About us

Golgotha Ministry adalah pelayanan dari Pdt. Budi Asali,M.Div dibawah naungan GKRI Golgota Surabaya untuk memberitakan Injil ke seluruh dunia dan mengajarkan kebenaran firman Tuhan melalui khotbah-khotbah, pendalaman Alkitab, perkuliahan theologia dalam bentuk tulisan maupun multimedia (DVD video, MP3, dll). Pelayanan kami ini adalah bertujuan agar banyak orang mengenal kebenaran; dan bagi mereka yang belum percaya, menjadi percaya kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadinya, dan bagi mereka yang sudah percaya, dikuatkan dan didewasakan didalam iman kepada Kristus.
Semua yang kami lakukan ini adalah semata-mata untuk kemuliaan nama Tuhan Yesus Kristus.

Kami mengundang dengan hangat setiap orang yang merasa diberkati dan terbeban didalam pelayanan untuk bergabung bersama kami di GKRI Golgota yang beralamat di : Jl. Raya Kalirungkut, Pertokoan Rungkut Megah Raya D-16, Surabaya.

Tuhan Yesus memberkati.

Rabu, 03 Juli 2013

PEMBAHASAN BUKU BERJUDUL ‘INDAHNYA PERNIKAHAN KRISTEN’ TULISAN PDT. SUTJIPTO SUBENO


pembahasan buku

berjudul
‘indahnya pernikahan Kristen’

tulisan
Pdt. Sutjipto Subeno

(oleh: Pdt. Budi Asali, M. Div.)
GKRI Golgota
KompleKS Rungkut Megah Raya Blok D No 16
Surabaya
Alamat email: buas22@yahoo.com

Dalam tulisan ini saya ingin membahas sebagian dari buku ‘Indahnya Pernikahan Kristen’ tulisan Pdt. Sutjipto Subeno. Dalam bagian terakhir dari bukunya itu Pdt. Sutjipto Subeno membuat suatu bab berjudul Jodoh ditakdirkan? (hal 129-135), dan inilah isi dari seluruh bab itu.

Jodoh ditakdirkan?

“Sering kali orang berkomentar, ‘Kalau memang dia jodoh kamu, tidak perlu dikejar-kejar, nanti datang sendiri.’ Betulkah pandangan seperti ini? Apa yang melatarbelakangi pandangan ini?
Jika kita menelusuri lebih dalam, maka pemahaman bahwa jodoh ada di tangan Tuhan sebenarnya adalah manifestasi dari doktrin (pengajaran) tentang takdir. Pemahaman ini mengajarkan bahwa seluruh tindakan manusia sudah ditakdirkan oleh Allah, dan apa yang telah ‘ditakdirkan’ itu tidak pernah bisa diubah oleh manusia. Dengan kata lain, manusia bagaikan sebuah wayang, di mana Tuhan sebagai ‘dalang’-nya. Jadi ketika kita hidup, setiap langkah kita sudah ditetapkan; kapan kita menikah, sudah ditetapkan; dengan siapa kita menikah, juga sudah ditetapkan.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka diambil kesimpulan bahwa kita menikah atau tidak menikah, itu semua merupakan takdir Allah yang tidak bisa ditolak. Jadi, jika kita tidak bisa menikah dengan seseorang, maka itu merupakan takdir yang Allah tetapkan, dan sebaliknya, jika Allah menentukan kita menikah dengan seseorang, maka orang itu pun tidak bisa lari, dan pasti akan kembali kepada kita. Berdasarkan konsep ini, muncullah kalimat ‘penghiburan’ di atas.
Pemahaman ini merupakan upaya penghiburan di saat seseorang patah hati, tetapi di lain pihak pandangan sedemikian bisa menyebabkan kemungkinan penyalahgunaan yang tidak tepat dan mengakibatkan sifat pasif di dalam memilih teman hidup. Akibatnya, semuanya akan ditanggapi secara skeptis.


Theologi Reformed dan takdir

Berkaitan dengan pemahaman di atas, orang-orang yang salah mengerti dan tidak mempelajari doktrin Reformed dengan tepat, menganggap bahwa doktrin Reformed mengajarkan konsep takdir ini. Kesalah-pengertian doktrin kedaulatan Allah dan doktrin keselamatan, membuat orang menyangka ajaran jodoh di tangan (baca: ditetapkan) Tuhan merupakan ajaran Kristen, khususnya merupakan turunan dari konsep Reformed tentang kedaulatan Allah.
Kalau demikian, maka orang-orang Reformed diajarkan untuk secara pasif menerima pasangan hidupnya, jika ternyata terjadi kesalahan, ataupun pernikahan yang tidak bahagia, maka itu pun merupakan nasib yang harus diterima dari Tuhan.
Ajaran ini terkadang membuat seorang pria berani mendatangi seorang gadis cantik dan berkata kepadanya, ‘Allah telah menetapkan saya harus menikah dengan kamu.’ Itu membuat sang gadis terperangah dan takut, karena bukankah ini sudah ditetapkan oleh Allah? Tetapi dalam hatinya, ia merasa tidak menyukai pria itu, karena ternyata karakter dan kehidupan pria itu begitu tidak cocok dengan dirinya. Di sini sebenarnya gadis itu sudah ‘dijebak’ oleh pria tadi, karena memang tidaklah demikian adanya. Gadis yang didatangi pria yang berkata seperti itu dapat membalas, ‘Allah justru menetapkan agar saya tidak dekat-dekat denganmu apalagi menikah dengan kamu.’ Ini sekadar untuk mematahkan pola theologisnya yang tidak sesuai dengan Alkitab. Kita tidak boleh sembarang mengatakan ‘Allah menetapkan ...’ karena penetapan Allah adalah sesuatu yang terjadi di dalam kekekalan.
Kesalahan konsep ini semakin nyata jika suatu saat terjadi perceraian. Seorang bisa dengan ringan dan sembrono mengatakan bahwa perceraian itu juga terjadi karena kehendak Tuhan, karena kalau Tuhan tidak menghendaki, ia tidak mungkin bisa bercerai. Padahal konsep ini jelas bertentangan dengan konsep Alkitab. Kalau dia menikah lagi dengan gadis lain, maka kembali ia mengatakan bahwa itupun sudah suratan takdir, atau istilah Kristen yang lebih populer adalah ‘sudah merupakan penetapan Allah’ yang tidak bisa diganggu-gugat. Kalau Allah tidak menetapkan, bagaimana mungkin ia bisa menikah lagi? Padahal jelas bagi iman Kristen, tindakan ini adalah tindakan perzinahan yang harus dihukum, karena Alkitab menyatakan bahwa menikah lagi yang bukan karena cerai meninggal adalah perbuatan zinah (Matius 5:32; Matius 19:9; Markus 10:12; Lukas 16:18). Termasuk, jika seseorang menganggap semua urusan pernikahan adalah ketetapan kekal Allah yang tidak bisa tidak harus terjadi, maka ketika seseorang berselingkuh, juga bisa dianggap bahwa perselingkuhan itu pun adalah ketetapan Allah yang tidak bisa ia tolak, sehingga ia harus melakukan perselingkuhan itu sebagai takdir atau penetapan Allah. Jelas pikiran dan ajaran seperti ini adalah ajaran sesat yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan, dan juga bukan diajarkan dalam Theologi Reformed.


Ekposisi: Kejadian 24:44

Ketika dinyatakan salah, para penganut ‘takdir pasangan hidup’ sering mengajukan ayat favorit untuk mendukung argumen mereka, yaitu dari Kejadian 24:44, yang mengatakan ‘dan ia menjawab: Minumlah dan untuk unta-untamu juga akan kutimba air, dialah kiranya isteri, yang telah Tuhan tentukan bagi anak tuanku itu’ [NIV: and if she says to me, Drink and I’ll draw water for your camels too, let her be the one the Lord has chosen (pilihkan) for my master’s son]. Istilah ‘ditentukan’ atau ‘dipilih’ inilah yang menjadi masalah. Ketika seseorang mencoba melakukan penafsiran dengan menggunakan bahasa turunan, di mana sudah terjadi distorsi pengertian dan keterbatasan penerjemahan, sangat rawan terjadi kesalahan arti. Untuk itu kita tidak boleh mengandalkan satu kata seperti istilah ini, untuk mengerti suatu konsep, kecuali didukung oleh suatu eksegesis yang kuat dan ketat sekali. Istilah ini berasal dari padanan kata x:ykiîho-rv,a] (asher-hokiah), yang terdiri dari kata rv,a] (asher) dan hkY (yakach). Seluruh pengertian dari kedua kata ini perlu kita lihat, karena jika kita mengerti semua pengertiannya, kita baru mengerti mengapa di NIV digunakan kata ‘memilih,’ sedangkan di LAI menggunakan kata: ‘menentukan.’ Kata asher ini berupa partikel relatif, artinya secara umum adalah: ‘karena,’ ‘jika,’ ‘dia (whom),’ yang ketika dirangkai dengan kata hokiah menjadi gabungan dengan pengertian: ‘melangkah’ atau ‘memimpin’ atau ‘mengarah kepada;’ juga bisa diartikan ‘mengarah’ atau ‘memiliki kemujuran.’ Kata hokiah (yakach), bentuk hiphil perfek maskulin ketiga singular, memiliki arti: (1) membicarakan atau mendiskusikan bersama; (2) muncul atau terlihat sebagai suatu yang benar; (3) terindikasi benar; (4) ditetapkan, ditunjukkan; (5) memberikan penilaian / penghakiman. KJV/NKJV menggunakan ‘appointed’ yang berarti ‘diarahkan’ atau ‘ditujukan.’ Di sini gabungan kedua kata ini memberikan gambaran pengarahan bagi seseorang. Jadi penggabungan dua kata ini, memang memiliki sifat yang paling keras, yang dapat diterjemahkan sebagai ‘ditentukan.’ Tetapi juga bisa dikatakan diarahkan kepada yang benar. Atau seperti NIV menerjemahkan sebagai Tuhan memilihkan, memberikan penilaian atau penghakiman-Nya. Tetapi yang pasti: Tidak satu pun dari pengertian kata ini, berarti Allah telah menentukan jodoh bagi Ishak. Konsep ini sama sekali tidak menyentuh suatu pengertian takdir yang telah ditetapkan Allah di dalam kekekalan, tetapi lebih kepada pengertian: setelah melihat dari sekian banyak pilihan, kemudian kita ditentukan untuk mengambil satu di antaranya. Hal ini sejajar dan sangat sinkron dengan pergumulan hamba Abraham (diduga Eliezer dari Damaskus), bahwa ia sungguh-sungguh meminta Tuhan memberikan hikmat kepadanya untuk mengerti siapa gadis yang paling tepat bagi tuannya (ayat 14)1, dan ayat 44 merupakan kesimpulan dari hasil pergumulannya. Di situ sama sekali ia tidak memikirkan bahwa Ribka adalah gadis yang sudah ‘dipredestinasikan’ untuk Ishak, tetapi benar merupakan hasil pergumulannya bersama Tuhan, berdasarkan pimpinan Tuhan, untuk mendapat orang yang tepat sesuai kehendak Tuhan.

Di bagian bawah hal 134 ada catatan kaki sebagai berikut:
1 ‘Maka dengan begitu akan kuketahui, bahwa Engkau telah menunjukkan kasih setia-Mu kepada tuanku itu.’ (ayat 14b). Dan ini yang diproklamasikan secara nyata oleh hamba Abraham itu: ‘Terpujilah TUHAN, Allah tuanku Abraham, yang tidak menarik kembali kasih-Nya dan setia-Nya dari tuanku itu; dan TUHAN telah menuntun aku di jalan ke rumah saudara-saudara tuanku ini!’ (ayat 27).


Kesimpulan

Berdasarkan dari apa yang dipelajari di atas, kita harus menggabungkan dua hal penting untuk mengerti pasangan hidup kita, yaitu (1) kita perlu bergumul dan melihat kriteria yang tepat tentang siapa pasangan hidup kita, mencarinya di tempat yang tepat. Dengan demikian barulah kita menemukan pasangan hidup yang sepadan dengan kita, dan (2) kita harus meminta pimpinan Tuhan, karena kita tidak mampu melihat dan mengarahkan diri dengan tepat. Kita perlu bergumul bersama Tuhan, sehingga tidak mengambil keputusan yang salah. Terkadang kita kurang bijak dan kurang cermat untuk mengerti orang lain, sehingga mudah sekali kita tertipu. Tanpa kita bersandar dan bergantung pada pimpinan Tuhan, perjalanan kita tidak akan berhasil.” - ‘Indahnya Pernikahan Kristen’, hal 129-135.



Tanggapan Pdt. Budi Asali, M. Div.

I)  Berkenaan dengan jodoh ada di tangan Tuhan atau tidak, dan penentuan dosa / segala sesuatu.

Pdt. Sutjipto Subeno mendustai para pembacanya tentang beberapa hal:

1)   Ajaran Arminiannya ia katakan sebagai ajaran Reformed, dan ajaran Reformed yang sebenarnya ia katakan sebagai tidak Alkitabiah dan bahkan sesat!
Saya kutip ulang bagian-bagian tertentu dari bukunya yang sedang saya bahas.

Pdt. Sutjipto Subeno:
Theologi Reformed dan takdir
Berkaitan dengan pemahaman di atas, orang-orang yang salah mengerti dan tidak mempelajari doktrin Reformed dengan tepat, menganggap bahwa doktrin Reformed mengajarkan konsep takdir ini. Kesalah-pengertian doktrin kedaulatan Allah dan doktrin keselamatan, membuat orang menyangka ajaran jodoh di tangan (baca: ditetapkan) Tuhan merupakan ajaran Kristen, khususnya merupakan turunan dari konsep Reformed tentang kedaulatan Allah. ... Jelas pikiran dan ajaran seperti ini adalah ajaran sesat yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan, dan juga bukan diajarkan dalam Theologi Reformed.”
- ‘Indahnya Pernikahan Kristen’, hal 130,132.

Saya tantang Pdt. Sutjipto Subeno untuk membuktikan, ahli theologia Reformed mana yang tidak mempercayai bahwa Allah menentukan segala sesuatu (berarti juga tentang jodoh, perceraian dsb), termasuk dosa (berarti termasuk perzinahan, perceraian dsb)?
Di bawah saya akan membuktikan dengan memberikan banyak sekali kutipan yang menunjukkan sebaliknya dari apa yang Pdt. Sutjipto Subeno katakan!

Ajaran bahwa Allah menentukan segala sesuatu itu dipercaya oleh banyak (sebetulnya semua, tanpa kecuali) ahli-ahli theologia Reformed, termasuk Calvin sendiri. Jadi menurut Pdt. Sutjipto Subeno, semua ahli theologia Reformed, dan juga Calvin sendiri, adalah orang-orang sesat dan tidak Alkitabiah?

Betul-betul omongan kurang ajar dari seorang ‘Reformed gadungan’ yang mengaku sebagai ‘Reformed’, dan menyebut gerejanya sebagai ‘Reformed Injili’!

2)   Ajaran Reformed yang sejati ia fitnah sehingga seolah-olah menjadi Hyper-Calvinisme.
Ini terlihat dari kalimat-kalimat sebagai berikut (akan saya kutip ulang dari tulisannya dalam buku yang sedang saya bahas di sini).

“Sering kali orang berkomentar, ‘Kalau memang dia jodoh kamu, tidak perlu dikejar-kejar, nanti datang sendiri.’ Betulkah pandangan seperti ini? Apa yang melatarbelakangi pandangan ini? Jika kita menelusuri lebih dalam, maka pemahaman bahwa jodoh ada di tangan Tuhan sebenarnya adalah manifestasi dari doktrin (pengajaran) tentang takdir. Pemahaman ini mengajarkan bahwa seluruh tindakan manusia sudah ditakdirkan oleh Allah, dan apa yang telah ‘ditakdirkan’ itu tidak pernah bisa diubah oleh manusia. Dengan kata lain, manusia bagaikan sebuah wayang, di mana Tuhan sebagai ‘dalang’-nya. Jadi ketika kita hidup, setiap langkah kita sudah ditetapkan; kapan kita menikah, sudah ditetapkan; dengan siapa kita menikah, juga sudah ditetapkan. Berdasarkan pemikiran di atas, maka diambil kesimpulan bahwa kita menikah atau tidak menikah, itu semua merupakan takdir Allah yang tidak bisa ditolak. Jadi, jika kita tidak bisa menikah dengan seseorang, maka itu merupakan takdir yang Allah tetapkan, dan sebaliknya, jika Allah menentukan kita menikah dengan seseorang, maka orang itu pun tidak bisa lari, dan pasti akan kembali kepada kita. Berdasarkan konsep ini, muncullah kalimat ‘penghiburan’ di atas. Pemahaman ini merupakan upaya penghiburan di saat seseorang patah hati, tetapi di lain pihak pandangan sedemikian bisa menyebabkan kemungkinan penyalahgunaan yang tidak tepat dan mengakibatkan sifat pasif di dalam memilih teman hidup. Akibatnya, semuanya akan ditanggapi secara skeptis. ... Kalau demikian, maka orang-orang Reformed diajarkan untuk secara pasif menerima pasangan hidupnya, jika ternyata terjadi kesalahan, ataupun pernikahan yang tidak bahagia, maka itu pun merupakan nasib yang harus diterima dari Tuhan. ... Kesalahan konsep ini semakin nyata jika suatu saat terjadi perceraian. Seorang bisa dengan ringan dan sembrono mengatakan bahwa perceraian itu juga terjadi karena kehendak Tuhan, karena kalau Tuhan tidak menghendaki, ia tidak mungkin bisa bercerai. Padahal konsep ini jelas bertentangan dengan konsep Alkitab. Kalau dia menikah lagi dengan gadis lain, maka kembali ia mengatakan bahwa itupun sudah suratan takdir, atau istilah Kristen yang lebih populer adalah ‘sudah merupakan penetapan Allah’ yang tidak bisa diganggu-gugat. Kalau Allah tidak menetapkan, bagaimana mungkin ia bisa menikah lagi? ... Termasuk, jika seseorang menganggap semua urusan pernikahan adalah ketetapan kekal Allah yang tidak bisa tidak harus terjadi, maka ketika seseorang berselingkuh, juga bisa dianggap bahwa perselingkuhan itu pun adalah ketetapan Allah yang tidak bisa ia tolak, sehingga ia harus melakukan perselingkuhan itu sebagai takdir atau penetapan Allah.” - ‘Indahnya Pernikahan Kristen’, hal 129,130,131,132.

