (12) Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal. (13) Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih”.

Anda mengatakan “13:8-13 mengajarkan bahwa kasih lebih bertahan lama daripada karunia rohani. Ini dalam konteks bahwa jemaat Korintus menyalahgunakah karunia rohani mereka”.
Tetap bicara karunia rohani? Lalu bagaimana menafsirkan ‘iman’ dan ‘pengharapan’ dalam ay 13? Itu juga karunia-karunia rohani?

Adam Clarke (tentang 1Kor 13:10): “‘But when that which is perfect.’ The state of eternal blessedness; then that which is in part - that which is imperfect, shall be done away; the imperfect as well as the probationary state shall cease for ever”.

Konteks di 1 Korintus 13:13 tidak cocok dengan penafsiran bahwa yang dimaksud adalah kondisi kekekalan. Dalam ayat 13 tersebut, setelah hilangnya nubuat, bahasa roh, dan karunia pengetahuan, akan tinggal iman, pengharapan dan kasih. Ini jelas belum kekekalan. Dalam kekekalan, tidak diperlukan lagi iman, karena iman sudah menjadi kenyataan, “faith turn into sight” (Ibr. 11:1). Juga tidak perlu lagi pengharapan, karena sudah terjadi (Roma 8:24).

Tanggapan balik Budi Asali:
Kelihatannya tidak cocok, karena terjemahan Indonesia salah. Seharusnya dalam ay 13 ada kata ‘sekarang’. RSV sama salahnya dengan Kitab Suci Indonesia, dan tidak mempunyai kata tersebut.
1Kor 13:13 - “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih”.
KJV: And now abideth faith, hope, charity, these three; but the greatest of these is charity.
NIV: And now these three remain: faith, hope and love. But the greatest of these is love.
NASB: But now faith, hope, love, abide these three; but the greatest of these is love.
ASV: But now abideth faith, hope, love, these three; and the greatest of these is love.
NKJV: And now abide faith, hope, love, these three; but the greatest of these is love.
Jadi setelah bicara tentang kedatangan Kristus yang keduakalinya dalam ay 10-12, maka dalam ay 13, Paulus kembali bicara masa sekarang.

Adam Clarke (tentang 1Kor 13:13): “‘And now (in this present life) abideth faith, hope, charity’[= ‘Dan sekarang (dalam hidup sekarang ini) tinggal iman, pengharapan, kasih’].


10) Mulai saat Yesus mati sampai Kitab Suci selesai ditulis rasul-rasul jadi Standard kebenaran.

Konteksnya adalah mereka menjadi Standar Kebenaran terutama dalam fungsi mereka sebagai saksi kebangkitan Yesus dan semua pengajaran Yesus, dan dalam menuliskan Firman Tuhan. Lihat juga Efesus 2:20. Bukan berarti secara pribadi mereka tidak bisa salah, jadi semua kutipan Firman Tuhan di bawah, saya aminkan.
Apakah Dr. Suhento Liauw ada mengatakan bahwa para Rasul tidak bisa berbuat salah dalam seminar itu? Saya yakin tidak. Mahasiswa GITS pasti tertawa mendengar tuduhan ini, karena mereka sering mendengar Dr. Suhento Liauw menjabarkan beberapa kesalahan rasul tertentu. Jadi, saya curiga beberapa poin yang muncul di sini ini adalah karena over-zealous-nya Budi Asali mencari kesalahan.

Tanggapan Budi Asali:
Kok Petrus bisa salah, dalam Kis 10 dan Gal 2?
Kis 10:13-15,34-35 - “(13) Kedengaranlah olehnya suatu suara yang berkata: ‘Bangunlah, hai Petrus, sembelihlah dan makanlah!’ (14) Tetapi Petrus menjawab: ‘Tidak, Tuhan, tidak, sebab aku belum pernah makan sesuatu yang haram dan yang tidak tahir.’ (15) Kedengaran pula untuk kedua kalinya suara yang berkata kepadanya: ‘Apa yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram.’ ... (34) Lalu mulailah Petrus berbicara, katanya: ‘Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. (35) Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepadaNya”.
Gal 2:11-14 - “(11) Tetapi waktu Kefas datang ke Antiokhia, aku berterang-terang menentangnya, sebab ia salah. (12) Karena sebelum beberapa orang dari kalangan Yakobus datang, ia makan sehidangan dengan saudara-saudara yang tidak bersunat, tetapi setelah mereka datang, ia mengundurkan diri dan menjauhi mereka karena takut akan saudarasaudara yang bersunat. (13) Dan orang-orang Yahudi yang lainpun turut berlaku munafik dengan dia, sehingga Barnabas sendiri turut terseret oleh kemunafikan mereka. (14) Tetapi waktu kulihat, bahwa kelakuan mereka itu tidak sesuai dengan kebenaran Injil, aku berkata kepada Kefas di hadapan mereka semua: ‘Jika engkau, seorang Yahudi, hidup secara kafir dan bukan secara Yahudi, bagaimanakah engkau dapat memaksa saudara-saudara yang tidak bersunat untuk hidup secara Yahudi?’”.
Dan Yohanes bisa salah dengan menyembah malaikat?
Wah 19:10 - “Maka tersungkurlah aku di depan kakinya untuk menyembah dia, tetapi ia berkata kepadaku: ‘Janganlah berbuat demikian! Aku adalah hamba, sama dengan engkau dan saudara-saudaramu, yang memiliki kesaksian Yesus. Sembahlah Allah! Karena kesaksian Yesus adalah roh nubuat.’”.
Wah 22:8-9 - “(8) Dan aku, Yohanes, akulah yang telah mendengar dan melihat semuanya itu. Dan setelah aku mendengar dan melihatnya, aku tersungkur di depan kaki malaikat, yang telah menunjukkan semuanya itu kepadaku, untuk menyembahnya. (9) Tetapi ia berkata kepadaku: ‘Jangan berbuat demikian! Aku adalah hamba, sama seperti engkau dan saudarasaudaramu, para nabi dan semua mereka yang menuruti segala perkataan kitab ini. Sembahlah Allah!’”.

Tanggapan balik Budi Asali:
Saya hanya menilai Suhento Liauw dalam seminar. Dia mengatakan seperti itu, dan bukan salah saya kalau membantah seperti itu. Mestinya kalau mau mengatakan rasul jadi standard kebenaran, dia harus menjelaskan dalam arti apa ia memaksudkan hal itu. Dia tidak mengatakan apa yang anda katakan, dan itu salahnya dia.

11) Mat 11:13-14 - “(13) Sebab semua nabi dan kitab Taurat bernubuat hingga tampilnya Yohanes (14) dan - jika kamu mau menerimanya - ialah Elia yang akan datang itu.”.
Ini ditafsirkan, jika kamu mau menerima, ia adalah Elia, jika tidak mau terima ia adalah Yohanes Pembaptis!
M
Tanggapan Budi Asali :
Ini ajaran sinting, dan merupakan penafsiran ‘liar’, yang tidak membutuhkan tanggapan.

Karena Budi Asali tidak menanggapi dan merasa tidak perlu menanggapi, berarti juga tidak ada apa-apa yang bisa saya tanggapi lagi. Kalau ada waktu lebih mestinya saya akan senang menjabarkan pengajaran ayat ini secara lebih mendetil, jadi pembaca bisa melihat keseluruhan penjelasan, bukan sepenggal kalimat. Tetapi waktu saya sungguh terbatas. Hanya satu poin saja: yang jelas ayat ini mengajarkan Allah berurusan dengan suatu event yang contingent (tidak harus/pasti, bisa A atau bisa B). Nah, saya paham bahwa event yang contingent sejati itu tidak ada dalam kamus Kalvinis seperti Budi Asali. Mungkin inilah mengapa ia bilang ini “ajaran sinting.”

Tanggapan balik Budi Asali:
Saya anggap orang mengerti kalau itu tafsiran sinting, tetapi karena anda tak mengerti, saya jelaskan. Yohanes Pembaptis memang adalah ‘Elia’ yang dinubuatkan dalam Perjanjian Lama (bukan berarti Elia reinkarnasi, tetapi ia datang dalam, roh dan kuasa Elia).
Luk 1:17 - “dan ia akan berjalan mendahului Tuhan dalam roh dan kuasa Elia untuk membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati orang-orang durhaka kepada pikiran orang-orang benar dan dengan demikian menyiapkan bagi Tuhan suatu umat yang layak bagiNya.’”.
Jadi, itu kebenarannya; Yohanes Pembaptis adalah Elia. Kata-kata ‘Jika engkau mau menerimanya’ tidak bisa diartikan seperti Suhento Liauw katakan. Mau menerima atau tidak mau menerima tetap saja Yohanes Pembaptis adalah Elia! Kok bisa kalau tidak mau menerima maka Yohanes Pembaptis adalah Yohanes Pembaptis??? Lucu, dan gila!


12) Karena mau gerejanya steril, Suhento Liauw selalu khotbah sendiri.

Tanggapan Budi Asali:
Lucu sekali. Kalau dia yang khotbah pasti steril? Jadi ajarannya Suhento Liauw itu inerrant / infallible? Dan bagaimana kalau dia mati? Anaknya sendiri steril atau tidak? Apa mungkin dua orang punya theologia yang persis sama?

Khotbah sendiri? Mungkin Budi Asali salah dengar? Atau mengabaikan konteks? Posisi Dr. Suhento adalah bahwa yang khotbah di gerejanya hanyalah yang sedoktrin dengan dia. Ini untuk menjaga agar kesesatan tidak masuk (steril). Di awal-awal memang kebanyakan Dr. Suhento Liauw yang khotbah. Tetapi setelah ada banyak lulusan GITS, pengkhotbah di gereja kami cukup bervariasi. Juga, kalau ada tamu yang sedoktrin, kami sering memintanya khotbah. Dua orang bisa saja punya theologi yang berbeda sedikit-sedikit dalam hal-hal yang tidak major, tetapi tetap bisa dikatakan sedoktrin dalam hal-hal yang major.

Tanggapan balik Budi Asali:
Saya yakin tak salah dengar. Ia berkata ‘saya khotbah sendiri’ dan lalu tak ada penjelasan apa-apa.

13) Kata ‘Katolik’ dalam 12 Pengakuan Iman Rasuli (Indonesia diterjemahkan ‘AM’), disamakan dengan gereja Katolik!

Tanggapan Budi Asali:
Kata yang sama belum tentu artinya sama, dan kalau artinya sama belum tentu menunjuk pada hal yang sama. Kata ‘Katolik’ memang artinya ‘am’ atau ‘universal’. Jadi kata-kata dalam 12 Pengakuan Iman Rasuli versi bahasa Inggris, ‘the Holy Catholic Church’ (Gereja Katolik yang kudus / Gereja yang kudus dan am), tidak salah. Ini menunjuk pada Gereja yang tak kelihatan, atau gereja universal, yaitu semua orang percaya di seluruh dunia dan sepanjang jaman.

Encyclopedia Britannica 2010 dengan entry ‘Catholic’: (from Greek katholikos, ‘universal’), the characteristic that, according to ecclesiastical writers since the 2nd century, distinguished the Christian Church at large from local communities or from heretical and schismatic sects. A notable exposition of the term as it had developed during the first three centuries of Christianity was given by St. Cyril of Jerusalem in his Catecheses (348): the church is called catholic on the ground of its worldwide extension, its doctrinal completeness, its adaptation to the needs of men of every kind, and its moral and spiritual perfection. The theory that what has been universally taught or practiced is true was first fully developed by St. Augustine in his controversy with the Donatists (a North African heretical Christian sect) concerning the nature of the church and its ministry. It received classic expression in a paragraph by St. Vincent of Lérins in his Commonitoria (434), from which is derived the formula: ‘What all men have at all times and everywhere believed must be regarded as true.’ St. Vincent maintained that the true faith was that which the church professed throughout the world in agreement with antiquity and the consensus of distinguished theological opinion in former generations. Thus, the term catholic tended to acquire the sense of orthodox. Some confusion in the use of the term has been inevitable, because various groups that have been condemned by the Roman Catholic Church as heretical or schismatic never retreated from their own claim to catholicity. Not only the Roman Catholic Church but also the Eastern Orthodox Church, the Anglican Church, and a variety of national and other churches claim to be members of the holy catholic church, as do most of the major Protestant churches”.

Tetapi istilah ‘Katolik’ juga digunakan oleh Gereja Roma Katolik, mungkin karena mereka menganggap mereka adalah satu-satunya gereja universal. Itu sebetulnya merupakan suatu penggunaan yang kontradiksi, karena ‘Roma’ merupakan sebutan yang bersifat lokal, sedangkan ‘Katolik’ sebutan yang bersifat universal.
Bahwa mereka menggunakan kata itu secara salah, itu urusan mereka. Tetapi kalau Suhento Liauw melarang / menyalahkan orang Kristen menggunakan kata itu, merupakan suatu kebodohan! Mengapa? Karena gereja-gereja yang dikecam oleh Gereja Roma Katolik sebagai gereja sesat, termasuk gereja Protestan, juga mengclaim istilah itu bagi gereja mereka, karena mereka menganggap gereja merekalah yang benar.

Dr. Suhento Liauw bukan tidak tahu bahwa gereja Roma menggunakan “katolik” dalam pengertian yang berbeda dari gereja-gereja Protestan. Namun tetap pada intinya sama, dan salah. Roma mengatakan dirinya adalah gereja yang “katolik” yaitu “universal.” Mereka percaya kepada gereja yang
universal dan kelihatan (Universal Visible Church). Jadi, “kelihatan” bahwa gereja Roma ada di manamana, di setiap negara. Para Reformator yang keluar dari Roma, bukannya bergabung dengan gerejagereja sejati saat itu (misal gereja-gereja Anabaptis, sebaliknya malah menganiaya mereka, terutama Zwingli). Calvin, Luther, Zwingli, semuanya “dipercik” waktu bayi sebagai seorang Katolik. Jadi, mereka adalah anggota gereja Katolik Roma. Mereka terbiasa dengan konsep gereja yang “universal.” Dan sampai matinya mereka, mereka tidak pernah menyangkali “percikan bayi” mereka yang menjadikan mereka anggota gereja Roma. Mereka tidak pernah mencari baptisan yang alkitabiah.
Kaum Baptis memiliki konsep bahwa gereja adalah lokal, bukan universal. Bahkan ekklesia yang universal adalah suatu kontradiksi istilah, karena ekklesia berarti assembly, atau perkumpulan, yang per definisi haruslah lokal. Kami percaya kepada gereja yang Visible dan Local. Para reformator, setelah keluar dari Katolik, harus mencari definisi gereja yang baru, sebab jelas gereja mereka tidaklah Visible dan Universal. Jadi, mereka menciptakan suatu konsep, yaitu gereja yang Universal dan Invisible. Intinya, mereka setuju dengan Katolik, bahwa gereja itu universal, tetapi menjadikannya invisible, sedangkan Katolik menjadikannya visible. Kami tidak setuju bahwa gereja itu universal. Ini adalah kata-kata yang sangat singkat untuk suatu topik yang sangat mendalam, yang berakar kepada apa itu hakekat ekklesia. Tempat dan waktu saya tidak memungkinkan penjelasan panjang lebar. Pembaca yang ingin tahu lebih lanjut, saya rujuk kepada http://bbccromwell. org/Seminary_Articles/Ye-are-Body-of-Christ.pdf

Tanggapan balik Budi Asali:
Anda menyebut Anabaptis sebagai gereja yang sejati. Hehehe. Dasarnya apa? Menurut saya itu gereja sesat, sekalipun saya tak tahu seluruh ajarannya. Teapi jelas ada beberapa yang sesat, dan saya tahu karena Calvin sering membahasnya.
Mengapa gerangan para Reformator harus menggabungkan diri dengan gereja yang ajarannya jelas berbeda dengan mereka? Kalau di atas Suhento Liauw mau khotbah sendiri (atau anda katakan hanya orang-orang yang sealiran yang boleh khotbah), mengapa sekarang anda salahkan para Reformator yang tak mau gabung dengan Anabaptis, yang jelas-jelas beda aliran dengan mereka? Sangat tidak konsisten bukan? Anda sendiri, atau Suhento Liauw, mengapa mendirikan GBIA, dan tidak gabung dengan gereja-gereja yang sudah ada sebelum anda? Kalian boleh dirikan gereja sendiri, dan para Reformator tak boleh? Dengan otoritas apa anda melarang?

Saya pernah baca Anabaptis dianiaya, tetapi siapa yang melakukan? Zwingli? Dia sendiri? Saya kok tidak yakin, karena pada hari Reformasi tahun lalu (tahun 2011) saya membahas tentang Zwingli dan saya tak menjumpai hal itu. Dan kalau ada kesalahan dari siapapun, itu kesalahan oknum, tak bisa dipukul rata semua seperti itu! Kalau kalian memfitnah, seperti yang sudah saya buktikan, saya tak akan mengatakan semua gereja Baptis pemfitnah. Bahkan saya tak berani mengatakan seluruh jemaat kalian dan mahasiswa theologia kalian adalah pemfitnah!

Luther, Zwingli, Calvin keluar (atau dikeluarkan) dari Gereja Roma Katolik, jelas karena adanya pertentangan Theologia antara mereka dengan ajaran Gereja Roma Katolik. Tetapi kalau ada pertentangan theologia, bukan berarti bertentangan dalam segala hal. Misalnya doktrin Allah Tritunggal ataupun Kristologi, jelas sama. Gereja Roma Katolik tidak salah dalam hal itu. Demikian juga dalam hal baptisan. Mereka salah dalam hal-hal lain, seperti doktrin Alkitab, juga keselamatan karena iman dan perbuatan baik, dan adanya Paus, doktrin-doktrin tentang Maria dan sebagainya. Sekalipun banyak, tak bisa dikatakan bahwa mereka salah dalam segala hal! Jadi, para tokoh Reformasi, tentu harus memilah-milah, bukan membuang semua ajaran Gereja Roma Katolik, tetapi membuang hanya yang salah, dan mempertahankan yang benar. Mereka tidak secara membuta mengikuti baptisan percik, hanya karena pada saat bayi mereka dipercik. Buktinya mereka punya argumentasi-argumentasi yang mendukung baptisan percik, dan yang sudah saya gunakan untuk menghancurkan keharusan baptisan selam anda!
Itu menunjukkan mereka menyeleksi, membahas matang-matang yang mana yang harus diterima dan yang mana yang harus ditolak. Memang masih ada hal-hal dimana sukar membuang ajaran yang sudah begitu mendarah daging dalam diri mereka. Misalnya kalau dilihat dari 95 thesis Luther, kelihatannya ia masih percaya api penyucian. Jelas bahwa ajaran mereka tidak sempurna, termasuk Calvin. Tetapi bagi saya, Calvin / Calvinist / Calvinisme sudah merupakan yang terbaik dari semua yang tidak sempurna. Saya punya problem dengan ajaran Luther, tetapi kalau Luther (bukan Lutheran) dibandingkan kalian, saya pilih Luther!

Sekarang saya ingin bahas kata-kata anda ini: “Kaum Baptis memiliki konsep bahwa gereja adalah lokal, bukan universal. Bahkan ekklesia yang universal adalah suatu kontradiksi istilah, karena ekklesia berarti assembly, atau perkumpulan, yang per definisi haruslah lokal. Kami percaya kepada gereja yang Visible dan Local. Para reformator, setelah keluar dari Katolik, harus mencari definisi gereja yang baru, sebab jelas gereja mereka tidaklah Visible dan Universal. Jadi, mereka menciptakan suatu konsep, yaitu gereja yang Universal dan Invisible. Intinya, mereka setuju dengan Katolik, bahwa gereja itu universal, tetapi menjadikannya invisible, sedangkan Katolik menjadikannya visible. Kami tidak setuju bahwa gereja itu universal. Ini adalah kata-kata yang sangat singkat untuk suatu topik yang sangat mendalam, yang berakar kepada apa itu hakekat ekklesia.”.

Lucu sekali kalau anda pakai nama ‘Alkitabiah’ dalam gereja anda, tetapi dalam berargumentasi (membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain) anda tak pakai ayat Alkitab sama sekali. Semua ini sampah, karena tidak ada dasar Alkitabnya sama sekali!

Anda mengatakan bahwa “Bahkan ekklesia yang universal adalah suatu kontradiksi istilah, karena ekklesia berarti assembly, atau perkumpulan, yang per definisi haruslah lokal.”. Omong kosong. Dalam dunia apa hanya ada satu EKKLESIA? Pada waktu dikatakan dalam Alkitab bahwa ‘Kristus adalah kepala jemaat / gereja’ (Ef 5:23 Kol 1:18 dsb), saya tanya anda: ini gereja apa yang dimaksudkan? Gereja lokal? Mustahil bukan? Jadi pasti gereja Universal, yang mencakup juga orang-orang percaya di tiap gereja lokal (yang tidak percaya tidak termasuk)!

Juga dalam Ro 12:5-dst, dan 1Kor 12:12-dst, orang-orang Kristen disebut sebagai ‘tubuh Kristus’. Ini orang-orang Kristen dari satu gereja lokal? Mustahil, karena kalau demikian akan ada satu kepala dengan banyak tubuh, dan itu menjadi monster! Jadi, ini pasti orang-orang Kristen dari gereja universal! Istilah ‘gereja universal’ memang tak ada dalam Alkitab, tetapi ajaran tentang ‘gereja universal’ jelas ada.

By the way, anda kok mau pakai istilah ‘gereja kelihatan’, ‘gereja lokal’, dsb? Di mana dalam Alkitab anda ada istilah-istilah itu? Bukankah anda katakan kalau pakai istilah yang tak ada dalam Alkitab, menjadi tidak Alkitabiah? Hmmm, serangan tolol anda menjadi boomerang yang menghantam kepala anda sendiri, bukan????

Dalam kalangan kami juga ada gereja lokal dan kelihatan. Saya dengan Stephen Tong saja sekarang beda gereja. Dia GRII (Gereja Reformed Injili Indonesia), saya GKRI (Gereja Kristus Rahmani Indonesia). Tetapi istilah gereja Universal / tak kelihatan, semua harus percaya. Itu menunjuk bukan pada gedung atau merk gerejanya, tetapi menunjuk kepada semua orang-orang percaya di seluruh dunia dan dalam sepanjang jaman. Ini pasti ada bukan? Ayat-ayat sudah saya berikan di atas.

Penjahat yang bertobat dan mati di sisi Yesus, apakah ia anggota gereja yang kelihatan / lokal? Tidak. Tetapi anggota gereja yang universal / tak kelihatan, ya! Karena ia beriman pada saat itu dan Yesus menjamin ia masuk surga!

Kalau tadi anda sama-samakan para tokoh Reformasi dengan Gereja Roma Katolik, maka sekarang saya minta anda baca kata-kata A. W. Pink di bawah ini!

Arthur W. Pink: Among the ‘decrees’ of the Council of Trent (1563), which is the avowed standard of Popery, we find the following: - ‘If any one shall affirm, that man’s free-will, moved and excited by God, does not, by consenting, co-operate with God, the mover and exciter, so as to prepare and dispose itself for the attainment of justification; if moreover, anyone shall say, that the human will cannot refuse complying, if it pleases, but that it is inactive, and merely passive; let such an one be accursed’! ‘If anyone shall affirm, that since the fall of Adam, man’s free-will is lost and extinguished; or, that it is a thing titular, yea a name, without a thing, and a fiction introduced by Satan into the Church; let such an one be accursed’! Thus, those who today insist on the free-will of the natural man believe precisely what Rome teaches on the subject! That Roman Catholics and Arminians walk hand in hand may be seen from others of the decrees issued by the Council of Trent: - ‘If any one shall affirm that a regenerate and justified man is bound to believe that he is certainly in the number of the elect (which, 1 Thessalonians 1:4, 5 plainly teaches. A.W.P.) let such an one be accursed’! ‘If any one shall affirm with positive and absolute certainty, that he shall surely have the gift of perseverance to the end (which John 10:28-30 assuredly guarantees, A.W.P.); let him be accursed’! (= ) - ‘The Sovereignty of God’ (AGES), hal 128-129.

Saya berikan intinya saja bagi pembaca yang tak mengerti bahasa Inggris. A. W. Pink mengatakan bahwa doktrin tentang free will dari Gereja Roma Katolik sama dengan doktrin tentang free will dalam Arminianisme. Demikian juga kalau seseorang yakin bahwa ia akan bertekun sampai akhir, itu dikutuk oleh Gereja Roma Katolik (sidang gereja Trent). Jadi, Arminianisme tak percaya point ke 5 dari 5 points Calvinisme, itu sama dengan kepercayaan Gereja Roma Katolik!
Jadi, siapa yang mirip dengan Gereja Roma Katolik? Hehehe. Anda tak pernah bercermin???

14)Serang predestinasi dan katakan neraka bukan dicipta untuk manusia tetapi untuk setan.hai kamu
malaikat-malaikatnya.”.
Tanggapan Budi Asali:
Jawaban tentang kebodohan ini tidak saya berikan di sini karena ini berhubungan dengan debat tanggal 24 Agustus 2012 antara Esra + saya vs Steven Liauw + partnernya. Saya tak mau tunjukkan ‘senjata’ saya sebelum debat tanggal 24 Agustus itu terlaksana.

Tidak perlu komentar dari saya. Matius 25:41.

Tanggapan balik Budi Asali:
Hehehe, ayatnya tak salah, tetapi tafsirannya yang lucu. Kalau mau hancur, saya tantang anda, coba gunakan ayat itu dalam debat tanggal 24 Agustus nanti. Saya akan habisi argumentasi anda berdasarkan ayat itu, semudah membalikkan tangan saya!

15) Dalam kebaktian tak boleh ada pemberkatan pada akhir kebaktian. Pemberkatan ada pada jaman keimaman Harun, jaman sekarang semua orang Kristen adalah imam, jadi tak boleh ada satu memberkati yang lain. Pemberkatan nikah itu salah, seharusnya peneguhan nikah.

Tanggapan Budi Asali:
Ajaran ini betul-betul gila, dan tak sulit untuk membantahnya / menghancurkannya.
a) Dalam jaman Perjanjian Lama, yang memberkati adalah imam besar, tetapi berkat itu sebetulnya jelas bukan datang dari imam besar itu sendiri, tetapi dari Tuhan. Jadi, imam besar itu hanyalah alat Tuhan.
Bil 6:22-27 - “(22) TUHAN berfirman kepada Musa: (23) ‘Berbicaralah kepada Harun dan anak-anaknya: Beginilah harus kamu memberkati orang Israel, katakanlah kepada mereka: (24) TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau; (25) TUHAN menyinari engkau dengan wajahNya dan memberi engkau kasih karunia; (26) TUHAN menghadapkan wajahNya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera. (27) Demikianlah harus mereka meletakkan namaKu atas orang Israel, maka Aku akan memberkati mereka.’”.
Lalu mengapa dalam Perjanjian Baru, pendeta tak boleh jadi alat Tuhan untuk memberikan berkat dalam kebaktian?

Dalam PL, Tuhan memberkati melalui imam. Memang Tuhan yang memberkati, itu tidak diragukan siapapun. Tetapi, dalam PL, imam menjadi media resmi atau saluran resmi berkat Tuhan. Melalui imam-lah Tuhan secara khusus memberkati umatnya pada waktu itu. Selain ayat Bilangan 6:22-27 yang sudah dikutip oleh Budi Asali, lihat juga ayat berikut: “Imam-imam bani Lewi haruslah tampil ke depan, sebab merekalah yang dipilih TUHAN, Allahmu, untuk melayani Dia dan untuk MEMBERI BERKAT demi nama TUHAN; menurut putusan merekalah setiap perkara dan setiap hal luka-melukai harus diselesaikan” (Ul. 21:5). Jadi, Tuhan mengatur bahwa imam-lah yang memberkati rakyat. Dan Tuhan secara spesial mendengarkan berkat dari imam ini, sebagaimana Tuhan janjikan di Bil. 6:22-27. Orang-orang non-imam di PL bisa juga “memberkati,” dalam pengertian memintakan berkat Tuhan atas orang lain. Tetapi imam, sebagai jabatan yang spesial, memberkati secara spesial, yaitu sebagai “saluran berkat resmi yang ditunjuk Tuhan.” Praktek mengangkat tangan memberkati juga adalah praktek imam. “Harun mengangkat kedua tangannya atas bangsa itu, lalu memberkati mereka, kemudian turunlah ia, setelah mempersembahkan korban penghapus dosa, korban bakaran dan korban keselamatan” (Im. 9:22). Budi Asali bertanya, “Lalu mengapa dalam Perjanjian Baru, pendeta tak boleh jadi alat Tuhan untuk memberikan berkat dalam kebaktian?” Siapapun bisa menjadi alat Tuhan menjadi berkat bagi orang lain. Tetapi, yang harus ditanamkan adalah: PENDETA BUKAN IMAM! Jadi, Pendeta bukanlah jabatan yang Tuhan berikan kuasa khusus untuk memberkati “umat,” seperti imam di PL. (Bahkan tidak ada jabatan Pendeta dalam Alkitab, saya mengasumsikan yang dimaksud oleh Budi Asali adalah gembala sidang/penilik/penatua). Pada prakteknya, banyak “pendeta” yang mencoba membangun suatu atmosfir, seolah-olah dia-lah “imam” atas jemaatnya. Lalu di akhir kebaktian, dia angkat tangan, lalu “memberkati” jemaat. Praktek ini sangat bermasalah. Ini mengajarkan kepada jemaat yang tidak begitu mengerti theologi, bahwa “saya pendeta adalah jalur Tuhan memberkati kamu,” dan memberi kesan “saya ini imam atas kamu.” Kalaupun di gereja itu diajarkan keimamatan semua orang percaya, praktek seperti ini menggerogoti konsep itu. Saya bertanya kepada gereja-gereja yang “pendeta”nya angkat tangan pada akhir khotbah “memberkati” jemaat. Apakah mereka akan memperbolehkan seorang jemaat biasa untuk menggantikan dirinya melakukan itu? Saya yakin hampir semua (kalau bukan semua) akan menjawab tidak boleh. Kenapa tidak? Bukankah semua orang percaya adalah imam? Nah di sinilah letak perbedaan teori “imamat semua orang percaya” dengan praktek lapangan.