Semua ini, khususnya bagian-bagian yang saya garis-bawahi merupakan fitnah, karena ajaran Reformed yang sejati, sekalipun di satu pihak memang mengajarkan bahwa segala sesuatu (termasuk dosa) ditentukan oleh Allah, tetapi di lain pihak tetap mengajarkan bahwa manusia bertanggung jawab. Tanggung jawab apa?
a)   Melakukan apa yang terbaik sesuai dengan Firman Tuhan. Rencana kekal dari Allah tidak kita ketahui, dan itu bukan pedoman hidup kita. Firman Tuhanlah yang merupakan pedoman hidup kita!
b)   Kalau ia berbuat dosa apapun (menyalahi Firman Tuhan), maka ia tetap dianggap berdosa, dan ia tidak boleh mengentengkan dosa itu, apalagi menyalahkan Allah yang sudah menentukan dia untuk melakukan dosa itu.

Tak ada satupun orang Refomed menganggap kita manusia sebagai wayang dan Allah sebagai dalangnya. Itu justru adalah karikatur orang-orang Arminian terhadap ajaran Reformed, tetapi di sini dikeluarkan oleh pendeta ‘Reformed gadungan’ yang mengaku sebagai ‘Reformed’!

Juga pada saat seseorang melakukan dosa yang memang merupakan ketetapan Tuhan, tak ada istilah bahwa ia HARUS berbuat dosa itu. Ia PASTI melakukan dosa itu, memang ya. Tetapi HARUS dan PASTI sangat berbeda! Kalau HARUS maka ada perintah Allah yang mengharuskan ia berbuat dosa itu, dan ia tidak salah, karena memang diperintahkan.

Untuk membuktikan kata-kata saya bahwa ini memang adalah ajaran Reformed yang sejati, saya memberikan banyak kutipan di bawah ini.

Calvin: “we posited a distinction between compulsion and necessity from which it appears that man, while he sins of necessity, yet sins no less voluntarily” (= kami menempatkan suatu perbedaan di antara pemaksaan dan kepastian dari mana terlihat bahwa manusia, sementara ia pasti berdosa, tetapi ia berdosa dengan sukarela) - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book I, Chapter IV, No 1.

Charles Haddon Spurgeon: “Let the providence of God do what it may, your business is to do what you can” (= Biarlah providensia Allah melakukan apapun, urusanmu adalah melakukan apa yang kamu bisa) - ‘Spurgeon’s Expository Encyclopedia’, vol 7, hal 43.

Loraine Boettner: “But while the Bible repeatedly teaches that this providential control is universal, powerful, wise, and holy, it nowhere attempts to inform us how it is to be reconciled with man’s free agency” (= Tetapi sementara Alkitab berulangkali mengajar bahwa penguasaan providensia ini bersifat universal, berkuasa, bijaksana, dan suci, Alkitab tidak pernah berusaha untuk memberi informasi kepada kita tentang bagaimana hal itu bisa diperdamaikan / diharmoniskan dengan kebebasan manusia) - ‘The Reformed Doctrine of Predestination’, hal 38.

Loraine Boettner: “Perhaps the relationship between divine sovereignty and human freedom can best be summed up in these words: God so presents the outside inducements that man acts in accordance with his own nature, yet does exactly what God has planned for him to do” (= Mungkin hubungan antara kedaulatan ilahi dan kebebasan manusia bisa disimpulkan dengan cara terbaik dengan kata-kata ini: Allah memberikan dorongan / bujukan dari luar sedemikian rupa sehingga manusia bertindak sesuai dengan dirinya, tetapi melakukan secara tepat apa yang Allah telah rencanakan baginya untuk dilakukan) - ‘The Reformed Doctrine of Predestination’, hal 38.

Charles Haddon Spurgeon: “man, acting according to the device of his own heart, is nevertheless overruled by that sovereign and wise legislation ... How these two things are true I cannot tell. ... I am not sure that in heaven we shall be able to know where the free agency of man and the sovereignty of God meet, but both are great truths. God has predestinated everything yet man is responsible” (= manusia, bertindak sesuka hatinya, bagaimanapun dikalahkan / dikuasai oleh pemerintahan yang berdaulat dan bijaksana ... Bagaimana dua hal ini bisa benar saya tidak bisa mengatakan. ... Saya tidak yakin bahwa di surga kita akan bisa mengetahui dimana tindakan bebas manusia dan kedaulatan Allah bertemu, tetapi keduanya adalah kebenaran yang besar. Allah telah mempredestinasikan segala sesuatu tetapi manusia bertanggung jawab) - ‘Spurgeon’s Expository Encyclopedia’, vol 7, hal 10.

Charles Haddon Spurgeon: (tentang tentara yang tidak mematahkan kaki Kristus tetapi menusukNya dengan tombak - Yoh 19:33-34).
“They acted of their own free will, and yet at the same time they fulfilled the eternal counsel of God. Shall we never be able to drive into men’s mind the truth that predestination and free agency are both facts? Men sin as freely as birds fly in the air, and they are altogether responsible for their sin; and yet everything is ordained and foreseen of God. The foreordination of God in no degree interferes with the responsibility of man. I have often been asked by persons to reconcile the two truths. My only reply is - They need no reconciliation, for they never fell out. Why should I try to reconcile two friends? Prove to me that the two truths do not agree. In that request I have set you a task as difficult as that which you propose to me. These two facts are parallel lines; I cannot make them unite, but you cannot make them cross each other” (= Mereka bertindak dengan kehendak bebas mereka, tetapi pada saat yang sama mereka menggenapi rencana yang kekal dari Allah. Apakah kita tidak akan pernah bisa menancapkan ke dalam pikiran manusia kebenaran bahwa predestinasi dan kebebasan agen / manusia dua-duanya merupakan fakta? Manusia berbuat dosa sebebas burung-burung yang terbang di udara, dan mereka semuanya bertanggung jawab untuk dosa mereka; tetapi segala sesuatu ditetapkan dan dilihat lebih dulu oleh Allah. Penetapan lebih dulu dari Allah sama sekali tidak mengganggu tanggung jawab manusia. Saya sering ditanya oleh orang-orang untuk mendamaikan dua kebenaran ini. Jawaban saya hanyalah - Mereka tidak membutuhkan pendamaian, karena mereka tidak pernah bertengkar. Mengapa saya harus mendamaikan 2 orang sahabat? Buktikan kepada saya bahwa dua kebenaran itu tidak setuju / cocok. Dalam permintaan itu saya telah memberimu suatu tugas yang sama sukarnya seperti yang kaukemu-kakan kepada saya. Kedua fakta ini adalah garis-garis yang paralel; saya tidak bisa membuat mereka bersatu, tetapi engkau tidak bisa membuat mereka bersilangan) - ‘A Treasury of Spurgeon on The Life and Work of Our Lord, vol VI - The Passion and Death of Our Lord’,  hal 670-671.

Arthur W. Pink: “Two things are beyond dispute: God is sovereign, man is responsible. ... To emphasize the sovereignty of God, without also maintaining the accountability of the creature, tends to fatalism; to be so concerned in maintaining the responsibility of man, as to lose sight of the sovereignty of God, is to exalt the creature and dishonour the Creator” (= Dua hal tidak perlu diperdebatkan: Allah itu berdaulat, manusia itu bertanggung jawab. ... Menekankan kedaulatan Allah, tanpa juga memelihara pertanggungan jawab dari makhluk ciptaan, cenderung kepada fatalisme; terlalu memperhatikan pemeliharaan tanggung jawab manusia, sehingga tidak mengindahkan kedaulatan Allah, sama dengan meninggikan makhluk ciptaan dan merendahkan sang Pencipta) - ‘The Sovereignty of God’, hal 9.

Arthur W. Pink melanjutkan: “We are enjoined to take ‘no thought for the morrow’ (Matt 6:34), yet ‘if any provide not for his own, and specially for those of his own house, he hath denied the faith, and is worse than an infidel’ (1Tim 5:8). No sheep of Christ’s flock can perish (John 10:28,29), yet the Christian is bidden to make his ‘calling and election sure’ (2Peter 1:10). ... These things are not contradictions, but complementaries: the one balances the other. Thus, the Scriptures set forth both the sovereignty of God and the responsibility of man” [= Kita dilarang untuk ‘menguatirkan hari esok’ (Mat 6:34), tetapi ‘jika ada seorang yang tidak memeliharakan sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk dari orang yang tidak beriman’ (1Tim 5:8). Tidak ada domba Kristus yang bisa binasa (Yoh 10:28-29), tetapi orang kristen diperintahkan untuk membuat ‘panggilan dan pilihannya teguh’ (2Pet 1:10). ... Hal-hal ini tidaklah bertentangan tetapi saling melengkapi: yang satu menyeimbangkan yang lain. Demikian Kitab Suci menyatakan kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia] - ‘The Sovereignty of God’, hal 11.

Charles Hodge: God can control the free acts of rational creatures without destroying either their liberty or their responsibility” (= Allah bisa mengontrol tindakan-tindakan bebas dari makhluk-makhluk rasionil tanpa menghancurkan kebebasan ataupun tanggung jawab mereka) - ‘Systematic Theology’, vol II, hal 332.

Mengomentari Luk 22:22 Spurgeon berkata: “The decree of God does not lessen the responsibility of man for his action. Even though it is predetermined of God, the man does it of his own free will, and on him falls the full guilt of it” (= Ketetapan Allah tidak mengurangi tanggung jawab manusia untuk tindakannya. Sekalipun hal itu sudah ditentukan lebih dulu oleh Allah, manusia melakukannya dengan kehendak bebasnya sendiri, dan pada dialah jatuh kesalahan sepenuhnya) - ‘Spurgeon’s Expository Encyclopedia’, vol 12, hal 18.

Edwin H. Palmer: “Hyper-Calvinism. Diametrically opposite to the Arminian is the hyper-Calvinist. He looks at both sets of facts - the sovereignty of God and the freedom of man - and, like the Arminian, says he cannot reconcile the two apparently contradictory forces. Like the Arminian, he solves the problem in a rationalistic way by denying one side of the problem. Whereas the Arminian denies the sovereignty of God, the hyper-Calvinist denies the responsibility of man. He sees the clear Biblical statements concerning God’s foreordination and holds firmly to that. But being logically unable to reconcile it with man’s responsibility, he denies the latter. Thus the Arminian and the hyper-Calvinist, although poles apart, are really very close together in their rationalism” (= Hyper-Calvinisme. Bertentangan frontal dengan orang Arminian adalah orang yang hyper-Calvinist. Ia melihat pada kedua fakta - kedaulatan Allah dan kebebasan manusia - dan, seperti orang Arminian, ia mengatakan bahwa ia tidak dapat mendamaikan kedua kekuatan yang tampaknya bertentangan itu. Seperti orang Arminian, ia memecahkan problem itu dengan cara yang logis dengan menyangkal satu sisi dari problem itu. Sementara orang Arminian menyangkal kedaulatan Allah, maka penganut Hyper-Calvinisme meninggalkan fakta tanggung jawab manusia. Ia melihat pernyataan yang jelas dari Alkitab mengenai penentuan lebih dulu dari Allah dan memegang hal itu dengan teguh. Tetapi karena tidak mampu mendamaikannya secara logis dengan tanggung jawab manusia, ia menyangkal tanggung jawab manusia itu. Jadi orang Arminian dan orang hyper-Calvinist, sekalipun merupakan kutub-kutub yang bertentangan, sebetulnya sangat dekat dalam cara berpikirnya) - ‘The Five Points of Calvinism’, hal 84.
Catatan: Edwin Palmer memberikan pandangan Reformed yang sebenarnya dan membandingkannya dengan pandangan Arminian dan Hyper-Calvinist.

II)      Ajaran Reformed yang sejati tentang ‘takdir’ atau penetapan / penentuan Allah.

Biasanya dalam ajaran Reformed tidak digunakan istilah ‘takdir’ (karena ini bisa disalah-artikan sebagai takdir yang buta, yang bahkan ada di atas Allah sendiri), tetapi digunakan istilah ‘predestinasi’ atau ‘Allah menentukan’, ‘Allah menetapkan’ dan sebagainya. Tetapi saya sendiri tak bermasalah dengan istilah ‘takdir’ selama ditafsirkan dengan benar.

Pdt. Sutjipto Subeno mengatakan bahwa ajaran Reformed tidak mengajarkan ‘takdir’ tersebut, tetapi saya sebaliknya menegaskan bahwa Reformed yang sejati memang mengajarkan ajaran itu. Reformed yang sejati mempercayai bahwa Allah menentukan segala sesuatu dalam arti kata yang mutlak, termasuk hal-hal yang remeh / kecil dan bahkan dosa.

1)   Bahwa dalam ajaran Reformed memang dipercaya bahwa Allah menentukan segala sesuatu, termasuk hal-hal kecil / remeh, dan bahkan semua dosa, terlihat dari kutipan-kutipan dari para ahli theologia Reformed di bawah ini.

Louis Berkhof: “Reformed Theology stresses the sovereignty of God in virtue of which He has sovereignly determined from all eternity whatsoever will come to pass, and works His sovereign will in His entire creation, both natural and spiritual, according to His predetermined plan. It is in full agreement with Paul when he says that God ‘worketh all things after the counsel of His will’ (Eph 1:11)” [= Theologia Reformed menekankan kedaulatan Allah atas dasar mana Ia secara berdaulat telah menentukan dari sejak kekekalan apapun yang akan terjadi, dan mengerjakan kehendakNya yang berdaulat dalam seluruh ciptaan-Nya, baik yang bersifat jasmani maupun rohani, menurut rencanaNya yang sudah ditentukan sebelumnya. Ini sesuai dengan Paulus pada waktu ia berkata bahwa Allah ‘mengerjakan segala sesuatu menurut keputusan kehendakNya’ (Ef 1:11)] - ‘Systematic Theology’, hal 100.
Ef 1:11 - “Aku katakan ‘di dalam Kristus’, karena di dalam Dialah kami mendapat bagian yang dijanjikan - kami yang dari semula ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai dengan maksud Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendakNya-”.

William G. T. Shedd: “Whatever undecreed must be by hap-hazard and accident. If sin does not occur by the Divine purpose and permission, it occurs by chance. And if sin occurs by chance, the deity, as in the ancient pagan theologies, is limited and hampered by it. He is not ‘God over all’. Dualism is introduced into the theory of the universe. Evil is an independent and uncontrollable principle. God governs only in part. Sin with all its effects is beyond his sway. This dualism God condemns as error, in his words to Cyrus by Isaiah, ‘I make peace and create evil’; and in the words of Proverbs 16:4, ‘The Lord hath made all things for himself; yea, even the wicked for the day of evil’” (= Apapun yang tidak ditetapkan pasti ada karena kebetulan. Jika dosa tidak terjadi karena rencana dan ijin ilahi, maka itu terjadi karena kebetulan. Dan jika dosa terjadi karena kebetulan, keilahian, seperti dalam teologi kafir kuno, dibatasi dan dirintangi olehnya. Ia bukanlah ‘Allah atas segala sesuatu’. Dualisme dimasukkan ke dalam teori alam semesta. Kejahatan merupakan suatu elemen hakiki yang tak tergantung dan tak terkontrol. Allah memerintah hanya sebagian. Dosa dengan semua akibatnya ada di luar kekuasaanNya. Dualisme seperti ini dikecam Allah sebagai salah, dalam kata-kata Yesaya kepada Koresy, ‘Aku membuat damai dan menciptakan malapetaka / kejahatan’; dan dalam kata-kata dari Amsal 16:4, ‘Tuhan telah membuat segala sesuatu untuk diriNya sendiri; ya, bahkan orang jahat untuk hari malapetaka’) - ‘Calvinism: Pure & Mixed’, hal 36.
Catatan: kata-kata Yesaya kepada Koresy itu diambil dari Yes 45:7 versi KJV. Demikian juga Amsal 16:4 diambil dan diterjemahkan dari KJV.

R. C. Sproul: That God in some sense foreordains whatever comes to pass is a necessary result of his sovereignty. ... everything that happens must at least happen by his permission. If he permits something, then he must decide to allow it. If He decides to allow something, then is a sense he is foreordaining it. ... To say that God foreordains all that comes to pass is simply to say that God is sovereign over his entire creation. If something could come to pass apart from his sovereign permission, then that which came to pass would frustrate his sovereignty. If God refused to permit something to happen and it happened anyway, then whatever caused it to happen would have more authority and power than God himself. If there is any part of creation outside of God’s sovereignty, then God is simply not sovereign. If God is not sovereign, then God is not God. ... Without sovereignty God cannot be God. If we reject divine sovereignty then we must embrace atheism (= Bahwa Allah dalam arti tertentu menentukan apapun yang akan terjadi merupakan akibat yang harus ada dari kedaulatanNya. ... segala sesuatu yang terjadi setidaknya harus terjadi karena ijinNya. Jika Ia mengijinkan sesuatu, maka Ia pasti memutuskan untuk mengijinkannya. Jika Ia memutuskan untuk mengijinkan sesuatu, maka dalam arti tertentu Ia menentukannya. ... Mengatakan bahwa Allah menentukan segala sesuatu yang akan terjadi adalah sama dengan mengatakan bahwa Allah itu berdaulat atas segala ciptaanNya. Jika ada sesuatu yang bisa terjadi di luar ijinNya yang berdaulat, maka apa yang terjadi itu menghalangi kedaulatanNya. Jika Allah menolak untuk mengijinkan sesuatu dan hal itu tetap terjadi, maka apapun yang menyebabkan hal itu terjadi mempunyai otoritas dan kuasa yang lebih besar dari Allah sendiri. Jika ada bagian dari ciptaan berada di luar kedaulatan Allah, maka Allah itu tidak berdaulat. Jika Allah tidak berdaulat, maka Allah itu bukanlah Allah. ... Tanpa kedaulatan Allah tidak bisa menjadi / adalah Allah. Jika kita menolak kedaulatan ilahi, maka kita harus mempercayai atheisme) - ‘Chosen By God’, hal 26-27.

Loraine Boettner: “Although the sovereignty of God is universal and absolute, it is not the sovereignty of blind power. It is coupled with infinite wisdom, holiness and love. And this doctrine, when properly understood, is a most comforting and reassuring one. Who would not prefer to have his affairs in the hands of a God of infinite power, wisdom, holiness and love, rather than to have them left to fate, or chance, or irrevocable natural law, or to short-sighted and perverted self? Those who reject God’s sovereignty should consider what alternatives they have left” (= Sekalipun kedaulatan Allah itu bersifat universal dan mutlak, tetapi itu bukanlah kedaulatan dari kuasa yang buta. Itu digabungkan dengan kebijaksanaan, kekudusan dan kasih yang tidak terbatas. Dan doktrin ini, jika dimengerti dengan tepat, adalah doktrin yang paling menghibur dan menenteramkan. Siapa yang tidak lebih menghendaki perkaranya ada dalam tangan Allah yang mempunyai kuasa, kebijaksanaan, kekudusan dan kasih yang tidak terbatas, dari pada menyerahkannya pada nasib / takdir, atau kebetulan, atau hukum alam yang tidak bisa dibatalkan, atau pada diri sendiri yang cupet dan sesat? Mereka yang menolak kedaulatan Allah harus mempertimbangkan alternatif-alternatif lain yang ada) - ‘The Reformed Doctrine of Predestination’, hal 32.
Catatan: Loraine Boettner menggunakan istilah ‘takdir’ di sini dalam arti yang berbeda dengan yang saya maksudkan di atas. Ia jelas memaksudkan takdir yang buta, bukan bahwa segala sesuatu ditetapkan oleh Allah.

Charles Hodge: “The crucifixion of Christ was beyond doubt foreordained of God. It was, however, the greatest crime ever committed. It is therefore beyond all doubt the doctrine of the Bible that sin is foreordained (= Penyaliban Kristus tidak diragukan lagi ditentukan lebih dulu oleh Allah. Tetapi itu adalah tindakan kriminal terbesar yang pernah dilakukan. Karena itu tidak perlu diragukan lagi bahwa dosa ditentukan lebih dulu merupakan doktrin / ajaran dari Alkitab) - ‘Systematic Theology’, vol I, hal 544.

Charles Hodge: “it is utterly irrational to contend that God cannot foreordain sin, if He foreordained (as no Christian doubts) the crucifixion of Christ” [= adalah sama sekali tidak rasionil untuk berpendapat bahwa Allah tidak bisa menentukan dosa, jika Ia menentukan (seperti yang tidak ada orang kristen yang meragukan) penyaliban Kristus] - ‘Systematic Theology’, vol I, hal 547.

Jerome Zanchius: “That he fell in consequence of the Divine decree we prove thus: God was either willing that Adam should fall, or unwilling, or indifferent about it. If God was unwilling that Adam should transgress, how came it to pass that he did? ... Surely, If God had not willed the fall, He could, and no doubt would, have prevented it; but He did not prevent it: ergo, He willed it. And if he willed it, He certainly decreed it, for the decree of God is nothing else but the seal and ratification of His will. He does nothing but what He decreed, and He decreed nothing which He did not will, and both will and decree are absolutely eter­nal, though the execution of both be in time. The only way to evade the force of this reasoning is to say that ‘God was indifferent and unconcerned whether man stood or fell’. But in what a shameful, unwor­thy light does this represent the Deity! Is it possible for us to imagine that God could be an idle, careless spectator of one of the most important events that ever came to pass? Are not ‘the very hairs of our head are numbered’? Or does ‘a sparrow fall to the ground without our heavenly Father’? If, then, things the most trivial and worthless are subject to the appointment of His decree and the control of His providence, how much more is man, the masterpiece of this lower creation?” [= Bahwa ia (Adam) jatuh sebagai akibat dari ketetapan ilahi kami buktikan demikian: Allah itu atau menghendaki Adam jatuh, atau tidak menghendaki, atau acuh tak acuh / tak peduli tentang hal itu. Jika Allah tidak menghendaki Adam melanggar, bagaimana mungkin ia melanggar? ... Tentu saja, jika Allah tidak menghendaki kejatuhan itu, Ia bisa, dan tidak diragukan Ia akan mencegahnya; tetapi Ia tidak mencegahnya: jadi, Ia menghendakinya. Dan jika Ia menghendakinya, Ia pasti menetapkannya, karena ketetapan Allah tidak lain adalah meterai dan pengesahan kehendakNya. Ia tidak melakukan apapun kecuali apa yang telah Ia tetapkan, dan Ia tidak menetapkan apapun yang tidak Ia kehendaki, dan baik kehendak maupun ketetapan adalah kekal secara mutlak, sekalipun pelaksanaan keduanya ada dalam waktu. Satu-satunya cara untuk menghindarkan kekuatan dari pemikiran ini adalah dengan mengatakan bahwa ‘Allah bersikap acuh tak acuh dan tidak peduli apakah manusia itu jatuh atau tetap berdiri’. Tetapi alangkah memalukan dan tak berharganya terang seperti ini dalam menggambarkan Allah! Mungkinkah bagi kita untuk membayangkan bahwa Allah bisa menjadi penonton yang malas dan tak peduli terhadap salah satu peristiwa yang terpenting yang akan terjadi? Bukankah ‘rambut kepala kita dihitung’? Atau apakah ‘seekor burung pipit jatuh ke tanah tanpa Bapa surgawi kita’? Jika hal-hal yang paling remeh dan tak berharga tunduk pada penentuan ketetapanNya dan pada kontrol dari providensiaNya, betapa lebih lagi manusia, karya terbesar dari ciptaan yang lebih rendah ini?] - ‘The Doctrine of Absolute Predestination’, hal 88-89.
Catatan: Jerome Zanchius sebetulnya adalah seorang Lutheran, tetapi dalam hal ini pandangannya Reformed!

Edwin H. Palmer: It is even Biblical to say that God has foreordained sin. If sin was outside the plan of God, then not a single important affair of life would be ruled by God. For what action of man is perfectly good? All of history would then be outside of God’s foreordination: the fall of Adam, the crucifixion of Christ, the conquest of the Roman Empire, the battle of Hastings, the Reformation, the French Revolution, Waterloo, the American Revolution, the Civil War, two World Wars, presidential assassinations, racial violence, and the rise and fall of nations” (= Bahkan adalah sesuatu yang Alkitabiah untuk mengatakan bahwa Allah telah menentukan dosa lebih dulu. Jika dosa ada di luar rencana Allah, maka tidak ada satupun peristiwa kehidupan yang penting yang diperintah / dikuasai / diatur oleh Allah. Karena tindakan apa dari manusia yang baik secara sempurna? Seluruh sejarah juga akan ada di luar penentuan lebih dulu dari Allah: kejatuhan Adam, penyaliban Kristus, penaklukan kekaisaran Romawi, pertempuran Hastings, Reformasi, Revolusi Perancis, Waterloo, Revolusi Amerika, Perang saudara Amerika, kedua perang dunia, pembunuhan presiden, kejahatan / kekejaman rasial, dan bangkitnya dan jatuhnya bangsa-bangsa) - ‘The Five Points of Calvinism’, hal 82.

Edwin H. Palmer: “If sin were outside of God’s decree, then very little would be included in this decree. All the great empires would have been outside of God’s eternal, determinative decrees, for they were built on greed, hate, and selfishness, not for the glory of the Triune God. Certainly the following rulers, who influenced world history and countless numbers of lives, did not carry out the expansion of their empires for the glory of God: Pharaoh, Nebuchadnezzar, Cyrus, Alexander the Great, Ghenghis Khan, Caesar, Nero, Charles V, Henry VIII, Napoleon, Bismarck, Hitler, Stalin, Hirohito. If sin were beyond the foreordination of God, then not only were these vast empires and their events outside God’s plan, but also all the little daily events of every non Christians are outside of God’s power. For whatever is not done to the glory of the Christian God and out of faith in Jesus Christ is sin. ... The acts of the Christian are not perfect - even after he is born again and Christ is living in him. Sin still clings to him; he is not perfect until he is in heaven. For example, he does not love God with all of his heart, mind, and soul, nor does he truly love his neighbor as himself. Even his most admirable deeds are colored by sin. ... if sin is outside the decree of God, then the vast percentage of human actions - both the trivial and the significant - are removed from God’s plan. God’s power is reduced to the forces of nature, such as spinning of the galaxies and the laws of gravity and entropy. Most of history is outside His control” [= Seandainya dosa ada di luar ketetapan Allah, maka sangat sedikit yang termasuk dalam ketetapan ini. Semua kekaisaran yang besar akan ada di luar ketetapan Allah yang kekal dan bersifat menentukan, karena mereka dibangun pada keserakahan, kebencian, dan keegoisan, bukan untuk kemuliaan Allah Tritunggal. Pasti pemerintah-pemerintah di bawah ini, yang mempengaruhi sejarah dunia dan tak terhitung banyaknya jiwa, tidak melakukan perluasan kekaisaran mereka untuk kemuliaan Allah: Firaun, Nebukadnezar, Koresy, Alexander yang Agung, Jengggis Khan, (Yulius) Caesar, Nero, Charles V, Henry VIII, Napoleon, Bismarck, Hitler, Stalin, Hirohito. Seandainya dosa ada di luar penentuan lebih dulu dari Allah, maka bukan saja kekaisaran-kekaisaran yang luas ini dan semua peristiwa yang berhubungan dengan mereka ada di luar rencana Allah, tetapi juga semua peristiwa sehari-hari yang remeh dari setiap orang non Kristen ada di luar kuasa Allah. Karena apapun yang tidak dilakukan bagi kemuliaan Allah Kristen dan di luar iman dalam Yesus Kristus adalah dosa. ... Tindakan-tindakan dari orang Kristenpun tidak sempurna - bahkan setelah ia dilahirkan kembali dan Kristus hidup dalam dia. Dosa tetap melekat padanya; ia tidak sempurna sampai ia ada di surga. Misalnya, ia tidak mengasihi Allah dengan segenap hati, pikiran, dan jiwanya, juga ia tidak sungguh-sungguh mengasihi sesamanya seperti dirinya sendiri. Bahkan tindakan-tindakannya yang paling mengagumkan / terpuji diwarnai oleh dosa. ... jika dosa ada di luar ketetapan Allah, maka sebagian besar dari tindakan-tindakan manusia - baik yang remeh maupun yang penting - dikeluarkan dari rencana Allah. Kuasa Allah direndahkan sampai pada kekuatan-kekuatan alam, seperti menggerakkan galaxy dan hukum-hukum gravitasi dan entropi. Bagian terbesar dari sejarah ada di luar kontrolNya] - ‘The Five Points of Calvinism’, hal 97,98.
Catatan: buku ini diterjemahkan oleh L. R. I. I. (dengan judul ‘Lima Pokok Calvinisme’), dan diberi prakata oleh Pdt. Stephen Tong! Kalau memang ajaran seperti ini sesat, sebagaimana dikatakan oleh Pdt. Sutjipto Subeno, mengapa LRII menterjemahkan dan menerbitkan buku ini? Dan mengapa Pdt. Stephen Tong memberi prakata untuk suatu buku yang berisikan ajaran sesat? Lucu sekali, bukan?

Herman Hoeksema: “Nor must we, in regard to the sinful deeds of men and devils, speak only of God’s permission in distinction from His determination. Holy Scripture speaks a far more positive language. We realize, of course, that the motive for speaking God’s permission rather than of His predetermined will in regard to sin and the evil deeds of men is that God may never be presented as the author of sin. But this purpose is not reached by speaking of God’s permission or His permissive will: for if the Almighty permits what He could just as well have prevented, it is from an ethical viewpoint the same as if He had committed it Himself. But in this way we lose God and His sovereignty: for permis­sion presupposes the idea that there is a power without God that can produce and do something apart from Him, but which is simply permitted by God to act and operate. This is dualism, and it annihilates the complete and absolute sovereignty of God. And therefore we must main­tain that also sin and all the wicked deeds of men and angels have a place in the counsel of God, in the counsel of His will. Thus it is taught by the Word of God (= Juga kita tidak boleh, berkenaan dengan tindakan-tindakan berdosa dari manusia dan setan, berbicara hanya tentang ijin Allah dan membedakannya dengan penentuan / penetapanNya. Kitab Suci berbicara dengan suatu bahasa yang jauh lebih positif. Tentu saja kita menyadari bahwa motivasi untuk menggunakan istilah ‘ijin Allah’ dari pada ‘kehendakNya yang sudah ditetapkan lebih dulu’ berkenaan dengan dosa dan tindakan-tindakan jahat dari manusia adalah supaya Allah tidak pernah dinyatakan sebagai pencipta dosa. Tetapi tujuan ini tidak tercapai dengan menggunakan ‘ijin Allah’ atau ‘kehendak yang mengijinkan dari Allah’: karena jika Yang Maha Kuasa mengijinkan apa yang bisa Ia cegah, dari sudut pandang etika itu adalah sama seperti jika Ia melakukan hal itu sendiri. Tetapi dengan cara ini kita kehilangan Allah dan kedaulatanNya: karena ‘ijin’ mensyaratkan suatu gagasan bahwa ada suatu kekuatan di luar Allah yang bisa menghasilkan dan melakukan sesuatu terpisah dari Dia, tetapi yang diijinkan oleh Allah untuk bertindak dan beroperasi. Ini merupakan dualisme, dan ini menghapuskan kedaulatan Allah yang lengkap dan mutlak. Dan karena itu kita harus mempertahankan bahwa juga dosa dan semua tindakan-tindakan jahat dari manusia dan malaikat mempunyai tempat dalam rencana Allah, dalam keputusan kehendakNya. Demikianlah diajarkan oleh Firman Allah) - ‘Reformed Dogmatics’, hal 158.

Louis Berkhof: “It is customary to speak of the decree of God respecting moral evil as permissive. By His decree God rendered the sinful actions of man infallibly certain without deciding to effectuate them by acting immediately upon and in the finite will. This means that God does not positively work in man ‘both to will and to do’, when man goes con­trary to His revealed will. It should be carefully noted, however, that this permissive decree does not imply a passive permission of something which is not under the control of the divine will. It is a decree which renders the future sinful acts absolutely certain, but in which God determines (a) not to hinder the sinful self-determination of the finite will; and (b) to regulate and control the result of this sinful self-determination” [= Merupakan kebiasaan untuk berbicara tentang ketetapan Allah berkenaan dengan kejahatan moral sebagai bersifat mengijinkan. Oleh ketetapanNya Allah membuat tindakan-tindakan berdosa dari manusia menjadi pasti tanpa menetapkan untuk menyebabkan mereka terjadi dengan bertindak langsung dan bertindak dalam kehendak terbatas (kehendak manusia) itu. Ini berarti bahwa Allah tidak secara positif bekerja dalam manusia ‘baik untuk menghendaki dan untuk melakukan’, pada waktu manusia berjalan bertentangan dengan kehendakNya yang dinyatakan. Tetapi harus diperhatikan baik-baik bahwa ketetapan yang bersifat mengijinkan tidak berarti suatu ijin pasif dari sesuatu yang tidak ada di bawah kontrol dari kehendak ilahi. Itu merupakan suatu ketetapan yang membuat tindakan berdosa yang akan datang itu pasti secara mutlak, tetapi dalam mana Allah menentukan (a) untuk tidak menghalangi keputusan yang berdosa yang dilakukan sendiri oleh kehendak terbatas / kehendak manusia; dan (b) untuk mengatur dan mengontrol akibat / hasil dari keputusan berdosa ini] - ‘Systematic Theology’, hal 105.