Tanggapan balik Budi Asali:
Dalam Perjanjian Lama imam mengajar dan memberkati. Kalau karena sekarang jaman Perjanjian Baru tak ada imam, dan pendeta bukan imam, dan karena itu pendeta tak boleh memberkati, maka konsekwensinya, pendeta juga tak boleh mengajar!

Omong kosong, saya juga memberikan berkat dalam kebaktian, tetapi tak pernah terlintas dalam pikiran saya bahwa saya adalah imam! Itu tuduhan tak berdasar alias FITNAH! Dan kalau urusan memfitnah, kalian berdua, bapak dan anak, memang jagonya!

Dalam Ibr 7:7 dikatakan bahwa yang lebih tinggi memberkati yang lebih rendah. Kalau pendeta tak ada, lalu penatua memberkati, boleh saja. Tetapi kalau jemaat biasa memberkati, dan yang diberkati ada penatua, maka itu bertentangan dengan Ibr 7:7 tersebut. Jadi, yang melarang adalah ayat ini, bukannya apakah dia imam atau bukan.

Alkitab memang mengatakan bahwa imam memberkati, tetapi Alkitab tidak mengatakan bahwa HANYA imam yang boleh memberkati.

Kej 12:3 - “Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.’”.
Kalau orang tak boleh memberkati, dan hanya imam yang boleh memberkati, maka siapa yang bisa memberkati keturunan Abraham? Dan karena hanya imam yang bisa memberkati, maka hanya mereka yang diberkati oleh Tuhan. Ini tak masuk akal.
Dalam Kej 27-28 Ishak memberkati Yakub dan Esau (sekalipun yang untuk Esau ini lebih tepat disebut ‘kutuk’). Padahal Ishak bukan imam.
Laban memberkati anak-anak dan cucu-cucunya (Kej 31:55) dan Laban juga bukan imam.
Lalu Yakub memberkati anak-anak Yusuf (Kej 48:13dst) dan memberkati anak-anaknya (Kej 49) padahal Yakub juga bukan imam.
Musa juga memberkati orang Israel (Kel 39:43), padahal ia bukan imam, sekalipun ia dari suku Lewi.
Lalu, bahkan orang seperti Bileam dipakai Allah, bahkan diperintah Allah, untuk memberkati orang Israel, padahal ia sendiri maunya mengutuk mereka (Bil 23-24).
Bil 23:11 - Lalu berkatalah Balak kepada Bileam: ‘Apakah yang kaulakukan kepadaku ini? Untuk menyerapah musuhkulah aku menjemput engkau, tetapi sebaliknya engkau memberkati mereka.’
Bil 23:20 - Ketahuilah, aku mendapat perintah untuk memberkati, dan apabila Dia memberkati, maka aku tidak dapat membalikkannya.
Bil 24:1 - Ketika dilihat Bileam, bahwa baik di mata TUHAN untuk memberkati Israel, ia tidak mencarikan pertanda lagi seperti yang sudah-sudah, tetapi ia menghadapkan mukanya ke arah padang gurun.
Bil 24:9 - Ia meniarap dan merebahkan diri sebagai singa jantan, dan sebagai singa betina; siapakah yang berani membangunkannya? Diberkatilah orang yang memberkati engkau, dan terkutuklah orang yang mengutuk engkau!"
Bil 24:10 - Lalu bangkitlah amarah Balak terhadap Bileam dan dengan meremas-remas jarinya berkatalah ia kepada Bileam: ‘Untuk menyerapah musuhku aku memanggil engkau, tetapi sebaliknya sampai tiga kali engkau memberkati mereka.

Yos 14:13 - “Lalu Yosua memberkati Kaleb bin Yefune, dan diberikannyalah Hebron kepadanya menjadi milik pusakanya”.

Yer 4:2 - “Dan jika engkau bersumpah dalam kesetiaan, dalam keadilan dan dalam kebenaran: Demi TUHAN yang hidup!, maka bangsa-bangsa akan saling memberkati di dalam Dia dan akan bermegah di dalam Dia.’”.

Mungkin anda mengatakan, itu semua pemberkatan yang dilakukan bukan bukan kebaktian. Saya menjawab:
1) Apa dasar Alkitabnya untuk membedakan pemberkatan dalam kebaktian dan yang bukan dalam kebaktian? Saya tak pernah tahu ada dasar Alkitab apapun untuk membuat pembedaan seperti itu.
2) Kalau anda tetap berkeras, di sini saya beri ayat-ayat yang menunjukkan pemberkatan dalam kebaktian, tetapi tidak dilakukan oleh imam.
2Sam 6:17-18 - “(17) Tabut TUHAN itu dibawa masuk, lalu diletakkan di tempatnya, di dalam kemah yang dibentangkan Daud untuk itu, kemudian Daud mempersembahkan korban bakaran dan korban keselamatan di hadapan TUHAN. (18) Setelah Daud selesai mempersembahkan korban bakaran dan korban keselamatan, diberkatinyalah bangsa itu demi nama TUHAN semesta alam”.
1Raja 8:14 - “Kemudian berpalinglah raja (Salomo) lalu memberkati seluruh jemaah Israel, sedang segenap jemaah Israel berdiri”.
1Raja 8:55 - “Maka berdirilah ia (Salomo) dan memberkati segenap jemaah Israel dengan suara nyaring, katanya”.
Daud dan Salomo bukan imam, mereka bahkan bukan dari suku Lewi, tetapi suku Yehuda, tetapi mereka memberkati, dan ini jelas dalam kebaktian, dalam kasus Daud ada korban persembahan, dan dalam kasus Salomo itu adalah pentahbisan Bait Allah.

Dalam Perjanjian Baru, Paulus juga selalu menutup suratnya dengan suatu berkat. Dan perhatikan bahwa berkat Paulus kepada gereja Korintus dalam 2Kor 13:13, justru dipakai oleh kebanyakan pendeta dalam memberikan berkat dalam kebaktian! Apakah Paulus imam?

b) Kalau karena dalam jaman Perjanjian Baru semua orang Kristen adalah imam, dan karena itu tak boleh orang Kristen yang satu memberkati orang Kristen yang lain, maka ingat bahwa dalam jaman Perjanjian Lama imam punya tugas mengajar Firman Tuhan.

Orang Kristen PB tidak “memberkati” seperti imam memberkati di PL, yaitu seolah-olah dirinya memiliki jabatan khusus untuk memberikan berkat khusus. Bolehkah orang Kristen PB bilang kepada saudaranya: “Kiranya Tuhan memberkati!” atau “God bless you.” Jelas boleh! Kami tidak pernah menentang itu! Bahkan jangan hanya di mulut, kalau ada yang perlu bantuan, kita bantu. Itu menjadi berkat bagi dia! Tetapi, “pendeta” angkat tangan di akhir khotbah untuk “memberkati” umat, ini sudah menjadi semacam ritual yang dianggap memang mendatangkan berkat oleh kebanyakan jemaat. Bahkan ada pendeta yang mengharuskan umatnya membuka tangan mereka saat ia “memberkati” supaya berkat dari tangan pendeta “jatuh” ke tangan umat. Wow!
Seorang gembala sidang tidak memberkati umat karena dia angkat tangan di akhir kebaktian dan mengucapkan “kata-kata berkat.” Gembala sidang memberkati jemaat melalui penjelasan Firman Tuhan, antara lain. Juga melalui pelayanan dia kepada umat.

Tanggapan balik Budi Asali:

Pendeta memang merupakan jabatan khusus, butuh panggilan khusus! Pendeta angkat tangan untuk memberkati, memang merupakan sesuatu yang ritual, tetapi apa dasarnya untuk melarang? Tanpa dasar Alkitab, tetapi tetap melarang? Dan anda mengaku gereja anda sebagai Alkitabiah?

Kalau mengharuskan umat buka tangan, itu urusan mereka yang melakukannya, saya tidak seperti itu. Jadi jangan pukul rata! Hanya karena ada satu atau dua orang Kristen yang salah, lalu anda pukul rata semua orang Kristen salah???

Omong kosong. Memberi penjelasan tentang Firman Tuhan sangat beda dengan memberkati! Melayani juga berbeda dengan memberkati!


Mal 2:1-7 - “(1) Maka sekarang, kepada kamulah tertuju perintah ini, hai para imam! (2) Jika kamu tidak mendengarkan, dan jika kamu tidak memberi perhatian untuk menghormati namaKu, firman TUHAN semesta alam, maka Aku akan mengirimkan kutuk ke antaramu dan akan membuat berkat-berkatmu menjadi kutuk, dan Aku telah membuatnya menjadi kutuk, sebab kamu ini tidak memperhatikan. (3) Sesungguhnya, Aku akan mematahkan lenganmu dan akan melemparkan kotoran ke mukamu, yakni kotoran korban dari hari-hari rayamu, dan orang akan menyeret kamu ke kotoran itu. (4) Maka kamu akan sadar, bahwa Kukirimkan perintah ini kepadamu, supaya perjanjianKu dengan Lewi tetap dipegang, firman TUHAN semesta alam. (5) PerjanjianKu dengan dia pada satu pihak ialah kehidupan dan sejahtera dan itu Kuberikan kepadanya - pada pihak lain ketakutan - dan ia takut kepadaKu dan gentar terhadap namaKu. (6) Pengajaran yang benar ada dalam mulutnya dan kecurangan tidak terdapat pada bibirnya. Dalam damai sejahtera dan kejujuran ia mengikuti Aku dan banyak orang dibuatnya berbalik dari pada kesalahan. (7) Sebab bibir seorang imam memelihara pengetahuan dan orang mencari pengajaran dari mulutnya, sebab dialah utusan TUHAN semesta alam”.
Kalau karena dalam jaman Perjanjian Baru semua orang Kristen adalah imam, dan karena itu tak boleh orang Kristen yang satu memberkati orang Kristen yang lain, maka konsekwensinya adalah: orang Kristen yang satu juga tak boleh mengajar Firman Tuhan kepada orang Kristen yang lain! Semua orang Kristen harus menjadi pengajar Firman Tuhan, dan lalu siapa pendengarnya?

Ada perbedaan yang mendasar antara tugas imam “memberkati” dan tugas imam “mengajar.” Pertama, yang mengajar bukan hanya imam, tetapi juga adalah bani Lewi secara keseluruhan. “Berkatalah ia kepada orang-orang Lewi yang adalah pengajar seluruh Israel . . .” (2 Taw. 35:3). Bandingkan juga Neh. 8:7-9. Kedua, tidak ada dalam PB dikatakan bahwa “memberkati” adalah salah satu tugas gembala sidang. Semua orang percaya PB bisa meminta berkat kepada Tuhan secara langsung, tidak perlu lagi lewat imam, karena semua adalah imam. Jadi, tidak perlu jabatan khusus untuk memberkati. Sebaliknya, dalam PB, jelas dikatakan bahwa gembala sidang perlu mengajar. Salah satu syarat seorang gembala (penilik) adalah cakap mengajar (1 Tim. 3:2). Dan selain itu memang benar, semua orang harus “mengajar.” Lalu siapa jadi pendengarnya? Ya semua juga. Artinya, semua orang mengajar sesuai kemampuannya, dan diajar oleh yang lebih tahu Firman Tuhan.

Tanggapan balik Budi Asali:
Lho, baru saja anda mengatakan “Gembala sidang memberkati jemaat melalui penjelasan Firman Tuhan, antara lain.”. Sekarang anda mengatakan “Gembala sidang memberkati jemaat melalui penjelasan Firman Tuhan, antara lain.”. Hehehe, anda pikun atau tolol?

Siapa yang bicara tentang orang-orang Lewi? Suhento Liauw bicara tentang imam, dan saya juga bicara tentang imam, dan anda mau belokkan ke orang Lewi. Saya juga tahu orang Lewi memang mengajar, dan demikian juga nabi-nabi. Tetapi sekarang pembicaraan tentang imam.

c) Bandingkan juga dengan ayat-ayat ini:
  • Ro 12:14 - “Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengutuk!”.
  • 1Kor 4:12 - “kami melakukan pekerjaan tangan yang berat. Kalau kami dimaki, kami memberkati; kalau kami dianiaya, kami sabar;”.
  • Ibr 7:7 - “Memang tidak dapat disangkal, bahwa yang lebih rendah diberkati oleh yang lebih tinggi”.

Roma 12:14 dan 1 Korintus 4:12 sama sekali kami aminkan! Ini bukanlah mengatakan ada jabatan khusus untuk memberkati. Ini justru mengajarkan bahwa semua orang Kristen bisa memberkati, tetapi bukan dalam konsep seperti imam PL. Ini seperti berkata: “God Bless You,” atau “kiranya Tuhan memberkati.” Kami sama sekali tidak menentang “berkat” yang seperti ini. Ibrani 7:7 beda lagi. Ini justru mengacu kepada “berkat” khusus seperti yang dilakukan oleh imam PL (konteksnya Melkisedek, seorang imam, memberkati Abraham). Nah, justru ini tidak dilakukan oleh orang Kristen PB, karena kita tidak ada yang lebih tinggi lebih rendah. Semuanya “imam.” “Pendeta” bukan imam. Pendeta perlu ditanya dulu: dari Shaolin atau Butong pai.

Tanggapan balik Budi Asali:

Omong kosong kalau tidak ada tinggi atau rendah dalam Perjanjian Baru. Semua disebut imam, tak membuktikan bahwa semua setingkat. Mengapa?

1) Sebutan imam tak berarti mereka betul-betul diberi jabatan imam seperti dalam Perjanjian Lama. Itu hanya menunjukkan bahwa mereka bebas untuk datang kepada Tuhan, dengan hanya melalui Yesus Kristus sebagai pengantara / imam, dan tak dibutuhkan lagi imam manusia biasa.
William Barclay (tentang 1Pet 2:9): “this means that every Christian has the right of access to God” (= ini berarti bahwa setiap orang Kristen mempunyai hak masuk kepada Allah) - hal 199.
2) Tuhan menetapkan jabatan-jabatan dalam gereja, seperti yang dinyatakan dalam Ef 4:11, 1Tim 3:1dst. Jadi, bagaimana mungkin tak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah?

Kontext Ibr 7 memang tentang Melkisedek, tetapi dalam penceritaan fakta pada saat dia memberkati Abraham, diberi suatu pernyataan yang sifatnya umum, yaitu yang lebih tinggi memberkati yang lebih rendah! Karena sifatnya umum, maka dalam Perjanjian Barupun boleh yang lebih tinggi memberkati yang lebih rendah (dengan catatan berkat tetap datang dari Tuhan, orang yang memberkati hanya sebagai alat Tuhan).