William G. T. Shedd: “When God executes his decree that Saul of Tarsus shall be ‘a vessel of mercy’, he works efficiently within him by his Holy Spirit ‘to will and to do’. When God executes his decree that Judas Iscariot shall be ‘a vessel of wrath fitted for destruction’, he does not work efficiently within him ‘to will and to do’, but permissively in the way of allowing him to have his own wicked will. He decides not to restrain him or to regenerate him, but to leave him to his own obstinate and rebellious inclination and purpose; and accordingly ‘the Son of man goeth, as it was determined, but woe unto that man by whom he is betrayed’ (Luke 22:22; Acts 2:23). The two Divine methods in the two cases are plainly different, but the perdition of Judas was as much foreordained and free from chance, as the conversion of Saul [= Pada waktu Allah melaksanakan ketetapanNya bahwa Saulus dari Tarsus akan menjadi ‘bejana / benda belas kasihan’, Ia bekerja secara efisien di dalamnya dengan Roh KudusNya ‘untuk mau / menghendaki dan untuk melakukan’. Pada waktu Allah melaksanakan ketetapanNya bahwa Yudas Iskariot akan menjadi ‘bejana kemurkaan yang cocok untuk kehancuran / benda kemurkaan yang telah dipersiapkan untuk kebinasaan’, Ia tidak bekerja secara efisien dalam dirinya ‘untuk mau / menghendaki dan untuk melakukan’, tetapi dengan cara mengijinkan dia mempunyai kehendak jahatnya sendiri. Ia memutuskan untuk tidak mengekang dia atau melahirbarukan dia, tetapi membiarkan dia pada kecondongan dan rencananya sendiri yang keras kepala dan bersifat memberontak; dan karena itu ‘Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan’ (Luk 22:22; Kis 2:23). Kedua metode ilahi dalam kedua kasus ini jelas berbeda, tetapi kebinasaan Yudas ditentukan lebih dulu dan bebas dari kebetulan, sama seperti pertobatan Saulus] - ‘Calvinism: Pure & Mixed’, hal 31.

Calvin: “God wills that the false king Ahab be deceived; the devil offers his services to this end; he is sent, with a definite command, to be a lying spirit in the mouth of all the prophets (1Kings 22:20,22). If the blinding and insanity of Ahab be God’s judgment, the figment of bare permission vanishes: because it would be ridiculous for the Judge only to permit what he wills to be done, and not also to decree it and to command its execution by his ministers [= Allah menghendaki bahwa raja Ahab yang tidak benar ditipu; setan menawarkan pelayanannya untuk tujuan ini; ia dikirim, dengan perintah yang pasti, untuk menjadi roh dusta dalam mulut semua nabi (1Raja 22:20,22). Jika pembutaan dan kegilaan Ahab adalah penghakiman Allah, isapan jempol tentang ‘sekedar ijin’ hilang: karena adalah menggelikan bagi sang Hakim untuk hanya mengijinkan apa yang Ia kehendaki untuk dilakukan, dan tidak juga menetapkannya dan memerintahkan pelaksanaannya oleh pelayan-pelayanNya] - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book I, Chapter XVIII, no 1.

Calvin: “Those who are moderately versed in the Scriptures see that for the sake of brevity I have put forward only a few of many testimonies. Yet from these it is more than evident that they babble and talk absurdly who, in place of God’s providence, substitute bare permission - as if God sat in a watchtower awaiting chance events, and his judgments thus depended upon human will”(= Mereka yang betul-betul mengetahui Kitab Suci melihat bahwa untuk singkatnya saya hanya memberikan sedikit dari banyak kesaksian. Tetapi dari kesaksian-kesaksian ini adalah lebih dari jelas bahwa mereka mengoceh dan berbicara secara menggelikan yang, menggantikan providensia Allah dengan ‘sekedar ijin’ - seakan-akan Allah duduk di menara pengawal menunggu kejadian-kejadian yang terjadi secara kebetulan, dan dengan demikian penghakimanNya tergantung pada kehendak manusia) - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book I, Chapter XVIII, no 1.

B. B. Warfield: “the minutest occurrences are as directly controlled by Him as the greatest (Matt. 10:29-30, Luke 12:7)” [= Peristiwa-peristiwa / kejadian-kejadian yang terkecil dikontrol secara langsung oleh Dia sama seperti peristiwa-peristiwa / kejadian-kejadian yang terbesar (Mat 10:29-30, Luk 12:7)] - ‘Biblical and Theological Studies’, hal 296.

Calvin: “But anyone who has been taught by Christ’s lips that all the hairs of his head are numbered (Matt 10:30) will look farther afield for a cause, and will consider that all events are governed by God’s secret plan [= Tetapi setiap orang yang telah diajar oleh bibir Kristus bahwa semua rambut kepalanya terhitung (Mat 10:30) akan melihat lebih jauh untuk suatu penyebab, dan akan menganggap bahwa semua kejadian diatur oleh rencana rahasia Allah] - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book I, Chapter XVI, no 2.

Calvin: “... it is certain that not one drop of rain falls without God’s sure command” (= ... adalah pasti bahwa tidak satu titik hujanpun yang jatuh tanpa perintah yang pasti dari Allah) - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book I, Chapter XVI, no 5.

Dan dalam tafsirannya tentang kata-kata ‘jika Allah menghendakinya’ dalam Kis 18:21, Calvin berkata: “we do all confess that we be not able to stir one finger without his direction” (= kita semua mengakui bahwa kita tidak bisa menggerakkan satu jari tanpa pimpinanNya).

Calvin: “A certain man has abundant wine and grain. Since he cannot enjoy a single morsel of bread apart from God’s continuing favor, his wine and granaries will not hinder him from praying for his daily bread” (= Seorang tertentu mempunyai anggur dan padi / gandum berlimpah-limpah. Karena ia tidak bisa menikmati sepotong kecil rotipun terpisah dari kemurahan / kebaikan hati yang terus menerus dari Allah, anggur dan lumbung-lumbungnya tidak menghalangi dia untuk berdoa untuk roti hariannya) - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book III, Chapter XX, No 7.

Mengomentari Luk 22:60-61 Spurgeon berkata: God has all things in his hands, he has servants everywhere, and the cock shall crow, by the secret movement of his providence, just when God wills; and there is, perhaps, as much of divine ordination about the crowing of a cock as about the ascending of an emperor to his throne. Things are only little and great according to their bearings; and God reckoned not the crowing bird to be a small thing, since it was to bring a wanderer back to his Saviour, for, just as the cock crew, ‘The Lord turned, and looked upon Peter.’ That was a different look from the one which the girl had given him, but that look broke his heart” [= Allah mempunyai / memegang segala sesuatu di tanganNya, Ia mempunyai pelayan di mana-mana, dan ayam akan berkokok, oleh gerakan / dorongan rahasia dari providensiaNya, persis pada saat Allah menghendakinya; dan di sana mungkin ada pengaturan / penentuan ilahi yang sama banyaknya tentang berkokoknya seekor ayam seperti tentang naiknya seorang kaisar ke tahtanya. Hal-hal hanya kecil dan besar menurut hubungannya / sangkut pautnya / apa yang diakibatkannya; dan Allah tidak menganggap berkokoknya burung / ayam sebagai hal yang kecil, karena itu akan membawa orang yang menyimpang kembali kepada Juruselamatnya, karena, persis pada saat ayam itu berkokok, ‘berpalinglah Tuhan memandang Petrus’. Ini adalah pandangan yang berbeda dengan pandangan yang tadi telah diberikan seorang perempuan kepadanya (Luk 22:56), tetapi pandangan itu menghancurkan hatinya] - ‘Spurgeon’s Expository Encyclopedia’, vol 12, hal 20.

Tentang kejatuhan Ahazia dari kisi-kisi kamar atas dalam 2Raja 1:2, Pulpit Commentary memberikan komentar sebagai berikut: “The fainéant king came to his end in a manner: 1. Sufficiently simple. Idly lounging at the projecting lattice window of his palace in Samaria - perhaps leaning against it, and gazing from his elevating position on the fine prospect that spreads itself around - his support suddenly gave way, and he was precipitated to the ground, or courtyard, below. He is picked up, stunned, but not dead, and carried to his couch. It is, in common speech, an accident - some trivial neglect of a fastening - but it terminated this royal career. On such slight contingencies does human life, the change of rulers, and often the course of events in history, depend. We cannot sufficiently ponder that our existence hangs by the finest thread, and that any trivial cause may at any moment cut it short (Jas. 4:14).  2. Yet providential. God’s providence is to be recognized in the time and manner of this king’s removal. He had ‘provoked to anger the Lord God of Israel’ (1Kings 22:53), and God in this sudden way cut him off. This is the only rational view of the providence of God, since, as we have seen, it is from the most trivial events that the greatest results often spring. The whole can be controlled only by the power that concerns itself with the details. A remarkable illustration is afforded by the death of Ahaziah’s own father. Fearing Micaiah’s prophecy, Ahab had disguised himself on the field of battle, and was not known as the King of Israel. But he was not, therefore, to escape. A man in the opposing ranks ‘drew a bow at a venture,’ and the arrow, winged with a Divine mission, smote the king between the joints of his armour, and slew him (1Kings 22:34). The same minute providence which guided that arrow now presided over the circumstances of Ahaziah’s fall. There is in this doctrine, which is also Christ’s (Matt. 10:29,30), comfort for the good, and warning for the wicked. The good man acknowledges, ‘My times are in thy hand’ (Ps. 31:15), and the wicked man should pause when he reflects that he cannot take his out of that hand” [= Raja yang malas sampai pada akhir hidupnya dengan cara: 1. Cukup sederhana. Duduk secara malas pada kisi-kisi jendela yang menonjol dari istananya di Samaria - mungkin bersandar padanya, dan memandang dari posisinya yang tinggi pada pemandangan yang indah di sekitarnya - sandarannya tiba-tiba patah, dan ia jatuh ke tanah atau halaman di bawah. Ia diangkat, pingsan, tetapi tidak mati, dan dibawa ke dipan / ranjangnya. Dalam pembicaraan umum itu disebut suatu kecelakaan / kebetulan - suatu kelalaian yang remeh dalam pemasangan (jendela / kisi-kisi) - tetapi itu mengakhiri karir kerajaannya. Pada hal-hal kebetulan / tak tentu yang remeh seperti ini tergantung hidup manusia, pergantian penguasa / raja, dan seringkali rangkaian dari peristiwa-peristiwa dalam sejarah. Kita tidak bisa terlalu banyak dalam merenungkan bahwa keberadaan kita tergantung pada benang yang paling tipis, dan bahwa setiap saat sembarang penyebab yang remeh bisa memutuskannya (Yak 4:14). 2. Tetapi bersifat providensia. Providensia ilahi / pelaksanaan rencana Allah harus dikenali dalam waktu dan cara penyingkiran raja ini. Ia telah ‘menimbulkan kemarahan / sakit hati Tuhan, Allah Israel’ (1Raja 22:54), dan Allah dengan cara mendadak ini menyingkirkannya. Ini merupakan satu-satunya pandangan rasionil tentang providensia Allah, karena, seperti telah kita lihat, adalah dari peristiwa yang paling remehlah sering muncul akibat yang terbesar. Seluruhnya bisa dikontrol hanya oleh kuasa yang memperhatikan hal-hal yang kecil. Suatu ilustrasi yang hebat / luar biasa diberikan oleh kematian dari ayah Ahazia sendiri. Karena takut pada nubuat Mikha, Ahab menyamar dalam medan pertempuran, dan tidak dikenal sebagai raja Israel. Tetapi hal itu tidak menyebabkannya lolos. Seseorang dari barisan lawan ‘menarik busurnya secara untung-untungan / sembarangan’ dan anak panah itu, terbang dengan misi ilahi, mengenai sang raja di antara sambungan baju zirahnya, dan membunuhnya (1Raja 22:34). Providensia yang sama seksamanya, yang memimpin anak panah itu, sekarang memimpin / menguasai situasi dan kondisi dari kejatuhan Ahazia. Dalam doktrin / ajaran ini, yang juga merupakan ajaran Kristus (Mat 10:29-30), ada penghiburan untuk orang baik / saleh, dan peringatan untuk orang jahat. Orang baik mengakui: ‘Masa hidupku ada dalam tanganMu’ (Maz 31:16), dan orang jahat harus berhenti ketika ia merenungkan bahwa ia tidak bisa mengambil masa hidupnya dari tangan itu] - hal 13-14.
Catatan: 1Raja 22:53 dalam Kitab Suci Inggris adalah 1Raja 22:54 dalam Kitab Suci Indonesia.
2Raja 1:2 - “Pada suatu hari jatuhlah Ahazia dari kisi-kisi kamar atasnya yang ada di Samaria, lalu menjadi sakit. Kemudian dikirimnyalah utusan-utusan dengan pesan: ‘Pergilah, mintalah petunjuk kepada Baal-Zebub, allah di Ekron, apakah aku akan sembuh dari penyakit ini.’”.
1Raja 22:34 - “Tetapi seseorang menarik panahnya dan menembak dengan sembarangan saja dan mengenai raja Israel di antara sambungan baju zirahnya. Kemudian ia berkata kepada pengemudi keretanya: ‘Putar! Bawa aku keluar dari pertempuran, sebab aku sudah luka.’”.

Lalu, dalam tafsiran tentang 2Raja 5, dimana kata-kata yang sederhana dari seorang gadis Israel ternyata bisa membawa kesembuhan bagi Naaman dari penyakit kustanya, Pulpit Commentary mengatakan sebagai berikut: “The dependence of the great upon the small. The recovery of this warrior resulted from the word of this captive maid. Some persons admit the hand of God in what they call great events! But what are the great events? ‘Great’ and ‘small’ are but relative terms. And even what we call ‘small’ often sways and shapes the ‘great.’ One spark of fire may burn down all London” (= Ketergantungan hal yang besar pada hal yang kecil. Kesembuhan dari pejuang ini dihasilkan / diakibatkan dari kata-kata dari pelayan tawanan ini. Sebagian orang mengakui tangan Allah dalam apa yang mereka sebut peristiwa besar! Tetapi apakah peristiwa besar itu? ‘Besar’ dan ‘kecil’ hanyalah istilah yang relatif. Dan bahkan apa yang kita sebut ‘kecil’ sering mempengaruhi dan membentuk yang ‘besar’. Sebuah letikan api bisa membakar seluruh kota London) - hal 110.

R. C. Sproul: “For want of a nail the shoe was lost; for want of the shoe the horse was lost; for want of the horse the rider was lost; for want of the rider the battle was lost; for want of the battle the war was lost” [= Karena kekurangan sebuah paku maka sebuah sepatu (kuda) hilang; karena kekurangan sebuah sepatu (kuda) maka seekor kuda hilang; karena kekurangan seekor kuda maka seorang penunggang kuda hilang; karena kekurangan seorang penunggang kuda maka sebuah pertempuran hilang (kalah); karena kekurangan sebuah pertempuran maka peperangan hilang (kalah)] - ‘Chosen By God’, hal 155.

B. B. Warfield:
·         “Throughout the Old Testament, behind the processes of nature, the march of history and the fortunes of each individual life alike, there is steadily kept in view the governing hand of God working out His preconceived plan - a plan broad enough to embrace the whole universe of things, minute enough to concern itself with the smallest details, and actualizing itself with inevitable certainty in every event that comes to pass” (= Sepanjang Perjanjian Lama, dibalik proses alam, gerakan dari sejarah dan nasib dari setiap kehidupan, terus menerus ditunjukkan tangan pemerintahan Allah yang melaksanakan rencana yang sudah direncanakanNya lebih dulu - suatu rencana yang cukup luas untuk mencakup seluruh alam semesta, cukup kecil / seksama untuk memperhatikan detail-detail yang terkecil, dan mewujudkan dirinya sendiri dengan kepastian yang tidak dapat dihindarkan / dielakkan dalam setiap peristiwa / kejadian yang terjadi) - ‘Biblical and Theological Studies’, hal 276.
·         “But, in the infinite wisdom of the Lord of all the earth, each event falls with exact precision into its proper place in the unfolding of His eternal plan; nothing, however small, however strange, occurs without His ordering, or without its peculiar fitness for its place in the working out of His purpose; and the end of all shall be the manifestation of His glory, and the accumulation of His praise” (= Tetapi, dalam hikmat yang tidak terbatas dari Tuhan seluruh bumi, setiap peristiwa / kejadian jatuh dengan ketepatan yang tepat pada tempatnya dalam pembukaan dari rencana kekalNya; tidak ada sesuatupun, betapapun kecilnya, betapapun anehnya, terjadi tanpa pengaturan / perintahNya, atau tanpa kecocokannya yang khusus untuk tempatnya dalam pelaksanaan RencanaNya; dan akhir dari semua adalah akan diwujudkannya kemuliaanNya, dan pengumpulan pujian bagiNya) - ‘Biblical and Theological Studies’, hal 285.

2)   Sekarang, apakah ajaran Reformed di atas memang Alkitabiah? Untuk mengetahui hal itu mari kita melihat ayat-ayat yang saya berikan di bawah ini, yang menjadi dasar Alkitabiah dari ajaran Reformed tersebut.

a)   Kel 21:13 - Tetapi jika pembunuhan itu tidak disengaja, melainkan tangannya ditentukan Allah melakukan itu, maka Aku akan menunjukkan bagimu suatu tempat, ke mana ia dapat lari”.

Yang dimaksud dengan ‘pembunuhan yang tidak disengaja’ itu dijelaskan / diberi contoh dalam Ul 19:4-5, yaitu orang yang pada waktu mengayunkan kapak, lalu mata kapaknya terlepas dan mengenai orang lain sehingga mati. Hal seperti ini kelihatannya ‘kebetulan’, tetapi toh Kel 21:13 itu mengatakan bahwa hal itu bisa terjadi karena ‘tangannya ditentukan Allah melakukan itu’. Jadi, jelas bahwa hal-hal yang kelihatannya kebetulan sekalipun hanya bisa terjadi kalau itu sesuai kehendak / Rencana Allah.

Calvin (tentang Kel 21:13): it must be remarked, that Moses declares that accidental homicide, as it is commonly called, does not happen by chance or accident, but according to the will of God, as if He himself led out the person, who is killed, to death. By whatever kind of death, therefore, men are taken away, it is certain that we live or die only at His pleasure; and surely, if not even a sparrow can fall to the ground except by His will, (Matthew 10:29,) it would be very absurd that men created in His image should be abandoned to the blind impulses of fortune. Wherefore it must be concluded, as Scripture elsewhere teaches, that the term of each man’s life is appointed, with which another passage corresponds, ‘Thou turnest man to destruction, and sayest, Return, ye children of men.’ (Psalm 90:3.) It is true, indeed, that whatever has no apparent cause or necessity seems to us to be fortuitous; and thus, whatever, according to nature, might happen otherwise we call accidents, (contingentia;) yet in the meantime it must be remembered, that what might else incline either way is governed by God’s secret counsel, so that nothing is done without His arrangement and decree” [= harus diperhatikan, bahwa Musa menyatakan bahwa pembunuhan yang bersifat kebetulan, seperti yang biasanya disebut, tidak terjadi oleh kebetulan, tetapi sesuai / menurut kehendak Allah, seakan-akan Ia sendiri membimbing orang, yang dibunuh / terbunuh, pada kematian. Karena itu, oleh jenis kematian apapun, orang-orang diambil, adalah pasti bahwa kita hidup dan mati hanya pada perkenanNya; dan pastilah, jika bahkan seekor burung pipit tidak bisa jatuh ke tanah kecuali oleh kehendakNya (Mat 10:29), adalah sangat menggelikan bahwa manusia yang diciptakan menurut gambarNya harus ditinggalkan pada perubahan nasib yang buta. Karena itu haruslah disimpulkan, sebagaimana Kitab Suci di bagian lain mengajarkan, bahwa masa hidup dari setiap orang ditetapkan, dengan mana text yang lain sesuai, ‘Engkau membelokkan manusia kepada kehancuran / kebinasaan, dan berkata: ‘Kembalilah, hai anak-anak manusia!’ (Maz 90:3, KJV). Memang benar bahwa apapun yang tidak mempunyai penyebab yang jelas atau keharusan, bagi kita kelihatannya merupakan kebetulan; dan demikianlah, apapun, menurut alam, bisa terjadi sebagai apa yang kita sebut kebetulan, tetapi pada saat yang sama harus diingat, bahwa apa yang bisa menyimpangkan ke arah manapun diperintah oleh rencana rahasia Allah, sehingga tak ada apapun yang terjadi tanpa pengaturan dan ketetapanNya].
Maz 90:3 - Engkau mengembalikan manusia kepada debu, dan berkata: ‘Kembalilah, hai anak-anak manusia!’”.

b)   1Sam 6:7-12 - “(7) Oleh sebab itu ambillah dan siapkanlah sebuah kereta baru dengan dua ekor lembu yang menyusui, yang belum pernah kena kuk, pasanglah kedua lembu itu pada kereta, tetapi bawalah anak-anaknya kembali ke rumah, supaya jangan meng-ikutinya lagi. (8) Kemudian ambillah tabut TUHAN, muatkanlah itu ke atas kereta dan letakkanlah benda-benda emas, yang harus kamu bayar kepadaNya sebagai tebusan salah, ke dalam suatu peti di sisinya. Dan biarkanlah tabut itu pergi. (9) Perhatikanlah: apabila tabut itu mengambil jalan ke daerahnya, ke Bet-Semes, maka Dialah itu yang telah mendatangkan malapetaka yang hebat ini kepada kita. Dan jika tidak, maka kita mengetahui, bahwa bukanlah tanganNya yang telah menimpa kita; kebetulan saja hal itu terjadi kepada kita.’ (10) Demikianlah diperbuat orang-orang itu. Mereka mengambil dua ekor lembu yang menyusui, dipasangnya pada kereta, tetapi anak-anaknya ditahan di rumah. (11) Mereka meletakkan tabut TUHAN ke atas kereta, juga peti berisi tikus-tikus emas dan gambar benjol-benjol mereka. (12) Lembu-lembu itu langsung mengikuti jalan yang ke Bet-Semes; melalui satu jalan raya, sambil menguak dengan tidak menyimpang ke kanan atau ke kiri, sedang raja-raja kota orang Filistin itu berjalan di belakangnya sampai ke daerah Bet-Semes”.

Orang Filistin ingin tahu apakah wabah yang menimpa mereka (1Sam 5) berasal dari Tuhan atau hanya kebetulan saja. Dan untuk mengetahui hal itu mereka melakukan percobaan. Hasil dari percobaan itu adalah jelas. Itu bukan kebetulan, tetapi Tuhanlah yang melakukan semua itu.

c)   1Raja 22:34 - “Tetapi seseorang menarik panahnya dan menembak dengan sembarangan saja dan mengenai raja Israel di antara sambungan baju zirahnya. Kemudian ia berkata kepada pengemudi keretanya: ‘Putar! Bawa aku keluar dari pertempuran, sebab aku sudah luka.’”.
Kitab Suci Indonesia: ‘menembak dengan sembarangan.
KJV/RSV: ‘drew a bow at a venture (= menarik busurnya secara untung-untungan).
NIV/NASB: ‘drew his bow at random (= menarik busurnya secara sembarangan).
Catatan: Kata bentuk jamaknya muncul dalam 2Sam 15:11 dan dalam Kitab Suci Indonesia diterjemahkan ‘tanpa curiga’.
NIV: ‘quite innocently’ (= dengan tak bersalah).
NASB: ‘innocently’ (= dengan tak bersalah).
KJV/RSV: ‘in their simplicity’ (= dalam kesederhanaan mereka).

Pulpit Commentary: “An unknown, unconscious archer. The arrow that pierced Ahab’s corselet was shot ‘in simplicity,’ without deliberate aim, with no thought of striking the king. It was an unseen Hand that guided that chance shaft to its destination. It was truly ‘the arrow of the Lord’s vengeance.’” (= Seorang pemanah yang tak dikenal, dan yang tak menyadari tindakannya. Panah yang menusuk pakaian perang Ahab ditembakkan ‘dalam kesederhanaan’, tanpa tujuan yang disengaja, dan tanpa pikiran untuk menyerang sang raja. Adalah ‘Tangan yang tak kelihatan’ yang memimpin ‘panah kebetulan’ itu pada tujuannya. Itu betul-betul merupakan ‘panah pembalasan Tuhan’) - hal 545.

Pulpit Commentary: “how useless are disguises when the providence of Omniscience is concerned! Ahab might hide himself from the Syrians, but he could not hide himself from God. Neither could he hide himself from angels and devils, who are instruments of Divine Providence, ever influencing men, and even natural laws, or forces of nature” (= betapa tidak bergunanya penyamaran pada waktu providensia dari Yang Mahatahu yang dipersoalkan! Ahab bisa menyembunyikan dirinya dari orang Aram, tetapi ia tidak bisa menyembunyikan dirinya dari Allah. Ia juga tidak bisa menyembunyikan dirinya dari malaikat dan setan, yang merupakan alat-alat dari Providensia Ilahi, yang selalu mempengaruhi manusia, dan bahkan hukum-hukum alam, atau kuasa / kekuatan alam) - hal 552.

Pulpit Commentary: “The chance shot. The success of Ahab’s device only served to make the blow come more plainly from the hand of God. Benhadad’s purpose could be baffled, but not His. There is no escape from God” (= Tembakan kebetulan. Sukses dari muslihat Ahab hanya berfungsi untuk membuat kelihatan dengan lebih jelas bahwa serangan itu datang dari tangan Allah. Tujuan / rencana Benhadad bisa digagalkan / dihalangi, tetapi tidak tujuan / rencanaNya. Tidak ada jalan untuk lolos dari Allah) - hal 557.

Jadi, ini lagi-lagi menunjukkan bahwa tidak ada ‘kebetulan’. Semua yang kelihatannya merupakan kebetulan, diatur oleh Allah.

d)   Amsal 16:33 - “Undi dibuang di pangkuan, tetapi setiap keputusannya berasal dari pada TUHAN”.

Tidak ada yang kelihatan lebih bersifat kebetulan dari pada undi yang dibuang di pangkuan, tetapi toh ayat ini mengatakan bahwa setiap keputusannya berasal dari Tuhan.

Matthew Henry: “The divine Providence orders and directs those things which to us are perfectly casual and fortuitous. Nothing comes to pass by chance, nor is an event determined by a blind fortune, but every thing by the will and counsel of God” [= Providensia ilahi mengatur dan mengarahkan hal-hal itu, yang bagi kita sepenuhnya adalah sembarangan dan kebetulan. Tidak ada yang terjadi karena kebetulan, juga tidak ada peristiwa yang ditentukan oleh nasib / takdir yang buta, tetapi segala sesuatu (terjadi / ditentukan) oleh kehendak dan rencana Allah].

Catatan: ini tidak berarti bahwa pada jaman sekarang kita boleh mencari kehendak Tuhan dengan cara ini. Pada jaman sekarang, dimana kita sudah mempunyai Kitab Suci yang lengkap, maka kita harus mencari kehendak Tuhan melalui Kitab Suci / Firman Tuhan.

e)   Rut 2:3 - “Pergilah ia, lalu sampai di ladang dan memungut jelai di belakang penyabit-penyabit; kebetulan ia berada di tanah milik Boas, yang berasal dari kaum Elimelekh”.

Charles Haddon Spurgeon memberikan renungan tentang Rut 2:3, dimana ia berkata sebagai berikut:
“Her hap was. Yes, it seemed nothing but an accidental happenstance, but how divinely was it planned! Ruth had gone forth with her mother’s blessing under the care of her mother’s God to humble but honorable toil, and the providence of God was guiding her every step. Little did she know that amid the sheaves she would find a husband, that he would make her the joint owner of all those broad acres, and that she, a poor foreigner, would become one of the progenitors of the great Messiah. ... Chance is banished from the faith of Christians, for they see the hand of God in everything. The trivial events of today or tomorrow may involve consequences of the highest importance” (= ‘Kebetulan ia berada’. Ya, itu kelihatannya bukan lain dari pada suatu kejadian yang bersifat kebetulan, tetapi hal itu direncanakan secara ilahi! Rut telah pergi dengan berkat dari ibunya di bawah pemeliharaan dari Allah ibunya kepada pekerjaan yang rendah tetapi terhormat, dan providensia Allah membimbing setiap langkahnya. Sedikitpun ia tidak menyangka bahwa di antara berkas-berkas jelai itu ia akan menemukan seorang suami, bahwa ia akan membuatnya menjadi pemilik dari seluruh tanah yang luas itu, dan bahwa ia, seorang asing yang miskin, akan menjadi salah seorang nenek moyang dari Mesias yang agung. ... Kebetulan dibuang dari iman orang-orang Kristen, karena mereka melihat bahwa tangan Allah ada dalam segala sesuatu. Peristiwa-peristiwa remeh dari hari ini atau besok bisa melibatkan konsekwensi-konsekwensi yang paling penting) - ‘Morning and Evening’, October 25, evening.

f)    2Raja 9:21 - “Sesudah itu berkatalah Yoram: ‘Pasanglah kereta!’, lalu orang memasang keretanya. Maka keluarlah Yoram, raja Israel, dan Ahazia, raja Yehuda, masing-masing naik keretanya; mereka keluar menemui Yehu, lalu menjumpai dia di kebun Nabot, orang Yizreel itu”.

Pulpit Commentary: “Humanly speaking, this was accidental. ... Had the king started a little sooner, or had Jehu made less haste, the meeting would have taken place further from the town, and outside the ‘portion of Naboth.’ But Divine providence so ordered matters that vengeance for the sin of Ahab was exacted upon the very scene of his guilt, and a prophecy made, probably by Elisha, years previously, and treasured up in the memory of Jehu (ver. 26), was fulfilled to the letter” (= Berbicara secara manusia, ini merupakan suatu kebetulan. ... Seandainya sang raja berangkat sedikit lebih awal, atau seandainya Yehu mengurangi sedikit saja ketergesa-gesaannya, maka pertemuan itu akan terjadi lebih jauh dari kota, dan di luar ‘kebun dari Nabot’. Tetapi Providensia Ilahi mengatur hal-hal sedemikian rupa sehingga pembalasan untuk dosa Ahab ditetapkan pada tempat yang persis sama dengan tempat dari kesalahannya, dan suatu nubuat dibuat, mungkin oleh Elisa, bertahun-tahun sebelumnya, dan disimpan dalam ingatan Yehu (ay 26), digenapi sampai hal yang terkecil) - hal 192.

Semua ini menunjukkan bahwa dalam membuat RencanaNya, Allah bukan hanya merencanakan / menetapkan garis besarnya saja, tetapi lengkap dengan semua detail-detailnya, sampai hal-hal yang sekecil-kecilnya.

Loraine Boettner: “The Pelagian denies that God has a plan; the Arminian says that God has a general plan but not a specific plan; but the Calvinist says that God has a specific plan which embraces all events in all ages” (= Orang yang menganut Pelagianisme menyangkal bahwa Allah mempunyai rencana; orang Arminian berkata bahwa Allah mempunyai rencana yang umum tetapi bukan rencana yang specific; tetapi orang Calvinist mengatakan bahwa Allah mempunyai rencana yang specific yang mencakup semua peristiwa / kejadian dalam semua jaman) - ‘The Reformed Doctrine of Predestination’, hal 22-23.

B. B. Warfield:
·         “Throughout the Old Testament, behind the processes of nature, the march of history and the fortunes of each individual life alike, there is steadily kept in view the governing hand of God working out His preconceived plan - a plan broad enough to embrace the whole universe of things, minute enough to concern itself with the smallest details, and actualizing itself with inevitable certainty in every event that comes to pass” (= Sepanjang Perjanjian Lama, dibalik proses alam, gerakan dari sejarah dan nasib dari setiap kehidupan, terus menerus ditunjukkan tangan pemerintahan Allah yang melaksanakan rencana yang sudah direncanakanNya lebih dulu - suatu rencana yang cukup luas untuk mencakup seluruh alam semesta, cukup kecil / seksama untuk memperhatikan detail-detail yang terkecil, dan mewujudkan dirinya sendiri dengan kepastian yang tidak dapat dihindarkan / dielakkan dalam setiap peristiwa / kejadian yang terjadi) - ‘Biblical and Theological Studies’, hal 276.
·         “But, in the infinite wisdom of the Lord of all the earth, each event falls with exact precision into its proper place in the unfolding of His eternal plan; nothing, however small, however strange, occurs without His ordering, or without its peculiar fitness for its place in the working out of His purpose; and the end of all shall be the manifestation of His glory, and the accumulation of His praise” (= Tetapi, dalam hikmat yang tidak terbatas dari Tuhan seluruh bumi, setiap peristiwa / kejadian jatuh dengan ketepatan yang tepat pada tempatnya dalam pembukaan dari rencana kekalNya; tidak ada sesuatupun, betapapun kecilnya, betapapun anehnya, terjadi tanpa pengaturan / perintahNya, atau tanpa kecocokannya yang khusus untuk tempatnya dalam pelaksanaan RencanaNya; dan akhir dari semua adalah akan diwujudkannya kemuliaanNya, dan pengumpulan pujian bagiNya) - ‘Biblical and Theological Studies’, hal 285.