Adam Clarke: “That the superior blesses the inferior is a general proposition; but Abraham was blessed of Melchizedek, therefore Melchizedek was greater than Abraham” (= Bahwa yang lebih tinggi memberkati yang lebih rendah adalah suatu dalil yang umum; tetapi Abraham diberkati oleh Melkisedek, krn itu Melkisedek lebih besar / tinggi dari Abraham).

Juga dimana dalam Alkitab dikatakan ada jabatan khusus untuk memberkati? Dimana dikatakan bahwa itu hanya untuk imam?

Kata-kata anda “Pendeta perlu ditanya dulu: dari Shaolin atau Butong pai.”, merupakan kata-kata tolol, karena menganggap bahwa istilah ‘pendeta’ adalah istilah agama Buddha. Justru istilah ‘pendeta’ tak ada dalam Buddha! Anda terlalu banyak baca buku silat dan tak pernah baca Alkitab, makanya ajarannya lebih mirip buku silat. Ganti saja nama GBIA jadi GBIBS (Gereja Baptis Independen Buku Silat)!

Sekarang saya ambil rumus yang anda sendiri ‘ciptakan’ dalam point ke 5 di atas. Untuk mudahnya saya kutip ulang kata-kata anda sendiri “Teks memang tidak berkata bahwa ada kayu horizontal, tetapi teks juga tidak mengatakan tidak ada. Jadi, ini adalah penafsiran yang TIDAK BERTENTANGAN dengan data Alkitab.”. Sekarang berdasarkan rumus anda sendiri (sekalipun saya bukannya setuju dengan rumus tolol itu), saya tanya: mengapa / bagaimana gerangan dengan memiliki / menciptakan rumus seperti itu, anda bisa melarang adanya jabatan pendeta, dan juga bisa melarang pendeta untuk memberikan berkat dalam kebaktian, dsb? Bukankah Alkitab di bagian manapun tak melarang hal itu? Dan kalau tak dilarang berarti menurut anda boleh / tidak salah? Hehehe, lagi-lagi rumus tolol ciptaan anda sendiri menjadi boomerang yang menghantam kepala anda sendiri!

16)Nama Allah yang benar bukan YAHWEH tetapi YEHOVAH. Alasan: karena dalam manuscript
tertua yang gunakan huruf hidup (MT) namanya disebutkan YEHOVAH.

Tanggapan Budi Asali:
Ini lucu karena MT bukan manuscript! Dalam manuscript tak ada huruf hidup! Memang YAHWEHpun belum tentu benar, tetapi YEHOVAH pasti salah, karena huruf hidupnya dipinjam dari ADONAY (dan mungkin juga dari ELOHIM).

Wah...wah...kalau dalam manuscript tidak ada huruf hidup, lalu huruf hidup yang ada hari ini dapat dari mana? Sepertinya ada yang salah mendefinisikan “manuscript.” Memang ada manuscript tanpa huruf hidup, seperti yang ditemukan di Gulungan Laut Mati. Tetapi Alkitab bahasa Ibrani yang kita miliki hari ini (yang ada huruf hidup) tentunya berasal dari manuscript yang punya huruf hidup.
Misalnya: Aleppo Codex (abad 10), Leningrad Codex (juga abad 10), Codex Cairensis (abad 9), dan masih banyak lagi yang lain. Silakan meriset dulu hal ini baik-baik sebelum membuat pernyataan yang sangat salah. Masoretic Text sendiri diambil dari beberapa manuscript utama. Selama 400 tahun, diambil dari text Ben Chayyim (abad 16), lalu belakangan di ambil dari Leningrad Codex. Jadi, manuscript-manuscript yang menyumbang kepada Masoretic Text ini sering disebut manuscript MT.

Tanggapan balik Budi Asali:

Hehehe, anda memang tak mengerti bahasa Ibrani sama sekali, atau pura-pura tak mengerti? Huruf-huruf bahasa Ibrani hanya 22 dan semuanya huruf mati. Jadi, jelas bahwa Perjanjian Lama ditulis hanya dengan huruf mati. Tanda-tanda yang menunjukkan bunyi huruf hidup baru diciptakan sekitar abad 9-10 M.!

Saya akan kutip dari buku pelajaran bahasa Ibrani saya sendiri waktu saya sekolah theologia. Buku ini dipakai dalam semester pertama waktu sekolah theologia! Anehnya doktor theologia bisa tidak tahu!

Menahem Mansoor: 8. The Hebrew Bible was originally written without vowels. The Hebrew of the Dead Sea Scrolls, dated between the second century b.c. and the first century a.d., has no vowels. When Hebrew had ceased to be a spoken language, several systems of vowel signs were invented by Jewish grammarians to help the public read Hebrew accurately. Our present system was probably adopted during the ninth or tenth century a.d. and is known as the Tiberian - developed by Jewish scholars of Tiberias in Palestine. Since the Hebrew text of the Bible was regarded as sacred, the Rabbis did not effect any changes in the consonantal text of the Bible but added the vowel signs above, below, and inside the consonants. 9. Modern Hebrew books and newspapers are usually printed without vowels. In fact, all writing in Hebrew is usually printed without vowels, with the exception of grammars, Hebrew texts for beginners, dictionaries, and printed Bibles (where the vowel signs are convenient and desirable) (= ) - ‘The Biblical Hebrew: Step by Step’, hal 31.

Kutipan ini mengatakan bahwa Alkitab Ibrani yang mula-mula, ditulis tanpa huruf hidup. Manuscript-manuscript ‘Dead Sea Scrolls’, manuscript-manuscript tertua yang masih ada pada saat ini, yang berasal dari abad ke 2 atau abad ke 1 S.M. juga tidak punya huruf hidup. Ini bisa dilihat di Google, dan banyak buku-buku lain, dimana ditunjukkan foto-foto dari manuscript-manuscript dari Dead Sea, yang memang menunjukkan tidak adanya tanda-tanda yang menyatakan bunyi huruf hidup.
Tanda-tanda yang menyatakan bunyi huruf hidup diciptakan sekitar abad 9-10 M. Bahkan buku-buku Ibrani modern dan surat kabar modern, ditulis tanpa huruf hidup. Hanya buku gramatika, buku-buku untuk pemula, kamus, Alkitab yang dicetak, baru diberi tanda-tanda yang menunjukkan bunyi huruf hidupnya.
Bahkan sampai jaman sekarang, kalau anda non TV dan menunjukkan keadaan di Israel, tetap mereka menulis tanpa tanda-tanda yang menunjukkan huruf hidup!

Anda mau sebutkan manuscript apapun namanya, saya tak peduli. Kalau manuscript sudah diberi tanda-tanda yang menyatakan bunyi huruf hidup, menurut saya itu bukan lagi manuscript!

Bagaimana membacanya? Karena mereka terus menggunakan maka pada umumnya mereka tahu bunyi huruf hidupnya. Contoh: saya menulis sms kepada anda. “Stvn, km bdh skl”. Bisa mengerti? Kalau anda memang menguasai bahasa Indonesia, maka anda pasti mengerti, sekalipun sms itu saya hapus semua huruf hidupnya! Kalau tidak mengerti, maka kata-kata dalam sms itu memang benar!
Tetapi memang, ada kasus-kasus dimana huruf hidupnya diperdebatkan, karena bisa berbeda-beda.
Contoh: Mal 2:3 - “Sesungguhnya, Aku akan mematahkan lenganmu dan akan melemparkan kotoran ke mukamu, yakni kotoran korban dari hari-hari rayamu, dan orang akan menyeret kamu ke kotoran itu”.
Kata Ibrani yang diterjemahkan ‘lengan’ bisa diberi tanda untuk untuk hidup yang berbeda, sehingga bisa dibaca HAZERA (= the seed), atau HAZROA (the arm / shoulder). Alkitab Indonesia menterjemahkan ‘lengan’, jadi memilih HAZROA. Tetapi KJV/RSV/NIV/NASB menterjemahkan ‘seed / offspring / descendant’, jadi memilih HAZERA.
Jadi, kalau suatu manuscript diberi tanda-tanda yang menunjukkan bunyi huruf hidupnya, itu berarti penafsiran sudah masuk ke dalamnya!

Sekarang, bagaimana dengan nama Allah? Dalam Alkitab Ibrani sebetulnya hanya 4 huruf mati yaitu YHWH. Dari kata Halelu-yah (pujilah Yah), yang masuk ke dalam bahasa Yunani, seperti dalam Wah 19:1,3,4,6, dan juga dari sebutan ‘Yah’ untuk Tuhan, seperti misalnya dalam Yes 12:2, maka kita bisa tahu bahwa suku kata pertama adalah ‘Yah’. Tetapi selanjutnya bagaimana, tidak terlalu pasti. Jadi, Yahweh juga tidak pasti, tetapi hanya merupakan kemungkinan.

Saya akan memberi kutipan dari buku saya sendiri tentang Yahweh-isme, yang berbunyi sebagai berikut: Bagaimana dengan pengucapan ‘Jehovah’ / ‘Yehovah’?
Di atas sudah saya jelaskan bahwa setiap kali bertemu dengan nama YHWH, mereka membacanya ADONAY (= Tuhan). Lalu pada suatu saat, ada orang-orang yang memasukkan bunyi huruf-huruf hidup dari kata ADONAY, yaitu A - O - A ke sela-sela dari YHWH itu, sehingga didapatkan YAHOWAH, dan seorang dosen saya mengatakan bahwa dalam aksen Jerman (entah dari mana kok tahu-tahu ada aksen Jerman), ini lalu berubah menjadi YEHOWAH atau YEHOVAH. Pulpit Commentary dalam tafsirannya tentang Im 24:11 mengatakan bahwa perubahan YAHOWAH menjadi YEHOWAH itu disebabkan karena: the laws of the Hebrew language required the first a to be changed into e, and hence the name Jehovah” (= hukumhukum dari bahasa Ibrani mengharuskan huruf a yang pertama untuk diubah menjadi huruf e, dan karena itu menjadi Jehovah) - hal 383.
Catatan: perlu diketahui bahwa dalam bahasa Ibrani, huruf V dan W adalah sama.
The New Bible Dictionary (dengan topik ‘God, names of’): YHWH was considered too sacred to pronounce; so ADONAY (my Lord) was substituted in reading, and the vowels of this word were combined with the consonants YHWH to give ‘Jehovah’, a form first attested at the beginning of the 12th century AD” [= YHWH dianggap terlalu keramat untuk diucapkan; maka ADONAY (Tuhanku) dijadikan pengganti dalam pembacaan, dan huruf-huruf hidup dari kata ini dikombinasikan dengan huruf-huruf mati YHWH untuk memberikan ‘Jehovah’, suatu bentuk yang pertama-tama ditegaskan pada permulaan abad ke 12 M.] - hal 478.
Nelson’s Bible Dictionary (dengan topik ‘God, Names of’): The divine name Yahweh is usually translated Lord in English versions of the Bible, because it became a practice in late Old Testament Judaism not to pronounce the sacred name YHWH, but to say instead ‘my Lord’ (Adonai) - a practice still used today in the synagogue. When the vowels of Adonai were attached to the consonants YHWH in the medieval period, the word Jehovah resulted” [= Nama ilahi ‘Yahweh’ biasanya diterjemahkan ‘Lord’ (= Tuhan) dalam versi-versi Alkitab bahasa Inggris, karena menjadi suatu praktek dalam Yudaisme Perjanjian Lama belakangan, untuk tidak mengucapkan nama keramat / kudus YHWH, tetapi mengatakan ‘Tuhanku’ (ADONAY) sebagai gantinya - suatu praktek yang masih digunakan jaman ini dalam sinagog. Pada waktu huruf-huruf hidup dari ADONAY diberikan pada huruf-huruf mati YHWH pada jaman abad pertengahan, kata Yehovah dihasilkan].
a D o N a Y

Y H W H YaHoWaH YeHoWaH / YeHoVaH
Encyclopedia Britannica memberikan penjelasan yang agak berbeda. Encyclopedia Britannica mengatakan bahwa bunyi huruf-huruf hidup yang dimasukkan di sela-sela YHWH itu diambil bukan hanya dari kata ADONAY (= Tuhan), tetapi juga dari kata ELOHIM (= Allah). Dari kata yang pertama didapatkan A - O - A dan dari kata yang kedua didapatkan E - O - I. Penggabungannya dimasukkan ke sela-sela YHWH. Untuk bunyi huruf hidup pertama, yang diambil adalah E, untuk yang kedua diambil O, dan untuk yang ketiga diambil A. Jadi, muncul YEHOWAH / YEHOVAH.
Encyclopedia Britannica 2007: The Masoretes, who from about the 6th to the 10th century worked to reproduce the original text of the Hebrew Bible, replaced the vowels of the name YHWH with the vowel signs of the Hebrew words Adonai or Elohim. Thus, the artificial name Jehovah (YeHoWaH) came into being” [= Para ahli Taurat Yahudi, yang dari kira-kira abad ke 6 sampai abad ke 10 bekerja untuk mereproduksi text orisinil dari Alkitab Ibrani, menggantikan huruf-huruf hidup dari nama YHWH dengan tanda-tanda huruf-huruf hidup dari kata-kata Ibrani Adonai atau Elohim. Maka, nama buatan YEHOVAH (YeHoWaH) tercipta].
a D o N a Y

Y H W H YeHoWaH / YeHoVaH

e L o H i M

Louis Berkhof rupanya juga sependapat, karena ia berkata: And therefore in reading the Scriptures they substituted for it either ’Adonai or ’Elohim; and the Masoretes, while leaving the consonants intact, attached to them the vowels of one of these names, usually those of ’Adonai” [= Dan karena itu dalam membaca Kitab Suci mereka (orang-orang Yahudi) menggantikannya atau dengan ADONAY atau ELOHIM; dan ahli-ahli Taurat Yahudi, sementara mereka membiarkan huruf-huruf mati itu utuh, melekatkan kepada huruf-huruf mati itu huruf-huruf hidup dari salah satu dari nama-nama ini,
biasanya huruf-huruf hidup dari ADONAY] - ‘Systematic Theology’, hal 49.
Dari penjelasan ini bisa dinyatakan bahwa penyebutan YEHOVAH (atau dalam bahasa Inggris ‘Jehovah’), sebenarnya pasti salah, karena bunyi huruf hidupnya diambil dari kata ADONAY, atau dari ADONAY dan ELOHIM.