Charles Hodge: “As God works on a definite plan in the external world, it is fair to infer that the same is true in reference to the moral and spiritual world. To the eye of an uneducated man the heavens are a chaos of stars. The astronomer sees order and system in this confusion; all those bright and distant luminaries have their appointed places and fixed orbits; all are so arranged that no one interferes with any other, but each is directed according to one comprehensive and magnificent conception” (= Sebagaimana Allah mengerjakan rencana tertentu dalam dunia lahiriah / jasmani, adalah wajar untuk mengambil kesimpulan bahwa hal itu juga benar berkenaan dengan dunia moral dan rohani. Bagi mata seorang yang tidak berpendidikan langit merupakan bintang-bintang yang kacau. Ahli perbintangan / ilmu falak melihat keteraturan dan sistim dalam kekacauan ini; semua benda-benda bersinar yang terang dan jauh itu mempunyai tempat dan orbit tetap yang ditetapkan; semua begitu diatur sehingga tidak satupun mengganggu yang lain, tetapi masing-masing diarahkan menurut suatu konsep yang luas dan besar / indah) - ‘Systematic Theology’, vol II hal 313.

Saya berpendapat bagian yang saya garis-bawahi tersebut merupakan hal yang perlu dicamkan. Analoginya dalam dunia theologia adalah: bagi orang yang tidak mengerti theologia, semua merupakan kekacauan, atau semua terjadi begitu saja, atau secara kebetulan. Tetapi bagi mata seorang ahli theologia, segala sesuatu ditetapkan dan diatur oleh Allah.

3)   Mau dasar Alkitab lebih banyak lagi untuk ajaran Reformed di atas? Baca semua ayat di bawah ini:

a)   Luk 22:22 - “Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan”.
Ayat ini menunjukkan bahwa pengkhianatan yang dilakukan oleh Yudas terhadap Yesus, yang jelas adalah suatu dosa, telah ditetapkan oleh Allah.

b)   Kis 2:23 - “Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencanaNya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka”.
Kis 3:18 - “Tetapi dengan jalan demikian Allah telah menggenapi apa yang telah difirmankanNya dahulu dengan perantaraan nabi-nabiNya, yaitu bahwa Mesias yang diutusNya harus menderita”.
Kis 4:27-28 - “(27) Sebab sesungguhnya telah berkumpul di dalam kota ini Herodes dan Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa Israel melawan Yesus, HambaMu yang kudus, yang Engkau urapi, (28) untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendakMu”.
Ayat-ayat di atas ini menunjukkan bahwa pembunuhan terhadap Kristus (ini adalah dosa yang paling terkutuk) sudah ditentu­kan sejak semula. Perhatikan khususnya kata-kata ‘menurut maksud dan rencanaNya’ dalam Kis 2:23, dan juga kata ‘tentukan’ dalam Kis 4:28. Jelas ini bukan sekedar menunjuk pada foreknowledge (= pengetahuan lebih dulu) dari Allah, tetapi menunjuk pada foreordination (= penetapan lebih dulu) dari Allah.

c)   Maz 139:16 - “... dalam kitabMu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya”.

d)   Dan 5:23 - “Tuanku meninggikan diri terhadap Yang Berkuasa di sorga: perkakas dari BaitNya dibawa orang kepada tuanku, lalu tuanku serta para pembesar tuanku, para isteri dan para gundik tuanku telah minum anggur dari perkakas itu; tuanku telah memuji-muji dewa-dewa dari perak dan emas, dari tembaga, besi, kayu dan batu, yang tidak dapat melihat atau mendengar atau mengetahui, dan tidak tuanku muliakan Allah, yang menggenggam nafas tuanku dan menentukan segala jalan tuanku.

e)   Mat 10:29-30 - “(29) Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun seekorpun dari padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak BapaMu. (30) Dan kamu, rambut kepalamupun terhitung semuanya”.

f)    Maz 105:25 - “diubahNya hati mereka (orang Mesir) untuk membenci umatNya, untuk memperdayakan hamba-hambaNya”. Jelas dikatakan bahwa Tuhanlah yang mengubah hati orang Mesir untuk membenci Israel, supaya dengan demikian rencanaNya bisa terlaksana.

g)   Ul 2:30 - “Tetapi Sihon, raja Hesybon, tidak mau memberi kita berjalan melalui daerahnya, sebab TUHAN, Allahmu, membuat dia keras kepala dan tegar hati, dengan maksud menyerahkan dia ke dalam tanganmu, seperti yang terjadi sekarang ini”.

h)  Yos 11:20 - “Karena TUHAN yang menyebabkan hati orang-orang itu menjadi keras, sehingga mereka berperang melawan orang Israel, supaya mereka ditumpas, dan jangan dikasihani, tetapi dipunahkan, seperti yang diperintahkan TUHAN kepada Musa”.

i)    Hak 9:22-24 - “(22) Setelah tiga tahun lamanya Abimelekh memerintah atas orang Israel, (23) maka Allah membangkitkan semangat jahat di antara Abimelekh dan warga kota Sikhem, sehingga warga kota Sikhem itu menjadi tidak setia kepada Abimelekh, (24) supaya kekerasan terhadap ketujuh puluh anak Yerubaal dibalaskan dan darah mereka ditimpakan kepada Abi-melekh, saudara mereka yang telah membunuh mereka dan kepada warga kota Sikhem yang membantu dia membunuh saudara-saudaranya itu”.
Ayat ini mengatakan bahwa Allah membangkitkan semangat jahat dalam diri orang-orang tertentu, supaya memberontak terhadap Abimelekh (anak Yerubaal / Gideon), supaya Ia bisa menghukum baik Abimelekh maupun orang-orang Sikhem karena pembunuhan yang mereka lakukan terhadap anak-anak Yerubaal / Gideon yang lain dalam Hak 9:1-5.

j)    Hak 14:4 - “Tetapi ayahnya dan ibunya tidak tahu bahwa hal itu dari pada TUHAN asalnya: sebab memang Simson harus mencari gara-gara terhadap orang Filistin. Karena pada masa itu orang Filistin menguasai orang Israel”.
Simson mau kawin dengan orang Filistin / kafir (Hak 14:1-2), dan ayahnya menasehatinya untuk tidak melakukan hal itu, karena itu jelas adalah dosa (Hak 14:3). Dan dalam ay 4 dikatakan bahwa hal itu datang dari Tuhan, karena Tuhan menghendaki Simson mencari gara-gara terhadap orang Filistin!

k)   1Sam 2:25b - “Jika seseorang berdosa terhadap seorang yang lain, maka Allah yang akan mengadili; tetapi jika seseorang berdosa terhadap TUHAN, siapakah yang menjadi perantara baginya?’ Tetapi tidaklah didengarkan mereka perkataan ayahnya itu, sebab TUHAN hendak mematikan mereka.

l)    2Sam 12:11 - “Beginilah firman TUHAN: Bahwasanya malapetaka akan Kutimpakan ke atasmu yang datang dari kaum keluargamu sendiri. Aku akan mengambil isteri-isterimu di depan matamu dan memberikannya kepada orang lain; orang itu akan tidur dengan isteri-isterimu di siang hari. Sebab engkau telah melakukannya secara tersembunyi, tetapi Aku akan melakukan hal itu di depan seluruh Israel secara terang-terangan” (bdk. 2Sam 16:20-23).
2Sam 16:10-11 - “(10) Tetapi kata raja: ‘Apakah urusanku dengan kamu, hai anak-anak Zeruya? Biarlah ia mengutuk! Sebab apabila TUHAN berfirman kepadanya: Kutukilah Daud, siapakah yang akan bertanya: mengapa engkau berbuat demikian?’ (11) Pula kata Daud kepada Abisai dan kepada semua pegawainya: ‘Sedangkan anak kandungku ingin mencabut nyawaku, terlebih lagi sekarang orang Benyamin ini! Biarkanlah dia dan biarlah ia mengutuk, sebab TUHAN yang telah berfirman kepadanya demikian.

m)  1Raja 12:15,24 - “(15) Jadi raja tidak mendengarkan permintaan rakyat, sebab hal itu merupakan perubahan yang disebabkan TUHAN, supaya TUHAN menepati firman yang diucapkanNya dengan perantaraan Ahia, orang Silo, kepada Yerobeam bin Nebat. ... (24) Beginilah firman TUHAN: Janganlah kamu maju dan janganlah kamu berperang melawan saudara-saudaramu, orang Israel. Pulanglah masing-masing ke rumahnya, sebab Akulah yang menyebabkan hal ini terjadi.’ Maka mereka mendengarkan firman TUHAN dan pergilah mereka pulang sesuai dengan firman TUHAN itu” (bdk. 2Taw 10:15  11:4).

n)  1Raja 22:19-23 - “(19) Kata Mikha: ‘Sebab itu dengarkanlah firman TUHAN. Aku telah melihat TUHAN sedang duduk di atas takhtaNya dan segenap tentara sorga berdiri di dekatNya, di sebelah kananNya dan di sebelah kiriNya. (20) Dan TUHAN berfirman: Siapakah yang akan membujuk Ahab untuk maju berperang, supaya ia tewas di Ramot-Gilead? Maka yang seorang berkata begini, yang lain berkata begitu. (21) Kemudian tampillah suatu roh, lalu berdiri di hadapan TUHAN. Ia berkata: Aku ini akan membujuknya. TUHAN bertanya kepadanya: Dengan apa? (22) Jawabnya: Aku akan keluar dan menjadi roh dusta dalam mulut semua nabinya. Ia berfirman: Biarlah engkau membujuknya, dan engkau akan berhasil pula. Keluarlah dan perbuatlah demikian! (23) Karena itu, sesungguhnya TUHAN telah menaruh roh dusta ke dalam mulut semua nabimu ini, sebab TUHAN telah menetapkan untuk menimpakan malapetaka kepadamu.’” (bdk. 2Taw 18:19-22).

o)   2Taw 25:16 - “Waktu nabi sedang berbicara, berkatalah Amazia kepadanya: Apakah kami telah mengangkat engkau menjadi penasihat raja? Diamlah! Apakah engkau mau dibunuh?’ Lalu diamlah nabi itu setelah berkata: ‘Sekarang aku tahu, bahwa Allah telah menentukan akan membinasakan engkau, karena engkau telah berbuat hal ini, dan tidak mendengarkan nasihatku!’”.
2Taw 25:20 - “Tetapi Amazia tidak mau mendengarkan; sebab hal itu telah ditetapkan Allah yang hendak menyerahkan mereka ke dalam tangan Yoas, karena mereka telah mencari allah orang Edom.

p)   Amsal 16:1,9 - “(1) Manusia dapat menimbang-nimbang dalam hati, tetapi jawaban lidah berasal dari pada TUHAN. ... (9) Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi TUHANlah yang menentukan arah langkahnya”.
Ayat ini menunjukkan bahwa sekalipun manusia bisa memikirkan mana jalan yang terbaik, tetapi baik kata-kata maupun arah langkahnya ditentukan oleh Tuhan (bdk. Amsal 20:24a - “Langkah orang ditentukan oleh TUHAN”). Bdk. Yer 10:23 - “Aku tahu, ya TUHAN, bahwa manusia tidak berkuasa untuk menentukan jalannya, dan orang yang berjalan tidak berkuasa untuk menetapkan langkahnya”.

q)   Amsal 16:4 - “TUHAN membuat segala sesuatu untuk tujuannya masing-masing, bahkan orang fasik dibuatNya untuk hari malapetaka”.

r)    Yes 63:17a - “Ya TUHAN, mengapa Engkau biarkan kami sesat dari jalanMu, dan mengapa Engkau tegarkan hati kami, sehingga tidak takut kepadaMu?”.

s)   Yer 19:9 - Aku akan membuat mereka memakan daging anak-anaknya laki-laki dan daging anak-anaknya perempuan, dan setiap orang memakan daging temannya, dalam keadaan susah dan sulit yang ditimbulkan musuhnya kepada mereka dan oleh orang-orang yang ingin mencabut nyawa mereka”.

t)    Yer 47:6-7 - “(6) Ah, pedang TUHAN, berapa lama lagi baru engkau berhenti? Masuklah kembali ke dalam sarungmu, jadilah tenang dan beristirahatlah! (7) Tetapi bagaimana ia dapat berhenti? Bukankah TUHAN memerintahkannya? Ke Askelon dan ke tepi pantai laut, ke sanalah Ia menyuruhnya!’”.

u)        Rat 2:6b - “Di Sion TUHAN menjadikan orang lupa akan perayaan dan sabat.

v)   Yeh 14:9 - “Jikalau nabi itu membiarkan dirinya tergoda dengan mengatakan suatu ucapan - Aku, TUHAN yang menggoda nabi itu - maka Aku akan mengacungkan tanganKu melawan dia dan memunahkannya dari tengah-tengah umatKu Israel”.

4)   Dasar-dasar lain untuk ajaran Reformed tentang penentuan segala sesuatu:

a)   Para ahli theologia Reformed menggunakan kemahatahuan Allah untuk menunjukkan bahwa Ia menentukan segala sesuatu.
Penjelasan: Bayangkan suatu saat (minus tak terhingga) dimana alam semesta, malaikat, manusia, dsb belum diciptakan. Yang ada hanyalah Allah sendiri. Ini adalah sesuatu yang alkitabiah, karena Alkitab jelas mengajarkan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu (Kej 1  Yoh 1:1-3). Pada saat itu, karena Allah itu maha tahu (1Sam 2:3), maka Ia sudah mengetahui segala sesuatu (dalam arti kata yang mutlak) yang akan terjadi, termasuk dosa. Semua yang Ia tahu akan terjadi itu, pasti terjadi persis seperti yang Ia ketahui. Dengan kata lain, semua itu sudah tertentu pada saat itu. Kalau sudah tertentu, pasti ada yang menentukan (karena tidak mungkin hal-hal itu menentukan dirinya sendiri). Karena pada saat itu hanya ada Allah sendiri, maka jelas bahwa Ialah yang menen­tukan semua itu.

Loraine Boettner:
·         “This fixity or certainty could have had its ground in nothing outside of the divine Mind, for in eternity nothing else existed” (= Ketertentuan atau kepastian ini tidak bisa mempunyai dasar pada apapun di luar Pikiran ilahi, karena dalam kekekalan tidak ada apapun yang lain yang ada) - ‘The Reformed Doctrine of Predestination’, hal 45.
·         “Yet unless Arminianism denies the foreknowledge of God, it stands defenseless before the logical consistency of Calvinism; for foreknow-ledge implies certainty and certainty implies foreordination” (= Kecuali Arminianisme menyangkal / menolak pengetahuan lebih dulu dari Allah, ia tidak mempunyai pertahanan di depan kekonsistenan yang logis dari Calvinisme; karena pengetahuan lebih dulu secara tidak langsung menunjuk pada kepastian, dan kepastian secara tidak langsung menunjuk pada penetapan lebih dulu) - ‘The Reformed Doctrine of Predestination’, hal 44.
·         “The Arminian objection against foreordination bears with equal force against the foreknowledge of God. What God foreknows must, in the very nature of the case, be as fixed and certain as what is foreordained; and if one is inconsistent with the free agency of man, the other is also. Foreordination renders the events certain, while foreknowledge presupposes that they are certain” (= Keberatan Arminian terhadap penentuan lebih dulu mengandung / menghasilkan  kekuatan yang sama terhadap pengetahuan lebih dulu dari Allah. Apa yang Allah ketahui lebih dulu pastilah sama tertentunya dan pastinya seperti apa yang ditentukan lebih dulu; dan jika yang satu tidak konsisten dengan kebebasan manusia, yang lain juga demikian. Penentuan lebih dulu membuat peristiwa-peristiwa pasti / tertentu, sedangkan pengetahuan lebih dulu mensyaratkan bahwa mereka itu pasti / tertentu) - ‘The Reformed Doctrine of Predestination’, hal 42.

b)         Dasar lain dari doktrin Reformed ini adalah bahwa Allah ada di atas waktu.
Loraine Boettner: “Much of the difficulty in regard to the doctrine of Predestination is due to the finite character of our mind, which can grasp only a few details at a time, and which understands only a part of the relations between these. We are creatures of time, and often fail to take into consideration the fact that God is not limited as we are. That which appears to us as ‘past,’ ‘present,’ and ‘future,’ is all ‘present’ to His mind. It is as eternal ‘now.’ He is ‘the high and lofty One that inhabits eternity.’ Is. 57:15. ‘A thousand years in thy sight are but as yesterday when it is past, And as a watch in the night,’ Ps. 90:4. Hence the events which we see coming to pass in time are only the events which He appointed and set before Him from eternity. Time is a property of the finite creation and is objective to God. He is above it and sees it, but is not conditioned by it. He is also independent of space, which is another property of the finite creation. Just as He sees at one glance a road leading from New York to San Francisco, while we see only a small portion of it as we pass over it, so He sees all events in history, past, present, and future at one glance. When we realize that the complete process of history is before Him as an eternal ‘now,’ and that He is the Creator of all finite existence, the doctrine of Predestination at least becomes an easier doctrine” (= Banyak kesukaran berkenaan dengan doktrin Predestinasi disebabkan oleh sifat terbatas dari pikiran kita, yang hanya bisa menjangkau beberapa detail pada satu saat, dan yang mengerti hanya sebagian dari hubungan antara detail-detail itu. Kita adalah makhluk waktu, dan seringkali melupakan fakta bahwa Allah tidak terbatas seperti kita. Apa yang kelihatan bagi kita sebagai ‘lampau’, ‘sekarang’, dan ‘akan datang’, semuanya adalah ‘sekarang’ bagi pikiranNya. Itu adalah ‘sekarang’ yang kekal. Ia adalah ‘Yang tinggi dan mulia yang mendiami kekekalan’ Yes 57:15. ‘Seribu hari dalam pandanganMu adalah seperti kemarin, pada waktu itu berlalu, dan seperti suatu giliran jaga pada malam hari’ Maz 90:4. Karena itu peristiwa-peristiwa yang kita lihat terjadi dalam waktu hanyalah merupakan peristiwa-peristiwa yang telah Ia tetapkan dan tentukan di hadapanNya dari kekekalan. Waktu adalah milik / sifat dari ciptaan yang terbatas dan terpisah dari Allah. Ia ada diatasnya dan melihatnya, tetapi tidak dikuasai / diatur olehnya. Ia juga tidak tergantung pada tempat, yang merupakan milik / sifat yang lain dari ciptaan yang terbatas. Sama seperti Ia melihat dalam sekali pandang jalanan dari New York ke San Francisco, sementara kita melihat hanya sebagian kecil darinya pada waktu kita melewatinya, demikian pula Ia melihat semua peristiwa-peristiwa dalam sejarah, lampau, sekarang, dan yang akan datang dalam satu kali pandang. Pada waktu kita menyadari bahwa proses lengkap dari sejarah ada di depanNya sebagai ‘sekarang’ yang kekal, dan bahwa Ia adalah Pencipta dari semua keberadaan yang terbatas, doktrin Predestinasi sedikitnya menjadi doktrin yang lebih mudah) - ‘The Reformed Doctrine of Predestination’, hal 44-45.
Catatan: Yes 57:15 dan Maz 90:4 di atas dikutip dan diterjemahkan dari KJV.

William G. T. Shedd: “For the Divine mind, there is, in reality, no future event, because all events are simultaneous, owing to that peculiarity in the cognition of an eternal being whereby there is no succession in it. All events thus being present to him are of course all of them certain events” (= Untuk pikiran ilahi, dalam kenyataannya tidak ada kejadian / peristiwa yang akan datang, karena semua peristiwa / kejadian adalah serempak, berdasarkan kekhasan dalam pemikiran / pengertian dari makhluk kekal untuk mana tidak ada urut-urutan di dalamnya. Semua peristiwa ‘bersifat present / sekarang’ bagiNya dan karenanya tentu saja semuanya merupakan peristiwa yang pasti) - ‘Shedd’s Dogmatic Theology’, vol I, hal 402.

c)   Doktrin tentang penentuan dosa sejalan dengan doktrin-doktrin Reformed yang lain, seperti:
1.   Election / pemilihan (Ro 9:6-24  Ef 1:4,5,11  1Tes 5:9  2Tes 2:13  2Tim 1:9), karena manusia dipilih untuk diselamatkan dari dosa.
2.   Reprobation / penentuan binasa (Amsal 16:4  Yoh 17:12  Ro 9:13,17-18,21-22  1Pet 2:8  Yudas 4), yang jelas mensyaratkan penetapan dosa dalam kehidupan orang-orang yang ditentukan untuk binasa itu.
3.   Reformed terbagi menjadi Infralapsarianisme dan Supralapsarianisme, yang sama-sama percaya adanya penetapan dosa.
Kalau tak mau percaya pada ‘penentuan dosa’ maka buang jugalah doktrin-doktrin Reformed yang lain, sebagai konsekwensinya!

III) Exposisi Kej 24:44.

Saya memotong-motong exposisinya tentang Kej 24:44 ini, dan masing-masing potongan saya beri tanggapan.

Pdt. Sutjipto Subeno: Exposisi: Kejadian 24:44. Ketika dinyatakan salah, para penganut ‘takdir pasangan hidup’ sering mengajukan ayat favorit untuk mendukung argumen mereka, yaitu dari Kejadian 24:44, yang mengatakan ‘dan ia menjawab: Minumlah dan untuk unta-untamu juga akan kutimba air, dialah kiranya isteri, yang telah Tuhan tentukan bagi anak tuanku itu’ [NIV: and if she says to me, Drink and I’ll draw water for your camels too, let her be the one the Lord has chosen (pilihkan) for my master’s son]. Istilah ‘ditentukan’ atau ‘dipilih’ inilah yang menjadi masalah. Ketika seseorang mencoba melakukan penafsiran dengan menggunakan bahasa turunan, di mana sudah terjadi distorsi pengertian dan keterbatasan penerjemahan, sangat rawan terjadi kesalahan arti. Untuk itu kita tidak boleh mengandalkan satu kata seperti istilah ini, untuk mengerti suatu konsep, kecuali didukung oleh suatu eksegesis yang kuat dan ketat sekali. Istilah ini berasal dari padanan kata x:ykiîho-rv,a] (asher-hokiah), yang terdiri dari kata rv,a] (asher) dan hkY (yakach). Seluruh pengertian dari kedua kata ini perlu kita lihat, karena jika kita mengerti semua pengertiannya, kita baru mengerti mengapa di NIV digunakan kata ‘memilih,’ sedangkan di LAI menggunakan kata: ‘menentukan.’

Tanggapan 1.
1)   Pdt. Sutjipto Subeno sama sekali tidak bisa membuktikan kalau terjemahan LAI ataupun NIV salah, dan ia juga tidak memberikan exegesis yang ketat, sebaliknya ngawur, dan membohongi jemaat yang tidak mengerti bahasa Ibrani.
2)   Pdt. Sutjipto Subeno salah menggunakan huruf Ibrani. Kata YAKACH seharusnya bukan berakhiran dengan huruf Heh (h) tetapi huruf HiETH (H). Huruh HEH (h) pada akhir dari suatu kata tidak dibaca (tak punya bunyi, misalnya dalam kata Yahweh), tetapi huruf HiETH (H) pada akhir suatu kata tetap dibaca. Karena itu kata Ibraninya seharusnya adalah ASHER-HOKIACH (bukan ASHER-HOKIAH seperti yang Sutjipto Subeno katakan).
Catatan: bahasa Ibrani ditulis dari kanan ke kiri.

Kata asher ini berupa partikel relatif, artinya secara umum adalah: ‘karena,’ ‘jika,’ ‘dia (whom),’

Tanggapan 2.
Ini ngawur total; entah dari mana kata ASHER bisa diartikan ‘jika’. Artinya adalah ‘who, whom, which, that’, dan dalam kalimat ini harus diartikan ‘yang’.
Sutjipto Subeno mengartikan ‘whom’ sebagai ‘dia’, menunjukkan ketidak-becusannya dalam bahasa Inggris! Perhatikan perbandingan terjemahan LAI dan KJV di bawah ini berkenaan dengan kata tersebut.
Kej 24:44 - “dan ia menjawab: Minumlah, dan untuk unta-untamu juga akan kutimba air, - dialah kiranya isteri, yang telah TUHAN tentukan bagi anak tuanku itu.”.
KJV: whom the LORD hath appointed out for my master’s son’ (= yang TUHAN telah tetapkan untuk anak tuanku).

yang ketika dirangkai dengan kata hokiah menjadi gabungan dengan pengertian: ‘melangkah’ atau ‘memimpin’ atau ‘mengarah kepada;’ juga bisa diartikan ‘mengarah’ atau ‘memiliki kemujuran.’ Kata hokiah (yakach), bentuk hiphil perfek maskulin ketiga singular, memiliki arti: (1) membicarakan atau mendiskusikan bersama; (2) muncul atau terlihat sebagai suatu yang benar; (3) terindikasi benar; (4) ditetapkan, ditunjukkan; (5) memberikan penilaian / penghakiman.

Tanggapan 3.
1)   Yang bagian awal saya sama sekali tak mengerti dari mana arti-arti yang ia berikan itu, dan menurut saya itu ngawur semua.
“Kata hokiah menjadi gabungan dengan pengertian: ‘melangkah’ atau ‘memimpin’ atau ‘mengarah kepada;’ juga bisa diartikan ‘mengarah’ atau ‘memiliki kemujuran.’”?????
Ini dusta habis-habisan!
2)   Lalu selanjutnya Sutjipto Subeno mengatakan “Kata hokiah (yakach), bentuk hiphil perfek maskulin ketiga singular, memiliki arti: (1) membicarakan atau mendiskusikan bersama; (2) muncul atau terlihat sebagai suatu yang benar; (3) terindikasi benar; (4) ditetapkan, ditunjukkan; (5) memberikan penilaian / penghakiman.”.
Kata-kata ‘bentuk hiphil perfek maskulin ketiga singular’, sekalipun tidak salah, tetapi sama sekali tak ada gunanya untuk dituliskan di sini, kecuali untuk membuat pembaca yang tak mengerti bahasa Ibrani menjadi bingung, dan tak bisa membantah apa yang akan dia katakan. Atau hanya untuk pameran?
Menurut saya hanya arti ke 4 dan ke 5 yang memungkinkan. Arti ke 1,2,3, entah dia dapatkan dari mana. Dan kalau arti ke 4 yang dipilih, bukankah cocok dengan terjemahan LAI / KJV?

KJV/NKJV menggunakan ‘appointed’ yang berarti ‘diarahkan’ atau ‘ditujukan.’ Di sini gabungan kedua kata ini memberikan gambaran pengarahan bagi seseorang. Jadi penggabungan dua kata ini, memang memiliki sifat yang paling keras, yang dapat diterjemahkan sebagai ‘ditentukan.’ Tetapi juga bisa dikatakan diarahkan kepada yang benar. Atau seperti NIV menerjemahkan sebagai Tuhan memilihkan, memberikan penilaian atau penghakiman-Nya. Tetapi yang pasti: Tidak satu pun dari pengertian kata ini, berarti Allah telah menentukan jodoh bagi Ishak.

Tanggapan 4.
Ini puncaknya penipuan!
1)   Dari mana kata ‘appointed’ bisa diartikan ‘diarahkan’ atau ‘ditujukan’???? Sutjipto Subeno menggunakan kamus apa???? Kata bahasa Inggris ‘to appoint’ sangat berbeda dengan ‘to point’. Yang terakhir ini memang bisa diartikan sebagai ‘menunjuk(kan)’, ‘mengarahkan’. Tetapi ‘to appoint’ artinya adalah ‘mengangkat’ atau ‘menunjuk’ (dalam arti ‘mengangkat’ atau ‘menunjuk’ seseorang untuk suatu pekerjaan / jabatan), dan bisa juga diartikan ‘menetapkan / menentukan’. Jelas bahwa di sini arti terakhir ini yang harus diambil! Jadi, kata ‘appointed’ artinya adalah ‘ditetapkan’ atau ‘ditentukan’!
Dan karena Sutjipto Subeno memberikan arti yang sama sekali salah, maka kesimpulannya tentu juga sama  sekali salah, karena ia lalu berkata: “Di sini gabungan kedua kata ini memberikan gambaran pengarahan bagi seseorang”. Betul-betul ngawur secara total!
Bagaimana mungkin dalam ay 43-44 yang berbunyi: (43) Di sini aku berdiri di dekat mata air ini; kiranya terjadi begini: Apabila seorang gadis datang ke luar untuk menimba air dan aku berkata kepadanya: Tolong berikan aku minum air sedikit dari buyungmu itu, (44) dan ia menjawab: Minumlah, dan untuk unta-untamu juga akan kutimba air, - dialah kiranya isteri, yang telah TUHAN tentukan bagi anak tuanku itu.”, lalu kata-kata yang terakhir bisa ‘memberikan gambaran pengarahan bagi seseorang’???
2)   Lalu kata Sutjipto Subeno gabungan kedua kata itu bisa diartikan ‘ditentukan’. Bukankah dengan ini Sutjipto Subeno mengakui terjemahan LAI?
3)   Tetapi Sutjipto Subeno lalu melanjutkan dengan pengawuran / dusta yang lain pada waktu ia mengatakan bahwa itu bisa diartikan ‘diarahkan kepada yang benar’. Kata ‘diarahkan’ sudah salah / ngawur, dan dari mana gerangan muncul ‘kepada yang benar’ itu????
4)   Dan Sutjipto Subeno lalu menggunakan NIV ‘memilihkan [sebetulnya NIV menterjemahkan ‘has chosen’ (telah memilih / pilih)] yang lalu ia selewengkan menjadi “memberikan penilaian atau penghakiman-Nya”, yang bukan hanya sangat berbeda dengan ‘telah memilih’, tetapi juga sangat tidak cocok dengan seluruh kalimatnya.
5)   Dan bagian ini Sutjipto Subeno akhiri dengan kesimpulan yang entah muncul dari mana: “Tetapi yang pasti: Tidak satu pun dari pengertian kata ini, berarti Allah telah menentukan jodoh bagi Ishak. Padahal terjemahan dari NIV, KJV, LAI, semua menunjuk pada arti seperti ini, dan terjemahan-terjemahan itu memang ada dalam arti-arti yang Sutjipto Subeno sendiri berikan.

Konsep ini sama sekali tidak menyentuh suatu pengertian takdir yang telah ditetapkan Allah di dalam kekekalan, tetapi lebih kepada pengertian: setelah melihat dari sekian banyak pilihan, kemudian kita ditentukan untuk mengambil satu di antaranya. Hal ini sejajar dan sangat sinkron dengan pergumulan hamba Abraham (diduga Eliezer dari Damaskus), bahwa ia sungguh-sungguh meminta Tuhan memberikan hikmat kepadanya untuk mengerti siapa gadis yang paling tepat bagi tuannya (ayat 14), dan ayat 44 merupakan kesimpulan dari hasil pergumulannya. Di situ sama sekali ia tidak memikirkan bahwa Ribka adalah gadis yang sudah ‘dipredestinasikan’ untuk Ishak, tetapi benar merupakan hasil pergumulannya bersama Tuhan, berdasarkan pimpinan Tuhan, untuk mendapat orang yang tepat sesuai kehendak Tuhan.”.

Tanggapan 5.

1)   Kata bagian awal konyol sekali, dan entah muncul dari mana.

2)   Kata-kata bagian akhir: Sutjipto Subeno lari kepada ayat lain yaitu ay 14 yang menunjukkan hamba Abraham itu berdoa.
Sekalipun jodoh ditentukan, itu tidak berarti bahwa ia boleh ngawur saja dalam memilih; ia tetap mempunyai tanggung jawab untuk melakukan yang terbaik sehingga bisa memilih gadis yang memang Tuhan tentukan sebagai jodoh dari Ishak. Ia berdoa, dan ini merupakan sesuatu yang benar.
Calvinisme yang benar memang mempercayai predestinasi mutlak (penentuan segala sesuatu), tetapi pada saat yang sama tidak membuang tanggung jawab manusia! Bahwa ini memang merupakan ajaran Calvinisme, bisa terlihat dari banyak kutipan yang sudah saya berikan di atas.
Bandingkan kata-kata orang-orang Reformed di atas dengan kata-kata Pdt. Sutjipto Subeno ini:
“Sering kali orang berkomentar, ‘Kalau memang dia jodoh kamu, tidak perlu dikejar-kejar, nanti datang sendiri.’ Betulkah pandangan seperti ini? Apa yang melatarbelakangi pandangan ini? Jika kita menelusuri lebih dalam, maka pemahaman bahwa jodoh ada di tangan Tuhan sebenarnya adalah manifestasi dari doktrin (pengajaran) tentang takdir. Pemahaman ini mengajarkan bahwa seluruh tindakan manusia sudah ditakdirkan oleh Allah, dan apa yang telah ‘ditakdirkan’ itu tidak pernah bisa diubah oleh manusia. Dengan kata lain, manusia bagaikan sebuah wayang, di mana Tuhan sebagai ‘dalang’-nya. Jadi ketika kita hidup, setiap langkah kita sudah ditetapkan; kapan kita menikah, sudah ditetapkan; dengan siapa kita menikah, juga sudah ditetapkan. Berdasarkan pemikiran di atas, maka diambil kesimpulan bahwa kita menikah atau tidak menikah, itu semua merupakan takdir Allah yang tidak bisa ditolak. Jadi, jika kita tidak bisa menikah dengan seseorang, maka itu merupakan takdir yang Allah tetapkan, dan sebaliknya, jika Allah menentukan kita menikah dengan seseorang, maka orang itu pun tidak bisa lari, dan pasti akan kembali kepada kita. Berdasarkan konsep ini, muncullah kalimat ‘penghiburan’ di atas. Pemahaman ini merupakan upaya penghiburan di saat seseorang patah hati, tetapi di lain pihak pandangan sedemikian bisa menyebabkan kemungkinan penyalahgunaan yang tidak tepat dan mengakibatkan sifat pasif di dalam memilih teman hidup. Akibatnya, semuanya akan ditanggapi secara skeptis. ... Kalau demikian, maka orang-orang Reformed diajarkan untuk secara pasif menerima pasangan hidupnya, jika ternyata terjadi kesalahan, ataupun pernikahan yang tidak bahagia, maka itu pun merupakan nasib yang harus diterima dari Tuhan. ... Kesalahan konsep ini semakin nyata jika suatu saat terjadi perceraian. Seorang bisa dengan ringan dan sembrono mengatakan bahwa perceraian itu juga terjadi karena kehendak Tuhan, karena kalau Tuhan tidak menghendaki, ia tidak mungkin bisa bercerai. Padahal konsep ini jelas bertentangan dengan konsep Alkitab. Kalau dia menikah lagi dengan gadis lain, maka kembali ia mengatakan bahwa itupun sudah suratan takdir, atau istilah Kristen yang lebih populer adalah ‘sudah merupakan penetapan Allah’ yang tidak bisa diganggu-gugat. Kalau Allah tidak menetapkan, bagaimana mungkin ia bisa menikah lagi? ... Termasuk, jika seseorang menganggap semua urusan pernikahan adalah ketetapan kekal Allah yang tidak bisa tidak harus terjadi, maka ketika seseorang berselingkuh, juga bisa dianggap bahwa perselingkuhan itu pun adalah ketetapan Allah yang tidak bisa ia tolak, sehingga ia harus melakukan perselingkuhan itu sebagai takdir atau penetapan Allah.” - ‘Indahnya Pernikahan Kristen’, hal 129-135.