Saya tidak akan menyalahkan Budi Asali untuk penjelasan di atas, karena jelas itu adalah penjelasan mainstream. Dia pastinya diajarkan seperti itu. Saya dulu juga percayanya seperti itu. Antara lain: bahwa teks awal Alkitab Ibrani awalnya tidak ada huruf hidup, huruf hidup baru ditambahkan belakangan oleh para Masoretes, lalu bahwa YHWH sudah tidak diketahui cara sebutnya, dan bahwa lafal “Yehovah” adalah dari Adonai, sekali lagi dilakukan oleh para Masoretes.
Tetapi setelah saya selidiki lebih lanjut, posisi ini adalah posisi yang (walaupun dipegang kebanyakan “theolog”), sangat sulit dipertahankan jika ditilik dari sudut pandang iman. Jika benar bahwa teks asli PL tidak punya huruf hidup, dan bahwa huruf hidup ditambahkan belakangan, maka PL sama sekali kehilangan otoritasnya. Hal ini sudah terjadi di kalangan liberal. Kalau mereka tidak suka dengan suatu teks tertentu, mereka berkata bahwa huruf hidupnya salah, dan mereka merancang kombinasi huruf hidup baru untuk menyesuaikan maunya mereka! Ditarik kepada konsekuensi akhirnya, posisi ini posisi yang meruntuhkan otoritas PL.
Bahwa huruf hidup Yehovah berasal dari Adonai, adalah spekulasi belaka. Tidak ada bukti sama sekali. Ada yang bilang Adonai, ada yang bilang Elohim. Ini semua tanpa bukti tentunya. Ini spekulasi. Hanya karena huruf hidup suatu kata sama dengan huruf hidup kata lain, bukan berarti yang satu mengambil huruf hidup yang lainnya.
Karena ini hanya jawaban singkat, saya tidak punya waktu untuk menjelaskan panjang lebar topik yang sangat menarik ini. Saya refer saja pembaca yang ingin tahu lebih lanjut, ke beberapa artikel: http://bbc-cromwell.org/Seminary_Articles/Who-is-this-Deity-named-Yahweh.pdf
http://bbc-cromwell.org/Seminary_Articles/Tittle.doc.pdf

Tanggapan balik Budi Asali:
Kalau tidak tahu, bilang saja tidak tahu. Tak usah banyak omong kosong! Terus terang saja, Doktor yang bisa ngomong seperti yang anda lakukan, saya ragukan ke-doktor-annya!

Kalian memang senang mengajar yang nyeleneh, untuk cari sensasi.

Apa urusannya Perjanjian Lama tanpa huruf hidup dengan otoritasnya??? Jelas anda memang tolol bukan main! Anda sendiri mengakui bahwa Dead Sea Scrolls tak mempunyai tanda-tanda yang menunjukkan bunyi huruf hidup, dan itu pasti jauh lebih tua dari ‘manuscript-manuscript’ yang digunakan untuk menciptakan MT. Yang mana yang lebih kuat otoritasnya? Kalau anda katakan MT, anda pasti gila!

Bahwa huruf hidup YEHOVAH diambil dari ADONAY merupakan sesuatu yang sangat masuk akal. Mengapa? Karena suatu waktu (sekitar abad 6 SM), mereka menjadi sangat takut mengucapkan YHWH itu, dan setiap kali bertemu dengan kata itu dalam Alkitab / Perjanjian Lama, mereka membacanya ADONAY. Ini tetap dilakukan dalam gerejanya Bambang Noorsena.

Lama kelamaan orang yang tahu bagaimana membaca YHWH mati semua, dan tak seorangpun tahu bagaimana membacanya dengan pasti. Jadi, kalau belakangan mau dipulihkan, lalu menggunakan bunyi huruf hidup dari ADONAY, itu penjelasan yang masuk akal. Penjelasan ini diberikan oleh boleh dikatakan semua dictionary / encyclopedia. Suhento Liauw sendiri mengecam orang-orang dari kelompok Yahweh-isme yang menolak penjelasan dia yang dia ambil dari dictionary dan encyclopedia, tetapi ternyata sekarang anaknya seperti itu! Lucu sekali!

17) Ia percaya semua bayi yang mati masuk surga. Dasar Alkitab yang ia berikan adalah
1Raja 14:13i pada keluarga Yerobeam yang akan mendapat kubur, sebab di antara keluarga Yerobeam hanya padanyalah terdapat sesuatu yang baik di mata TUHAN, Allah Israel.”.
Ia berkata anak Yerobeam ini belum akil balik / dewasa dan karena itu Tuhan menemukan adanya sesuatu yang baik dalam dirinya (ia belum punya dosa dari dirinya sendiri).

Tanggapan Budi Asali:
Sangat lucu, jadi dosa asal tak membuat Allah murka kepada seseorang. Kalau begitu mengapa bayi bisa mati? Juga anak Yerobeam itu bukan bayi / anak kecil. Kata Ibrani yang digunakan adalah NAAR, yang bisa berarti ‘boy’ (= anak laki-laki) ataupun ‘youth’ (= pemuda). Karena itu anak itu sudah pasti punya dosa dari dirinya sendiri. Kalau dikatakan Allah mendapati sesuatu yang baik dalam dirinya maka itu pasti menunjukkan anak itu sudah beriman, karena tanpa iman tidak mungkin seseorang bisa memperkenan Tuhan.
Ibr 11:6a - Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah.”.
Mungkin karena ia beriman maka ia tidak setuju dengan penyembahan berhala yang dilakukan oleh ayahnya (Yerobeam), dan itulah hal yang baik yang ada pada anak itu. Adanya hal yang baik ini pasti juga merupakan hasil pekerjaan Tuhan dan kasih karuniaNya dalam diri anak itu, sehingga sekalipun ia dilahirkan dalam keluarga yang brengsek, ia sendiri bisa beriman dan mempunyai kesalehan, sehingga bisa memperkenan Tuhan.

Aneh sekali bahwa Budi Asali justru tidak menangkap alasan utama yang diberikan oleh Dr. Suhento Liauw, bahwa semua bayi pasti masuk Surga: yaitu bahwa dosa asal sudah diselesaikan oleh Yesus Kristus di atas kayu salib. Ingat bahwa Yesus menanggung dosa seisi dunia. Tentunya Budi Asali yang tidak percaya kata-kata Alkitab ini, melainkan memasukkan konsep Limited Atonement-nya untuk menafsir ulang “dunia,” memiliki kesulitan dengan konsep ini. Tidak mengapa. Ini toh salah satu poin yang bisa muncul dalam debat nanti, jadi tidak perlu panjang lebar.

Tanggapan balik Budi Asali:
Hmmm, omong kosong. Dia mengatakan semua bayi masuk surga, dosanya ditebus Yesus. Lalu dia mau membuktikan, dengan menggunakan ayat ini. Tetapi saya mau tunjukkan ayat ini sama sekali tidak cocok!

Kalau anda mengatakan bayi pasti masuk surga karena dosa asalnya sudah ditebus oleh Yesus, saya tanya: bagaimana kalau bayi itu hidup terus sampai dewasa, lalu mati tanpa percaya Yesus? Dia masuk mana? Kalau masuk neraka, kok bisa sudah ditebus tetapi masuk neraka? Apakah yang ditebus hanya dosa asalnya. Jadi Yesus menebus sebagian dosa?

Saya memang percaya ‘Limited Atonement’ (= Penebusan Terbatas) dan tidak ‘Universal Atonement’ (= Penebusan Universal). Mau debat tentang itu? Boleh saja. Kalau percaya ‘Universal Atonement’ (= Penebusan Universal), anda harus jelaskan bagaimana dari semua orang yang hutang dosanya sudah dibayar lunas oleh Yesus itu, akhirnya banyak yang tak percaya dan lalu masuk neraka? Itu akan berarti hutang dosa mereka dibayar 2 x. Pertama Kristus yang bayar, lalu orangnya sendiri disuruh bayar lagi. Itu tidak adil dan kurang ajar. Tidak mungkin Allah menagih hutang 2x!

18) Dalam pengajaran, Suhento Liauw ini sering memfitnah orang:
a) Ia menunjukkan foto di koran, ada 4 orang, themanya kira-kira penyatuan / penyamaan Kristen dengan Katolik. Lalu berkata: yang ini James Ryadi (memang benar), yang ini Stephen Tong (ngawur, itu pasti bukan Stephen Tong). Lalu di koran itu ditulis nama Sekolah Tinggi Theologia Reformed Injili Indonesia.
Tanggapan Budi Asali:
Ini saya protes dalam acara tanya jawab dan saya jelaskan: yang satu memang James Ryadi, yang satu lagi Yakub Susabda, tetapi tak ada Stephen Tong, itu FITNAH! Dia agak malu, lalu bilang kalau fotonya kabur jadi mirip Stephen Tong. Padahal fotonya nggak mirip sama sekali dengan Stephen Tong! Dan kalau memang tidak tahu, lebih baik jangan omong tentang kejelekan orang lain, atau itu harus dianggap sebagai FITNAH!

Tuduhan yang cukup berat, tetapi ada beberapa “barang bukti” yang tidak disampaikan:
1. Apakah Dr. Suhento Liauw, setelah mendapat klarifikasi dari Budi Asali, bahwa itu bukan Stephen Tong, tetap mengatakan itu Stephen Tong? Ini saya rasa adalah kuncinya. Kalau Dr. Suhento Liauw tetap ngotot mengatakan itu Stephen Tong, dan terbukti bukan Stephen Tong, maka bisa saja dikatakan fitnah. Tetapi, kalau sesudah diklarifikasi, Dr. Liauw menerima baik klarifikasi itu, maka apanya yang fitnah??
Baik, untuk menjernihkan, saya akan pampangkan foto yang dimaksud: Foto ini diambil dari koran Suara Pembaruan, 27 Agustus 2008. Inti yang dibahas oleh Dr. Liauw adalah bahwa ada gerakan penyatuan Protestan-Katolik, dengan contoh kasus artikel ini, yang menyatakan bahwa Sekolah Tinggi Teologi Reformed Injili Indonesia membuka dialog agar tidak terjadi perpecahan dengan Katolik.
2. Dr. Suhento Liauw mulai dengan bertanya kepada audiens: Nah, orang-orang ini siapa? Lalu beliau mulai dengan tokoh paling kanan, dan berkata, “Nah, kalau yang ini James Riady.” Audiens mengiyakan. Lalu, beralih ke tokoh kedua dari kanan, “Nah, kalau yang ini, apakah ini Stephen Tong?” Audiens sebagian mengiyakan, “Ya itu Stephen Tong.”
Jadi, Dr. Suhento sebenarnya mulai dengan pertanyaan, bukan pernyataan. Ada audiens yang ikut mengiyakan. Nah, memang, Dr. Suhento mengakui bahwa dirinya juga awalnya mengira ini adalah Stephen Tong. Saya ada buka-buka web untuk membandingkan dengan foto Stephen Tong (di wikipedia, dan situs-situs lain), dan saya dapatkan bahwa memang bisa saja orang terkecoh, terutama yang tidak kenal pribadi dengan pak Tong. Tentunya Budi Asali yang sesama Reformed (walaupun beda organisasi dan saya tahu ada beda doktrin juga) lebih kenal. Tetapi rupanya bukan hanya Dr. Liauw yang terkecoh, tetapi audiens juga lumayan banyak yang terkecoh. Mungkin karena konteks artikel mengenai “Reformed,” itu membuat semacam sugesti. Tetapi memang Dr. Liauw memulai dengan pertanyaan, bukan suatu deklarasi tegas, audiens mengiyakan. Dr. Liauw memang secara pribadi juga mengira itu benar Stephen Tong. Untuk kesalahan ini, Ev. Dance, salah satu panitia seminar, lewat status FB-nya sudah minta maaf.
3. Pada saat tanya jawab, Budi Asali membuat klarifikasi, bahwa itu bukanlah Stephen Tong, melainkan Yakub Susabda. (Padahal sebenarnya yang mirip Yakub Susabda adalah yang nomor tiga dari kanan, bukan nomor dua dari kanan). Dia bilang tidak ada Stephen Tong di situ, tetapi Yakub Susabda, dan ini dia tegaskan dengan yakin. Dr. Liauw, mengatakan, “benarkah?” Lalu setelah menayangkan kembali foto, dan setelah ditegaskan lagi oleh Budi Asali, Dr. Liauw berkata kira-kira “Ok, kalau begitu, tidak masalah [ini bukan Stephen Tong], yang jelas ini adalah Reformed” (Dan Budi Asali juga menjelaskan beda antara satu Reformed dengan kelompok Reformed lainnya). Intinya adalah: Dr. Suhento Liauw menerima klarifikasi Budi Asali, dan mengatakan bahwa poin seminar tidak tergantung kepada siapa individu di dalam foto. Semua orang yang hadir di seminar itu mendengarkan
klarifikasi Budi Asali.
Dengan kronologi seperti itu, saya jadi bingung mengapa hal ini diangkat lagi oleh Budi Asali? Apakah dia merasa bahwa Dr. Liauw tidak menerima klarifikasi-nya? Saya rasa tidak mungkin. Lalu kalau memang klarifikasi sudah dibuat, sudah didengar semua yang hadir, mengapa Dr. Liauw masih dikatakan memfitnah? Saya khawatir ini hanyalah suatu serangan demi untuk menyerang. Suatu serangan untuk membuat sensasi. Ironisnya, karena penasaran, saya memperbesar foto itu secara elektronik, dan saya dapatkan bahwa caption di bawah foto masih bisa terbaca:
Jadi, rupanya, Suara Pembaruan membuat caption nama-nama yang difoto: Wim Tangkilisan, Samuel Budiprasetya, Yohanes Indrakusuma, dan James Riady. (Catatan: pada waktu seminar, bagian ini tidak terbaca karena buram/kecil).
Malah tidak ada Yakub Susabda! Nah, kalau memang Dr. Liauw memfitnah Stephen Tong, bukankah dapat dikatakan bahwa Budi Asali memfitnah Yakub Susabda? Kalau saya pribadi berkesimpulan tidak demikian. KBBI online memberi definisi berikut untuk “fitnah”: “perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yg disebarkan dng maksud menjelekkan orang.” Saya melihat bahwa salah satu elemen krusial dalam fitnah adalah: sudah tahu itu salah, tetapi masih menyebarkannya dengan tujuan menjelekkan yang bersangkutan. (Referensi: http://kamusbahasaindonesia.org/fitnah#ixzz1ynWbP8uV) Saya rasa baik Dr. Liauw maupun Budi Asali memang membuat kesalahan yang jujur, bukan bermaksud memfitnah. Semoga pembaca juga sampai pada kesimpulan yang sama.

Tanggapan balik Budi Asali:
Ini akan saya bahas dalam file terpisah berjudul ‘Fitnah Suhento Liauw ttg Stephen Tong 2’.

b) Calvin / Calvinist ada jejak darah, dalam persoalan kematian Servetus. Lucu, yang menghukum mati Servetus bukan Calvin, tetapi pengadilan! Orang gila ini senang memfitnah!

Tanggapan Budi Asali:
Ini fitnahan yang lazim dalam kalangan Arminian! Entah mereka tidak tahu sejarahnya atau pura-pura tidak tahu, itu bukan urusan saya. Tetapi siapapun mau bicara tentang kejelakan orang, ia harus tahu bahwa apa yang ia bicarakan itu pasti benar. Kalau tidak, itu merupakan FITNAH!