Yang diserang oleh pendeta bodoh ini bukan Calvinisme tetapi Hyper-Calvinisme!

3)   Dan dalam bagian akhir, Sutjipto Subeno mengatakan “Di situ sama sekali ia tidak memikirkan bahwa Ribka adalah gadis yang sudah ‘dipredestinasikan’ untuk Ishak, tetapi benar merupakan hasil pergumulannya bersama Tuhan, berdasarkan pimpinan Tuhan, untuk mendapat orang yang tepat sesuai kehendak Tuhan.”.
Dari mana omongan ini? Sutjipto Subeno tak menuliskan ay 14 itu (pada catatan kaki ia hanya menuliskan ay 14b, tidak ay 14a-nya), tetapi ngomong seenaknya sendiri. Mari kita lihat apakah ay 14 ada hubungannya dengan ay 44 atau tidak.
Ay 14: “Kiranya terjadilah begini: anak gadis, kepada siapa aku berkata: Tolong miringkan buyungmu itu, supaya aku minum, dan yang menjawab: Minumlah, dan unta-untamu juga akan kuberi minum - dialah kiranya yang Kautentukan bagi hambaMu, Ishak; maka dengan begitu akan kuketahui, bahwa Engkau telah menunjukkan kasih setiaMu kepada tuanku itu.’”.
Ay 44: “dan ia menjawab: Minumlah, dan untuk unta-untamu juga akan kutimba air, --dialah kiranya isteri, yang telah TUHAN tentukan bagi anak tuanku itu.”.
Kata Ibrani yang diterjemahkan ‘Kautentukan’ di sini mempunyai kata dasar yang sama dengan kata yang diterjemahkan ‘tentukan’ dalam ay 44!
Jadi, bagaimana Sutjipto Subeno bisa mengatakan bahwa pada saat berdoa hamba Abraham itu tidak memikirkan bahwa Ribka adalah gadis yang sudah ‘dipredestinasikan’ untuk Ishak? Jelas bahwa ia memikirkan hal itu, hanya saja ia tidak tahu gadis yang mana yang Tuhan predestinasikan untuk Ishak. Karena itu ia berdoa, dan meminta tanda, supaya ia bisa tahu gadis yang mana yang Tuhan predestinasikan sebagai istri dari Ishak.

Calvin (tentang Kej 24:12-14): “The servant, being destitute of counsel, retakes himself to prayers. Yet he does not simply ask counsel of the Lord; but he also prays that the maid appointed to be the wife of Isaac should be brought to him with a certain sign, from which he might gather that she was divinely presented to him. ... The expression ‘cause to meet me this day,’ ... the verb is transitive, and the servant of Abraham intimates by the use of it, that the affairs of men were so ordered by the counsel and the hand of God, that the issue of them was not fortuitous; as if he would say, O Lord, in vain shall I look on this side and on that; in vain shall I catch at success by my own labor, industry and various contrivances, unless thou direct the work.” (= Pelayan / hamba itu, karena tidak mempunyai nasehat, mengembalikan dirinya sendiri kepada doa. Tetapi ia tidak sekedar meminta nasehat dari Tuhan; tetapi ia juga berdoa supaya gadis yang ditetapkan untuk menjadi istri dari Ishak dibawa kepadanya dengan suatu tanda tertentu, dari mana ia bisa menyimpulkan bahwa gadis itu diberikan secara ilahi kepadanya. … Ungkapan ‘sebabkan untuk bertemu aku hari ini’, … kata kerjanya adalah kata kerja transitif, dan pelayan / hamba Abraham itu dengan penggunaan kata itu secara implicit menunjukkan bahwa urusan-urusan dari manusia begitu diatur oleh rencana dan tangan Allah, sehingga hasil dari mereka bukanlah kebetulan; seakan-akan ia berkata, ‘O Tuhan, sia-sia aku melihat pada sisi ini atau sisi itu; sia-sia aku mengejar kesuksesan dengan jerih payah, kerajinan dan penemuan-penemuanku sendiri, kecuali Engkau mengarahkan pekerjaan itu’.).
Catatan: kata kerja yang dibicarakan oleh Calvin ada dalam ay 12, tetapi diterjemahkan secara berbeda baik oleh LAI maupun oleh Kitab Suci bahasa Inggris. Editor dari Calvin’s Commentary mengatakan bahwa mungkin arti yang diberikan oleh Calvin adalah yang lebih benar.
Ay 12: Lalu berkatalah ia: ‘TUHAN, Allah tuanku Abraham, buatlah kiranya tercapai tujuanku pada hari ini, tunjukkanlah kasih setiaMu kepada tuanku Abraham..

Kesimpulan saya: dari penjelasan ini, terlihat dengan sangat jelas bahwa Pdt. Sutjipto Subeno, yang memang tidak percaya bahwa Allah menentukan segala sesuatu, tetapi anehnya tetap mengaku diri sebagai ‘Reformed’, mau menipu para pembaca bukunya dengan menggunakan bahasa Ibrani dan bahasa Inggris, dan juga memberikan exegesis yang sama sekali tidak karu-karuan.

Sebagai perbandingan, saya berikan terjemahan dari beberapa Kitab Suci bahasa Inggris di bawah ini:
Kej 24:44 - “dan ia menjawab: Minumlah, dan untuk unta-untamu juga akan kutimba air, - dialah kiranya isteri, yang telah TUHAN tentukan bagi anak tuanku itu.”.
KJV: whom the LORD hath appointed out for my master’s son’ (= yang TUHAN telah tetapkan untuk anak tuanku).
RSV/NASB: whom the LORD has appointed for my master’s son.’ (= yang TUHAN telah tetapkan untuk anak tuanku).
NIV: ‘the LORD has chosen for my master’s son.’ (= TUHAN telah pilih untuk anak tuanku).
ASV: whom Jehovah hath appointed for my master’s son. (= yang Yehovah telah tetapkan untuk anak tuanku).
Catatan: NIV membuang / tidak menterjemahkan kata Ibrani ASHER itu, tetapi dalam seluruh kalimat memang tak ada perbedaan arti dibandingkan dengan versi-versi yang lain.

Sekarang sebagai perbandingan saya akan memberikan di bawah ini penafsiran Calvin sendiri berkenaan dengan apakah pernikahan Ishak dengan Ribka memang merupakan kehendak (rencana) Allah atau tidak.

Calvin (tentang Kej 24:26-27): “he does not exult, as profane men are wont to do, as if the occurrence were fortuitous; but he gives thanks to God, regarding it, as the result of Providence, that he had been thus opportunely led straight to the place he had wished. He does not, therefore, boast of his good fortune; but he declares that God had dealt kindly and faithfully with Abraham; … This thanksgiving, therefore, teaches us always to have the providence of God before our eyes, in order that we may ascribe to him whatever happens prosperously to us.” (= ia tidak bersuka-ria, seperti orang-orang duniawi biasa lakukan, seakan-akan kejadian / peristiwa itu bersifat kebetulan; tetapi ia bersyukur kepada Allah, berkenaan dengannya, sebagai hasil dari Providensia, bahwa ia telah dibimbing dengan tepat seperti itu ke tempat yang telah ia inginkan. Karena itu, ia tidak membanggakan nasib baiknya; tetapi ia menyatakan bahwa Allah telah menangani Abraham dengan baik dan setia; … Karena itu, pengucapan syukur ini mengajar kita untuk selalu mempunyai providensia Allah di hadapan mata kita, supaya kita bisa menganggap berasal dari Dia apapun yang terjadi secara menyenangkan / berhasil bagi kita.).
Catatan: ‘providence’ adalah pelaksanaan dari rencana Allah, atau pengaturan segala sesuatu sehingga terjadi sesuai dengan rencana Allah.

Calvin (tentang Kej 24:33-dst): “Fifthly, he states that Abraham, in full confidence that God would be the leader of his journey, had committed the whole business to him. Sixthly, he declares, that whatever he had asked in prayer he had obtained from the Lord; whence it appeared that the marriage of which he was about to treat was according to the will of God. ... And lastly, that God had been the director of the whole affair.” (= Kelima, ia menyatakan bahwa Abraham, dalam keyakinan penuh bahwa Allah akan menjadi pemimpin / pembimbing dalam perjalanannya, telah menyerahkan seluruh urusan kepadanya. Keenam, ia menyatakan, bahwa apapun yang telah ia minta dalam doa telah ia dapatkan dari Tuhan; dari mana terlihat bahwa pernikahan yang akan ia tangani / laksanakan adalah sesuai dengan kehendak Allah. … Dan terakhir, bahwa Allah telah menjadi pemimpin dari seluruh urusan.).

Calvin (tentang Kej 24:50-dst): “The thing proceedeth from the Lord. Whereas they are convinced by the discourse of the man, that God was the Author of this marriage, they avow that it would be unlawful for them to offer anything in the way of contradiction. They declare that the thing proceedeth from the Lord; because he had, by the clearest signs, made his will manifest. Hence we perceive, that although the true religion was in part observed among them, and in part infected with vicious errors, yet the fear of God was never so utterly extinguished, but this axiom remained firmly fixed in all their minds, that God must be obeyed. If, then, wretched idolaters, who had almost fallen away from religion, nevertheless so subjected themselves to God, as to acknowledge it to be unlawful for them to swerve from his will, how much more prompt ought our obedience to be? Therefore, as soon as the will of God is made known to us, not only let our tongues be silent, but let all our senses be still; because it is an audacious profanation to admit any thought which is opposed to that will.” (= Hal itu keluar / datang dari Tuhan. Mengingat mereka diyakinkan oleh pembicaraan dari orang itu, bahwa Allah adalah Pencipta dari pernikahan ini, mereka mengakui / menyatakan bahwa adalah tidak sah bagi mereka untuk menawarkan apapun yang bertentangan. Mereka menyatakan bahwa hal itu keluar / datang dari Tuhan; karena Ia telah membuat kehendakNya nyata oleh tanda-tanda yang paling jelas. Maka kami mengerti bahwa sekalipun agama yang benar hanya sebagian dijalankan di antara mereka, dan sebagian yang lain ditulari / dipengaruhi dengan kesalahan-kesalahan yang buruk, tetapi rasa takut kepada Allah tidak pernah padam sama sekali, tetapi prinsip ini tetap ditanamkan dengan teguh dalam semua pikiran mereka, bahwa Allah harus ditaati. Maka, jika penyembah-penyembah berhala yang buruk, yang hampir meninggalkan agama, bagaimanapun begitu menundukkan diri mereka sendiri kepada Allah, sehingga mengakuinya sebagai tidak sah bagi mereka untukmenyimpang dari kehendakNya, betapa lebih tepatnya seharusnya ketaatan kita? Karena itu, begitu kehendak Allah dinyatakan kepada kita, bukan hanya hendaknya lidah kita diam, tetapi hendaknya semua indera kita diam; karena merupakan suatu ketidak-hormatan yang berani untuk menerima pikiran apapun yang bertentangan dengan kehendak itu.).
Kej 24:50 - “Lalu Laban dan Betuel menjawab: ‘Semuanya ini datangnya dari TUHAN; kami tidak dapat mengatakan kepadamu baiknya atau buruknya.”.

IV) Pdt. Sutjipto Subeno mengatakan     bahwa yang boleh menikah lagi adalah orang yang kematian pasangan hidupnya.

Saya akan mengutip ulang kata-kata Pdt. Sutjipto Subeno sebagai berikut:
“... Alkitab menyatakan bahwa menikah lagi yang bukan karena cerai meninggal adalah perbuatan zinah (Matius 5:32; Matius 19:9; Markus 10:12; Lukas 16:18). - ‘Indahnya Pernikahan Kristen’, hal 132.

Mari kita lihat ayat-ayat yang dipakai oleh Pdt. Sutjipto Subeno.
Mat 5:32 - “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.”.
Mat 19:9 - “Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.’”.
Mark 10:11-12 - “(11) Lalu kataNya kepada mereka: ‘Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. (12) Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah.’”.
Luk 16:18 - “Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.’”.

Luk 16:18 dan Mark 10:11-12 berbicara tentang perceraian secara umum. Itu memang dilarang, dan kalau ada orang bercerai maka ia tidak boleh menikah lagi. Tetapi Mat 5:32 dan Mat 19:9 memberikan suatu perkecualian. Kalau perceraian itu terjadi karena perzinahan, maka pihak yang tidak bersalah diijinkan untuk menceraikan pihak yang berzinah, dan bahkan menikah lagi dengan orang lain. Kata-kata ‘kecuali karena zinah’ jelas menunjukkan hal itu. Jadi kata-kata Pdt. Sutjipto Subeno bahwa  Alkitab menyatakan bahwa menikah lagi yang bukan karena cerai meninggal adalah perbuatan zinah. merupakan suatu ajaran ngawur, yang sama sekali tidak Alkitabiah.

Kesimpulan: dari seluruh tulisan Pdt. Sutjipto Subeno dan pembahasannya ini maka jelaslah bahwa:
1)   Pdt. Sutjipto Subeno bukanlah orang Reformed. Dia hanyalah orang Arminian yang menyamar sebagai ‘Reformed’, atau dia adalah ‘Reformed Gadungan’!
2)   Pdt. Sutjipto Subeno mengclaim ajaran Arminiannya sebagai ajaran Reformed; padahal ajarannya tak sesuai, bahkan bertentangan dengan ajaran dari Calvin dan para tokoh-tokoh Reformed.
3)   Pdt. Sutjipto Subeno memfitnah ajaran Reformed yang sebenarnya sebagai ajaran Hyper-Calvinisme, dengan fitnahan-fitnahan yang biasanya dikeluarkan oleh orang-orang Arminian.
4)   Pdt. Sutjipto Subeno menggunakan dusta / penipuan dengan menggunakan bahasa Ibrani dan bahasa Inggris yang diselewengkan, dalam ‘membahas secara exposisi Kej 24:44’.
5)   Pdt. Sutjipto Subeno memberikan ajaran-ajaran salah lain berkenaan dengan orang baru boleh menikah lagi kalau kematian pasangan hidupnya.

Kalau Pdt. Sutjipto Subeno tidak terima dengan tulisan ini, saya menantang dia: “Mau debat dengan saya? Debat terbuka, atau debat melalui internet, pilih yang mana, saya akan layani!”.


4 komentar:

  1. Sucipto Subeno itu memang jago kandang sejati, dia banyak mengajar apologetika [vantillian-paradox], tetapi pernahkah dia sekalipun debat terbuka dengan posisi2 teologi lain [mis. freewill suhento] atau dengan agama2 lain ?

    Spirit itu sebenarnya sama dengan spirit Stephen Tong [mahaguru nya], di mana dulu sewaktu mengajar di SAAT malang STong tdak pernah "geger" dengan siapapun termasuk/terutama dosen yang doktrinnya sangat anti-reformed walaupun paradoxically STong sendiri merasa sangat kecewa karena pikiran reformed yang diajarkannya di SAAT itu segera dibantah oleh dosen2 arminians [mungkin Peter Wongso dan David Iman Santoso ?], itu salah satu sebab STong keluar dari SAAT untuk memulai gerakan reformed-injili nya .

    Jadi sebenarnya inilah momen terbaik untuk Sucipto terima tantangan P Budi di debat terbuka mempertanggung jawabkan kesalahan2/kesesatan2 doktrin reformed nya, jangan terus menerus jadi pseudo-reformed-pengecut [seperti Aiter yang diskusi dengan awam pun tidak berani!!]

    BalasHapus
  2. Berikut ini tanggapan dari Pdt. Budi Asali,M.Div yang diemailkan ke saya :

    Ya, saya tahu mrk memang tak punya spirit Reformed. Semua ahli theologia / penafsir Reformed, apalagi Calvinnya sendiri, adalah tukang debat, dan mendebat semua ajaran yg mrk anggap salah, tetapi kelompok 'Reformed Injili' ini sangat bertolak belakang. Saya memang sudah banyak mendengar bahwa pdt2 mrk tak berani debat, bahkan dg org awam. Dan saya betul2 tak bisa mengerti ttg hal spt ini. Ini bukan hanya tak cocok dg spirit Reformed, tetapi juga bahkan tidak alkitabiah, krn tokoh2 alkitab, termasuk Yesus sendiri, Paulus, Apolos dsb, semua berdebat. Belum lagi ada perintah spt dlm 1Pet 3:15. Bgm mrk menanggapi bagian2 alkitab spt itu?

    BalasHapus
  3. Apakah Pdt. Sutjipto Subeno sudah bersedia berdebat?

    BalasHapus