Ah, masalah Calvin dan Servetus. Baiklah. Apakah fitnah bahwa Calvin ada jejak darah? Apakah Calvin seorang penonton saja saat pengadilan menjatuhkan hukuman mati pada Servetus, sehingga ia bisa lepas tanggung jawab? Kalaupun bukan tanggung jawab hukum, bagaimana dengan tanggung jawab moral di hadapan Tuhan? Baik, saya tidak mau panjang lebar. Silakan pembaca pikir sendiri:

Tanggapan balik Budi Asali:
Pertama-tama pikirkan kata-kata ‘jejak darah’! Itu, oleh semua orang yang waras, harus diartikan bahwa Calvin adalah pembunuh Servetus, atau setidaknya ikut tercakup dalam pembunuhan terhadap Servetus. Jadi, ini sudah merupakan penggunaan kata-kata yang kurang ajar dari seorang yang tak berarti seperti Suhento Liauw, terhadap seorang tokoh Reformasi seperti Calvin!
Servetus dihukum mati oleh pengadilan. Dan karena itu, itu jelas tidak bisa dianggap sebagai pembunuhan. Kalau ada orang bunuh orang, lalu pembunuh tertangkap, dan dihukum mati, apakah hakim dsb adalah pembunuh? Dan kalau saya menjadi saksi, dan menyatakan bahwa pembunuh itu memang membunuh, lalu ia dihukum mati, apakah saya jadi pembunuh hanya karena memberi kesaksian? Kalau kesaksian saya itu dusta, dan orang itu dihukum mati karena kesaksian dusta saya, maka memang saya termasuk dalam komplotan pembunuhan. Tetapi kalau kesaksian saya benar? Kalau anda tetap katakan ya, anda tolol dan sama sekali tak mengerti hukum, baik hukum negara maupun Hukum Tuhan!

Philip Schaff, seorang ahli sejarah top, yang bukan Calvinist, menyatakan bahwa Calvin memang hanya melaporkan kehadiran Servetus di Jenewa, dan menjadi saksi ahli dalam pengadilan. Tetapi setelah itu, pengadilan yang menjatuhkan hukuman mati dengan dibakar. Bahkan Calvin ingin meringankan hukuman itu menjadi hukuman penggal, tetapi itu ditolak oleh pengadilan. Itu menunjukkan bahwa Calvin tak punya otoritas apapun terhadap pengadilan! Jadi, mengapa Suhento Liauw secara kurang ajar mengatakan ‘jejak darah’? Orang brengsek ini, tanpa punya pengertian tentang Calvin, mencela tokoh Reformasi itu dengan kata-kata yang kurang ajar! Dan itu adalah FITNAH! Saya tak heran, karena dalam tulisan-tulisan tololnya dia sudah sangat banyak memfitnah Calvinisme. Juga memfitnah Stephen Tong dalam seminarnya!

Dan kembali pada Calvin dan Servetus, tindakan Calvin didukung sepenuhnya oleh orang-orang saleh / beriman pada jamannya. Mereka salah semua?
Calvin punya banyak musuh-musuh, dan musuh-musuh ini memberikan segala macam fitnahan khususnya dalam persoalan Servetus. Suhento Liauw termasuk di dalamnya!
Mau bukti tentang Calvin dan Servetus? Saya berikan kutipan-kutipan dari Schaff di bawah ini (sebagai catatan: Schaff adalah ahli sejarah yang tergolong top; ia menulis buku sejarah dalam 8 volume! Jelas ia bukan orang kacangan seperti Suhento Liauw dan Steven Liauw).

1) Servetus adalah seorang bidat, dan bahkan, lebih dari itu, ia adalah seorang penghujat yang betul-betul luar biasa kurang ajar dengan kata-katanya. Ini terlihat dari kata-kata Philip Schaff sebagai berikut:

Philip Schaff: “Servetus - theologian, philosopher, geographer, physician, scientist, and astrologer - was one of the most remarkable men in the history of heresy (= Servetus - ahli theolgia, ahli filsafat, ahli ilmu bumi, dokter, ilmuwan, dan ahli nujum - adalah salah seorang yang paling hebat dalam sejarah bidat) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 786.

Philip SchaffLet us remember also that it was not simply a case of fundamental heresy, but of horrid blasphemy, with which he had to deal. If he was mistaken, if he misunderstood the real opinions of Servetus, that was an error of judgment, and an error which all the Catholics and Protestants of that age shared - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 691.

Philip SchaffIt is not surprising that this book gave great offence to Catholics and Protestants alike, and appeared to them blasphemous. Servetus calls the Trinitarians tritheists and atheists. He frivolously asked such questions as whether God had a spiritual wife or was without sex. He calls the three gods of the Trinitarians a deception of the devil, yea (in his later writings), a three-headed monster - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 718-719.

Philip SchaffServetus charges the Reformed Christians of Geneva that they had a gospel without a God, without true faith, without good works; and that instead of the true God they worshipped a three-headed Cerberus - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 731.
Catatan: Cerberus = anjing berkepala tiga yang menjaga Hades dalam mitologi Romawi dan Yunani (Webster’s New World Dictionary, College Edition).

Philip SchaffHe calls all Trinitarians ‘tritheists’ and ‘atheists.’ They have not one absolute God, but a three-parted, collective, composite God - that is, an unthinkable, impossible God, which is no God at all. They worship three idols of the demons, - a three-headed monster, like the Cerberus of the Greek mythology. One of their gods is unbegotten, the second is begotten, the third proceeding. One died, the other two did not die. Why is not the Spirit begotten, and the Son proceeding? By distinguishing the Trinity in the abstract from the three persons separately considered, they have even four gods. The Talmud and the Koran, he thinks, are right in opposing such nonsense and blasphemy - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 741-742.

Philip Schaff: Servetus continued to trouble Calvin, and published in his Restitutio no less than thirty letters to him, but without dates and without replies from Calvin. They are conceived in a haughty and self-sufficient spirit. He writes to the greatest divine of the age, not as a learner, or even an equal, but as a superior. In the first of these printed letters he charges Calvin with holding absurd, confused, and contradictory opinions on the sonship of Christ, on the Logos, and on the Trinity. In the second letter he tells him: ‘You make three Sons of God: the human nature is a son to you, the divine nature is a son, and the whole Christ is a son.... All such tritheistic notions are a three-headed illusion of the Dragon, which easily crept in among the sophists in the present reign of Antichrist. Or have you not read of the spirit of the dragon, the spirit of the beast, the spirit of the false prophets, three spirits? Those who acknowledge the trinity of the beast are possessed by three spirits of demons. These three spirits incite war against the immaculate Lamb, Jesus Christ (Rev 16). False are all the invisible gods of the Trinitarians, as false as the gods of the Babylonians. Farewell.’ He begins the third letter with the oft-repeated warning (saepius te monui) not to admit that impossible - monster of three things in God. In another letter he calls him a reprobate and blasphemer (improbus et blasphemus) for calumniating good works. He charges him with ignorance of the true nature of faith, justification, regeneration, baptism, and the kingdom of heaven- ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 730-731.

Philip Schaff: Servetus, with the Bible as his guide, aimed at a more radical revolution than the Reformers. He started with a new doctrine of God and of Christ, and undermined the very foundations of the Catholic creed. The three most prominent negative features of his system are three denials: the denial of the orthodox dogma of the Trinity, as, set forth in the Nicene Creed; the denial of the orthodox Christology, as determined by the Oecumenical Council of Chalcedon; and the denial of infant baptism, as practised everywhere except by the Anabaptists. From these three sources he derived all the evils and corruptions of the Church. The first two denials were the basis of the theoretical revolution, the third was the basis of the practical revolution which he felt himself providentially called to effect by his anonymous book. Those three negations in connection with what appeared to be shocking blasphemy, though not intended as such, made him an object of horror to all orthodox Christians of his age, Protestants as well as Roman Catholic, and led to his double condemnation, first at Vienne, and then at Geneva- ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 738.

Philip Schaff: The severest charge against him is blasphemy. Bullinger remarked to a Pole that if Satan himself should come out of hell, he could use no more blasphemous language against the Trinity than this Spaniard; and Peter Martyr, who was present, assented and said that such a living son of the devil ought not to be tolerated anywhere. We cannot even now read some of his sentences against the doctrine of the Trinity without a shudder. Servetus lacked reverence and a decent regard for the most sacred feelings and convictions of those who differed from him. But there was a misunderstanding on both sides. He did not mean to blaspheme the true God in whom he believed himself, but only the three false and imaginary gods, as he wrongly conceived them to be, while to all orthodox Christians they were the Father, the Son, and the Holy Spirit of the one true, eternal, blessed Godhead- ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 788.

2) Calvin hanya melaporkan kehadiran Servetus, dan menjadi saksi dalam pengadilan bahwa Servetus memang sesat dan melakukan penghujatan. Tetapi Calvin sama sekali tidak berurusan dengan hukuman mati yang dijatuhkan oleh pengadilan.

Philip SchaffShortly after the publication of the ‘Restitution,’ the fact was made known to the Roman Catholic authorities at Lyons through Guillaume Trie, a native of Lyons and a convert from Romanism, residing at that time in Geneva. He corresponded with a cousin at Lyons, by the name of Arneys, a zealous Romanist, who tried to reconvert him to his religion, and reproached the Church of Geneva with the want of discipline. On the 26th of February, 1553, he wrote to Arneys that in Geneva vice and blasphemy were punished, while in France a dangerous heretic was tolerated, who deserved to be burned by Roman Catholics as well as Protestants, who blasphemed the holy Trinity, called Jesus Christ an idol, and the baptism of infants a diabolic invention. He gave his name as Michael Servetus, who called himself at present Villeneuve, a practising physician at Vienne. In confirmation he sent the first leaf of the ‘Restitution,’ and named the printer Balthasar Arnoullet at Vienne. This letter, and two others of Trie which followed, look very much as if they had been dictated or inspired by Calvin. Servetus held him responsible. But Calvin denied the imputation as a calumny. At the same time he speaks rather lightly of it, and thinks that it would not have been dishonorable to denounce so dangerous a heretic to the proper authorities. He also frankly acknowledges that he caused his arrest at Geneva. He could see no material difference in principle between doing the same thing, indirectly, at Vienne and, directly, at Geneva. He simply denies that he was the originator of the papal trial and of the letter of Trie; but he does not deny that he furnished material for evidence, which was quite well known and publicly made use of in the trial where Servetus’s letters to Calvin are mentioned as pieces justificatives. There can be no doubt that Trie, who describes himself as a comparatively unlettered man, got his information about Servetus and his book from Calvin, or his colleagues, either directly from conversation, or from pulpit denunciations. We must acquit Calvin of direct agency, but we cannot free him of indirect agency in this denunciation. Calvin’s indirect agency, in the first, and his direct agency in the second arrest of Servetus admit of no proper justification, and are due to an excess of zeal for orthodoxy - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 757-759.

Philip SchaffThe final responsibility of the condemnation, therefore, rests with the Council of Geneva, which would probably have acted otherwise, if it had not been strongly influenced by the judgment of the Swiss Churches and the government of Bern. Calvin conducted the theological part of the examination of the trial, but had no direct influence upon the result. His theory was that the Church may convict and denounce the heretic theologically, but thathis condemnation and punishment is the exclusive function of the State, and that it is one of its most sacred duties to punish attacks made on the Divine majesty. ‘From the time Servetus was convicted of his heresy,’ says Calvin, ‘I have not uttered a word about his punishment, as all honest men will bear witness; and I challenge even the malignant to deny it if they can.’One thing only he did: he expressed the wish for a mitigation of his punishment. And this humane sentiment is almost the only good thing that can be recorded to his honor in this painful trial - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 767-768.

Philip Schaff: On the 18th of October the messenger of the State returned with the answers from the four foreign churches. They were forthwith translated into French, and examined by the magistrates. We already know the contents. The churches were unanimous in condemning the theological doctrines of Servetus, and in the testimony of respect and affection for Calvin and his colleagues. Even Bern, which was not on good terms with Calvin, and had two years earlier counselled toleration in the case of Bolsec, regarded Servetus a much more dangerous heretic and advised to remove this ‘pest.’ Yet none of the Churches consulted expressly suggested the death penalty. They left the mode of punishment with the discretion of a sovereign State- ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 780.

3) Orang-orang saleh pada jaman itu semua membela / membenarkan tindakan Calvin.

Philip Schaff: Beza gives a brief account in his Calvini Vita, ad a. 1553 and 1554, where he says that ‘Servetus was justly punished at Geneva, not as a sectary, but as a monster made up of nothing but impiety and horrid blasphemies, with which, by his speeches and writings, for the space of thirty years, he had infected both heaven and earth.’ He thinks that Servetus uttered a satanic prediction on the title-page of his book: ‘Great war took place in heaven, Michael and his angels fighting with [not against] the dragon.’ He also wrote an elaborate defence of the death-penalty for heresy in his tract De haereticis a civili magistratu puniendis, adversus Martini Bellii [pseudonym] farraginem et novorum academicorum sectam. Geneva (Oliva Rob. Stephani), 1554; second ed. 1592; French translation, 1560. See Heppe's Beza, p. 38 sq- ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 684.

Philip Schaff: Melanchthon’s record on this painful subject is unfortunately worse than Luther’s. This is all the more significant because he was the mildest and gentlest among the Reformers. But we should remember that his utterances on the subject are of a later date, several years after Luther's death. He thought that the Mosaic law against idolatry and blasphemy was as binding upon Christian states as the Decalogue, and was applicable to heresies as well. He therefore fully and repeatedly justified the course of Calvin and the Council of Geneva, and even held them up as models for imitation! In a letter to Calvin, dated Oct. 14, 1554, nearly one year after the burning of Servetus, he wrote: - ‘Reverend and dear Brother: I have read your book, in which you have clearly refuted the horrid blasphemies of Servetus; and I give thanks to the Son of God, who was the ‎brabeuth/$ ‎(the awarder of your crown of victory) in this your combat. To you also the Church owes gratitude at the present moment, and will owe it to the latest posterity. I perfectly assent to your opinion. I affirm also that your magistrates did right in punishing, after a regular trial, this blasphemous man.’ A year later, Melanchthon wrote to Bullinger, Aug. 20, 1555: - ‘Reverend and dear Brother: I have read your answer to the blasphemies of Servetus, and I approve of your piety and opinions. I judge also that the Genevese Senate did perfectly right, to put an end to this obstinate man, who could never cease blaspheming. And I wonder at those who disapprove of this severity.’ Three years later, April 10, 1557, Melanchthon incidentally (in the admonition in the case of Theobald Thamer, who had returned to the Roman Church) adverted again to the execution of Servetus, and called it, ‘a pious and memorable example to all posterity.’ It is an example, indeed, but certainly not for imitation- ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 706-708.

Philip Schaff: Bucer, who stands third in rank among the Reformers of Germany, was of a gentle and conciliatory disposition, and abstained from persecuting the Anabaptists in Strassburg. He knew Servetus personally, and treated him at first with kindness, but after the publication of his work on the Trinity, be refuted it in his lectures as a ‘most pestilential book.’ He even declared in the pulpit or in the lecture-room that Servetus deserved to be disembowelled and torn to pieces. From this we may infer how fully he would have approved his execution, had he lived till 1553- ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 708.

Philip Schaff: The Reformers of French Switzerland went further than those of German Switzerland. Farel defended death by fire, and feared that Calvin in advising a milder punishment was guided by the feelings of a friend against his bitterest foe. Beza wrote a special work in defence of the execution of Servetus, whom he characterized as ‘a monstrous compound of mere impiety and horrid blasphemy.’ Peter Martyr called him ‘a genuine son of the devil,’ whose ‘pestiferous and detestable doctrines’ and ‘intolerable blasphemies’ justified the severe sentence of the magistracy- ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 710.

Philip Schaff: Rilliet justifies the arrest as a necessary measure of self-defence. ‘Under pain of abdication,’ he says, ‘Calvin must do everything rather than suffer by his side in Geneva a man whom he considered the greatest enemy of the Reformation; and the critical position in which he saw it in the bosom of the Republic, was one motive more to remove, if it was possible, the new element of dissolution which the free sojourn of Servetus would have created.... To tolerate Servetus with impunity at Geneva would have been for Calvin to exile himself...He had no alternative. The man whom a Calvinist accusation had caused to be arrested, tried, and condemned to the flames in France, could not find an asylum in the city from which that accusation had issued.’- ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 765-766.

Philip Schaff: Haller, the pastor of Bern, however, wrote to Bullinger of Zürich that, if Servetus had fallen into the hands of Bernese justice, he would undoubtedly have been condemned to the flames- ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 780-781.

4) Pembelaan Calvin sendiri.

Philip Schaff: Calvin never changed his views or regretted his conduct towards Servetus. Nine years after his execution he justified it in self-defence against the reproaches of Baudouin (1562), saying: ‘Servetus suffered the penalty due to his heresies, but was it by my will? Certainly his arrogance destroyed him not less than his impiety. And what crime was it of mine if our Council, at my exhortation, indeed, but in conformity with the opinion of several Churches, took vengeance on his execrable blasphemies? Let Baudouin abuse me as long as he will, provided that, by the judgment of Melanchthon, posterity owes me a debt of gratitude for having purged the Church of so pernicious a monster.’ - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 690-691.

5) Calvin meminta pengadilan meringankan hukuman Servetus dari dibakar menjadi pemenggalan, tetapi ditolak oleh pengadilan.

Philip Schaff: In one respect he was in advance of his times, by recommending to the Council of Geneva, though in vain, a mitigation of punishment and the substitution of the sword for the stake- ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 691.

Philip Schaff: “... the wish of Calvin to substitute the sword for the fire was overruled” (= ... keinginan Calvin untuk menggantikan api dengan pedang ditolak) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 781-782.

6) Pandangan / komentar Philip Schaff sendiri tentang persoalan Calvin dan Servetus.

Philip Schaff: It is objected that there was no law in Geneva to justify the punishment of Servetus, since the canon law had been abolished by the Reformation in 1535; but the Mosaic law was not abolished, it was even more strictly enforced; and it is from the Mosaic law against blasphemy that Calvin drew his chief argument- ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 691-692.

Philip Schaff: “He must be judged by the standard of his own, and not of our, age. The most cruel of those laws - against witchcraft, heresy, and blasphemy - were inherited from the Catholic Middle Ages, and continued in force in all countries of Europe, Protestant as well as Roman Catholic, down to the end of the seventeenth century. Tolerance is a modern virtue” (= Ia harus dinilai oleh standard jamannya sendiri, bukan standard jaman kita. Hukum-hukum yang paling kejam, yang menentang sihir, ajaran sesat dan penghujatan, diwarisi dari Katolik abad pertengahan, dan tetap berlaku di semua negara-negara Eropa, baik yang Protestan maupun yang Katolik, terus sampai akhir abad ke 17. Toleransi adalah kebajikan / sifat baik modern) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 493-494.

Philip Schaff: “The judgment of historians on these remarkable men has undergone a great change. Calvin’s course in the tragedy of Servetus was fully approved by the best men in the sixteenth and seventeenth centuries. It is as fully condemned in the nineteenth century” (= Penghakiman dari ahli-ahli sejarah terhadap orang-orang hebat ini mengalami perubahan yang besar. Jalan Calvin dalam tragedi Servetus disetujui sepenuhnya oleh orang-orang yang terbaik dalam abad ke 16 dan ke 17. Tetapi hal itu dikecam sepenuhnya dalam abad ke 19) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 689.

Philip Schaff: “... if we consider Calvin’s course in the light of the sixteenth century, we must come to the conclusion that he acted his part from a strict sense of duty and in harmony with the public law and dominant sentiment of his age, which justified the death penalty for heresy and blasphemy, and abhorred toleration as involving indifference to truth. Even Servetus admitted the principle under which he suffered; for he said, that incorrigible obstinacy and malice deserved death before God and men (= ... jika kita merenungkan jalan Calvin dalam terang dari abad ke 16, kita pasti sampai pada kesimpulan bahwa ia bertindak dari rasa kewajiban / tanggung jawab yang ketat dan sesuai dengan hukum rakyat / umum dan perasaan yang dominan pada jamannya, yang membenarkan hukuman mati untuk orang sesat dan penghujat, dan tidak menyukai toleransi dan menganggapnya sebagai ketidakpedulian pada kebenaran. Bahkan Servetus sendiri mengakui prinsip dibawah mana ia menderita; karena ia berkata bahwa sikap keras kepala dan kejahatan yang tidak dapat diperbaiki, layak mendapatkan kematian di hadapan Allah dan manusia) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 690.



1. Calvin mengaku bahwa dia mendorong (exhort) pengadilan untuk menjatuhkan hukuman mati. Lalu apakah Kalvinis hari ini bisa berkata: “Calvin tidak ada hubungannya dengan itu, itu adalah pengadilan?” Kami tidak membenarkan pengadilan itu, mereka sama (atau mungkin lebih) bersalah dengan Kalvin. Tetapi kami berkata bahwa Kalvin jelas juga bersalah di sini! Dan karena kesalahannya adalah mematikan orang yang tidak seharusnya dimatikan, maka ini adalah jejak darah!

Tanggapan balik Budi Asali:
Kata-kata anda ngawur dan fitnah. Memang bapak dan anak sama saja. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya! Calvin melaporkan, dan menjadi saksi ahli dalam pengadilan untuk membuktikan bahwa Servetus memang sesat dan menghujat. Tetapi selebihnya Calvin tak melakukan apa-apa; itu sepenuhnya merupakan keputusan pengadilan. Lihat kutipan-kutipan dari Schaff dalam point ke 2) di atas.
Dan siapa bilang ia tidak harus dimatikan? Hukum di sana pada saat itu memang memberikan hukuman mati kepada orang seperti itu! Jangan dinilai menurut hukum saat ini!

2. Tujuh tahun sebelum Servertus dihukum mati, Calvin menulis kepada temannya, Farel, tanggal 13 Februari 1546: “If he [Servetus] comes [to Geneva], I shall never let him go out alive if my authority has weight” (Schaff-Herzog Encyclopedia of Religious Knowledge (Baker Book House, 1950), hal. 371, dikutip dari http://www.evangelicaloutreach.org/michaelservetus. htm#2). Jadi Kalvin menyombong kepada Farel bahwa kuasa dia di Jenewa akan memastikan Servetus mati! Hmm...entah mengapa Budi Asali tidak mengutip yang satu ini?

Tanggapan balik Budi Asali:
Anda memang orang bodoh yang tak bisa menilai kata-kata. Anda katakan ‘menyombong’? Dari mana? Saya melihat kata-kata Calvin ini, sebagai perwujudan dari kemarahan. Salahkah marah terhadap orang sesat dan penghujat? Orang yang cinta kebenaran harus benci kesesatan! Apaklah Yesus tidak marah terhadap kesesatan dan kemunafikan dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi pada saat itu?

Philip Schaff:
  • Calvin was, as he himself confessed, not free from impatience, passion, and anger, which were increased by his physical infirmities; but he was influenced by an honest zeal for the purity of the Church, and not by personal malice” (= Calvin, seperti yang diakuinya sendiri, tidaklah bebas dari ketidaksabaran, nafsu dan kemarahan, yang diperhebat oleh kelemahan fisiknya; tetapi ia dipengaruhi oleh semangat yang jujur untuk kemurnian Gereja, dan bukan oleh kebencian / kedengkian pribadi) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 493.
  • His intolerance sprang from the intensity of his convictions and his zeal for the truth” (= Ketidak-adaan toleransinya timbul dari intensitas keyakinannya dan semangatnya untuk kebenaran) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 839.
Memang, kemarahan Calvin, kalau sampai ia menginginkan kematian seseorang harus dianggap kelewat batas. Tetapi menurut saya, ini lebih baik dari pada orang yang sabar saja pada waktu melihat kesesatan!
Dan kalau Calvin kelewat batas, sampai mengucapkan kata-kata itu, toh itu tidak ia lakukan! Jadi kemarahannya diwujudkan hanya dengan kata-kata yang kelewat keras, tetapi tidak dengan tindakan sungguh-sungguh membunuh Servetus. Lalu dimana jejak darahnya???

3. Pada saat sidang Servetus, Calvin ingin Servetus dihukum mati. “I hope that the verdict will call for the death penalty.” (Walter Nigg, The Heretics (Alfred A. Knopf, Inc., 1962), p. 328, dikutip dari http://www.evangelicaloutreach.org/michael-servetus.htm#2).

Tanggapan balik Budi Asali:
Jawaban saya sama dengan pada point 3. di atas. Itu kemarahan terhadap dosa, sebetulnya bisa disebut sebagai holy anger / righteous indignation (kemarahan yang kudus / benar), tetapi bagaimanapun ia adalah manusia biasa yang berdosa, sehingga kemarahannya kelewatan. Tetapi ia, seperti dalam kutipan yang sudah saya berikan di atas, tidak melakukan apapun untuk mewujudkan keinginannya itu. Ia hanya melaporkan sehingga Servetus ditangkap, lalu memberikan kesaksian bahwa orang itu memang sesat dan menghujat. Titik!

Saya tanya kalian, bapak dan anak, kalau kalian mendengar terorist membom gereja, menabrakkan pesawat ke WTC, apa reaksi kalian? Kalian tak ingin mereka dihukum mati? Kalau tidak, kalian tolol dan tidak cinta kebenaran! Para teroris hanya pembunuh tubuh, tetapi orang sesat ini adalah pembunuh jiwa! Jadi, salahkah mengharapkan kematian orang sesat seperti itu?

Siapapun membela Servetus, ia segolongan dengan dia!

4. Bahwa ini adalah “kesalahan zaman itu,” dan bahwa ini adalah hal yang lumrah terjadi di abad itu, bukanlah alasan. Kesalahan zaman itu tetaplah kesalahan. Di manakah Sola Scriptura, bahwa kita menaati Alkitab, bukan kebiasaan sekeliling kita? Lagipula, ada kelompok yang tidak menganiaya siapa-siapa, yaitu kaum Anabaptis. Mereka menjadi yang teraniaya terus. Kaum Baptis dari dulu mengedepankan “liberty of conscience,” bahkan sejak abad-abad pertengahan. Jadi, tidak benar bahwa semua orang pada waktu itu punya pandangan bahwa penyesat harus dihukum mati.

Tanggapan balik Budi Asali:
Bukan sekedar kesalahan jaman itu! Tetapi pengadilan yang memutuskan menurut hukum yang berlaku saat itu. Salahnya Calvin dimana, tolol?
Anabaptis juga sesat, biarpun tidak segila Servetus. Penganiayaan merupakan kesalahan oknum, bukan ajarannya. Dan Calvin, sepanjang pengetahuan saya, tidak ikut campur dalam hal itu. Jadi jangan membelokkan ke urusan lain.
Baptis beda dengan Anabaptis. Kalian bela mereka, berarti kalian sebetulnya Anabaptis? Kalau ya tak heran kalian sesat!

5. Bahwa Servetus sangat sesat juga bukan alasan. Apakah Budi Asali ingin mengatakan bahwa orang Kristen boleh membunuh penyesat?

Tanggapan balik Budi Asali:
Tidak boleh, dan Calvin juga tidak membunuh Servetus. Pengadilan yang melakukan, dan itu sesuai dengan hukum pada saat itu. Jadi, dalam hal ini, menurut saya tak ada yang salah dalam penjatuhan hukuman mati itu. Seperti kata-kata Calvin, Servetus mati karena kesalahannya sendiri.

Perlu diketahui beberapa hal dalam persoalan penghukuman mati terhadap Servetus dengan dibakar pada jaman Calvin:
1. Servetus dihukum mati bukan karena dia anti Calvinisme, tetapi karena ia bukan saja tak percaya pada doktrin Allah Tritunggal, tetapi lebih dari itu, ia menghujatnya mati-matian dengan mengatakan hal itu sebagai ‘monster berkepala tiga’ dsb sehingga menimbulkan kemarahan dari semua orang Kristen dan bahkan Katolik di seluruh dunia.
2. Calvin memang yang melaporkan dia kepada pemerintah / polisi pada waktu ia secara berani mati muncul di Geneva. Tetapi yang menangkap, mengadili, menjatuhkan hukuman mati dengan dibakar, dan melaksanakan hukuman mati itu adalah pemerintah / pengadilan.
3. Calvin justru memintakan keringanan supaya hukuman itu diubah dari dibakar menjadi pemenggalan, tetapi permintaan Calvin ditolak oleh pengadilan.
Semua cerita ini ada dalam buku sejarah dari Philip Schaff (orang ini ahli sejarah, dan ia bukan Calvinist), dan itu bisa saya buktikan.
Philip Schaff: “if we consider Calvin’s course in the light of the sixteenth century, we must come to the conclusion that he acted his part from a strict sense of duty and in harmony with the public law and dominant sentiment of his age, which justified the death penalty for
heresy and blasphemy, and abhorred toleration as involving indifference to truth Even Servetus admitted the principle under which he suffered; for he said, that incorrigible obstinacy and malice deserved death before God and men” - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 690.
Philip Schaff: “Calvin never changed his views or regretted his conduct towards Servetus. Nine years after his execution he justified it in self-defence against the reproaches of Baudouin (1562), saying: ‘Servetus suffered the penalty due to his heresies, but was it by my will? Certainly his arrogance destroyed him not less than his impiety. And what crime was it of mine if our Council, at my exhortation, indeed, but in conformity with the opinion of several Churches, took vengeance on his execrable blasphemies? Let Baudouin abuse me as long as he will, provided that, by the judgment of Melanchthon, posterity owes me a debt of gratitude for having purged the Church of so pernicious a monster.’” - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 690-691.
Philip Schaff: “Let us remember also that it was not simply a case of fundamental heresy, but of horrid blasphemy, with which he had to deal. If he was mistaken, if he misunderstood the real opinions of Servetus, that was an error of judgment, and an error which all the Catholics and Protestants of that age shared” - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 691.
Philip Schaff: “It is not surprising that this book gave great offence to Catholics and Protestants alike, and appeared to them blasphemous. Servetus calls the Trinitarians tritheists and atheists. He frivolously asked such questions as whether God had a spiritual wife or was without sex. He calls the three gods of the Trinitarians a deception of the devil, yea (in his later writings), a three-headed monster” - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 718-719.
Philip Schaff: “Servetus charges the Reformed Christians of Geneva that they had a gospel without a God, without true faith, without good works; and that instead of the true God they worshipped a three-headed Cerberus” - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 731.
Catatan: Cerberus = anjing berkepala tiga yang menjaga Hades dalam mitologi Romawi dan Yunani (Webster’s New World Dictionary, College Edition).
Philip Schaff: “He calls all Trinitarians ‘tritheists’ and ‘atheists.’ They have not one absolute God, but a three-parted, collective, composite God - that is, an unthinkable, impossible God, which is no God at all. They worship three idols of the demons, - a three-headed monster, like the Cerberus of the Greek mythology. One of their gods is unbegotten, the second is begotten, the third proceeding. One died, the other two did not die. Why is not the Spirit begotten, and the Son proceeding? By distinguishing the Trinity in the abstract from the three persons separately considered, they have even four gods. The Talmud and the Koran, he thinks, are right in opposing such nonsense and blasphemy” - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 741-742.
Philip Schaff: “Shortly after the publication of the ‘Restitution,’ the fact was made known to the Roman Catholic authorities at Lyons through Guillaume Trie, a native of Lyons and a convert from Romanism, residing at that time in Geneva. He corresponded with a cousin at Lyons, by the name of Arneys, a zealous Romanist, who tried to reconvert him to his religion, and reproached the Church of Geneva with the want of discipline. On the 26th of February, 1553, he wrote to Arneys that in Geneva vice and blasphemy were punished, while in France a dangerous heretic was tolerated, who deserved to be burned by Roman Catholics as well as Protestants, who blasphemed the holy Trinity, called Jesus Christ an idol, and the baptism of infants a diabolic invention. He gave his name as Michael Servetus, who called himself at
present Villeneuve, a practising physician at Vienne. In confirmation he sent the first leaf of the ‘Restitution,’ and named the printer Balthasar Arnoullet at Vienne. This letter, and two others of Trie which followed, look very much as if they had been dictated or inspired by
Calvin. Servetus held him responsible. But Calvin denied the imputation as a calumny. At the same time he speaks rather lightly of it, and thinks that it would not have been dishonorable to denounce so dangerous a heretic to the proper authorities. He also frankly acknowledges
that he caused his arrest at Geneva. He could see no material difference in principle between doing the same thing, indirectly, at Vienne and, directly, at Geneva. He simply denies that he was the originator of the papal trial and of the letter of Trie; but he does not deny that he
furnished material for evidence, which was quite well known and publicly made use of in the trial where Servetus’s letters to Calvin are mentioned as pieces justificatives. There can be no doubt that Trie, who describes himself as a comparatively unlettered man, got his information about Servetus and his book from Calvin, or his colleagues, either directly from conversation, or from pulpit denunciations. We must acquit Calvin of direct agency, but we cannot free him of indirect agency in this denunciation. Calvin’s indirect agency, in the first, and his direct agency in the second arrest of Servetus admit of no proper justification, and are due to an excess of zeal for orthodoxy” - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 757-759.
Philip Schaff: “The final responsibility of the condemnation, therefore, rests with the Council of Geneva, which would probably have acted otherwise, if it had not been strongly influenced by the judgment of the Swiss Churches and the government of Bern. Calvin conducted the theological part of the examination of the trial, but had no direct influence upon the result. His theory was that the Church may convict and denounce the heretic theologically, but that his condemnation and punishment is the exclusive function of the State, and that it is one of its most sacred duties to punish attacks made on the Divine majesty. ‘From the time Servetus was convicted of his heresy,’ says Calvin, ‘I have not uttered a word about his punishment, as all honest men will bear witness; and I challenge even the malignant to deny it if they can.’ One thing only he did: he expressed the wish for a mitigation of his punishment. And this humane sentiment is almost the only good thing that can be recorded to his honor in this painful trial” - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 767-768.
Philip Schaff: “... the wish of Calvin to substitute the sword for the fire was overruled” (= ... keinginan Calvin untuk menggantikan api dengan pedang ditolak) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 781-782.
Philip Schaff: “The severest charge against him is blasphemy. Bullinger remarked to a Pole that if Satan himself should come out of hell, he could use no more blasphemous language against the Trinity than this Spaniard; and Peter Martyr, who was present, assented and said
that such a living son of the devil ought not to be tolerated anywhere. We cannot even now read some of his sentences against the doctrine of the Trinity without a shudder. Servetus lacked reverence and a decent regard for the most sacred feelings and convictions of those
who differed from him” - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 781-788.

Tanggapan balik Budi Asali:
Mengapa kutipan saya yang banyak ini tak ditanggapi? Ayo tanggapi, dan buktikan kalau Calvin salah dan ada ‘jejak darah’? Kalau tidak bisa, kalian memang pemfitnah!

Saya ingin menambahkan beberapa kutipan berkenaan dengan Calvin dan Servetus dari seorang penulis yang lain.

Thomas Smyth: If, however, there ever was a case in which the execution of the penalty of death could have been properly inflicted, it was in that of Servetus. Never had man so blasphemed his Maker, so outraged Christian feeling and all propriety, so insulted the laws in force for his destruction, and so provoked the slumbering arm of vengeance to fall upon him (= ) - ‘Calvin and His Enemies’, hal 30.

Thomas Smyth: Servetus had been driven from every attempted residence on account of his unbearable conduct. He had been tried and condemned to be burned to death by the Romanists at Vienna, from whose hands he had just escaped when he came to Geneva. He was well aware of the intolerant character of the laws of the city of Geneva, enacted against heretics by the Emperor Frederick I, when under imperial and Romish jurisdiction which had been often exercised before that time - and which were still in force. Calvin, regarding his sentiments and conduct with just abhorrence, and believing it to be his duty, for the reasons stated, to oppose them, gave him previous notice, that if he came to the city of Geneva, he should be under the necessity of prosecuting him. There was therefore no previous malice in Calvin towards him. When Servetus had come, and Calvin had brought his character and opinions to the view of the authorities, his interference in the matter there ceased. He never visited the court, except when required to do so. The Senate, instead of being influenced by him in the course they pursued, were, the greater part of them, at that very time opposed to him. The whole matter also, before sentence had been passed, was, at Servetus’ request, submitted to the judgment of the other cities, who unanimously approved of his condemnation (= ) - ‘Calvin and His Enemies’, hal 31.

Thomas Smyth: It was the sentiment of the age, that those who obstinately persisted in heresy and blasphemy were worthy of death. Even the gentle Melanchthon affirms, in a letter to Calvin, that the magistrates so acted rightly in putting this blasphemer to death;’ and in a letter to Bullinger, the same mild and cautious and truly Christian man declares, ‘I have been surprised that there are men who blame this severity.’ Servetus himself maintained this principle in his ‘Restitution of Christianity,’ the very work which led to his trim and condemnation. The justice of such a punishment towards himself, Servetus repeatedly avowed, if guilty of the charges against him. And this punishment Servetus continually demanded to be inflicted on Calvin, on the ground that by the laws of the state it was required that the person who lodged an accusation against any one should sustain it and make it good, or failing to do this, should suffer the punishment which would have been due to the accused. This punishment, Servetus was led to believe he would be able to inflict on Calvin, since in the council of two hundred, before whom the case was first argued, the opponents and determined enemies of Calvin - the Libertines - predominated (= ) - ‘Calvin and His Enemies’, hal 31-32.

Thomas Smyth: There is, however, no probability that Servertus, under the circumstances, would have been visited with the punishment he suffered, merely for his opinions. For what then, it has been asked, was he condemned? Not for heretical opinions of any sort merely, or chiefly, we reply, his opinions and doctrines were doubtless heretical enough, according to the standards of judgment at the time; heretical they would in any age be pronounced by the great body of the Christian Church. But it was not so much his opinions in themselves, as the manner in which he stated and defended them, which gave offense. The elder Socinus was teaching substantially the same doctrines at Zurich without molestation. But not content with simply maintaining and defending calmly but earnestly what he thought to be truth, Servetus it seems had from the first set himself to assail with terms of bitterest obloquy and reproach, nay with ribaldry and unmeasured abuse, the opinions of those who differed from him. He made use of language which could not fail to shock the minds of all sober and pious men who held the doctrines of either the Catholic or the Protestant Church. He calls persons of the Godhead delusions of the devil, and the triune God a monster, a three-headed Cerberus. It was this bitterness and intolerance of spirit, this entire want of reverence for the most sacred things, this deliberate insult and outrage of the religious feelings of the entire Christian world, that armed the entire Christian world against him, and made him a marked and outlawed man long before he ever saw Calvin or Geneva. Some thirteen years before his trial he sent back to Calvin, with whom he was then corresponding, a copy of his Institutes, with the most severe and bitter reflections and taunts upon the margin, and sent him several letters of the most abusive and insulting character. The same spirit was exhibited on his trial. He manifested neither respect for his judges, nor a decent regard for the religious sentiment of the age. In the most insulting manner he heaped upon Calvin the most undeserved reproaches and the most abusive epithets, dealing so much in personalities and invectives as to shame even his judges, and wear out the patience of men, many of whom were inclined to look favorably upon his cause. So far was this abuse carried, that unable to bear it longer, the entire body of the clergy, with Calvin at their head, arose on one occasion and left the tribunal, thus closing the examination (= ) - ‘Calvin and His Enemies’, hal 32-33.

Thomas Smyth: It was not, then, so much his opinions and dogmas, as the manner in which he maintained them, that occasioned the final decision of the judges, and the almost unanimous verdict of the Christian world against Servetus. ‘If Servetus had only attacked the doctrine of the Trinity by arguments,’ says an able writer, the would have been answered by arguments, and without danger of persecution by the Protestants he might have gone on defending it, until called to answer for his belief by Him whose character he had impugned. Argument was not that which Calvin and his contemporaries opposed, by the civil tribunal. It was insult and ribaldry, and that too against the Most High, whose character they would defend in the midst of a perverse and rebellious generation.’ ‘If ever a poor fanatic thrust himself into the fire,’ says J. T. Coleridge, ‘it was Michael Servetus.’ (= ) - ‘Calvin and His Enemies’, hal 33.

Thomas Smyth: We do not defend, in all this, the condemnation and death of Servetus. It was a great mistake; call it if you will a crime. But let the blame rest where it belongs; not on John Calvin, but on the men who decreed that death, and on the age which sanctioned and demanded it (= ) - ‘Calvin and His Enemies’, hal 34.

Thomas Smyth: And when it is remembered that at this very time the flames were consuming the victims of Romish persecution, and also of those condemned by Cranmer, who is called a pattern of humility - that Davides fell a victim to the intolerance of Socinus - that the English Reformers applauded the execution of Servetus - that his punishment was regarded as the common cause of all the churches in christendom - and that for fifty years thereafter no writer criminated Calvin for his agency in this matter - may we not say to those who now try Calvin by an ex post facto law, by a public opinion, which is the result of the very doctrines he promulgated - let him that is guiltless among you cast the first stone? In thus singling out Calvin as the object of your fierce resentment, you manifest the very spirit you condemn - a spirit partial, unchristian, and unrighteous. So much for the charge of intolerance (= ) - ‘Calvin and His Enemies’, hal 35.

19) Kesan yang didapat adalah: ia anggap dan nyatakan gerejanya sebagai ‘the only true church’, dan anjurkan orang pindah ke gerejanya! Katolik, Kharismatik, Calvinist, tokoh-tokoh reformasi (Martin Luther, Calvin, dsb), semua digempur.

Tanggapan Budi Asali:
Saya menganggap semua orang yang menganggap gerejanya sebagai ‘the only true church’, sebagai orang-orang sesat. Saksi Yehuwa mempunyai pandangan seperti itu, dan Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh juga mempunyai kepercayaan seperti itu, dan itu saya anggap sebagai salah satu bukti kesesatan mereka. Saya sering mengecam banyak pendeta dan gereja sebagai sesat, tetapi saya tidak pernah punya anggapan / pemikiran / kepercayaan bahwa gereja saya adalah ‘the only true church’!

Kami percaya saat ini ada ribuan gereja Baptis Independen (Fundamental) di seluruh dunia. Yang semuanya tidak di bawah satu kendali atau sinode, tetapi dengan doktrin yang sangat mirip satu sama lain. Bahwa Dr. Liauw percaya seminar yang dia bawakan adalah kebenaran itu tidak heran. Bahwa Dr. Liauw ingin kaum Katolik, Kharismatik, Kalvinis, untuk bertobat, itu saya aminkan! Bertobatlah!

Tanggapan balik Budi Asali:
Menganggap kepercayaan sendiri sebagai paling benar, bukan merupakan sesuatu yang salah, tetapi bahkan logis. Kalau bukan yang paling benar, lalu mengapa dianut? Jadi ini memang tak salah. Tetapi serangan saya terhadap Suhento Liauw adalah: ia menganggap diri sebagai satu-satunya yang benar, dan gerejanya sebagai ‘the only true church’. Ini sangat berbeda, seperti langit di atas bumi! Orang yang menganggap dirinya sebagai satu-satunya yang benar, dan gerejanya sebagai ‘the only true church’, justru dia yang saya anggap sesat! Contohnya banyak: Saksi Yehuwa, Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh juga punya anggapan seperti itu. Saya kira Katolik juga! Dan sekarang ditambah dengan Suhento Liauw dan Steven Liauw dan GBIA Graphe! Kalianlah yang harus bertobat!

Disamping, apa maksud Suhento Liauw dalam menyerang SEMUA gereja dalam seminarnya? Motivasi itu menentukan apakah tindakan itu bisa dibenarkan atau tidak. Saya juga menyerang banyak gereja, sekalipun tidak semua gereja, tetapi motivasi saya adalah menegakkan kebenaran dan menghancurkan kesesatan. Tetapi Suhento Liauw, setelah menyerang semua gereja, menganjurkan orang pindah ke gerejanya. Hmmm, betul-betul motivasi busuk dan tak tahu malu!

Bdk. Ro 15:20 - “Dan dalam pemberitaan itu aku menganggap sebagai kehormatanku, bahwa aku tidak melakukannya di tempat-tempat, di mana nama Kristus telah dikenal orang, supaya aku jangan membangun di atas dasar, yang telah diletakkan orang lain”.



-o0o-